04. Dimensi yang Terbalik
Adzan isya sudah berkumandang tiga puluh menit lalu. Derap langkah para santriwati terdengar keras, desas desus suara pelan menggelora di udara. Rara berjalan berdampingan dengan Dinda, di depannya ada Fatimah dan Raya. Mereka berempat sedang menuju kamar. Setibanya di kamar, keempat santriwati itu membereskan peralatan mereka dan bersiap-siap untuk belajar atau tidur.
Dinda dan Raya mengambil sebuah buku berisi tulisan arab--yang diyakini oleh Rara adalah buku cerita bahasa arab, soalnya besok merupakan tugas bercerita menggunakan bahasa arab. Rara melepaskan hijab serta kaos kaki, lalu membiarkan dua kancing gamisnya terbuka. Dia kepanasan. Memakai baju kurungan ayam itu berhasil memproduksi dua kali lipat keringat, belum lagi kainnya yang panjang sampai menutupi maka kaki menyebabkan Rara sering tersandung kain gamisnya. Seharian ini terhitung lebih dari dua puluh kata umpatan keluar dari mulutnya.
Fatimah menggelengkan kepala, tak habis pikir gadis di depannya ini di luar ekspektasinya. Dia sudah mengira Rara adalah gadis resek yang tidak bisa diam. Tapi, setelah melihat perilaku Rara hari ini, benar-benar mengerikan. Tadi, sebelum shalat isya, tepatnya selepas shalat maghrib, biasanya para santriwati duduk di dalam masjid pondok mendengarkan ceramah singkat dari Ustadz Mukhlis. Tapi Rara, gadis itu malah mengendap endap keluar dari masjid dan lebih memilih duduk dekat taman sambil membuka kerudung, mengibas rambut ombre abu-abunya agar tidak menghalangi angin malam mengeringkan keringat. Fatimah dibuat melongo atas perbuatan Rara itu, tak lama Ustadzah Putri datang sambil memberengut sedang mengintai Rara--Fatimah tahu dari sorot mata Ustadzah Putri yang tajam mirip laser--dan siap memberi hukuman. Akhirnya, Rara mencuci piring para santriwati sehabis makan sambil mendumal dan mengumpat pelan.
Fatimah mengembuskan napas, menarik lagi, mengembuskan angin itu dari hidung pelan-pelan. Dia melirik Dinda dan Raya yang asyik berceloteh, menghapal cerita dalam bahasa arab yang akan diujikan besok siang.
"Sialan! Harusnya kuku cantikku tidak berkerut jelek seperti ini. Semua ini gara-gara Ustadzah Putri, kalau saja tuh orang tidak menyuruhku mencuci piring pasti kuku cantikku tidak seperti ini." Rara mendumal sambil memperhatikan kesepuluh jari tangannya. Mulut gadis itu mengerucut seperti bebek.
"Kamu membuat kesalahan, melanggar tata tertib, makanya Ustadzah Putri menghukum kamu." jawab Fatimah.
Rara berdecak. Percuma dia mengatakan hal itu, pasti jawabannya tetap sama, kamu melanggar aturan, makanya kamu dihukum. Hah! Benar-benar menyebalkan. Padahal ini pondok bukan penjara, tapi rasanya sama saja. Malah lebih baik di penjara daripada di pondok, di sana masih bisa pergi ke mana saja asalkan memberi sedikit tips pada sipir yang berjaga sebagai uang tutup mulut. Lah, ini, boro-boro hengkang dan menghirup udara segar, malah kena hukum karena tidak ikut mendengarkan ceramah yang apa itu--Rara saja sulit mengingatnya.
"Damn!" umpatnya dan mendapati pelototan tajam Fatimah. "Percuma ngomong sama kamu, Fatimah. Kamu tuh mirip kayak Ustadzah Putri, terlalu kaku dan taat aturan banget." katanya sambil membuka kancing gamis, kemudian menanggalkan baju tersebut sehingga menyisakan tank top ketat warna hitam.
Baik Dinda, Raya, maupun Fatimah melongo dibuatnya. Fatimah langsung menyambar kerudung Rara dan memakaikannya secara paksa.
"Kamu itu, aduh ... tolong, Rara. Aku harus bilang berapa kali? Walau kita sesama perempuan tetap ada batasannya. Kamu buka baju terus bagian dadamu terlihat, mengundang hal negatif nanti. Kamu perempuan, Rara, pakai tata kramamu." Fatimah berbicara sehalus mungkin sambil menekan amarah yang meronta menyembur keluar.
Rara diam saja ketika Fatimah kembali memakaikan kerudung besar itu. Dia memutar kedua bola mata seraya mengumpat. "Please deh, Fatimah. Aku sedang malas membahas ini." Tubuh gadis itu menegap, siap untuk keluar dari ruangan. "Aku selalu bingung dengan cara berpikir kalian. Sedikit-sedikit tidak boleh. Begini dilarang, begitu dilarang. Terus harus bagaimana? Harus pakai baju gorden kegedean itu seharian? Panas!"
