AB | 09
Selamat Membaca!
Xander baru saja pulang dari kantor dan mengernyit heran melihat keadaan rumah. Tumben sekali keadaan rumah sepi saat dia pulang. Biasanya semua orang sudah berkumpul di ruang tengah.
Dia semakin melangkahkan kakinya masuk. Mencari keberadaan orang-orang yang belum ditemuinya. Barulah saat dia akan naik ke kamar atas, Aron yang baru turun berpapasan dengannya.
Xander memutuskan bertanya pada Aron. "Kenapa rumah sepi? Tidak biasanya."
"Hmm, orang-orang baru saja keluar. David ada meeting dadakan."
"Zander belum pulang kuliah?"
"Sudah. Tapi dia balik lagi sama Ara. Katanya sambil jalan-jalan."
"Hanya berdua?" Ada nada tak suka di dalam ucapan yang Xander lontarkan.
"Begitulah," jawab Aron santai. Setelahnya dia melanjutkan langkah dan melewati Xander yang masih mematung.
Xander mengeram marah. Entah kenapa dia tidak suka Ara keluar berdua dengan Zander. Ada rasa khawatir yang terselip di hatinya. Apalagi mengingat Zander yang selalu lupa waktu dan kadang ceroboh. Adiknya itu bisa saja membuat masalah dengan membawa Ara. Mengingat perempuan itu yang masih polos.
Dengan langkah lebar, Xander menaiki tangga dan segera masuk ke dalam kamarnya. Di dalam sana, dia berusaha menghubungi Zander berkali-kali. Tidak ada balasan. Bahkan setelah belasan kali ditelpon, sama sekali tidak diangkat hingga berakhir di kotak suara.
Xander melemparkan ponselnya kesal. Beruntung hanya jatuh di atas kasur dan tidak sampai pecah. Dengan gerakan cepat, dia membersihkan diri dan segera mengganti baju kantornya dengan baju yang lebih santai. Xander perlu tahu ke mana perginya sang adik.
Aron yang asyik menonton TV, menoleh saat merasakan kehadiran seseorang.
Xander dengan penampilan santainya, bedanya wajahnya yang masih kusut seperti pakaian yang belum disetrika.
"Ada apa?" tanya Aron heran.
"Ini sudah malam. Kenapa Zander belum pulang?" tanya Xander resah.
Aron menjawab santai, "Kamu seperti tidak tahu bocah itu saja."
"Tapi dia tidak pergi sendiri. Dia bawa gadis itu. Bagaimana jika terjadi apa-apa di luar sana."
"Sebenarnya kamu khawatir dengan Ara, kan?" tebak Aron dengan smirk andalannya.
"Jangan ngawur!" bantah Xander, segera memalingkan wajahnya dari Aron.
Aron terkekeh. Dia menatap Xander dengan seringai jahilnya. "Mengaku saja. Aku lihat beberapa hari ini kamu sudah tidak sekeras biasanya. Apalagi wajahmu yang khawatir seperti sekarang. Jelas ini bukan khawatir pada Zander, kan? Mengingat anak satu itu sudah sering pulang larut bahkan menginap di luar."
"Kamu terlalu banyak bicara!" geram Xander kesal. Perasaan yang tadi khawatir, berubah resah karena nomer Zander belum juga aktif.
"Apa gunanya ponsel mahal jika ditelpon saja tidak pernah diangkat," omel Xander yang menjadi sedikit cerewet seperti ibu penagih hutang.
Sementara Aron hanya sesekali melirik saja, sebelum kembali fokus pada tayangan televisi. Dia mengulum senyum melihat ekspresi Xander yang sekarang sangat kentara sekali. Biasanya lelaki itu selalu berhasil menyembunyikan semua ekspresinya dengan apik. Namun, hanya karena Ara, adik yang katanya tidak diakui, malah membuat lelaki itu kelimpungan.
Aron bersikap lebih santai. Zander memang tidak mengangkat telepon dari Xander. Namun bocah itu sudah lebih dulu menghubunginya. Dan meski Aron juga kesal karena Zander belum pulang, setidaknya mereka baik-baik saja dan sudah berada dalam perjalanan.
-oOo-
Sementara di waktu yang sama, tempat berbeda, Ara dan Zander berada di dalam mobil dengan keadaan hening. Setelah seharian berkeliling di kampus sang kakak, Ara akhirnya kelelahan dan meminta pulang. Beruntung semua urusan Zander sudah selesai.
Zander juga tidak tega melihat wajah letih sang adik. Dia sengaja membawa Ara ke kampusnya agar sang adik bisa melihat suasana kampus. Zander ingin membangkitkan gairah Ara untuk berkuliah. Dan sedikit banyak berhasil. Ara sering menanyakan hal-hal tentang kampusnya.
"Ra, setelah keliling tadi, kamu mau pilih jurusan apa?" tanya Zander memecah kesunyian.
"Hmm ... Ara belum tahu, Kak. Nanti Ara mau tanya ke Daddy dulu."
"Memangnya kamu tidak punya cita-cita?"
"Kenapa?" Ara sedikit menyerongkan tubuhnya hingga bisa menatap Zander dengan lebih leluasa.
Zander melirik Ara sebentar dan kembali fokus pada kemudinya. "Yah, kenapa kamu tidak ambil fakultas sesuai dengan cita-cita, atau minimal hobi," cetusnya memberi ide.
