JALAN KEDUA BELAS: PESIMIS
"Jadi... kalian menerima tawaran anak kecil itu?" tanya Prila.
Likyter dan Alice sekarang sedang posisi seiza di hadapan Prila. Sekarang mereka semua sedang di kamar Likyter, tepatnya di kamar penginapan tempat kamar Likyter. Karena menurut mereka tempat yang bagus untuk berkumpul adalah kamar yang ditempati laki-laki, sebab tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kamar laki-laki. Begitulah menurut para perempuan.
Mereka berdua menceritakan soal ingin membantu anak kecil yang meminta ditolong adiknya. Setelah mendengar itu, Prila tiba-tiba menyuruh mereka untuk duduk seiza dengan nada kesal.
"Kalian tahu apa yang sudah kalian lakukan?" tanya Prila dengan nada menekan.
"I-Itu... Menolong anak kecil?" tanya Likyter, dengan nada ketakutan.
"Kalian sudah melakukan hal yang sangat berbahaya!" bentak Prila.
Likyter semakin menegang, dan berakhir mengalihkan pandangannya dengan gemetar ketakutan. Sedangkan Alice, dia perlahan memasang wajah ingin menangis.
"A-A-Aku kan ha-hanya ingin menolong anak kecil itu... hiks..." ujar Alice, sudah mau menangis.
"A..."
Prila yang hendak memberikan jawaban dengan suara lantang, langsung terhenti akibat ekpresi sedih dari Alice. Dia pun memutuskan untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan menceramahi mereka.
"Dengar. Kita tidak tahu seperti apa bandit yang menculik adik anak kecil itu. Apakah mereka bandit kelas teri atau kakap. Apa mereka memiliki anggota yang banyak sekali atau hanya sekitar sepuluh. Lalu, kekuatan bertarung kita tidaklah terlalu kuat. Terlebih, mengingat Likyter adalah Petualang pemula. Dia pasti kesulitan menghadapi satu bandit saja, apalagi kalau bandit-bandit itu memiliki pengalaman bertarung yang banyak."
"I-Itu... Ma...Maafkan aku, Prila... Huaaaa!" ujar Alice, diakhiri tangisan yang sudah tidak bisa dibendung.
Saat Alice menangis seperti itu. Prila pun panik dan tidak mengatakan apapun lagi.
"Sudah-sudah, Lise," ujar Kano kepada Alice. "Kamu tidak salah, kamu tidak salah," lanjutnya sambil memeluk Alice dan mengusap-ngusap kepala Alice dengan lembut.
"Hiks... terima kasih, Kano..."
"Sudahlah, Ila. Lise kan ingin menolong. Kamu tidak perlu memarahinya begitu."
"Argh... Maafkan aku, Alice. Aku malah memarahimu..."
"A-Aku diabaikan..." gumam Likyter.
Setelah beberapa saat, Alice pun bisa menenangkan dirinya, dibantu Kano. Mereka berdua sudah duduk di pinggir kasur. Prila masih berdiri, tapi kali ini dia berdiri di depan mereka berdua dengan kondisi tenang. Untuk Lucid, dia masih duduk di pojok sambil membaca buku. Sedangkan Likyter, sialnya masih posisi seiza.
"Maaf, Prila... Aku tiba-tiba menangis tadi..." ujar Alice.
"Yah... aku juga salah. Langsung memerahi kalian. Padahal kalian bermaksud baik," balas Prila. "Ah, Likyter. Kamu boleh berdiri sekarang."
"Akhirnya aku tidak diabaikan..." syukur Likyter, sambil berdiri.
"Kalau begitu, sekarang kita pikirkan bagaimana caranya membantu anak kecil itu," ujar Kano. "Kita tidak mungkin menolaknya, kan."
"Kano, kamu baik sekali. Terima kasih!" ujar Alice, kembali memeluk Kano.
Kano pun mengusap-ngusap kembali kepala Alice dengan lembut. Sedangkan Prila dan Likyter yang melihat adegan itu pun hanya bisa terheran-heran dengan kalimat, 'sebenarnya siapa yang kucing di sini?'.
"Jadi, Prila. Apa kamu punya rencananya?" tanya Likyter, tidak mau lama-lama menikmati pemandangan bagus Alice yang terlihat manis karena bersikap manja.
"Karena aku tidak tahu tentang detail bandit yang dimaksud anak kecil itu. Aku jadi tidak bisa memikirkan harus bagaimana... Oh iya, di mana anak kecil itu?"
