01 ♡ Tentang Rindu

🌻🌻
♡♡--------------------------------
the night sky is a miracle of infinitude
--------------------------------♡♡

🌻🌻

Angkasa, demikianlah orang menyebut saat menengadahkan kepala, melihat bagaimana langit yang menaungi bumi ini berada. Jutaan hektar bahkan sebanyak apa pun alat ukur yang ada di dunia ini tak akan pernah mampu mengukur seberapa luas Tuhan menciptakan semesta.

Kuas dan kanvas masih bercengkerama. Menceritakan bagaimana hati yang masih enggan untuk berbicara. Tangan lincah bergerak memainkan perannya dengan sangat epik. Telling world without words.

Sepertinya Saba sedang tercurangi oleh rindu. Ya, rindu itu curang. Selalu bertambah tanpa tahu bagaimana caranya agar berkurang. Tangannya masih bergerak, melukis angkasa bersama dengan aksesoris indahnya terlebih awan biru itu seakan bercengkerama mesra bersama sebuah pesawat udara yang dihidupkan oleh si empunya untuk bisa dinikmati setiap pandangan mata.

Ini hanya tentang rindu. Bagaimana rasa itu menjadi sesuatu yang merajai dalam hidup seseorang seistimewa Aresya Sabiha.

"Masih melukis Kak?" sapa Ainuha ketika dia baru saja kembali dari mengajarnya di sekolah. Duduk dan melakukan pekerjaan yang sama dari Nuha berangkat hingga kini dia sudah kembali, apakah putrinya ini belum beristirahat sama sekali.

"Ma__"

"Poppa belum pulang?" tanya Nuha kembali.

"Belum, katanya akan pulang sampai sore. Siang ini di kandang akung, waktunya para sapi di vaksinasi." Menjawab tapi tidak juga mengalihkan pandangannya kepada Ainuha.

"Langit dan pesawat lagi Kak?" Saba mengangguk. Ainuha tersenyum tipis. Anak gadisnya mungkin sedang merindukan saudara sepupu yang sedang jauh berada. "Kangen dengan Satria?"

Pertanyaan terakhir yang keluar dari bibir Ainuha seketika menghentikan kegiatan Saba. Kuas yang dipegangnya bahkan terlepas dan meluncur bebas ke lantai. Sensitivitas perungu Saba selalu lebih peka ketika ada orang menyebut nama Satria. Saudara sepupu yang dianggapnya sebagai super hero. Laki-laki yang selalu melindunginya setelah poppa Hauzan dan juga Afdhal.

Meski tak pernah terucap, meski tanpa kata namun sikap telah memberitahukan. Bagaimana orang-orang terdekatnya mengetahui dengan pasti, bahwa buncah rindu itu selalu ada, menyatu bersama aliran darah.

Seakan terjebak diantara dilema, rindu atau perasaan. Tentang rindu mungkin rasanya sudah terlalu klise dan membosankan. Namun patri janji itu seolah masih juga terjaga untuk laki-laki yang entah mengerti atau hanya sekedar gemar memuji.

"Satya lupakan Saba." Mendung menggelayut manja saat gerimis mulai permisi untuk mencoba memperkenalkan diri. Bukan tanpa alasan rinai hujan kembali menyapa bumi. Seolah rindu selalu terpaku pada sisi ruang tak berpenghuni.

Iya, pengakuan sangat merindukan teramat sulit terucap. Mengingat bagaimana tawa itu selalu ada dari cara bertatap muka, melihat dari ujung sepatu hingga ujung rambut. Lebih jelas lagi saat berbagi cerita bersama tanpa mengenal waktu. Seolah memang tiada kata lelah tertawa lepas. Ah rasanya dunia hanya milik berdua. Sayangnya jarak telah menjadi batas untuk menciptakan kata rindu yang selalu membiru.

"Kak Saba rindu Satria?" di pertahanan terakhir Saba memilih untuk mengangguk. "Momma membawa berita baik untuk kakak, lihat momma." Nuha menarik perhatian putrinya dengan sangat lembut.

Saat manik mata keduanya telah bertemu, barulah Ainuha melanjutkan ucapannya kembali. "Kata tante Rena, Satria akan libur satu minggu dan dia akan pulang jadi kak Saba bisa bertemu lagi dengan Satria."

Saba tahu, Saba mengerti, Saba memahami bahwa sejatinya rindu itu hanya bisa terobati dengan bertemu dengan orang yang dirindukan. Mencerna seluruh kata dari pernyataan Ainuha, itu artinya semua rindu yang dimilikinya atas nama Satria akan segera terobati.

Tiada waktu yang lebih syahdu daripada menunggu. Menghitung detik demi detik berlalu, menit demi menit berganti, hari berubah hingga tepat pada waktu, hari dan minggu yang telah disepakati tiba. Menunggu orang yang dirindu berdiri di depan mata. Hingga udara memberikan aroma basah, melonggarkan bebatan rasa yang mendera. Nyatanya percik rindu itu tersambung bak konjungtivitis yang menyebabkan mata selalu berair.

