AB | 07
Selamat Membaca
Karena insiden tangannya yang memerah, semua keluarga kompak heboh dan memaksa Ara ke rumah sakit. Namun, Ara kekeh menolak dan meyakinkan bahwa itu hanya lecet biasa. Beruntung Angelina mau membantunya menjelaskan pada anggota keluarga yang lain.
"Yaudah. Biar Mom obatin dulu lukamu. Ada salep juga biar cepet sembuh," ujar Angelina dengan kotak P3K yang sudah dibawanya
Ara menurut. Dia membiarkan tangannya untuk diobati, sesekali meringis menahan perih di telapak tangannya yang sedikit terkelupas. Sementara keempat kakaknya belum beranjak pergi. Mereka tetap berdiri mengelilingi Ara yang duduk di sofa. Tatapannya sejak tadi terus mengawasi Ara dan Angelina dengan tajam.
"Emang siapa yang nabrak kamu?" Zander masih terus bertanya karena Ara tidak menjelaskan secara rinci kejadian sebenarnya.
"Lupain saja, Kak. Ara udah baikan kok."
"Baikan gimana? Liat telapak tangan kamu lecet gitu? Kalo bekasnya tidak hilang, gimana?" Tanpa sadar, Aron menaikkan nada bicaranya yang membuat Ara mengkerut ketakutan. Sadar adiknya ketakutan, Aron menarik napas panjang. Dia harus menahan emosinya bila di depan Ara yang diketahuinya sangat lemah lembut dan takut pada bentakan.
"Ara, cerita sama Mommy! Kamu kok bisa jatuh gini?" Giliran Angelina bertanya hati-hati di sela kegiatannya mengobati luka lecet tersebut. Tidak parah, hanya saja mereka takut berbekas pada kulit putih Ara. Saat mendapatkan kabar tentang Ara yang terluka, Angelina dan Diana kalang kabut dan khawatir dengan keadaan gadis tersebut.
Ara menghela napas panjang. Dia melirik keempat kakaknya yang seperti menunggu penjelasannya. Terpaksa, dengan nada rendah, Ara menjelaskan kejadian tadi di depan toilet. Dimulai dengan insiden tersesat dan berakhir ditabrak seseorang lelaki.
"Yah, tapi cowok itu tidak sengaja kok, Mom. Terus waktu balik ke meja, kulit telapak tangan Ara tidak sengaja menggesek meja yang kasar, jadi tambah luka deh," akunya pelan.
Angelina menghembuskan napasnya kasar. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Ara yang seperti ini. Rasa khawatirnya memang berlebihan. Namun Angelina hanya takut Ara sakit dan kenapa-napa. Apalagi sampai Adam tahu, bisa-bisa suaminya itu akan marah dan menganggap dia tidak becus menjaga Ara.
Selesai mengobati luka di telapak tangan Ara, Angelina menutup kotak P3K-nya dan memandang Ara dengan lembut. Tangannya terulur dan jatuh di kepala perempuan cantik dan manis tersebut. Dia mengelus surai indah Ara yang terasa lembut di kulitnya.
"Kamu harus hati-hati ke depannya. Jangan ceroboh lagi. Kami semua khawatir."
Ara mengangguk paham. Dalam hati dia akan berusaha untuk tidak ceroboh, setidaknya saat ada keluarganya ini.
Sementara keempat kakaknya hanya diam dan melihat Ara dengan intens. Banyak emosi yang terdapat dalam raut wajah masing-masing. Marah, sesal, dan khawatir. Semua itu hanya karena satu orang baru di hidup mereka, Ara.
Xander yang sejak awal tak peduli dan terkesan jahat pada Ara malah merasa yang paling khawatir dengan keadaan adiknya itu. Hal yang ditangkap jelas oleh semua orang di sana. Mereka juga bingung dengan sikap si sulung. Namun mau bertanya, sama saja memberi bahan pelampiasan kemarahan Xander atas apa yang orang terjadi pada Ara.
"Yaudah. Momny tinggal dulu," pamit Angelina yang sadar dengan tatapan keempat anaknya.
Sepertinya para lelaki Petrov akan mencerca Ara dengan berbagai pertanyaan. Dan Ara yang sadar akan situasi tersebut, mencegah Angelina dengan menarik ujung bajunya.
"Mom, jangan tinggalin Ara," cicitnya, dengan suara rendah.
