AB | 06
Selamat Membaca!
Di pusat perbelanjaan paling mewah ini, Ara dibuat bingung sendiri. Sejak menginjakkan kaki, tak henti-hentinya dia melirik ke sana-sini, mengamati setiap sudut bangunan besar ini.
Memang NYC tidak akan pernah diragukan lagi tentang kemewahan setiap bangunan yang hampir mencakar langit. Pusat perbelanjaan ini bahkan hampir setara dengan ketinggian perusahaan besar yang berada tak jauh dari sini.
Ara berjalan diampit Diana dan Angelina yang tak henti-hentinya mengoceh antusias padanya. Dua wanita itu terus menyodorkan beberapa gaun pada Ara sampai-sampai Ara sendiri bingung harus memakainya.
"Hmm ... Mom?" Ara berujar ragu.
Angelina yang sejak tadi sibuk memilih gaun malam, langsung menatap Ara yang kini memberikan tatapan polos andalannya
"Iya, Sayang. Ada apa?"
Ara menunduk sebentar dan menatap Angelina dengan tatapan memelasnya, "Sebenarnya Ara tidak terlalu suka gaun. Dan Ara juga tidak pernah menghadiri pesta di mana pun."
"Jadi, Anak Mami ini suka baju apa?"
"Casual," jawab Ara cepat.
Beruntung Diana dan Angelina mengangguk paham. Ara kira dia akan dipaksa memakai gaun di rumah.
"Tapi kamu harus beli beberapa potong gaun juga. Apalagi di waktu dekat kita akan mengadakan pesta."
"Pesta apa?" Ara menatap Angelina dengan raut penasarannya.
"Ulang tahun kakak pertamamu, Xander," sahut Diana dengan tangan yang memegang beberapa potong pakaian casual.
Mendengar perihal itu, Ara tak menampik raut kaget di wajahnya. Kepalanya berputar ke samping dan melihat keempat kakaknya tengah berdiri tak jauh dari tempatnya. Tatapannya jatuh pada Xander yang tengah fokus mendengarkan ucapan Aron. Entah apa yang mereka katakan, mungkin perihal bisnis. Lelaki itu selalu memiliki aura dominan yang membuat sekitarnya tunduk.
Hingga di detik berikutnya, Xander mengalihkan tatapannya dan bertemu dengan mata bulat polos milik Ara. Beberapa detik mereka seakan terpaku. Ara merasakan banyak emosi dalam tatapan yang Xander berikan. Sebelum lelaki itu mengakhirinya secepat mungkin.
"Ara! Ara!" seru Angelina dengan suara nyaring di dekat telinganya.
Ara sampai tersentak kaget. Dia kembali menatap Angelina dengan raut bingung. "Ada apa, Mom?"
"Kamu dipanggil sejak tadi kenapa nggak nyahut?"
"Maaf, Mom. Tadi Ara melamun." Ara memberikan senyum bersalah dan permintaan maafnya.
"Huh, baiklah. Jangan diulangi lagi. Sejak tadi Mami Diana sudah memanggilmu. Kamu cepat samperin dan coba beberapa baju yang kamu suka."
Ara mengangguk. Dengan langkah pelan, dia menghampiri keberadaan Diana yang tengah berbincang dengan pelayan di sana. Di tangan wanita itu masih bertengger setia pakaian yang tadi diambilnya. Ara segera mendekat dan berhenti tepat di samping sang mami.
"Mami?"
Diana yang merasa terpanggil menoleh. Dia memberikan senyum hangat, sebelum kembali menatap sang pelayan sebentar. "Ambilkan gaun, tas, dan sepatu limited edition yang terbaru."
Pelayan itu mengangguk dan segera berlalu dari sana.
"Oh, ya, Sayang. Ini beberapa pakaian yang sudah Mami pilih. Kamu coba di ruang ganti sana. Nanti kamu pilih yang kamu suka," jelas Diana dengan nada yang sangat antusias.
Ara mengangguk. Dia mengambil pakaian di tangan Diana dan segera pergi ke ruang ganti yang ditunjuk.
Di dalam sana, Ara memandang pakaian tersebut dengan tatapan nanar. Tadi dia tak sengaja melihat label harga yang menggantung. Harga yang benar-benar membuatnya tercengang. Seumur-umur Ara belum pernah memiliki baju seharga tersebut. Terlalu tinggi dan mustahil dimilikinya yang hanya beruang rupiah.
Ara tak berselera mencobanya. Dia tetap memeluk baju tersebut dan keluar dari ruang ganti. Di sana dia tidak melihat Angelina dan Diana. Malah keempat kakaknya yang bersandar di dinding, seakan menunggu dirinya. Ara celingukan. Dia menatap ke segala arah dan tak menemukan seseorang yang dicarinya.
"Hmm, Kak?"
"Iya." Zander yang berada paling dekat, menghampiri Ara yang menampilkan raut bingungnya.
"Mami dan Mom ke mana?"
"Mereka di lantai 3. Katanya ada tas yang mereka incar. Dan kami di sini nungguin kamu nyoba pakaiannya."
Ara menggaruk rambutnya yang tak gatal. Dia bingung bagaimana menjelaskan keadaannya pada mereka semua. Jujur saja, ketimbang semua kakaknya, Ara lebih nyaman berbicara dengan Angelina dan Diana.
"Kamu sudah coba semua itu?" Zander memberikan tatapan pada pakaian yang Ara pegang.
Dengan pelan, Ara menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Kenapa?"
"Hmm, itu, Kak. Ara ku—"
"Kamu tidak suka modelnya? Atau kurang suka warnanya? Atau apa?" potong David yang membuat Aron dan Zander menatapnya kesal.
