03. Cobaan menjadi Bunglon
Rara bangun gelagapan seperti dikejar ribuan pasukan orc di film The Lord of The Ring. Napasnya tersendat sendat, melirik ke kanan dan ke kiri mendapati wajah gelisah teman sekamarnya; Fatimah, Dinda, dan Raya.
"Kamu nggak apa-apa, Rara?" Itu suara Dinda, raut wajah terkejut kentara di sana.
Rara masih mengatur napasnya, kemudian mengangguk. "Iya." jawabnya.
Dinda berinisiatif mengambilkan sebotol air mineral dan memberikannya pada Rara. "Minun dulu."
Rara menerima air kemudian menenggukkan sampai tandas.
"Kamu tadi kenapa deh?" tanya Raya. "Mimpi buruk?"
Rara menggeleng. "Bukan. Cuma kaget aja dibangunin mendadak sama kalian. Ini masih pagi banget." ucap Rara sambil mengucek mata, mengusir kantuk yang mencengkeram dirinya.
"Kalau kamu tidak bangun sekarang, aku tidak yakin hidupmu akan berjalan normal hari ini." Fatimah membuat air mukanya seolah sedang memberitahu hal terburuk setelah bertemu kuntilanak di area makam keramat. "Ustadzah Putri enggak akan biarin para santriwati leyeh-leyeh sebelum shalat subuh."
Rara mendelik tak percaya. Hampir saja dia mau membantah, seorang wanita berkerudung hitam panjang dengan penutup wajah--hanya terlihat kedua matanya saja--menatap nyalang keempat gadis yang masih anteng di tempat.
"Ukhtina, ini jam berapa?" suaranya, Rara yakin wanita itu bernama Ustadzah Putri, terdengar mengerikan.
Mau tak mau mereka berempat membereskan peralatan dan bersegera menuju masjid pondok. Tapi, langkah kaki Rara terhenti oleh cekalan tangan bersarung hitam milik Ustadzah Putri.
"Rara, kamu harus pakai hijabmu." Ini terdengar seperti perintah Hitler yang tidak segan-segan akan membombardir prajuritnya jika membangkang.
Rara mengangguk pasrah, lebih baik cari aman daripada harus berurusan dengan wanita yang hanya terlihat matanya itu.
:: ADORA LISTIANA ::
"Beneran aku harus pake baju ini?" Rara tak percaya setelah menatap pantulan dirinya di cermin kamar. Dia membolak balikkan tubuh sembari mengamati perbedaan besar dari pakaian yang dipakainya sekarang. "Berasa ondel-ondel." ungkapnya.
Fatimah maju, memegang pundak Rara. Lalu menatap gadis itu layaknya mutiara yang baru lahir dari cangkang kerang. "Iya. Cantik kok. Iya nggak?" tanyanya pada dua gadis lain di kamar, Dinda dan Raya.
"Cakep banget kayak bidadari turun dari surga." puji Dinda dan Raya bersamaan.
Rara tersenyum sekilas, mematut lagi pemandangan baru di matanya. Mungkin dalam pengelihatannya terkesan aneh dan kuno, tapi lambat laun dia mulai menyukai pakaian gombroh ini. Apalagi, tiga teman sekamar yang baru dikenalnya kurang dari dua puluh empat jam bersorak cantik, dia merasa bahagia.
Mereka berempat menyiapkan peralatan untuk pelajaran hari ini. Tak lupa sebuah kain warna hitam yang diyakini Rara adalah cadar. Entah kenapa baik dari Fatimah dan teman sekamarnya sampai Ustadzah Putri mewanti-wanti Rara membawa itu disetiap pembelajaran. Rara sendiri hanya iya-iya saja ketika diberitahu, selebihnya bablas.
Lalu, keempat gadis itu berjalan beriringan menuju kelas. Di sana tertata rapi meja dan kursi berjumlah dua puluh buah. Sedikit memang, satu angkatan hanya ada dua puluh orang, itu untuk putri, putra juga dua puluh orang. Jadi, di pondok ini delapan puluh siswa yang belajar.
Rara meletakkan peralatan tulis beserta tetek bengeknya di atas meja, bersiap menerima pelajaran, walaupun dia sendiri tidak yakin akan betah berlama-lama duduk di kelas yang flat ini.
