𝐎𝐧𝐞 • 𝐂𝐨𝐦𝐦𝐚𝐧𝐝𝐨'𝐬 𝐒𝐨𝐮𝐥

𝐎𝐧𝐞 • 𝐂𝐨𝐦𝐦𝐚𝐧𝐝𝐨'𝐬 𝐒𝐨𝐮𝐥

Para petinggi ribut mengurus belasan kematian murid jujutsu. Konon monster misterius membunuh mereka secara acak. Serangannya pun tidak berpola. Terkadang sayatan, racun, atau tewas terkena teknik kutukan. Hal ini benar mengecoh mereka.

Memangnya iblis jenis apa yang mampu mengalahkan banyak jujutsu-- kalangan terkuat antara warga biasa?

Mayat diautopsi berulang kali. Namun tidak ada yang menebak bentuk sang lawan. Terakhir, pihak Sekolah Jujutsu Tokyo memutuskan memerintah seorang berpengalaman, yaitu Yaga Masamichi.

Teknik boneka Yaga mungkin mampu mengalahkan lawan. Maju ke medan perang, mereka yakin dia pulang membawa kabar kemenangan. Nampaknya Yaga siap sekali mempertaruhkan nyawa. Ayolah, dia mementingkan warga lain ketimbang dirinya.

Bersimpuh menghadapi ketua pusat, Yaga menghormati mereka dengan bersikap sopan. "Besok saya akan membasmi roh kutukan tersebut." Gaya bicaranya terkesan formal, dan memukau.

Selama berbincang perencanaan, Yaga sekadar mendengar sedangkan trio sekawan sang murid tengah berleha di kelas. Duduk berderet, bermain-main layaknya bocah di saat bersamaan. Salah satunya bernama Gojo Satoru mengoceh, "Ei, kenapa mereka menyuruh sensei Yaga? Bukankah aku bisa sendiri?"

Lelaki bercepol hitam terkekeh. "Tidak semua tugas untukmu." Tabahnya hati Geto Suguru memaklumi kekanakan Gojo si pemilik mata enam terkuat. Tidak lupa, gadis bersurai pendek di paling pinggir mengamati perdebatan mereka.

Kepulan asap keluar dari bibir tipis Shoko Ieri. Perempuan antara kelompok lelaki itu merokok tanpa peduli ruangan bau. "Yang penting, kita tidak perlu repot misi, kan?" yakin Shoko mengecek ponsel.

Kontak bertuliskan 'Sensei Buta' mengirim pesan. Bubble chat singkat berupa, "Kelas ditiadakan." Shoko tunjukkan pada duo sahabat jangkung, lalu mereka bertepuk tangan ria merayakan liburan. Namun terhenti kala Shoko berkata, "Tapi kita dikasih PR."

"Persetan."

Jepang, Tokyo. Pukul delapan pagi. Kota mewah dimana diam-diam bahaya tersembunyi.

Terdengar keramaian dalam bangunan tradisional. Hiasan lampion, taman hijau dilengkapi kolam ikan koi, suasana damai asri sampai berisiknya seruput sup memecah ketenangan. Cahaya mentari melewati transparannya jendela kaca, menerangi separuh wajah, dan sesaat pemilik paras cantik mendongak, netra [Eyes Colour]nya seolah berkilau indah.

Tenggorokan menelan kuah miso. Sumpit menjepit potongan daging ikan, memisahkan tulang tajamnya ke sisi piring. Sebiji apel tergeletak di meja, menunggu kapan digigit setelahnya. Sesekali melirik jam dinding seraya sarapan, ia bangkit menoleh pada koki yang asyik menata bento.

Menata peralatan, lalu membawanya ke wastafel dapur. "Tolong cuci ini, terima kasih." Keluarlah remaja gadis ke teras, guna mengenakan sepatu.

Pak tua bercelemek kemudian mengomel, "Hei, jangan lupa bekalmu!" Sialnya, pintu sudah tertutup, dan orang yang diteriaki pergi meninggalkan rumah.

Kaki melangkah maju menuju gedung kosong. Berdasarkan rumor, lokasinya bekas rumah sakit. Heels menginjak aspal, menendang kerikil hingga menetap di hadapan sosok asing. "Siapa kau?"