"Katanya dia kembali ke rumahnya untuk membawa beberapa baju ganti adiknya. Katanya dia mau ikut juga."
"Hahh... semakin sulit dipikirkan kalau begitu... Hei, Lucid. Apa kamu punya ide?"
"Bagaimana kalau kalian cari tahu dulu tentang bandit itu. Baru memikirkan rencananya," balas Lucid, masih fokus membaca.
"Benar juga. Kalau begitu, ayo kita tanya anak kecil itu dan cari info tentang bandit itu."
"Ah, bagaimana kalau Ila, Lise, dan Luci saja yang mencari informasi itu?" ujar Kano.
"Eh, kenapa kamu tidak ikut juga?" tanya Alice, yang sudah tidak memeluk Kano.
"Aku akan melatih Kiti agar bisa mendapatkan pengalaman bertarung melawan manusia bersenjata!"
"Hm, boleh juga. Kalau begitu, ayo, Lucid, Alice!"
Mereka bertiga pun keluar dari kamar untuk mencari informasi tentang bandit yang dimaksud anak kecil itu. Sedangkan Kano dan Likyter masih berada di kamar.
"Jadi, Kano. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Likyter.
"Apa Kiti punya senjata yang tidak tajam. Mungkin semacam pedang kayu?"
"Tidak."
"Kalau begitu, sekarang Kiti beli dulu pedang kayu yang pas seperti pedangmu. Setelah itu, datang ke halaman belakang penginapan ini. Di sana ada tempat yang bagus untuk berlatih."
"Oke."
Likyter pun langsung berjalan menuju toko senjata. Dia memilih untuk ke toko dibanding membeli di aplikasi ponselnya, agar bisa memeriksa secara langsung sebelum membelinya.
Karena sebelumnya dia membeli bahan makanan bersama Alice, Likyter sudah tahu di mana letak toko senjata di Desa ini. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat penginapan, butuh sekitar lima menit kalau berjalan kaki. Karena Likyter berjalan cepat, hanya dua menit dia sudah sampai.
Saat sudah di dalam, Likyter langsung menemui pekerja di sana dan menanyakan letak senjata kayu. Menurut pekerjanya, tempat senjata-senjata untuk berlatih ada di paling dalam. Langsung saja Likyter ke sana tanpa basa-basi, dan tentu saja berterima kasih dulu kepada pekerja itu.
Namun, sebelum sampai ke ruangan terdalam. Likyter menghentikan langkahnya karena ada seseorang berdiri di dekat pintu khusus karyawan, yang membuatnya tertarik. Kalau dari segi penampilan, laki-laki itu terlihat biasa-biasa saja. Tapi, justru karena biasa itulah yang membuat Likyter tertarik. Mengingat tempat ini adalah tempat jualan senjata.
"Hei, bukankah itu tempat yang tidak boleh dimasuki?"
Spontan laki-laki itu berbalik dan melihat ke arah Likyter. Penampilannya benar-benar biasa sekali, bahkan tidak terasa aura seorang Petualangnya. Jadi, kenapa ada orang biasa di sini, itulah yang dipikirkan Likyter.
"Itu... Aku karyawan baru. Aku baru saja datang," jawabnya.
Dengan jawaban singkat itu, kebingungan Likyter langsung terjawab. Dia tidak terpikirkan dengan kemungkinan itu. Langsung saja dia meminta maaf.
"Begitu... Maaf karena sudah mengganggumu."
"Ti-Tidak apa-apa. Kalau begitu, aku permisi."
Laki-laki itu pun membuka pintu khusus karyawan. Karena Likyter tidak mau berlama-lama, jadi dia langsung pergi saja tanpa mengetahui kalau laki-laki itu tiba-tiba hilang setelah memasuki ruangan karyawan itu.
Setelah sampai di tempatnya, Likyter dapat melihat banyak sekali senjata-senjata berbahan kayu dan besi yang tidak ditajamkan. Mulai dari pedang, kapak, tongkat, dan senjata jarak dekat lainnya. Bahkan, ada juga senjata yang bisa dilempar seperti kunai atau bola kayu.
Likyter langsung ke bagian pedang. Dapat dilihat banyak berbagai jenis pedang terpajang di dinding, etalase, atau dalam tong kayu. Karena Likyter masih sedikit kesulitan dengan pedang besar, dia memutuskan untuk memilih pedang sedang berbahan kayu dan besi.