Tak lama seorang wanita berbaju sama dengan Ustadzah Putri masuk ke ruangan sambil menyapa para santriwati yang sudah duduk rapi di kursi masing-masing.
Di tengah pelajaran semua santriwati diam memperhatikan. Sesekali mencatat apa yang ditulis oleh ustadzah di papan. Mereka semua rajin dan tekun.
:: ADORA LISTIANA ::
Dia sedang berada di tengah pesta salah satu temannya. Berdansa mengikuti tabuhan musik yang berdetak detak, menimbulkan sensasi senang luar biasa. Tangan Joshua meraih pinggangnya, menari bersama Rara. Gadis itu dengan sukarela melingkarkan kedua tangan ke leher Joshua sambil sesekali mencuri cium bibir laki-laki itu. Semua berjalan seperti keinginannya, mulus tanpa terjal. Tapi, mendadak segalanya mandek saat kedua netranya bersi tatap dengan seorang wanita berbaju hitam dan berkerudung hitam. Wajah wanita itu nampak marah, walau hanya terpancar dari sorot kedua mata. Itu Ustadzah Putri. Dengan serta merta Rara melepaskan diri dari pelukan Joshua, menyentak tangan besar itu dari pinggangnya hingga Joshua terkejut keheranan. Tanpa memedulikan tatapan Joshua, dia lari terbirit-birit layaknya maling yang tertangkap basah, memasuki setiap tikungan di depan. Mata nyalang itu hadir, berkilat amarah yang tertahan. Hampir saja Ustadzah Putri menepuk bahunya, Rara terantuk mejanya sendiri.
"Fuck!" umpatnya keras-keras, lalu mengusap dahi yang terbentuk ruam merah.
Dia mengangkat wajahnya, memperhatikan seisi ruangan. Semua mata tertuju padanya seolah olah dia adalah badut berambut kribo warna warni dengan hidung merah bulat. "Fuck off." umpatnya lagi, tapi dengan nada rendah.
"Rara di kelas saya ada aturan. Dan kamu sebagai santriwati di sini harus mengikuti aturan saya."
Suaranya memang bernada lembut, namun ada kesinisaan yang terselip. Rara cikep di tempat, tak lagi berkutik.
"Saya tidak suka santriwati tidak konsen, tidur, atau mengobrol saat jam pelajaran saya. Jadi, saya harap kamu menghargai saya sebagai guru di sini, Rara." tegas ustadzah di depan. "Juga, dilarang mengumpat di kelas saya!"
Mati aja deh kamu, Ra. Gurunya kayak Hitler gini...
Mencari aman, Rara menaik turunkan kepalanya supaya omelan tersebut cepat selesai. Kemudian, keadaan kembali seperti semula.
:: ADORA LISTIANA ::
"Kok kamu bisa ketiduran pas pelajaran Ustadzah Fitri sih, Rara?" tanya Raya sembari duduk di bangku sebelahnya.
"Aku kasih tahu ya, dia salah satu ustadzah paling disiplin. Aku saranin jangan macem-macem sama Ustadzah Fitri." ungkap Dinda sambil duduk di sebelah kanan Rara. Gadis itu menyedot air putih di genggamannya.
"Kamu kok bisa ketiduran sih tadi? Padahal masih pagi lho, Rara. Jam delapan. Pusing aku kalau tidur jam segitu." Si Fatimah ikut andil dalam pembicaraan ini.
Rara mendengkus pelan, tak sadar telah menarik rok gamisnya ke atas sehingga telihat paha mulusnya. Rara melakukan ini bukan untuk pamer, tapi dia kepanasan. Gadis itu santai menggerakkan kain rok gamis layaknya kipas, tak peduli pelototan, tatapan mengancam, dan kilat mata meremehkan ditujukan untuknya. Sebodoh amat lah, pokoknya dia enggak kepanasan, dunia tentram.
Fatima tiba-tiba menepuk punggung tangan Rara sembari menarik turun rok gamis yang dikenakannya. Hampir saja dia akan memuntahkan omelan, wajah Fatimah terpasang garang.
