JALAN KESEPULUH: KUCING MANIS

Di malam hari, di tengah hutan. Ada tiga tenda berdiri tegak yang di dalamnya ada tiga gadis. Mereka adalah anggota party Likyter. Alice dan Prila tidur, di tenda kiri. Lucid duduk sambil membaca buku, di tenda tengah. Sedangkan tenda kanan kosong tanpa disinggahi oleh seseorang, hanya ada perlengkapan tidur saja.

Alice memakai piyama kemeja biru muda berlengan panjang dan celananya panjang sehingga menutupi keseluruhan kemulusan lengan dan kaki, namun bagian lehernya cukup terbuka ditambah dadanya besar sehingga belahan dadanya cukup terekspos dengan jelas. Prila memakai kaos putih berlengan pendek dan celana hitam pendek yang membuat kemulusan lengan dan kakinya terkespos jelas, tapi bagian lehernya cukup ketat dan tertutup sehingga tidak memperlihatkan belahan dada sedikit pun walau sudah didorong oleh cukup besar dadanya. Mereka awalnya memakai selimut bersama yang menutupi penampilan mereka, tapi karena Prila tidak bisa diam sehingga selimut tersingkap membuat tubuh mereka tidak tertutup lagi oleh selimut.

Berbeda dengan Alice dan Prila yang memakai piyama yang menutupi satu poin keseksian namun membuka satu poin keseksian juga. Lucid malah memberikan dua poin keseksian itu, bahkan menjadi tiga poin dengan memperlihatkan perutnya. Dia tidak memakai piyama, tapi hanya memakai pakaian dalam berwarna hitam.

Hanya dengan lampu lentera kecil yang cahayanya tidak terlalu terang, Lucid membaca buku dengan serius seolah tidak terganggu oleh kurang jelasnya setiap kata karena kurangnya pencahayaan. Dia terlihat sangat menikmati membaca buku itu, terbukti dari kefokusan dan gerakkan bola matanya yang memperhatikan setiap katanya.

Setelah beberapa saat, Lucid pun memutuskan untuk menutup bukunya. Tapi, bukan berarti dia hendak untuk tidur, melainkan pergi ke luar mencari tempat yang lebih nyaman untuk tempat membaca. Dia keluar dari tenda sambil membawa buku bacaannya di tangan kanan.

Saat di luar, Lucid melihat sekitarnya untuk mencari pohon yang enak menjadi tempat sandaran kecuali tempat yang sore tadi ditempatinya. Namun pencariannya terhenti setelah melihat sosok laki-laki yang sedang mengayunkan pedang secara vertikal secara terus menerus dan kaki kanannya dilangkahnya ke depan lalu mundur lagi ke tempat semula. Laki-laki itu adalah Likyter, dia sedang berlatih mengayunkan pedang.

Lucid pun berjalan menghampiri Likyter, tapi bukan untuk menghampirinya melainkan duduk bersandar di pohon dekat tempat latihan Likyter. Saat Lucid sudah duduk dan membaca kembali bukunya, Likyter menghentikan latihannya dan melihat ke belakang.

"Ah, Lucid, ke-" Likyter langsung berbalik badan setelah melihat penampilan Lucid. "Kenapa kau tidak pakai baju?!"

"Memangnya kenapa? Apa aku harus memakai gaunku di saat istirahat?"

"Tentu saja tidak!" balas Likyter yang masih membelakangi Lucid. "Gunakan piyama atau pakaian biasa seperti kaos dan celana longgar. Memangnya kau tidak kedinginan hanya memakai pakaian dalam?"

"Aku bukan manusia, jadi aku tidak akan merasakan yang namanya dingin."

"Tapi, tetap saja aku harap kau memakai pakaian saat tidur! Kau kan perempuan, akan berbahaya kalau kau keluar dengan penampilan begitu, bisa-bisa mengundang bahaya."