Likyter sudah memilih dua pedang, setelah diperiksa kebagusannya, dicoba dengan diayun, dan dilihat harganya. Pedang kayu yang bisa disatukan, sama persis seperti pedang miliknya, walau bentuknya beda. Kemudian, dia langsung saja menuju kasir.
Setelah dibayar, Likyter langsung berlari menuju halaman belakang penginapan. Dia harus masuk dulu ke penginapan, lalu melewati pintu belakang. Sesampai di halaman belakang, dapat dilihat sebuah hamparan rumput yang luas sekali dengan pagar cukup tinggi sebagai pembatas membentuk lingkaran besar. Bahkan ada beberapa orang-orang bersenjata sedang berlatih juga.
"Kiti! Di sini!"
Mendengar panggilan itu, Likyter langsung tertuju ke arah sosok gadis kucing yang berdiri jauh di depan. Kemudian, dengan cepat dia berlari ke arah gadis kucing itu dengan perasaan panik.
"Kano, jangan panggil aku begitu dengan keras!" protes Likyter. "Itu memalukan!"
"Eh, kenapa harus malu? Namamu kan Kiti. Memangnya aku harus berteriak di sini saja? Kalau begitu, yang ada semuanya jadi melihat ke arahku dan jadi salah paham."
"Kalau kamu menyebut namaku dengan benar, walau teriak sampai terdengar seratus meter itu tidak masalah..."
"Sudahlah. Sekarang yang penting apakah kamu sudah membeli senjatanya?"
"Sudah."
Likyter pun mengeluarkan pedang kayu yang sudah dibelinya dari Bag.
"Ohhh, dua pedang. Tunggu, memangnya kamu pengguna dua pedang?"
"Hmm... bisa saja. Kalau aku bisa mengayunkan dengan baik dua pedang beneran. Aku harus melatih kekuatan tangan kiriku."
"Begitu. Jadi sebenarnya kamu itu pengguna dua pedang. Ah, tapi saranku coba dulu satu pedang. Karena kalau dua, maka kamu harus membagi konsetrasimu dengan baik untuk mengayunkan tangan kiri dan kanan secara irama."
"Baiklah."
Likyter pun menyimpan salah satu pedang kayunya ke dalam Bag.
"Oh iya, Kiti. Apa kamu benar-benar belum pernah bertarung dengan seseorang yang menggunakan senjata? Walau hanya latihan."
"Kalau latihan, pernah. Tapi, kebanyakan aku berlatih sendiri. Seperti mengayunkan pedang, memukul pohon, atau menubrukkan pedang dengan posisi seperti menahan serangan ke pohon."
"Padahal lebih bagus kalau kamu berlatih dengan orang lain. Soalnya pertarungan itu bukan hanya harus kuat, tapi pengalaman dan pengamatan terhadap lawan juga dibutuhkan," ujar Kano. "Nah, sekarang aku akan melatihmu agar mendapatkan pengalaman yang bisa membantu dalam pertarungan dan mengasah pengamatan lawan agar bisa mengatasi seperti apa cara yang harus dilakukan saat bertarung."
Kano pun mengeluarkan tongkat kayunya dari Bag miliknya. Kemudian, dia menjauh dari Likyter dan memasang kuda-kuda. Melihat itu, Likyter pun ikutan memasang kuda-kuda untuk memulai pertarungan, dengan memegang pedang kayunya menggunakan dua tangan.
Kano langsung maju. Setelah sampai di depan Likyter, dia mengayunkan tongkatnya agar memukul kepala Likyter secara vertikal. Likyter langsung mengangkat pedangnya dengan posisi horizontal agar bisa menahan serangan itu. Namun, sebelum tongkat itu berhasil mengenai pedang kayu Likyter, Kano sudah mengayunkan bagian bawahnya agar memukul perut Likyter.
"Nah, itulah kenapa kamu harus mengamati musuh. Amati jenis senjata, cari kelemahan, apa kelebihannya, dan info lainnya dari musuh yang harus kamu dapatkan saat bertarung," ujar Kano. "Aku menggunakan tongkat kayu yang cukup panjang, maka serangan seperti itu bisa dilakukan. Jadi, sekarang kamu harus memikirkan cara mengatasi serangan seperti itu."
"Ba-Baik..." balas Likyter yang sedari tadi memegang perutnya.