Dinda dan Raya melepaskan buku, menatap sendu Rara. Rara sendiri merasa bodo amat dengan apa yang dipikirkan ketiga teman sekamarnya. Dia muak. Dia masuk ke pondok karena janji konyol yang dibuat tiga tahun lalu bersama ibunya. Dia tidak berniat sedikit pun untuk masuk ke tempat flat ini. Rara berjalan mendekati pintu kamar, hampir memutar gangang pintu sebelum suara Fatimah terdengar di telinganya.
"Karena Allah sayang sama wanita, itulah kenapa Allah memerintahkan kita, para wanita, untuk berhijab, menutupi tubuh cantik kita ini dengan kain segede gorden yang kamu maksud." Nada suaranya lembut, namun ada aksen marah di sana.
Rara membalikkan tubuh seraya bersedekap. "Tolong jelaskan padaku, jika yang kamu katakan itu benar. Itu tidak masuk akal, okay? Kita wanita yang hidup di zaman millenial, yang bahkan kesetaraan gender telah dilegalkan. Lalu, kenapa kamu mempermasalahkan cara berpakaianku yang terkesan seksi atau buka-bukaan?" ucapan itu berhasil melenyapkan bunyi di ruang kamar. "Wanita boleh berekspresi sesuka hati mereka. Terus, salah jika aku mengekspresikan diri dengan berpakaian demikian? Pemikiran kalian terlalu kolot dan bodoh."
Dinda dan Raya tertegun berulang kali. Mulut Rara memang tidak ada sistem filter yang baik. Kata-kata yang keluar dari mulutnya bagaikan rentetan peluru yang siap menembus jantung para lawan. Dan lawan mereka harus hati-hati, memasang strategi terhebat agar tidak terkena serangan peluru tersebut.
"Kamu penganut paham feminisme ya? Hng ... paham yang mengangkat kesetaraan gender adalah hal terbaik untuk perempuan dan membolehkan perempuan berekspresi sesuka hati mereka tanpa kenal batasan. Berarti kamu setuju dong untuk dijadikan fantasi seks karena pakaian ketatmu yang meningkatkan birahi laki-laki." Fatimah tak mau kalah. Bukannya dia membuka ajang debat, namun, cara memberitahu Rara memang harus memakai logika belum bisa memakai dalil. Maka, Fatimah patut mencari cara agar Rara paham maksudnya.
"Enggak lah." maki Rara.
"Rara," panggil Raya. Gadis itu menarik lengan Rara supaya duduk di ranjangnya sembari mengulas senyum indah yang menenangkan. "Aku tahu maksud kamu. Mungkin ini terlalu tiba-tiba sampai kamu bingung kenapa harus memakai baju ini, padahal kamu dibesarkan dengan paham barat yang melegalkan cara berpakaian walau itu melanggar batasan agama." Raya melirik Fatimah dan menangkap anggukan kepala sebagai tanda meneruskan ucapannya. "Jadi begini, Rara. Kita hidup di dunia tidak lain dan tidak bukan untuk beribadah kepada Allah, Tuhan Semesta Alam. Kita percayai satu hal, kita hidup, bernapas, makan, dan segala hal di dunia ini telah dirancang Allah jauh-jauh hari sebelum kita ada di bumi. Maka sepatutnya kita menaati Allah."
Raya menghela napas, mencari udara segar untuk menyejukkan pikirannya. "Aku perumpamakan. Ada sebuah perusahaan, Allah ibarat CEO, pimpinan perusahaan, dan kita adalah karyawan. Kalau CEO meminta kita mengerjakan penjualan hari ini, maka kita mengerjakan penjualan hari ini. Kalau CEO meminta kita membenarkan pekerjaan maka kita akan membenarkan pekerjaan. Kita tidak protes akan perintah itu, toh memang itu tugas kita bekerja di perusahaan. Sama halnya dengan kehidupan, Allah itu pimpinan kita, apapun yang Allah perintahkan kita lakukan. Entah itu baik atau buruk untuk kita, kita tidak tahu. Yang menilai baik atau buruk untuk kita itu Allah, Dia yang Maha Tahu. Sampai di sini paham?"
Rara menaikkan alisnya. "Okay, terus hubungan sama pake hijab segede gorden itu apa?"
