𝐓𝐰𝐨 • 𝐏𝐚𝐢𝐧 𝐄𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲

𝐓𝐰𝐨 • 𝐏𝐚𝐢𝐧 𝐄𝐧𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐒𝐭𝐨𝐫𝐲

Telepon berdering nyaring. Pengangkatnya seorang dokter berpangkat tinggi. Bisa ditebak melalui caranya berpakaian serta bersikap ke sekitar. "Selamat siang," dilanjutkan, "paketnya sudah kuterima tadi. Terima kasih." Menutup panggilan, dokter mengalihkan pandangannya ke nama pasien yang tertempel di papan.

Yukifune Toda.

Ceria, bersemangat, kunciran twintail bergoyang kanan kiri selompatnya menyapa. Jepitan pita mempercantik penampilan. Gaun berkibar tersapu angin sejuk, menerbangkan tepi renda. Senyum sumringah hadir mencerminkan keimutan.

Gadis sejuta pesona itu sayangnya terbaring lemas di ranjang bagai puteri tidur. Bersama sebuket bunga mawar tergeletak rapi dalam vas antik, Toda terlelap nyenyak, menutup kelopak, bungkam seribu bahasa membiarkan cairan infus mengalir ke bagian yang terhubung jarum kecil. Detak jantung memelan bagai mayat.

Puluhan pil obat rutin tercerna di lambung Toda. Walau menderita penyakit mematikan, dia setia memamerkan senyum idaman menunjukkan betapa bahagia dirinya. Gorden yang menutup jendela terhempas angin kencang, berkibar bebas bersamaan netra Toda perlahan terbuka.

Silau lampu menusuk indra. "Uh..." Ujung jemari mengentuh selimut bulu, menelusuri lembut sutra kain. Kala Toda mengerjap, iris bewarna cokelat jernih cocok di parasnya. "O... Okaa san...?" panggilnya terpatah-patah.

Tebalnya awan berkumpul menggelapkan cuaca. Suramnya perkotaan menyadarkan Toda dengan cermin-- barang yang tetap memantulkan pencahayaan. Mencoba tangannya menggapai. Namun terhentikan ketukan pintu.

"Apa tubuhmu nyeri?"

Mengikuti arah suara maskulin, Toda menyahut, "Sensei!"

Lelaki berkacamata tersenyum hangat. "Operasimu berjalan lancar. Sebentar lagi kau bisa pulang, dan bermain." Tepukan lembut mendarat ke kepala Toda, surainya diacak gemas seperti simulasi keluarga.

Pertama, Toda bertanya memastikan keluarganya berada. "Ayah Ibuku ke mana? Apa mereka di koridor? Aku ingin menemui mereka!" Rasanya sudah ratusan tahun lamanya dia menahan rindu. Tangan Toda mengepal saking bersemangatnya.

Sekali dokter menggeleng. Dahi berkerut, lalu pipi tembam Toda diusap seraya berkata, "Tidak boleh turun sebelum kau sembuh total. Orangtuamu izin padaku untuk pergi bekerja mengumpulkan biaya rumah sakit."

Mendengar kata 'biaya', Toda terpikirkan untuk memetik daun di taman. Warnanya sama-sama hijau. "Apakah cukup?" Tidak lupa memberitahu gumpalan uang mainan pemberian tantenya.

Gambar kartun menghiasi. Ini membuat dokter tertawa cekikikan. "Kau memberiku terlalu banyak," candanya kemudian bangkit memberikan petunjuk obat. Sebotol kecil berisi kapsul putih dikeluarkan dari kantung. "Baiklah, kau cukup minum ini sekali setiap hari."

Terbelalak, Toda sontak menaikkan volumenya. "Sungguh?! Tidak ada pengecekan ulang?"

"Iya, tapi kau rentan terkena sakit. Sistem daya tahanmu terbilang lemah, jadi kau sebaiknya hati-hati."

Langsung Toda menelan ludah. Entah mengapa terasa menyeramkan. "Aku mengerti. Toh, aku ingin pulang..." Rumah bertingkat satu yang sederhana selalu terbayang-bayang di pikiran Toda. Menonton, sekolah, belajar, bertemu teman, dia sedari dulu tidak mampu melakukannya.

Kegiatannya adalah rawat inap.

