02. Bencana Abad 21

Indonesia, 2019.

Penerbangan kali ini tidak semengasyikkan tahun-tahun sebelumnya. Rara hanya memandang gumpalan awan dari balik jendela pesawat, bergumam menyanyikan lagu yang terputar diponselnya. Pandangannya menerawang jauh ke sana, menanti keputusan mendadaknya. Rara menghela napas panjang, mencoba mengusir semua kegundahan dihati dengan menutup kedua bola mata.

:: ADORA LISTIANA ::

Deruman mesin mobil, gesekan ban dengan aspal jalan, dan suara melengking klakson membangunkan Rara dari alam mimpinya. Pagi ini dia pergi ke suatu tempat, entah itu Rara tak tahu, bersama mamanya. Dia menguap lebar dan disambut tepukan pelan dibibir oleh tangan mamanya.

"Kamu ini, ke mana tata krama mu selama ini, Rara? Tidak sopan menguap lebar seperti itu." ungkap mamanya sambil melotot.

Rara hanya mengangkat sebelah alis, mengubah pandangan dari mamanya ke jalanan di luar jendela. Mata gadis itu mengerling hampir melotot malah. Di luar sana, hamparan sawah terlihat hijau membentang jauh, barisan pepohonan berdiri tegak seolah mereka abdi negara yang kedatangan tamu agung. Rara menegakkan punggung, mengamati tanpa jenuh pamandangan hijau khas pedesaan. Rasa rindu menyeruak, mengingatkannya pada kampung halaman yang telah lama dia tinggalkan. Tiba-tiba ingatannya tertarik mundur ke hari kemarin. Dia belum memberitahu Joshua tentang keminggatannya ke Indonesia, pasti laki-laki langsung menelponnya sambil marah-marah. Ah, ini juga salah satu hal yang berat bagi Rara untuk meninggalkan Amerika belum lagi segala tetek bengek yang membawa kedamaian selama tiga tahun terakhir.

"Mama yakin kamu akan senang tinggal di tempat yang mama pilihkan." Mamanya mengembangkan senyum dengan sorot mata bahagia. Tangannya mengelus bahu Rara.

Rara hanya bisa mendengkus pelan sembari memaksa seulas senyum untuk mamanya. Ya, yang mama anggap tempat terbaik untukku, bisa jadi tempat terburuk untukku. Aku menanti itu. Dia mendumal dalam hati.

Tak ada percakapan sampai mobil menggiring mereka ke sebuah bangunan luas tertutup tembok. Perjalanan mereka diisi oleh kebisingan angin yang bertubrukan dengan kaca mobil serta bentangan sawah di sisi kanan dan kiri jalan.

Di depan sana ada bangunan luas, sayangnya bagunan bagian dalam tidak terlihat karena terhalang tembok. Rara mengernyit, berpikir keras tempat yang akan dia datangi bersama mamanya.

Ada sebuah tulisan yang tertempel pada gerbang bangunan tersebut. Pondok Pesantren Abi-Umi. Seketika tubuh Rara menegang bagaikan kesetrum jutaan volt listrik tegangan tinggi.  Wait, wait, jangan bilang mama... batinnya memberontak. Belum sampai dia melakukan konfrontrasi pada mamanya, Rara mendengar suara wanita itu agar segera mengikuti dia.

Dalam edaran pengamatan Rara, kedua netranya tak menangkap keanehan, hanya saja ada yang janggal, kenapa tempat ini sepi sekali? Di mana semua orang? Dia membenarkan tas ransel yang membebani kedua bahu mungilnya sembari menyamai langkah sang mama. Sekali lagi, kejanggalan hadir, jika tadi tak seorang pun tak ada di halaman, sekarang bergerombol wanita berjalan santai sambil mendekap buku di dada. Pakaian yang mereka pakai lebih pantas dikatakan gorden kebesaran atau kurungan ayam, itulah yang melintas dipikiran Rara. Lalu, Rara dan mamanya masuk ke dalam ruangan kotak berwarna hijau muda. Dari tatanan perabot seperti piala, buku, dan beberapa penghargaan tertata rapi mirip kantor direktur hanya saja di sini tak ada AC dan kaca besar untuk menonton barisan kendaraan yang terjebak kemacetan.

"Silahkan, Bu diisi dulu formulirnya dan lengkapi persyaratannya." kata seorang wanita sekitar tiga puluh tahunan seraya menyerahkan beberapa kertas.