"Kak Saba," panggilan Satria seolah menggema. Mengetuk ruang kalbu yang selama ini kosong tak berpenghuni hingga pantulan suara itu seolah terdengar tanpa henti.

Palet lukis yang ada di tangan Saba terhempas. Rindunya kini telah sampai diujung temu. Dan mendadak semua menjadi kelu, beku, laksana air yang panas yang dibawa ke kutub utara.

"Kak Saba, aku datang. Mengapa kakak diam seperti patung." Suara Satria memanggil Saba kembali. Nyata yang tergambar seolah ada di alam mimpi. Saba bahkan takut bergerak, takut bahagianya hanya bayangan semu, sebuah fatamorgana yang hilang terkoyak bersama kenyataan yang kembali ada di depan matanya.

"Satria, hai kapan kamu sampai?" Afdhal yang baru saja datang mendekat kemudian memeluk sepupunya. Bromance diantara keduanya memang tidak perlu diragukan lagi. Bagaimana jarak bukan sebuah arti saat semua komunikasi bisa mengatasinya dengan baik. "Kak, ini Satria kok kak Saba diam saja di situ. Come,"

"Ini mimpi, bukan?"

"Bukan Kak, ini aku, Satyamu."

"Satya__?"

"Iya___, Satya,"

"Satyaaaaa___________" lepas sudah bersama air mata yang meluruh membasahi pipi. Saba berlari mendekati Satria. Jika kemarin masih mengingat apa yang dipesan oleh sang poppa bahwa batas antara sepupu adalah tidak saling memeluk. Namun saat mata bertemu dan rindu berbaur memeluk adalah hal paling memungkinkan untuk menerjemahkan semua rasa dan sesak di dalam dada.

"Kak Saba apa kabar?" Satria melepaskan pelukan saat mereka telah puas berbisik rasa.

"Kamu lama sekali, aku tidak suka." Satria tertawa lepas. Kakaknya sedang merajuk dan menjelma menjadi 'mahasiswa taman kanak-kanak sukamanja'.

"Aku sekolah Kak."

"Pesawat, aku punya pesawat." Saba menarik tangan Satria ke galeri lukisnya. Beberapa lukisan tentang angkasa dan pesawat berjejer rapi di sana.

Satria tersenyum, sangat paham dengan apa yang dirasakan oleh sang kakak. Saba memang mulai menyukai angkasa sejak Satria memilih untuk mengambil sekolah penerbangan.

"Kak Saba yang lukis ini?" Satria hampir tidak percaya dengan apa yang kini dinikmati oleh matanya.

"Aku rindu kamu."

"Satya juga rindu Kak Saba." Satria tersenyum melihat bola mata Saba bergerak lucu.


"Bagus sekali Kak, Satya minta boleh?"

"Kamu mau?" tanya Saba gembira. Jika memungkinkan rasanya Satria ingin membawa semuanya. Menunjukkan kepada semua orang seberapa bertalentanya kakak yang sangat disayangi. "Bawa semua yang kamu ingin."

"Benar?"

Ruang rindu itu masih terbuka, ada celah yang enggan terisi hingga cerita demi cerita mengalir dengan begitu apiknya. Rangkaian tawa dan canda menjadi penghias bagaimana rindu itu berbicara tanpa harus mengulang kata yang sama berkali-kali.

"Mas, Mas merasa tidak, ada sesuatu yang lain diantara Saba dan Satria." Kehadiran Satria seolah seperti matahari yang berkolaborasi dengan angin. Menggeser mendung hingga dunia kelihatan berseri kembali.

"Dari kecil mereka memang telah dekat dan karena kepergian Satria mungkin itu hanya ungkapan rasa rindu Saba saja."

"Tapi sebagai ibu, aku merasakan perbedaan Saba, Mas."

"Maksud kamu?" tanya Hauzan tidak mengerti.

"Apa mungkin Saba telah mengenal tentang arti cinta antara laki-laki dan perempuan. Hingga memandang super hero yang selama ini dia rindukan sebagai seorang laki-laki seperti halnya wanita yang merindukan kekasihnya." Nuha menjelaskan dengan sangat gamblang untuk membuat suaminya mengerti.

"Maksud kamu, Saba mencintai Satria?"

"Adakah arti lain yang tersurat dari makna rangkaian kalimat yang telah aku sampaikan kepadamu Mas?"

"Sepertinya tidak, mereka dari kecil telah mengenal sebagai seorang saudara. Saudara yang harus saling melindungi dan mengasihi. Jangan selalu menggunakan perasaan, Sayang. Ada hal lain di dunia Saba yang terkadang sampai saat ini kita berdua bahkan tidak bisa mengerti apa yang dia maksudkan." Hauzan mencoba untuk berpikir dari sudut pandangnya sebagai seorang laki-laki.