"Kamu ini, selain bebal juga nekat." katanya pelan. "Aku tidak habis pikir sama kamu, Rara, nanti kalau Ustadzah Putri tiba-tiba lewat dan tahu kamu lagi enak-enakan ngademin pahamu itu, aku tidak yakin hidupmu sedamai setelah perang dunia kedua."
"Panas tahu nggak, Fatimah." Rara terus saja mengangkat rok gamisnya, menggerakkan kain itu agar menghasilkan sedikit angin. "Kalau kamu mau aku enggak melakukan ini lagi, tolong katakan sama pimpinan yayasan buat pasang AC di setiap kelas." kritik Rara.
Kadang gadis itu tak habis pikir, bagaimana bisa para siswa bisa belajar maksimal sedangkan keadaan ruangan panas dan kurang penerangan. Memang sih, kelebihan belajar di pondok ini adalah pemandangan asri dari alam sekitar. Pepohonan tinggi yang menaungi atap kelas, petak-petak sawah yang menguning, serta kicauan burung liar yang bertengger manis di batang pohon menambah ketenangan para murid. Tapi tetap saja, tidak bisa meningkatkan konsentrasi siswa bila tidak diimbangi oleh infrastruktur sekolah yang mumpuni.
Fatimah menghembuskan napas panjang. Susah sekali berbicara dengan gadis batu seperti Rara. Dia menutup paksa rok gamis itu hingga menutupi kaki jenjang Rara. Dia tidak takut mendapat tatapn nyalang Rara seperti orang mengajak perang.
"Kamu harus tahu Rara, pakaian ini untuk menutupi tubuh kamu dari pandangan orang lain yang bukan siapa-siapa kamu. Melindungi kamu dan menjaga kamu." tukas Fatimah.
Rara mengernyitkan dahi. "Maksud bukan siapa-siapa itu, orientasinya ke cowo?" Dia mengangkat satu alisnya. "Sepanjang yang kulihat, di sini enggak ada cowo yang lalu lalang, kebanyakan cewe. Terus apa yang dipermasalahkan?" tanyanya keheranan.
"Walau tidak ada cowo, tapi kan masih ada kita. Bagian badan kita ada beberapa yang tidak boleh terlihat di depan umum. Paha termasuk." Gadis itu tetap tenang menjelaskan pada Rara meskipun Rara tak menganggap serius. "Sebagai manusia kita tetap punya hasrat seksual, biarpun itu sesama jenis. Ada baiknya, kita menjaga itu agar tidak tertarik ke hal yang negatif dan merasa rendah diri karena tidak punya tubuh proporsional sehingga tidak mengundang kebencian dan kecemburuan."
Rara mengeryitkan dahi. Idih, kenapa juga mereka harus cemburu sama tubuh aku? Kurang semok kali mereka jadi gampang cemburuan.
"Dan juga," Fatimah menyerahkan secarik kertas bertuliskan bahasa arab. "Nanti ada pelajaran Ustdaz Mukhlis, dia mengampu pelajaran bahasa arab. Aku mohon sama kamu jangan buat keributan dikelasnya. Dia dikenal ramah, tapi tidak akan segan-segan mengusir santriwati yang berani menentang aturannya."
Rara hanya mengangguk sekali. "Iya, aku tahu."
"Jangan lupa pakai cadarmu. Itu digunakan ketika kita menerima pelajaran dari guru laki-laki."
"Kenapa dipakai waktu diajar guru laki-laki? Tadi, waktu pelajaran Ustadzah Fitri, kita tidak memakai cadar, lalu apa bedanya? Terus-terus kenapa juga Ustadzah Fitri pakai cadar di kelas padahal kita semua cewe." Serius, selain nyolot, Rara itu bebal bin ndablek. Dia tidak bisa langsung mengatakan ya bila diperintah, ada saja yang selalu didebat.
Fatimah terlihat ogah-ogahan. Dia menunjuk Raya agar menjelaskan pada Rara.
"Jadi begini, Rara. Gender kita sama laki-laki pasti beda."
"Iya lah." tukas Rara cepat.