Malam pukul sembilan. Ditemani kesendirian, Toda berbaring menatap atap. Bosan melanda benak hingga dia memutuskan membaca buku dongeng yang dibawa. Sepuluh lembaran cerita Rapunzel, remaja cantik yang terperangkap di menara tinggi.

Awalnya Toda fokus memerhatikan karakter sampai gumaman menarik perhatian. "Jangan terlalu berisik. Jika ketahuan, penyamaran kita terbongkar!" Sebagai anak bocah bak penasaran, Toda lebih menyimak. "Organnya kuganti kutukan, jadi kau diam saja."

Dunianya runtuh. Tidak, Toda menggelengkan kepalanya. Perlulah dia positive thinking hingga kedua kalinya mendengar, "Ayolah, orangtuanya sudah dibunuh." Dadanya memanas. Ternyata kenyataan tidak seindah yang diduganya.

"Sebenarnya apa yang terjadi..." lirih Toda.

Dia mengerahkan semua tenaga untuk keluar memergoki siapa yang membicarakannya. Belum sempat Toda melangkah setapak, suara familiar tertangkap ke telinga. "Mereka menolak menerima uang sebagai ganti Toda menjadi bahan eksperimen. Kau ingat perjanjian dengan keluarga itu?"

Setelah mendapatkan informasi barusan, Toda tanpa sadar berubah menjadi kutukan. Berkat mengutuk diri, juga organ yang ditukar, kekuatannya meluap. Bentuknya mengerikan, tidak lagi mirip manusia. Bahkan melampaui batas.

Tersisa kemarahan, bersalah, mental yang sejujurnya diharapkan dipulihkan. Apa daya balas dendam merupakan pilihan terbaik. Puas dia membunuh para pelaku, mencipratkan, mengecat darah mereka ke dinding, ubin, manapun untuk memberitahu bahwa yang monster bukanlah Toda.

Melainkan mereka.

Kembali ke masa kini.

Melalui kekuatan pinjaman, Yaga mengintip sekilas kejadian mengapa rumah sakit bekas yang mereka tempati terpanggil angker, dan perjalanan Toda semasa dulu. Ternyata pelakunya dokter alias ketua kepenelitian. Namun orang yang terlibat sudah tewas terbantai Toda, menyisakan kenangan menyakitkan terpatri di benak.

Simpati, iba, segala perasaan bercampur aduk di dada Yaga. Tidak salah lagi, kutukan bernama Yukifune Toda nampaknya ingin mengakhiri hidupnya. Membayangkan deritanya saja Yaga hampir luluh.

Raut gadis berpengalaman di sana pun terkekeh remeh. "Kasihan, tapi gak ada cara." Membentuk mantra, ia berkata,


"Canopus."

Kasarnya sisik hijau viridian bergesekan menarik perhatian. Begitu mereka mengalihkan pandangan, Yaga mendapati terdapat shikigami ular melata berkelak kelok memilit sekujur Toda. Taring tertancap merobek sebagian kulit, lalu menyalurkan bius beracun sampai aura kutukan meredup perlahan. Tidak lama setelahnya, separuh tubuh Toda berubah menjadi serpihan abu yang terbang menghilang ke langit.

Selesai bertarung, ia berpontang-panting keluar menghirup udara segar. Pengapnya debu di sana mencekik paru. Beruntung, ia lega menyudahi misinya, dan mendominasi pertandingan sendirian. Cuaca terik begitu menyorot [Hair Colour] mahkotanya seolah merayakan kemenangan.

Bersenandung ia menekan tombol layar ponsel untuk memotret TKP. "Halo? Iya, aku udah exorcism, jadi... transfer sesuai perjanjian," Samar senyuman licik terukir, menandakan senang dompetnya kembali tebal uang. Cukup sebulan terakhir ia mengemis. "Makasih, aku mau keluar, nih."

Pergelangannya dicengkeram erat. Tenaga kencang menekannya perih yang disahuti, "Mendaftarlah ke Jujutsu!" Oleh Yaga.

Seketusnya ia menolak. "Kalau gak ada beasiswa, ngapain? Mahal. Terus sembarangan aja ngajak."

"Aku-Yaga Masamichi akan menanggung biayanya."

Gadis berparfum [Favorite Scent] mendelik. "[Name] [Fullname]," lirihnya pasrah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top