"Manusia berjenis laki-laki dari ras mana pun tidak akan terangsang denganku walau telanjang bulat, kecuali spesiesku atau yang sepertimu," balas santai Lucid yang masih membaca buku. "Kalau kau ingin memberikan ceramah, sebaiknya berikan kepada Prila yang memakai pakaian pendek di saat tidur, terlebih tidak pakai selimut."

"Begitu... Oh iya, kenapa kau tidak tidur?"

Dari pengetahuan Lucid, monster-monster di hutan ini tidak banyak yang aktif di malam hari. Kalau pun ada, mereka kebanyakan berada di gua-gua dan sekitarnya. Itulah kenapa hanya Likyter yang tetap terjaga untuk melakukan penjagaan. Selain alasan itu, Likyter sendiri yang memang ingin menjadi penjaga untuk memenuhi salah satu keinginan hasrat petualangnya.

"Aku memang tidak akan tidur lama kalau Mana-ku tidak banyak terkuras."

"Jadi, lama tidurmu ditentukan dengan banyaknya Mana yang keluar?"

"Begitulah."

"Oh iya, sedari tadi aku melihatmu selalu saja membaca buku. Memangya kau tidak merasa bosan?"

"Sudah kubilang, aku bukan manusia. Jadi, buang pengetahuanmu soal manusia bila berhadapan denganku. Aku tidak akan merasa bosan, sedih, marah, dan apapun seperti manusia lainnya."

"Tapi waktu itu kau terlihat kesal karena aku selalu datang menemuimu."

"Itu..." Lucid pun terdiam karena tidak bisa memberikan jawaban yang pas.

"Itu namanya perasaan, bukan hal yang hanya dimiliki manusia. Semua makhluk hidup memiliki perasaan, walau itu bukan manusia. Misal saja Elf, mereka bukan manusia tapi masih bisa merasakan perasaan kesal dan lainnya. Begitulah yang aku ketahui dari guruku."

"Perasaan... Aku baca di buku, itu adalah suatu kondisi seseorang yang dirasakan oleh hati. Tapi, aku tidak punya hati. Jadi, kurasa itu bukanlah perasaan."

"Hmm... aku bingung harus menjelaskannya seperti apa agar kau mengerti. Yah, sepertinya nanti pun kau akan mengerti. Dulu, aku juga memiliki beberapa hal yang tidak dimengerti. Tapi seiring waktu, perlahan semua yang tidak kumengerti terjawab dengan sendirinya."

"Kau seperti orang tua yang menceramahi anaknya saja."

"Hahahah... Oh iya, Lucid. Bisakah kau melatihku agar sekuat dirimu?"

"Kenapa tiba-tiba bertanya hal itu?"

"Sebelumnya aku pernah bertemu dengan petualang yang kuat sekali, sampai-sampai aku dikalahkan dengan mudahnya. Maka dari itu, aku memintamu untuk melatihku agar bertambah kuat."

"Jadi, tujuanmu ingin bertambah kuat untuk membalaskan kekalahanmu itu?"

"Bukan. Tapi, aku ingin melindungi teman-temanku. Setelah bertemu dengan petualang itu, aku sadar kalau aku masih lemah. Aku belum bisa melindungi siapapun, bahkan untuk menolong siapapun."

"Tujuan yang bagus. Baiklah, aku akan melatihmu. Kau harus mengikuti semua instruksi dariku tanpa banyak bertanya."

"Terima kasih."

"Kalau begitu, simpan pedangmu dan lakukan pemanasan!" perintah Lucid sambil menutup bukunya.

"Siap!"

***

Keesokan hari, di pagi hari. Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, tapi sebelum itu mereka akan sarapan dulu. Sambil menunggu sarapan buatan Alice jadi, Likyter berlatih kemampuan menembak dengan dibantu Prila, di tempat yang cukup jauh dari tenda. Dia disuruh untuk menjatuhkan beberapa botol plastik pendek yang diletakkan di beberapa tempat, dengan melemparkan batu.