Ara terdiam. Tiba-tiba pikirannya melayang pada cita-citanya dulu. Keinginan terbesarnya sebelum keadaan memupuskan semua harapannya. Namun dengan keadaan sekarang, apakah dia bisa kembali melanjutkan mimpinya yang dulu? Mengingat mimpinya kali ini tidak sejalan dengan keadaan keluarga Petrov yang mengutamakan bisnis keluarga.
Sepanjang perjalanan, Ara terus melamun hingga Zander mematikan mesin mobil. Mereka sudah sampai di pelataran mansion.
Ara yang baru sadar dari lamunannya, bergegas untuk segera membuka pintu mobil, tapi tertahan dengan cekalan Zander di bahunya.
"Ara?" panggil Zander lembut. Dia memang tidak segera turun. Mendapati keadaan Ara yang sejak tadi melamun, membuatnya sedikit resah. Apalagi wajah sang adik yang sedikit murung membuatnya bertanya-tanya.
"Kamu kenapa?" tanya Zander yang masih menatap Ara
Ara memberikan senyum simpulnya. "Ara baik-baik saja."
Zander tak langsung percaya. Dia menatap Ara penuh selidik, tapi tak menemukan apa yang dicarinya. Dengan menghembuskan napas panjang, Zander membawa Ara ke dalam pelukannya. Memberikan kehangatan yang mungkin bisa mengurangi kesedihan sang adik.
Ara yang baru dipeluk, merasakan tubuhnya menegang untuk sesaat. Dia kaget mendapatkan perlakuan seperti itu, terlebih lelaki. Padahal Zander masih kakaknya.
"Kamu harus terbiasa," bisik Zander di dekat telinga sang adik. Dia seakan bisa merasakan ketidaknyamanan Ara karena pelukannya. Namun mau bagaimana lagi. Zander tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk sang adik
Hingga adegan pelukan tersebut harus usai karena mendengar gendoran kencang di kaca mobilnya. Zander berusaha abai, tapi gendoran tersebut semakin menjadi dan membuatnya geram. Zander mendengus kesal. Dengan tak rela dia melepaskan pelukannya dan menatap siapa pelaku yang menjadi pengganggu tersebut.
Xander dengan wajah garang, diikuti Aron di belakangnya. Dengan susah payah, Zander menelan ludahnya sendiri. Dia membuka pintu mobil diikuti Ara yang melakukan hal serupa.
Setelah di luar mobil, Zander berhadapan dengan Xander dan Aron yang berdiri tegap dengan tatapan elangnya.
"Kenapa baru pulang?" Xander bertanya langsung.
"Hmm, tadi masih banyak tugas. Jadi baru pulang," jawab Zander takut-takut memberi alasan. Padahal kenyataannya dia sedikit lupa waktu setelah berjalan-jalan dengan Ara dan teman-temannya.
"Kamu tahu apa kesalahan kamu? Pulang malam dan membawa Ara! Jika Daddy tahu, kamu pasti dapat hukuman," timpal Aron dengan suara beratnya. Jika sudah begini, kedua kakak tertua itu kompak tampak begitu menyeramkan.
Zander mengangguk paham. Sadar akan kesalahannya hari ini.
"Masuk ke dalam!" perintah Xander yang cepat diangguki.
"Dan kamu! Jangan mau diajak keluar sampai lupa waktu. Kamu perempuan yang harus jaga diri," lanjut Xander, seraya memberikan tatapan tajamnya pada Ara.
Ara yang berdiri di dekat Zander tadi semakin mengkerut takut. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban. Mulutnya seakan enggan terbuka hanya untuk memberikan jawaban.
Melihat ketakutan Ara, Aron menepuk bahu sepupunya itu. Memberi kode agar Xander menurunkan nada bicaranya.
"Sudah. Ara bisa semakin takut."
Xander meraup wajahnya kasar. Dia dengan jelas melihat Ara yang selalu ketakutan saat bersamanya. Tanpa kata, Xander segera pergi dari sana dan meninggalkan Aron dan Ara berdua.
Aron mendekat. Dia memberikan senyum tipis pada Ara yang meliriknya takut-takut.
"Kakak marah sama Ara?" bisik Ara pelan.
Aron menggeleng. "Bukan. Tapi khawatir. Sama seperti yang Xander rasakan. Dia lebih khawatir sejak tahu kamu belum pulang."
Ara mengangguk pelan. Sedikit tidak percaya mendengar penjelasan Aron. Apalagi tentang Xander yang khawatir padanya. Rasanya sangat mustahil.
"Sudah. Lebih baik kita segera masuk. Kamu sudah makan, kan?"
"Sudah, Kak," jawab Ara dan mengikuti langkah Aron masuk ke dalam.
Sementara di balik jendela, Xander memperhatikan semuanya dalam diam. Dia mengusap wajahnya kasar. Perasaannya benar-benar berkecamuk hebat.
Ada rasa marah pada dirinya sendiri. Dia terlalu plin-plan dalam menghadapi Ara. Kadang dia bersikap keras dan tidak peduli. Namun di satu sisi, dia sangat khawatir dan takut terjadi sesuatu pada gadis tersebut. Entah bagaiamana menjabarkan perasaannya saat ini, Xander sendiri tak paham.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top