"Mom masih harus ke butik. Ada yang mau Mom urus dengan mamimu. Ara di sini saja sama empat kakakmu."
"Tapi—"
"Mereka pasti jagain Ara," potong Angelina, setelahnya berlalu dari sana. Menyisakan Ara yang masih menerima tatapan intens dari mereka.
"Masih sakit?" tanya Aron, mengambil duduk di sisi Ara.
Ara menggeleng pelan. Kepalanya masih tertunduk dan tak berani menatap kakaknya. Semua menghembuskan napas pelan. Merasa lega mendengar jawaban Ara tadi.
Xander yang merasa sudah tak berkepentingan, berbalik pergi ke kamarnya.
"Kak, mau ke mana?" panggil Zander melihat kakaknya pergi.
"Kamar."
"Lah, nggak mau nemenin Ara?"
"Nggak!" Singkat Xander menjawabnya.
Aron yang mendengarnya, berdecak kesal pada sikap sepupunya itu. "Sok cuek, tadi dia yang paling khawatir," ejeknya, beruntung tidak didengar oleh Xander.
"Bener. Mana matanya tajem banget waktu liat lukanya Ara. Teliti," timpal David yang juga mengamati reaksi sepupunya di kafe tadi.
Ara hanya diam dan mendengarkan saja. Sebenarnya dia juga terkejut dengan sikap Xander tadi. Dia kira kakak sulungnya itu sudah menerimanya seperti yang lain. Melihat raut wajahnya yang khawatir. Namun, perkiraannya salah.
Sekembalinya di rumah, sikap Xander menjadi dingin kembali. Bahkan tatapannya kembali tajam menatap Ara. Aura mengintimidasi yang sangat pekat dan membuat Ara takut. Ara tak bisa meminta lebih. Sudah beruntung dia diterima hidup di sini. Dia tidak boleh melunjak dan meminta lebih.
-oOo-
Sore hari, keadaan rumah tampak sangat sepi. Beberapa orang sepertinya masih istirahat di kamarnya masing-masing.
Ara terbangun setelah beberapa jam tertidur. Dia turun ke lantai bawah dan melihat sekitar mansion ini. Tidak ada kakak ataupun penghuni lain. Ara memutuskan ke halaman belakang. Dia melangkah pelan sampai tiba di tempat tujuan. Di sana dia melihat beberapa maid dan pekerja lainnya sedang berkumpul.
Ara semakin mendekat. Dia berdecak kagum melihat halaman belakang yang indah. Banyak bunga mekar ditanam di sini. Tak lupa juga beberapa ayunan untuk bersantai.
Melihat selang yang tidak terpakai, Ara bermaksud menyiram bunga-bunga di sana. Namun, belum dia memegang selang, sebuah suara berhasil membuatnya menoleh.
"Ada apa?" tanya Ara ramah pada tukang kebun di dekatnya.
Orang yang mungkin berusia pertengahan abad itu menunduk hormat. "Nona tidak usah melakukan ini. Ini pekerjaan saya."
"Ara hanya ingin menyiram bunga cantik ini."
"Tapi, Nona. Saya bisa dimarahin Tuan jika melihat Nona mengerjakan tugas saya," ada nada takut yang sangat kentara pada getar suaranya.
Ara hanya memasang senyum menenangkan. Dia melambaikan tangannya agar orang tersebut tak mengganggunya.
"Mereka tidak akan ada yang tahu kalo kamu diam. Di dalam semua orang sedang tidur," ujar Ara santai.
"Ara akan menyiram bunga-bunga ini," lanjutnya dengan nada riang. Dia berjalan menjauhi orang itu. Selang sudah dia hidupkan dan mulai menyiram bunga di sana.
Aroma air yang bersentuhan dengan tanah menyeruak dan menenangkan hatinya. Kesegaran tanaman yang tersiram air menjadi pemandangan yang indah dan menyejukkan. Ara bersenandung pelan. Dia menyiram semua bunga dan tanaman dengan riang. Sesekali dia akan berbicara pada baby flowers yang berhasil membuatnya jatuh cinta. Ara benar-benat senang.
Sedangkan para maid berdiri dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Semua maid mengawasi Ara yang sibuk dengan kegiatannya.