"Sebelum kau menggunakan pistol, kau harus melatih kemampuan membidik sasaran. Jadi, sekarang lempar batu yang kau pegang ke botol-botol itu," ujar Prila. "Pertama-tama, tembak dua botol yang posisinya lurus di depanmu!"

"Siap!"

Likyter pun melemparkan batu seukuran genggaman tangan ke botol yang ada di cukup dekat di depannya. Sayangnya tidak kena, tepatnya hampir kena karena melenceng ke samping. Kemudian, Likyter mengambil batu yang disediakan di bawah kakinya dan melemparkan kembali ke botol itu. Kali ini berhasil mengenai badan botol sehingga terlempar cukup jauh.

Selanjutnya, Likyter melemparkan batu ke botol yang lebih jauh dari botol sebelumnya. Lagi-lagi tidak kena, tepatnya batu itu melewati botol itu karena dia melemparnya terlalu kuat. Kemudian, Likyter mencoba lagi. Tetapi kali ini malah batu itu tidak sampai ke tempat botol itu, karena terlalu lemah lemparannya. Di percobaan ketiga, Likyter berhasil mengenainya, tepatnya menyenggol bagian atas botol sehingga membuatnya jatuh ke belakang.

"Berhenti!" perintah Prila. "Likyter, jangan asal lempar saja. Kau harus bisa mengendalikan kekuatan melempar sehingga batu itu mengenai target. Jangan terlalu kuat apabila target dekat, jangan terlalu lemah apabila target jauh. Ingat itu!"

"Baik!"

Prila maju dan kembali membedirikan kedua botol itu. Kemudian, dia kembali ke samping Likyter. "Lakukan lagi. Jangan terburu-buru, bidik dengan baik, dan keluarkan kekuatan sesuai kebutuhan."

Likyter menutup sebelah matanya untuk membidik botol pertama, lalu mengangkat tangan kanan ke depan untuk memposisikan kepalan tangan yang sedang menggenggam batu agar searah dengan bidikkannya. Setelah merasa pas, Likyter melemparkan batu dengan tidak terlalu kuat. Berhasil mengenai sehingga botol terlempar cukup jauh.

Selanjutnya, Likyter membidik baik-baik botol ke dua dengan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya. Setelah merasa pas, Likyter melemparkan batu dengan cukup kuat. Tapi sayangnya tidak berhasil, karena batunya terlempar tidak lurus dan terlalu ke kiri. Kembali dia membidik dan langsung dilempar setelah pas, tetapi gagal karena kurang ke kanan. Di percobaan ketiga, tidak seperti sebelumnya, Likyter masih gagal dengan alasan terlalu ke kanan.

"Kurasa kita sudahi dulu hari ini," ucap Prila. "Alice tadi mengirim pesan kalau sarapan sudah siap."

"Baiklah..." jawab Likyter. Lalu, dia melakukan peregangan otot dan dilanjutkan dengan pergerakan seluruh tubuhnya secara sembarang.

Melihat itu, Prila kebingungan dengan tingkah aneh Likyter. "Kau sedang apa? Bergoyang?"

"Aku sedang melakukan pelemasan seluruh tubuh. Lucid bilang, kalau aku tidak sedang melakukan apapun maka aku harus melakukan ini agar seluruh tubuhku tidak kaku."

"Eh, kenapa tiba-tiba Lucid mengatakan itu?"

"Aku meminta dia untuk melatihku agar bertambah kuat. Kau tahu kan, kalau Lucid memiliki kekuatan yang besar. Bahkan dia bisa menghempaskan Pimo sangat jauh hanya dengan tangan kosong."

"Kau benar-benar serius ingin bertambah kuat."

"Tentu saja. Aku ingin bertambah kuat agar bisa lebih berguna dan melindungi orang yang kusayang."

"Hmm... baguslah. Kau seperti seorang petualang saja. Ah, itu bukan pujian, jadi jangan merasa senang!" puji Prila dengan setengah tsundere. "Sudahlah, ayo cepat kita kembali! Alice pasti sudah menunggu."

"Iya-iya."

"TOLONGGGG!"