"Tapi Mas__"

"Jangan terlalu parno seperti itu, ketakutanmu itu nanti bisa mengekang Saba yang membuat psikisnya tidak bisa stabil hingga dia bisa melakukan hal-hal yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Doakan yang terbaik untuk mereka, kita awasi dan selalu kita bimbing bagaimana sebaiknya mereka bersikap."

"Aku hanya khawatir saja Mas. Apa tidak sebaiknya kita bicarakan dengan Rena dan Azhar?" Hauzan menatap dalam-dalam manik mata istrinya.

"Sayang, coba jangan hanya memperhatikan interaksi antara Satria dan Saba. Perhatikan juga Satria dengan Afdhal, damage bromance mereka kelihatan sekali loh. Kalau Satria dengan Numa jelas berbeda, pertama karena Satria Saba seumuran. Kedua, karena Satria tahu Saba adalah kakaknya yang istimewa. Dia pasti paham Sayang, mengapa harus menyayangi Saba dan sayang seperti apa yang seharusnya dipersembahkan. Sudahlah, jangan sedikit-sedikit takut. Saba akan tidak nyaman nantinya. Kita perhatikan saja sekarang jika nanti mungkin memang kekhawatiranmu itu benar, baru kita bicarakan bersama Rena dan Azhar."

"Aku sudah ingatkan mas Hauzan loh, jangan sampai kita terlambat mengetahui dan mereka sudah jauh melangkah. Saba kelihatan bahagia sekali dengan kepulangan Satria kali ini."

Hauzan tersenyum kemudian menarik Ainuha ke pelukannya. Pengalaman hidup cukup membuatnya mengerti dan memahami bagaimana harus bersikap dengan putrinya yang istimewa. Satu kewajaran jika putrinya merasa sangat bahagia karena apa yang selama ini dirindu, selama ini ingin sekali dilakukan, selama ini dinanti-nanti telah tiba. Satria memang satu-satunya jawaban untuk menutup semua ingin yang Saba harapkan.

Bukan hanya dengan mengunjungi ke rumah Saba, Satria bahkan mengajak ketiga kakaknya dan juga adik perempuannya untuk piknik bersama. Menikmati deburan ombak sambil menggelar alas dan mengeluarkan perbekalan yang mereka bawa. Rasanya sudah sangat lama tidak melakukan kegiatan seperti ini. Dan mereka begitu menikmatinya. Meski sudah remaja bahkan telah menginjak dewasa tidak akan pernah ada yang bisa merubah kebahagiaan atas kebersamaan bersaudara seperti ini.

"Kak, minggu depan aku harus balik ke kampus. Kakak jangan bersedih lagi. Aku pasti akan pulang." Satria berbicara kepada Saba saat saudara yang lainnya memilih untuk bermain ombak di tepi pantai.

"Satya, akan lama lagi?" Satria menggeleng pelan. Menggenggam kedua tangan Saba lalu menjawabnya.

"Setelah aku bisa menerbangkan pesawat sendiri, aku pasti akan mengajak kak Saba untuk pergi keliling dunia. Tunggu aku disini ya Kak." Saba mengangguk.

"Janji?" tanya Satria.

Saba kembali mengangguk namun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Mengangkat jari kelingkingnya untuk ditawarkan kepada Satria agar laki-laki itu percaya akan janjinya. Hingga kedua kelingking mereka bertaut barulah Saba berucap. "Aku akan tunggu Satya di rumah. Jangan lama kembali."

Sebahagia itu? Iya hanya sesederhana itu hingga bisa membuat senyum utuh Saba terlihat dengan begitu manis. Orang mungkin akan menganggap hal itu yang aneh. Dekat dengan orang seperti Saba, membuat Satria merasakan bagaimana caranya untuk bisa selalu bersyukur atas kesempurnaan yang telah Allah berikan kepadanya.

Dari dulu memang tidak pernah memperdulikan bagaimana orang lain melihat hubungan mereka. Karena untuk Satria memperhatikan dan membuat bahagia Sabanya jauh lebih penting dibandingkan harus mendengar apa yang orang lain bicarakan tentang mereka.

Hingga surya perlahan menunjukkan cahaya untuk undur diri. Siluet jingga yang mengisyaratkan sebentar lagi dia pun harus merebah ke peraduan sang dewi malam. Bersama itu pula Satria mengajak Saba dan ketiga saudaranya yang lain untuk segera meninggalkan pantai.

Ada janji yang akan selalu dia pegang atas harapan wanita yang begitu dia sayangi. Sebanyak lengkungan senyum yang hari ini telah tercipta bersama, sebanyak rekam jejak yang telah diukir berdua.

🌻🌻

to be continued__

Jadikan Alqur'an sebagai bacaan utama

Makne Hawwaiz
Blitar, 17 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top