"Iya, Bu." Mama Rara menerima kertas tersebut, lalu segera mengisi secepat kilat. Di sana dibubuhi nama Rara dalam kolom nama pendaftar.

Sekejapan Rara mendogak disertai amarah yang menggelora di wajahnya. Dia menahan tangan mamanya untuk melanjutkan mengisi formulir itu. Rara dari tadi diam saja, dia sedang menganalisa hal apa yang sedang mamanya rencanakan, tapi, setelah melihat gelagat mamanya dan formulir di meja, semua sudah jelas bagi Rara.

"What the hell, Mama. Apa maksud semua ini?" makinya tanpa sadar. Suara gadis itu meninggi hingga mengundang tatapan penasaran dari orang lain di dalam ruangan. "Aku menolak masuk ke pondok!"

Mama Rara menyentak tangan anak gadisnya. "Jaga sikap kamu, Rara. Siapa yang mengajarkan mu mengumpat di depan mama?" Tidak hanya Rara yang terbakar amarah, mamanya juga. Kilat mata tak senang berkibar di sana.

Rara menggerang, tatapan mata gadis itu menikam tajam ke kedua mata mamanya. "Aku mengikuti semua perkataan mama tanpa membantah. Aku mengorbankan semua cita-citaku demi janji yang aku buat dengan mama. Tapi, ku mohon, Ma. Kali ini saja, jangan masukkan aku ke tempat ini. Mama tahu sendiri bagaimana perangaiku."

Wanita pemberi formulir yang duduk di depan Rara dan mamanya berkata agar tetap tenang, bila membutuhkan tempat privasi dia akan mengantarkan dua orang keras kepala berstatus ibu dan anak itu ke tempat lain.

Mau tak mau, Mama Rara menyetujui perkataan wanita tadi. Dia berjalan mengikuti wanita itu disusul Rara di belakang. Mata Rara enggan meredupkan amarah, tangannya terkepal kuat sampai pembuluh vena hampir menyembul keluar.

"Nah, silahkan, Bu, ini tempat yang baik untuk kalian berdiskusi terlebih dulu. Saya ada di ruangan tadi jika anda mencari saya." ujar wanita itu sambil tersenyum ramah pada Rara dan mamanya. Kemudian melenggang keluar.

Mama Rara menghela napas panjang sorot mata teduh terlihat di kedua mata tuanya. Air muka kemarahan terganti wajah memelas. "Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Rara." Suaranya terdengar serak seperti menahan tangis.

"Yang tahu mana yang terbaik untukku atau bukan, itu aku mama. Mama tidak boleh seenaknya memilih ini-itu dengan asas yang terbaik untukku, aku bukan anak kecil lagi, Ma. Aku sudah dewasa, umurku saja hampir dua puluh tahun." katanya berapi-api.

"Lihat apa yang kamu katakan barusan? Rara yang mama kenal tidak pernah membantah, tidak pernah membentak orang tua di depan umum, dan selalu menjunjung tinggi tata krama. Ke mana semua itu?"

Rara memutar kedua bola matanya, jengah menghadapi sikap mamanya. "Please Ma. Itu aku yang dulu. Time's change everything, who knows?" nada bicara gadis itu terkesan ogah-ogahan.

Mama Rara kembali menghela napas. Diamati putri semata wayangnya. Dia tidak mengira kepulangan Rara setelah menetap tiga tahun di negera orang bisa mengubah seratus delapan puluh derajat sikap gadis itu. Dulu yang murah senyum kini tidak segan-segan memberikan tatapan tajam dan kata-kata mematikan. Mama Rara mengira bila melarikan Rara ke sana akan membuat gadis itu lupa dengan masalah yang menggandulinya. Tapi, dia salah kaprah tentang semua persepsi yang bersemayam di kepalanya. Rara berubah, benar-benar berubah. Anak itu ada di depan matanya, namun seolah jauh untuk digapai. Tak ada lagi kehangatan terpancar dimatanya, tak ada lagi rangkulan penenang jika dia merasa kesepian, dan tak ada lagi belas kasih yang patut ditunjukkan. Mama Rara terdiam sejenak, mengenang masa lalu sambil membentangkan harapan untuk anaknya.