Saat mereka hendak pergi menuju tenda, tiba-tiba terdengar suara teriakan minta tolong. Hal itu membuat mereka terpaksa berhenti, lalu berbalik ke belakang, ke arah yang mereka kira suara itu berasal.

Tanpa basa-basi, Likyter langsung berlari ke sana dan menghentikan gerakkan konyol yang dikiranya adalah pelemasan tubuh. Melihat itu, Prila langsung memanggilnya agar berhenti, tapi sayangnya tidak didengar karena Likyter sudah jauh. Setelah mengumpat kesal sebentar, Prila pun memutuskan menyusul Likyter.

Setelah cukup lama berlari, akhirnya Likyter sampai di sebuah tempat di mana ada lima Pimo sedang mengepung seorang gadis atau tepatnya gadis kucing. Rambutnya merah muda panjang dengan telinga kucing terlihat di atas kepalanya, memakai kaos putih lengan pendek, rok biru gelap pendek memperlihatkan kemulusan kakinya, dan sebuah tongkat kayu di tangan kanannya. Gadis kucing itu terduduk bersandar di pohon sambil mengayunkan tongkatnya dengan cepat agar kelima Pimo itu tidak mendekat dan kaki kanan terluka cukup parah.

"Pergi! Pergi!" teriak gadis kucing itu yang terus-terussan mengayunkan tongkatnya.

Likyter yang melihat itu langsung saja menyerang salah satu Pimo yang meloncat ke arah gadis kucing itu dari depan, di saat dia sedang fokus mengusir Pimo yang ada di sebelah kirinya. Dengan satu tebasan horizontal, Pimo itu mendapatkan luka besar dan terhempas ke samping lalu menabrak Pimo yang diusir gadis kucing itu.

Kemudian, Likyter berdiri di depan gadis kucing itu dengan menghadap ke ketiga Pimo yang tersisa sambil mengunus pedangnya. Melihat itu, gadis kucing itu menghentikan ayunan tongkatnya lalu memperhatikan baik-baik punggung penyelamatnya dengan perasaan senang.

Salah satu Pimo meloncat untuk menyerang Likyter. Dengan cepat Likyter mengayunkan pedangnya untuk menyerang Pimo itu. Bersamaan dengan itu, satu Pimo hendak meloncat untuk menyerang Likyter. Tapi, Pimo itu langsung ditembak oleh Prila sampai membuatnya mati seketika dan Likyter berhasil menebas Pimo yang menyerangnya.

Melihat ketiga temannya mati, kedua Pimo yang tersisa langsung melarikan diri. Likyter langsung menyimpan pedangnya ke sarung sambil bernapas lega. Kemudian, dia mendekati gadis kucing itu dan jongkok di depan kaki kanannya yang terluka. Begitu juga dengan Prila yang mengikutinya dari belakang.

"Prila, apa kau punya obat merah dan kain?" tanya Likyter.

"Biar aku saja yang membalut lukanya," ujar Prila mengathui maksud Likyter.

"Eh, ah... silahkan..." Likyter pun berdiri dan menjauh untuk mempersilahkan Prila merawat gadis kucing itu.

Sebenarnya Prila ada perasaan was-was dengan gadis kucing yang bisa dibilang orang asing. Bisa saja dia orang jahat atau kejadian ini adalah jebakan petualang jahat atau bandit agar memancing orang, itulah kesimpulan yang didapat dari beberapa pengalamannya. Tapi, pemikirannya itu bisa dikalahkan oleh perasaan simpati sebagai perempuan. Prila tidak mau kalau gadis kucing ini nantinya ternodai oleh Likyter seperti Alice dengan memegang kaki mulusnya dan dilanjutkan ke arah yang berbahaya.

Prila pun mengeluarkan perban, air minum di botol plastik, beberapa kapas, obat merah, dan handuk kecil. Pertama, dia membersihkan darah dan beberapa tanah yang menempel pada luka gadis kucing itu. Selanjutnya, sekitar lukanya dikeringkan dengan handuk kecil dengan cara menepuk-nepuk perlahan. Setelah kering, Prila meneteskan beberapa obat merah ke kapas. Lalu, ditempelkan ke luka. Terakhir, kain yang sudah dipotong panjang dibalutkan agar kapasnya tidak lepas.