"Jangan potong ucapan Ara! Kamu tidak sopan!" tegur Aron dengan nada tegasnya.
David memasang cengiran lebar. Dia memberikan tanda damai dengan jari telunjuk dan tengahnya.
"Jadi, kenapa Ara?" tanya Aron yang kembali menatap sang adik.
Ara gelisah. Dia kembali menggaruk kepalanya yang tak gatal. Reaksi itu tak luput diperhatikan oleh keempat kakaknya yang masih diam dan menunggu penjelasan Ara. Sadar dia harus menjawab, Ara mendekati Aron dan berbisik pelan agar tidak terdengar yang lain.
"Bajunya mahal, Kak. Ara tidak punya uang." Ara menunjuk lebel harga pada baju tersebut.
Reaksi pertama yang Aron berikan adalah wajah yang berusaha menahan tawa. Dia menatap Ara dengan gemas dan hampir saja mengacak rambutnya bila tak mendengar suara lantang Zander.
"Kalian ngomong apa?" sela Zander, menghentikan aksi Aron.
"Tidak ada masalah. Ara hanya takut dengan harga pakaiannya," ungkap Aron santai yang membuat Ara menunduk malu.
Sedangkan Zander dan David malah membelalakkan matanya, kaget dengan alasan yang menurut mereka konyol. Padahal setiap mereka membeli pakaian atau barang apa pun, harga tak pernah menjadi masalah. Mereka bisa mengambil barang apa pun yang mereka suka.
Lain halnya dengan Xander yang sejak tadi memilih bungkam. Pertama kalinya dia mengamati Ara dengan seksama. Mata elangnya seakan menilai dan mencari tahu semakin dalam bagaimana perempuan yang menjadi adiknya itu.
"Ara, kamu ambil semua baju yang kamu suka. Harga tidak pernah menjadi masalah bagi keluarga Petrov. Bahkan jika kamu meminta mall ini, dengan mudah akan kamu dapatkan."
"Benar dengan apa yang dikatakan Kak Aron. Hal pertama yang paling penting adalah kamu. Jika kamu suka, ambil saja," sahut David yang juga mengamati kebimbangan Ara.
Dengan ragu, Ara hanya bisa mengangguk. Dia tidak nyaman jika harus menolak dan berdebat dengan semua kakaknya. Kembali masuk ke ruang ganti dan mencoba beberapa helai pakaian yang dipegangnya, Ara memutuskan mengambil beberapa helai yang pas di tubuhnya.
Sejam kemudian, mereka semua memilih makan di luar sembari menunggu kedua wanita yang belum selesai dengan belanjaanya.
Ara yang awalnya ingin menghampiri Diana dan Angelina langsung dilarang oleh Zander. Mereka memaksanya makan di kafe yang tak jauh dari sana untuk mengisi perut.
"Ara pesan apa?" tanya David yang duduk di sampingnya.
Ara menoleh. Dia menatap menu makanannya yang asing di lidahnya.
"Ice cream." Pilihan yang menurunya aman.
David mengangguk dan memesankan pesanan mereka. Selagi menunggu, Ara berpamitan ke kamar mandi.
"Mau Kakak antar?" tawar Zander yang ditolak Ara dengan gelengannya.
"Bentar doang, Kak."
Ara segera pergi dan mencari letak toilet. Tatapannya yang celingukan ke segala arah, tidak menyadari seseorang yang datang dari arah depannya. Ara tetap menoleh ke samping hingga badannya menabrak orang tersebut. Dan ....
Brukk!
"Aws," ringis Ara pelan.
Posisinya yang terduduk dengan kedua tangan menahan bobot tubuh membuat telapak tangannya lecet. Belum lagi dengan bokongnya yang sakit. Sepertinya Ara selalu sial akhir-akhir ini. Sedangkan orang yang ditabraknya masih berdiri kokoh di depannya. Sepertinya hanya Ara yang terpental.
"Ceroboh." Setelah mengatakannya, lelaki tersebut melewati Ara dengan santai. Dia tak berniat menolong Ara yang menatapnya nanar.
Dengan sedikit menahan perih, Ara bangun dari duduknya. Dia masuk ke toilet beberapa saat untuk memperbaiki penampilannya. Tangannya yang tergores terasa perih saat menyentuh air. Setelah dirasa cukup, Ara kembali ke mejanya di mana Zander dan David yang menyambutnya dengan tatapan khawatir.
"Kenapa lama?"
"Hmm, tadi Ara bingung letak toiletnya."
"Kan sudah mau Kakak antar, kamu malah nolak," omel Zander yang disambut senyum tipis.
Hingga saat Aron tak sengaja menyenggol lengannya dan membuat telapak tangan Ara tergores meja, dia langsung terpekik perih. "Aws!"
"Kamu kenapa?"
"Ada apa?"
"Ara?"
Ketiga kakaknya bertanya heboh, sedangkan Xander tanpa kata langsung menarik lengan Ara yang membuat Ara kembali meringis kecil.
Dengan geraman tertahan, Xander menatap ke dalam manik mata Ara. "Siapa yang melakukannya?" tanyanya merujuk pada telapak tangan Ara yang memerah.
Ara bungkam. Dia melarikan tatapannya agar tak menatap Xander yang memberikan menatapnya tajam. Suasana semakin dingin dan penuh ketegangan. Ara ingin menarik tangannya, tapi gagal karena pegangan Xander yang semakin erat. Bahkan tatapan lelaki itu sangat tajam, seakan dapat menguliti bagian tubuhnya dengan mudah. Sedangkan ketiga kakak lainnya menunggu dengan tatapan tajam.
Bersambung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top