"Maka dari itu kita harus membatasi, bukan berarti mengekang. Ustadzah Fitri tidak melepaskan cadarnya saat mengajar ya ... itu keputusan beliau. Tapi biasanya Ustadzah Fitri melepaskan cadar asalkan satu, pintu ruangan tertutup. Ini mencegah agar tidak ada seorang laki-laki pun melihatnya, walau kita tahu di tempat ini kemungkinan kecil ada laki-laki lewat. Tapi apa salahnya membentengi diri?" Raya mendekatkan tubuh pada Rara. "Terus, soal kita pakai cadar saat pelajaran Ustadz Mukhlis itu juga sebagai benteng kita terhindar dari syahwat atau hawa nafsu. Kamu pasti tahu apa itu syahwat?" tanya Raya yang dihadiahi muka bego Rara. Gadis itu mendengkus pelan, benar-benar butuh kesabaran ekstra. "Syahwat dalam KBBI itu artinya nafsu atau keinginan bersetubuh. Seorang laki-laki akan turn on--maksudnya gejolak birahinya melonjak bila melihat wanita seksi dan cantik. Kaum laki-laki langsung blingsatan. Mereka itu punya imajinasi yang liar, kalau boleh ku bilang. Meskipun kita sudah tertutup dengan pakaian ini, tapi kita enggak bisa menampik hal-hal negatif yang lainnya kan? Makanya, kenapa saat pembelajaran yang diampu oleh guru laki-laki, kita, para santriwati, diharuskan memakai cadar untuk meminimalisir kemungkinan-kemungkinan buruk yang tak terduga. Paham?"
Rara melongo di tempat. Dia bertepuk tangan seolah-olah telah mendapat pengajaran psikologi manusia. "Hebat-hebat. Tak aku sangka, kamu berpikir sampe sana. Jangan-jangan kamu ingin jadi psikater ya?"
Raya menepuk jidatnya. "Ih, dikasih tahu malah enggak didengerin. Terserah kamu deh. Intinya, jangan lupa pake cadar saat pelajaran Ustadz Mukhlis. Dan jangan sampai Ustadzah Putri tahu kamu melanggar ketentuan ini. Mengerti?"
"Wow, you like my mother, suka mengatur. Tapi, baik lah, ini juga untuk kesejahteraan hidupku." ucap Rara enteng.
:: ADORA LISTIANA ::
Banyak orang bilang waktu adalah investasi berharga yang tidak bisa diulang, diperbaharui, dan dihentikan. Waktu sangat bernilai, mungkin bila dibeli dengan segunung emas, tak dapat membelinya. Tapi, itu tak berlaku untuk Rara. Lebih baik melewati waktu daripada mendengarkan perkataan seorang laki-laki di depan sana. Pada awal pelajaran Rara berusaha memahami, tapi dia juga tidak paham. Apalagi si Ustadz Mukhlis itu bicaranya mirip kereta cepat, nggak ada jeda. Barangkali ini hadiah dari Tuhan agar Rara merilekskan kepalanya.
Gadis itu memelintir ujung cadar yang menutupi wajahnya kecuali mata. Oh, ya, pertama kali memakai cadar dia sempat membentak Dinda sampai Dinda nyaris menangis karena terkejut sekaligus takut. Pasalnya, memakai cadar tidak semudah menggaris alis mata. Belum lagi, kain harus dipastikan menutupi wajah kecuali kedua matanya. Wah ... berasa pakai karung goni di wajahnya. Untung saja Rara masih waras, jika tidak dapat dipastikan dia menginjak cadar tersebut sambil memaki orang yang membuatnya.
Kembali lagi, setelah memelintir kain cadar, sekarang dia malah meniup niup sampai kain itu terbang pelan ke atas. Biarpun hal itu sangat aneh bagi Rara, setidaknya bisa membunuh kebosanan yang mendera. Rara terus bermain, tidak menghiraukan beberapa tatapan mata yang mengamatinya.
Lalu, dia dikejutkan oleh geprakan meja, menimbulkan bunyi keras hingga mengagetkan para santriwati. Rara sendiri menatap malas Ustadz Mukhlis di depan sana dengan raut muka dingin seperti ingin melahap dirinya. Kain transparan pemisah antara guru dan siswa bergerak pelan seiring hembusan angin.
"Adora Listiana." panggil Ustadz Mukhlis.
Nah, jika suda dipanggil nama lengkap begini, sebentar lagi Rara akan kena getok pastinya.
"Iya, saya, Ustadz." jawab Rara.