Likyter pun mundur beberapa langkah dan memasang kembali kuda-kudanya. Kano kembali melakukan serangan yang sama dan Likyter melakukan hal yang sama. Namun, kali ini karena dia belajar dari kesalahan, Likyter langsung saja mengayunkan pedangnya ke bawah untuk menangkis serangan bawah Kano. Tapi, sebelum berhasil terkena, Kano mengayunkan bagian atasnya. Likyter terkena serangan pukulan tepat di kepala.
"Aduh..." erang Likyter, sambil mengusap kepalanya.
"Kiti, musuh pun akan melakukan pengamatan. Jadi, dia pun akan memperkirakan kalau musuhnya akan memikirkan cara mengatasi serangan sebelumnya. Maka dari itu, dia pun akan memikirkan serangan yang lain."
"A-Aku mengerti..."
"Kalau begitu, aku mulai lagi!"
Kano mengayunkan tongkatnya secara horizontal kali ini. Likyter langsung mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan itu. Tapi, sebelum terkena pedang Likyter, Kano menarik kembali dan mengayunkan sisi lainnya untuk menyerang perut Likyter. Kali ini, Likyter benar-benar belajar dari kesalahan. Dia berhasil menangkis serangan itu, sehingga Kano harus sedikit terpental dan mundur beberapa langkah.
"Hm, sepertinya sekarang kamu paham," ujar Kano. "Kalau begitu, ayo kita lakukan pertarungan. Jangan menahan diri."
"Oke. Maju ke sini!"
Sementara itu, Alice dan Prila berjalan-jalan untuk mencari informasi tentang bandit yang dimaksud anak kecil yang meminta adiknya untuk dibebaskan.
"Oh, iya, di mana Lucid?" tanya Alice.
"Ah, benar juga. Bukankah tadi dia bersama kita?"
"Apa dia memisahkan diri karena tidak mau bersama kita?"
"Bisa saja. Mungkin saja dia sekarang menuju tempat Likyter berlatih. Dia kan selalu ingin dekat dengan Likyter."
"Ja-Jangan berpikiran begitu, Prila. Mungkin saja dia memisahkan diri dan mencari sendiri tentang info itu."
"Alice, nama bandit itu pun kita belum tahu. Bagaimana dia bisa mencari info tentang bandit itu? Bahkan kita mau ke tempat anak kecil itu dulu untuk menanyai namanya, itu pun kalau dia tahu."
"Be-Benar juga..."
"Sudahlah, jangan gelisah begitu. Mungkin saja dia hanya mencari tempat untuk membaca bukunya."
"Be-Benar juga... Hei, Prila. Apa aku bisa berteman dengan Lucid? Kelihatannya dia tidak suka denganku," tanya Alice, dengan nada murung.
"Aduhh... Kamu ini."
Prila tiba-tiba memegang kedua pipi Alice. Lalu, dia menggerakkan kepala Alice agar terangkat dan menatap tepat ke wajahnya.
"Dengar. Kamu itu orangnya terlalu pesimis. Itu tidak baik, loh."
"Ma-"
"Tidak perlu minta maaf. Tapi, kamu harus mengubahnya," potong Prila. "Padahal kamu itu bagus karena memiliki sifat baik hati dan selalu berpikiran positif. Jadi, cobalah untuk mengubah sifat burukmu."
"Tapi, Lucid kelihatannya dingin sekali kepadaku..."
"Dia juga dingin kepadaku, bahkan kepada Kano yang tipikal sifatnya mudah berteman. Lagipula, dulu dia juga dingin kepada Likyter juga. Tapi, sekarang dia dekat dengannya. Kamu tahu kenapa?"
"Ka-Karena Likyter terlihat menarik...?"
"Bukan. Tapi karena Likyter tidak menyerah untuk ingin berteman dengannya, jadinya dia bisa dekat dengan Lucid," jawab Prila, tegas namun dengan nada lembut. "Apa kamu ingat sikapku kepada kalian saat pertama bertemu dengan kalian?"
"Hm. Kamu membenci kami."
"Ah, begitu pikiranmu... Yah, terseralah. Tapi, apa sekarang aku begitu?"
"Ti-Tidak..."
"Nah. Jadi, kamu tahu harus bagaimana agar bisa berteman dengan Lucid?"
"Hm. Aku tidak boleh pesimis dulu dan terus mencoba mendekatinya."
"Bagus." Prila pun melepaskan kedua tangannya dari pipi Alice. "Ayo, kita pergi."
"Hm!" balas Alice,ceria kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top