"Terima kasih," ucap gadis kucing itu setelah melihat kakinya sudah dibalut perban.

Prila tidak mengatakan apapun atau membalas 'sama-sama', melainkan tetap fokus membereskan peralatan medis. Melihat itu, Likyter pun maju untuk berbicara dengan gadis kucing itu agar suasana tidak canggung.

"Apa masih terasa sakit?" tanya Likyter.

"Iya, sudah ti-"

*krukkk

Berkat suara perutnya yang tiba-tiba berbunyi, gadis kucing itu tidak menyelesaikan jawabannya dan langsung menundukkan kepala karena malu. Likyter pun langsung memasang senyuman sebagai respon kejadian memalukan itu.

"Ah, iya, kebetulan kita buat sarapan. Kalau mau, bagaimana kalau kau i- Awwww!"

Prila menarik daun telinga Likyter dengan keras, lalu membawanya menjauh dari gadis kucing itu. Setelah terasa cukup jauh, Prila melepaskan daun telinga Likyter. Sebagai korban, Likyter langsung mengeluarkan kekesalannya sambil mengusap daun telinganya yang sakit.

"Kenapa kau menjewerku?!"

"Kau ini... Apa maksudmu mengajak dia ikut sarapan dengan kita?" tanya Prila dengan nada kesal, namun pelan.

"Dia kan lapar, jadi aku ajak dia makan bersama."

"Dia itu orang asing! Aku memaklumi kalau kau menolongnya dan ingin merawat lukanya. Tapi mengajaknya makan? Apa karena dia terlihat manis, cantik, dan seksi? Dasar genit!"

"Bukan begitu!" bantah Likyter cukup keras. "Aku tidak tega saja, dia kelaparan dan kebetulan Alice baru selesai membuat sarapan. Jadi, aku ajak saja dia."

"Hahhh... Apa kau tidak memikirkan kemungkinan dia seorang penjahat? Pencuri? Pembunuh? Orang yang berbahaya? Kalau ternyata salah satu itu benar, atau bahkan keempat kemungkinan itu, akan berbahaya mengajak dia bersama kita."

"Ka-Kau terlalu berlebihan berpikirnya... Lagipula, aku hanya ingin menolongnya saja. Memangnya salah?"

Prila tidak melontarkan protes atau kata pembantah kepada Likyter. Bukan karena kehabisan kata-kata, tapi entah kenapa dia tidak ingin mengeluarkan kata-kata bantahan dan protes lagi. Jadi, dia pun mengeluarkan napas panjang sebagai tanda menyerah.

"Baiklah... kalau begitu cepat bantu dia berdiri! Lalu, bawa dia!"

"Terima kasih, Prila."

Likyter pun berbalik dan pergi menuju tempat gadis kucing itu yang masih terduduk diam. Sedangkan Prila masih terdiam sambil melihat Likyter yang pergi. Dapat dilihat, Likyter mengulurkan tangannya sambil memasang senyuman. Lalu, gadis kucing itu dengan sedikit ragu-ragu atau malu-malu menerima uluran tangan Likyter.

Tiba-tiba sebuah senyuman kecil terukir di wajah Prila. "Karena ingin menolong saja, ya... Dasar aneh," gumam Prila dengan perasaan kagum. "Tapi, apa kau masih bisa mempertahankan perinsip itu setelah mengetahui lebih jauh tentang petualang..."
###############################

Maaf kepada para pembaca setia ceritaku kalau belakangan ini aku jarang update cerita. Biasa, kesibukan dunia. Selain itu, kebetulan kran otakku mampet jadi airnya susah mengalir. :v :v

Walau begitu, semoga para pembaca tetap setia membaca ceriraku. :)

Sekian, terima kasih. ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top