Fatimah mengambil alih. "Sama dengan hijab. Allah menurunkan firman pada Nabi kita Muhammad shallallahu'alaihi wasallam agar para wanita di dunia menutup tubunya dengan kain penutup. Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Quran surah Al-Ahzab ayat 59. Nah di sana sudah jelas Allah memerintahkan wanita untuk menutup tubuhnya agar tidak diganggu." katanya. "Selain tidak diganggu, kita, para wanita, dapat pahala sebagai bonus karena udah menaati perintah Allah ini. Wanita memakai hijab itu ibarat mutiara asli dari laut, yang ambilnya dari kerang dan menunggu lama banget agar mutiara itu terbentuk sempurna. Dan ... hanya orang-orang tertentu saja yang bisa membelinya, karena apa? Karena dia mahal, dia berkelas, dia tak tersentuh, dia enggak ada yang menyamai. Beda sama mutiara imitasi, yang kena pencet sana-sini. Yang sering dipakai sama orang-orang sehingga enggak ada kelebihan sama sekali. Mutiara imitasi itu ibarat para wanita yang enggak pakai hijab. Mereka dengan mudah didapatkan dan dengan mudah dibuang, soalnya murah, cari lagi bisa."
Ucapan Fatimah menohok ke ulu hati Rara. Dia terdiam sejenak, merenungi setiap bait kata yang keluar dari bibir gadis di depannya. Mereka dengan mudah didapatkan dan dengan mudah dibuang, soalnya murah, cari lagi bisa. Kalimat itu mengingatkan dia pada teman-temannya di Amerika. Di mana, di sana dengan mudahnya berhubungan seksual tanpa status pernikahan. Parahnya lagi, mereka sering gonta ganti partner seks, itu sebabnya sebagian teman Rara di Amerika terkena penyakit aneh.
Gila, untung aku tidak berhubungan seksual sama Joshua. Jadi, dia masih penasaran sama aku. Kalau aku udah kasih keperawanan aku ke dia, mungkin nggak ya dia bakalan bosan sama aku dan memilih wanita lain? Batinnya bergejolak, menimbulkan sebuah tanda tanya besar yang selama ini dia timbun dengan ego.
Ketiga teman sekamar Rara menangkap kejanggalan dari raut muka gadis itu. Lalu, Dinda mengelus lengan atas Rara, menatap teduh iris mata cokelat yang sedang terjadi guncangan besar setelah perdebatan sengit tadi.
"Allah sayang sama kita, Rara. Allah menunjukkan kasih sayangnya lewat Nabi Muhammad yang memerintakan para wanita terdahulu untuk menutup hijabnya. Bukan untuk mengekang atau membatasi gerak gerik wanita, tapi untuk menjaga kehormatan wanita itu sendiri." Dia menggenggam kedua tangan Rara. "Kita tahu, wanita adalah makhluk terindah dimuka bumi. Yang dilahirkan dari tulang rusuk Nabi Adam. Wanita itu butuh perlindungan dan dengan adanya hijab, wanita merasa terlindungi dari pelecehan seksual, dari kriminal. Kamu tahu tidak, orang-orang akan lebih segan bila berhadapan dengan wanita berhijab dibandingkan wanita tidak berhijab. Mereka akan lebih menghormati wanita berhijab. Banyak kasus di luar sana, seperti pemerkosaan di jalan, pelakunya adalah wanita berpakaian minim, yang tidak malu memamerkan aset berharga mereka. Syahwat laki-laki itu beda dengan perempuan. Mereka tanpa di kode dulu, sudah bereaksi, apalagi ditambah tubuh perempuan yang bahenol, mereka tambah kejang-kejang untuk mencicipi tubuh seksi itu. Paham kan?"
Rara menganggukkan kepala. "Sekarang paham." Dia menatap ketiga temannya. "Maaf, tidak seharusnya aku berkata tidak sopan seperti tadi."
"Enggak apa-apa kok, Rara. Kami paham. Kamu baru mengenal islam, kamu baru memulai. Jadi jangan berkecil hati untuk bertanya jika tidak tahu, kami di sini insya Allah siap membantu kamu, kok." Itu Raya yang berkata.
"Iya, Rara. Kita ini kan saudara, walau tidak terlahir dari rahim yang berbeda, namun kita dipersatukan oleh agama. Jangan merasa sendirian ya... " Dinda ikut bersuara.
"Apapun itu, bila mengganggu pikiran kamu atau ada ribuan pertanyaan di otak brilian kamu, kamu bisa menanyakan pada kita. Misal kita enggak bisa jawab, nanti kita datangi para Ustadzah untuk lebih jelasnya. Oke?" Fatimah nampak tersenyum bahagia memandang Rara.
Rara terenyuh. Dia ingin menangis. Perhatian ketiga teman sekamarnya setara dengan kegembiraannya saat menonton konser band musik kesukaannya. Hanya saja, euforia antara konser musik dan kehangatan ketiga temannya, lebih melekat dan abadi oleh kehangatan ketiga temannya. Rara tak pernah sesenang ini, walau dia harus berdebat dulu. Tapi dia tidak menyayangkan detik yang berjalan, sebab detik itu sangat berarti baginya karena telah membuka sebuah pintu yang Rara tutup rapat-rapat.
:: ADORA LISTIANA ::
Sumber :
Uniessy. 2016. HamasSaad Deluxe. Cirebon : LovRinz Publishing. Bab Tak Tersentuh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top