𝐏𝐫𝐨𝐥𝐨𝐠𝐮𝐞 • 𝐑𝐞𝐮𝐧𝐢𝐨𝐧

𝐎𝐧𝐞 • 𝐑𝐞𝐮𝐧𝐢𝐨𝐧

Rintihan mengisi ruangan. Bau alkohol antiseptik menusuk indra penciuman. Kapas terkotori darah amis tergeletak di atas wadah. Peralatan medis senantiasa menemani pasien-- murid jujutsu Tokyo itu dibalut perban.

Kepala bercucuran sakit, penderitanya pun terdiam menunggu kapan waktu menyembuhkan lukanya. Penampung Sukuna lagi-lagi meringis. Bukannya takut, Itadori Yuuji hanya kesakitan perih.

Kawan sehidup sematinya berada di samping, yaitu Kugisaki Nobara, dan Fushiguro Megumi, mereka duduk berderet menunggu. Duo pemarah yang marah mengapa Yuuji tidak mampu menjaga diri sendiri.

Dokter setia menyembuhkan Yuuji. "Memangnya Gojo tidak menjaga kalian saat misi?" tanya pemilik lingkar hitam di bawah netra cokelat indah. Surai sebahu bernada berpadu dengan warna jas putih, cantik sekali penampilannya. Tertulis nama 'Shoko Ieri' di kartu tag yang tergantung antara leher sang wanita.

Remaja jabrik mirip landak berkata, "Apa yang bisa kita harapkan dariya?" yang disetujui oleh Nobara. Anggukan pesinis berkompak ria, menyisakan Yuuji yang membela Gojo atas alasan mungkin guru mereka sibuk banting tulang demi mendapat uang. "Mana mungkin.. kurasa dia asyik jalan ke kota seberang."

Hawa di sana pun tertawa anggun. Tidak lupa masker bedah disangkut di dagu sehingga mereka melihat senyumannya. "Tidak, tidak. Dia memiliki acara spesial hari ini," ujar Shoko pelan, berharap ketiganya mengerti.

"Uhm, kalau kau yang bilang... aku percaya," ucap Nobara ragu.

Jemari Shoko menempelkan plester ke pipi kiri Yuuji yang lecet. "Baiklah, sekarang kau boleh pergi." Membutuhkan sekitar tiga puluh menit menyembuhkan segala jenis sakit tubuh mereka. Dasarnya, Shoko berbakat.

Wajah Nobara menceria. "Selesai?" Adanya aura berbunga-bunga di belakang seperti anak kecil ditawari permen.

Cemas, takut, dua lelaki berdiam sampai Nobara mengacungkan jempol, menyahut, "TEMANI AKU BERBELANJA! KEBETULAN BANYAK PROMO!" Pasrah, mereka ikuti kemauan ratu kelompok sebelum didamprat nanti.

"Siap, Nyonya..."

Mengeluh, Megumi bergumam, "Terduga sekali..."

Sedangkan Shoko yang menyimak sekadar lega. "Bersemangat, ya." Batin mengingat sosok jangkung yang tidak lagi di dunia. Jauhnya melebihi langit, membatasi surga dimana nyawa kematian pada tanah Bumi. Teringat sesuatu, Shoko mengecek arloji, lalu keluar menuju kamar dekat pintu keluar gedung.

Bunyi sepatu bergema. Lantai kayu terketuk alas heels. Suaranya terhenti kala Shoko memasuki ruangan, mendapati bentuk familiar bak tiang listrik ditemani perempuan cantik. Jam menunjukkan pukul empat sore tepat kala Shoko menyapa.

Menghadapi cerahnya cuaca, para manusia berbincang ria. Dipayungi atap, dan separuh wajah tersinari teriknya mentari yang tembus dari jendela, mereka bertukar cerita. Meja kayu persegi membatasi pembincang, menyediakan seteko kopi dimana beberapa gelas plastik tertumpuk. Ternama Shoko Ieri lah pertama menyeduh minuman, menarik bangku kosong, dan menghela napas sewaktu mendaratkan bokong.

Terlontar intonasi sedih di kalimat Shoko. "Hah, tidak terasa kita sudah tua."

Bujangan mapan di sampingnya tidak kalah mengeluh. Mengerucutkan bibir, dia berkata, "Mencari pasangan di umur segini sangat sulit!" Tentu hal ini memicu kekesalan. Siapa lagi orang menyebalkan selain Gojo Satoru? Tampan, kaya, kuat, tinggi, fisik sempurna walau sayang, kelakuan minus. Semua orang yang tidak tahu pasti memalingkan mata untuk menonton seorang Gojo.

Ikut menyesap kopi, Gojo melepehkannya lagi, buat Shoko terpaksa mundur. "Jijik." Tidak lupa menyendok gula pasir supaya rasanya berubah manis.

Berpakaian rapi, menggunakan bahasa formal, sopan santun, mengobrol terlalu lama hingga Gojo mengalihkan pandangan ke arah kiri. "Besok kalian ingin ke makam Geto bersamaku, kan? Kita atur jadwal."

Mendengar panggilan 'Geto', berwajah ketus yang sedari tadi bungkam membuka mulut. "Udah berapa tahun, sih? Jadi keinget semasa dulu..." Netra [Eyes Colour]nya tajam tegas.

Sebaik hati Shoko menghibur, "[Name]... jangan kau pikirkan serius." Seolah terjadi hal buruk yang tidak mereka lupakan seumur hidup semasa Geto masih hadir. Umur membawa mereka menuju tahun yang hampa. Dimana Geto kini berbahagia di balik kata 'tewas'.

Semakin Gojo memancing emosi. "Ayolah! Sini peluk jika kau sedih." Merentangkan lengan selebarnya, ingin menarik [Name] ke dekapan hangat yang Shoko wakilkan untuk tolak.

Khusus mengusir Gojo, [Name] sengaja sarkas, "Najis, ubanan." Ejekan menimbulkan luka mental. Namun sahabatnya terbiasa menyikapi perawakan, bahkan santai walau [Name] emosi. Lagipula ia tidak pernah kehilangan kesabaran, atau murka separah yang dibayangkan. "Besok jam dua belas, gimana?" usulnya dijawab anggukan setuju.

Ke nisan tempat peristirahatan Suguru Geto.

Bernonstalgia, Shoko mengeluarkan sebatang rokok, lalu menyalakan korek. Api merah membakar ujung, membiarkan asap terbuang menguar ke udara. Sesekali berbisik, "Ada yang ingat saat kita serempak bolos?" Diselingi lawakan Gojo.

Sudut bibir ranum menaik, [Name] tersenyum tipis. "Ya, itu hari kelima aku daftar sekolah ketemu kalian."

"Pftt-- Iya, ya! Kau, kan murid baru."

Perlahan acara reuni mereka menjadi sumber pembicaraan baru mengenai kisah [Name] [Fullname] bergabung dalam grup bobrok trio Gojo, Shoko, Geto.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top