"Sepertinya saya harus membacakan aturan main di kelas saya." ucap Ustadz Mukhlis datar.
Rara diam saja. Berasa kayak game online aja ada aturan mainnya.
"Pertama, saya tidak suka murid yang tidak konsen ketika saya mengajar. Kedua, saya tida suka ada aktivitas lain, kecuali yang saya kehendaki di dalam kelas saya. Ketiga, saya tidak suka kamu main-main dengan cadar lalu dengan seenaknya menganggu konsentrasi teman lain karena suara hembusan napasmu yang kencang itu."
Wah, wah, macam lapas tahanan aja di sini, sedikit-sedikit dilarang. Dumal Rara dalam hati.
"Paham kamu, Rara?" Ustadz mukhlis sudah bisa mengotrol emosi yang sempat terpancing.
"Iya, saya paham, Ustadz." jawabnya.
"Oke, semoga kamu bisa mengerti ucapan mu tadi."
Oke siap, Ustadz. Saya enggak akan melakukannya sekali.
:: ADORA LISTIANA ::
Mereka berempat kembali ke kamar setelah berkutat dengan pelajaran hari ini. Kepala mereka hampir meledak karena timbunan pelajaran. Akhirnya, mereka berempat memutuskan untuk beristirahat di kamar sembari menunggu adzan maghrib berkumandang.
"Kalian harus tahu, aku capek!" teriak Rara sambil menjatuhkan diri di kasur kamar. Matanya tertutup tidak kuat menahan kantuk.
Kelakuan Rara juga ditiru oleh Dinda dan Raya. Sedangkan Fatimah tetap kokoh duduk di pinggir kasur memperhatikan ketiga temannya. "Alhamdulillahi'alaa kulli hal. Segala puji bagi Allah atas segala keadaan."
Raya dan Dinda bangkit. "Eh, iya lupa. Astaghfirullah, kita malah ngeluh." ucap kedua gadis itu. "Alhamdulillahi'alaa kulli hal. Segala puji bagi Allah atas segala keadaan." Raya dan Dinda bebarengan.
Rara tersentak dari kasurnya, menatap bingung ketiga gadis itu. "Kok kalian mengucap itu, apa manfaatnya?" tanya Rara.
"Hadist riwayat Ibnu Sunni yang di shahihkan Al-Hakim, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam kalau beliau sedang ditimpa musibah selalu berucap demikian. Katakanlah kejadian enggak asyik yang bikin capek, beliau selalu mengatakan kalimat itu. Ya, daripada ngeluh, mending ngucap syukur sama Allah, setidaknya kita bersyukur atas apa yang dikasih Allah sama kita hari ini." Fatimah menjelaskan.
"Dan, aku pernah baca quote di bukunya Dee Lestari, begini bunyinya, semua peristiwa hanyalah semata-mata peristiwa, tapi cara kita menyikapinyalah yang memberi label. Entah itu diberi judul tragedi atau keberuntungan. Intinya, ya, tinggal cara pola pikir kamu. Kalau mau beruntung atau baik, coba kamu berpikir dengan baik, semisal, wah, tadi aku dapet banyak banget pelajaran seneng deh rasanya. Entar capeknya hilang. Beda kalau kamu berpikir, aduh, pelajarannya segunung everest males deh. Jadinya badan dan otak kamu terdiatraksi jadi capek. Gitu." Raya bersuara, menyambung perkataan Fatimah.
"Garis besarnya, syukuri apa yang terjadi buat hari ini, Rara." Dinda menambahkan. "Susah amat kalian berdua ngomong kayak gitu." omelnya.
Rara sendiri terdiam mengamati interaksi tiga gadis di depannya. Ada letupan kebahagian di hati, setidaknya ini bisa mengikis keletihan yang menggerogoti jiwa dan raga Rara. Dia bersyukur.
:: ADORA LISTIANA ::
Assalamu'alaykum guys, uhuy I am come back. Maaf ya enggak update-update. Mendadak kehilangan kata karena tak disuguhkan makanan buat sahur. Ehehe. Lupakan kealayan ku.
Sebenarnya mau ngetik banyak sih, tapi ... karena jempol aku enggak bisa diajak kompromi, jadi segini aja deh ya...
sampai jumpa ke chapter selanjutnya.
Tara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top