Ara yang larut dengan kesenangannya, tidak menyadari langkah kakinya yang terus mundur dan menginjak ujung sandalnya sendiri. Posisinya yang sangat merugikan dan membuat tubuhnya oleng.
Matanya terpejam. Dia sudah siap untuk jatuh dan merasakan bokongnya kembali linu. Namun, bukannya sakit, Ara malah merasakan tangan yang melingkar di pinggangnya dengan erat.
Ara segera membuka mata. Dan pandangan pertama bertemu dengan tatapan elang milik kakak tertuanya, Xander. Susah payah Ara meneguk ludahnya sendiri. Sekarang dia baru tahu artinya nyawa di ujung tanduk.
Dengan jarak mereka yang sangat dekat, bahkan Ara bisa leluasa menatap wajah kakaknya, dia tahu bahwa Xander benar-benar marah. Rahang lelaki itu tampak mengeras dengan tatapan yang berlipat lebih tajam. Ara menggigil ditatap seperti itu.
"Sampai kapan kamu mau seperti ini?" tegur Xander dengan nada tajamnya.
Ara buru-buru sadar. Dia memperbaiki posisinya dan berdiri tegak. Langkahnya sedikit mundur dan memberi jarak pada Xander.
"Jelaskan apa yang sedang kamu lakukan di sin?" Xander menunjuk selang yang masih Ara pegang dengan erat.
Ara semakin menunduk. Jantungnya berdebar keras, sedang tangannya memilin selang untuk menyalurkan perasaan takutnya.
"Kenapa tidak menjawab! Kamu punya mulut, 'kan?" bentak Xander yang membuat Ara dan beberapa maid di sana tersentak kaget.
Ara menahan tangis yang berada di ujung matanya. Bibirnya sudah bergetar. "Ma—maaf." Hanya itu yang mampu dikeluarkan bibirnya, di sela isak tangisnya
Xander mendengus. Dia berbalik dan menatap para maid yang berjejer rapi di belakangnya.
"Saya ingatkan! Jangan ada yang biarkan dia bekerja seperti ini lagi. Atau kalian bisa saya pecat saat itu juga!" ancamnya.
Para maid mengangguk cepat. Mereka benar-benar takut dengan ancaman Xander yang tidak pernah main-main.
Setelah puas melihat jawaban maid tersebut, Xander kembali mengarah pada Ara. Dia menarik lengan Ara dengan kuat dan menuntunnya agar mengikuti langkahnya pergi dari sana. Langkahnya yang lebar, sedikit menyeret Ara yang tampak kesusahan menyamai langkahnya.
Ara meringis. Cekalan di tangannya terlalu kuat, tapi Ara tidak berani berkata pada Xander.
"Kenapa dengan Ara, Kak?" Zander dengan muka bantalnya baru saja turun dari tangga. Dia melihat Ara yang diseret kakaknya dengan kening berkerut samar.
Xander segera melepaskan cekalannya dengan kasar. Sedikit mendorong Ara pada Zander. "Adik kamu ini sepertinya mau mendaftarkan diri menjadi pelayan."
"Hah? Maksudnya?" tanya Zander tak paham.
Bukannya menjawab Zander, Xander malah menatap Ara yang masih menunduk takut. "Jangan sampai saya melihat kamu melakukan pekerjaan itu lagi. Atau mereka akan saya pecat karena kesalahan kamu. Paham?" sentak Xander dengan nada mengancamnya.
Ara mengangguk.
"Bagus," Xander berucap puas. "Belajar tahu diri. Kamu harus bisa memantaskan diri di sini. Jangan berperilaku seperti pelayan," ujarnya pedas tanpa perasaan.
"Kakak!" tegur Zander yang tak digubris sama sekali.
Setelah puas mengatakan hal tersebut, Xander meninggalkan Ara yang sudah terisak pelan. Raut wajahnya tetap datar dan tak merasa bersalah sedikitpun. Bahkan Xander tak berusaha menenangkan Ara yang menangis karena ulahnya.
Ara yang masih menunduk merasakan tubuhnya ditarik pelan dan jatuh dalam dekapan hangat milik Zander.
"Sudah. Kamu jangan dengerin dia." Zander menepuk punggung Ara pelan. Berusaha menenangkan Ara yang terisak.
Ara hanya mengangguk. Dia semakin menenggelamkan kepalanya dalam dada bidang sang kakak. Mencari ketenangan di sana.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top