"Mohon maaf, saya peringatkan mundur," jawab Yaga dikejutkan intonasi ketus barusan. Kebetulan dia baru datang bersama kumpulan boneka rajutannya.

Semilir meniup mereka. "Kau..." patahnya memerhatikan simbol kancing seragam Yaga, lalu menghembuskan napas. "Jujutsu, ya?" Tidak berbasa-basi, kaki lentiknya tetap bergerak melewati. Semakin ia mendekati aura kutukan yang menguar menyeramkan.

Potongan kaca, sampah, coretan dinding, semuanya berserakan memenuhi bangunan layaknya bekas peninggalan. Banyak botol bekas minum di sekujur lantai. Herannya, bekas jejak kaki mungil tercetak mengelilingi ubin mau pun atap.

Bisa ia perkirakan tempat terkenal angker itu dijadikan lokasi uji nyali. Memikirkan rencana, dan taktik, tiba-tiba pendengarannya menangkap suara tapak lain dari pertikungan depan.

Muncullah Yaga.

Kini mereka berdua beriringan. "Kenapa kamu di sini?" Pikirnya Yaga menetap di luar. "Bukannya Jujutsu suka menyuruh anak-anak yang menyelesaikan misi? Bukan om macam kamu?" Saling mereka bertukar pertanyaan.

"Kasus sudah dianggap special grade. Hampir dua puluh murid gagal, makanya--" Belum sempat lanjut berkata, mereka sontak berbalik ke belakang seolah ada sesuatu mengekori. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan?" Pandangan Yaga sangat tegas dibalik kacamata hitam yang dikenakannya.

Alih-alih pergi, si Hawa tersenyum miring. "Ayolah, aku gak suka kabur. Uang menungguku," ujarnya mengangkat bahu.

Benar, kemarin wanita cantik berkimono bunga meminta pertolongannya memusnahkan spirit kutukan di sana. Tentunya imbalan sekoper yen seharga jutaan. Tidak usah memikirkan latar belakang tamu mencurigakan itu, ia sukarela mengambil tanggung jawab.

Perlahan bayangan di koridor memencar membentuk wujud misterius. Tepatnya monster yang bersembunyi di kegelapan. Sewaktu kutukan incaran mereka keluar menampakkan diri, netranya melotot terkejut.

Anak kecil berumur delapan tahun.

Tidak lupa Yaga memastikan sebagai orang dewasa. "Makhluk apa dia?" Karena lawan di hadapan mereka bukanlah kutukan sepenuhnya, melainkan setengah manusia. Entah mengapa mereka merasa atmosfer yang berbeda.

Jadilah mereka terheran  "Terus gimana usirnya..." keluhnya pasrah.

Mengikuti isyarat jurus Yaga, boneka lucu yang terkulai lemas langsung berdiri tegak seperti robot. Menyerang membabi buta nyatanya sukses memukul titik lemah selama waktu saksi bisu sengitnya pertarungan. Sialnya Yaga tidak mungkin mempertahankan tenaga terus-menerus.

Simbol menghiasi bawah alas monster target mereka. Bercahaya menyilaukan membuat Yaga harus mengerjap walau terlindungi kacamata. "Sirius." Sesuai arti namanya, corak bintang menjalar bersinar terang menerangi.

Seketika monster menyeramkan berhenti menyerang, lalu menghilang. Menyisakan Yaga  tercengang melihat kemampuannya. "Kau mengusirnya?" tengok Yaga terbingung.

Jemari merapalkan mantra. Dengan penglihatan batin, ia tahu ke mana kaburnya makhluk mengerikan. "Jangan planga plongo, doang. Bangsal nomor tiga ratus lima... ayo." Pertarungan ia dominasi, apalagi kepimpinan yang bagaikan perintah.

Benar perkiraannya.

Berlari menaiki tangga, mereka kehabisan stamina. Engsel besi pintu terlepas seiring Yaga membantu mendobrak, dan tangisan memilukan menyambut.

Lutut bertekuk meringkuk. Kuku basah darah mencakar wajah. Bekas jahitan permanen menempel di kulit, tercetak selamanya.

Amarah Yaga memuncak. "Kau...!"

Secepatnya ia menggeleng. "Perhatikan cerita kehidupan aslinya. Kau bakal tau kenapa dia menyerang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top