Rara risi diperhatikan seperti narapidana kelas kakap. Dia membuang muka, memandang apa saja agar tidak terlibat kontak mata dengan mamanya. Dia sadar seratur persen tindakannya tadi berhasil membuktian bahwa dirinya adalah anak pembangkang. Menjatuhkan harapan mamanya yang membumbung tinggi. Tapi, Rara harus menyadarkan mamanya, dia tidak bisa tinggal di pondok. Dia bukan gadis tiga tahun lalu yang diam saja bila dunia menikamnya dari segala arah. Dia bukan gadis tiga tahun lalu yang hanya bisa menangis jika tak ada seorang pun membantunya. Dia bukan Rara tiga tahun lalu yang lemah dan hanya bisa meronta meminta bantuan.

Suasana hening menyelingkupi ruangan berwarna serba hijau itu. Belum lagi hawa panas menyusup ke kulit dua orang itu sehingga Rara harus mengipasi tubuhnya dengan tangan.

"Mama tidak sangka, kamu sama dengan ayahmu. Senang sekali membuat orang bersedih. Mama kira kamu tidak sama dengan laki-laki itu." Mamanya bersuara.

SKAKMAT!

Tahukah kalian rasanya diceburkan dalam kolam es batu? Nah, seperti itu reaksi Rara. Dia mendadak kaku, badannya sulit digerakkan. Sorot matanya menajam hingga mamanya tahu sebentar lagi sisi gelap Rara mengambil alih tubuh anak gadisnya.

"Harus aku bilang berapa kali... "desisnya. "JANGAN PERNAH SAMAKAN AKU DENGAN LAKI-LAKI BRENGSEK ITU!" bantahnya dengan nada tinggi.

Mama Rara tersentak kaget, padahal dia sudah menyiapkan diri untuk bertempur kata-kata dengan Rara. Namun, dia tidak memperkirakan reaksi Rara yang ini.

"Jangan pernah sebut dia di depan wajahku, Ma. Dia bahkan tidak pantas menyandang gelar ayah. Apa ada seorang ayah yang meninggalkan keluarganya di saat terpuruk? Kecuali dia laki-laki bajingan." makinya sambil ngos-ngosan layaknya orang lari marathon dengan jarak empat puluh dua kilo meter.

Mama Rara membuka suara. "Maka buktikan pada mama jika kamu tidak sama dengan laki-laki itu. Buktikan pada mama jika kamu lebih hebat dari dia, bisa berdiri tanpanya, dan bisa hidup tanpa bantuannya sama sekali. Buktikan pada mama, Rara!"

Rara terhenyak di tempatnya. Pikirannya tidak bisa diam. Gerakan matanya nampak gelisah. Pertarungan hati dimulai lagi. Dia diam, mematangkan semua keputusan yang tiba-tiba menberontak masuk ke kepalanya.

Mamanya menggeser duduk untuk mendekati Rara, mengusap punggung tangan anaknya barangkali bisa menurunkan gejolak yang terjadi di dalam diri putrinya. "Mama percaya kamu bisa, Sayang. Mama percaya kamu tidak akan mengecewakan mama seperti laki-laki itu." kata mamanya sambil terus mengusap punggung tangan Rara.

Rara hampir saja meneteskan air mata bila saja dia tidak ingat di mana gadis itu berada, maka sebagai gantinya, Rara menggenggam erat tangan tua mamanya, menyalurkan ribuan kepercayaan lewat sana. "Iya, Ma. Aku akan buat mama bangga." Kali ini Rara membiarkan semua berjalan sesuai alur takdir, membawa seklumit harapan yang menguap, dan menina bobokan  segala ego yang bersarang.

Rara bangkit dari duduk, berjalan mendekat ke mamanya, kemudian merengkuh tubuh rapuh itu, membenamkan semua rasa membludak hari ini. Dia hanya butuh penenang agar tidak menyesal esok hari. Dia hanya butuh pelukan dan usapan lembut di kepala sebagai tanda ada orang yang menyayangi dan mempercayainya. Rara hanya butuh itu.

"Sekarang bagaimana, kamu mau?" tanya mamanya hati-hati.

Rara memperhatikan keriput yang mulai memamerkan diri di wajah mamanya. Rara menggigit bibir bawahnya, kelu untuk berbicara. Tak lama dia menjawab, "Iya, Ma, aku mau masuk pondok."

:: ADORA LISTIANA ::

Assalamu'alaykum guysss.

Fyuh *ngelap keringat. Ternyata ngetik cerita sambil dikejar waktu tuh gini, wus wus, cepet banget, ibarat kita ada di tengah-tengah pertikaian Infinity War terus tetiba ada Thanos di depan, eh lari sekenceng kencengnya deh tuh. Ahaha.

Oh iya, pondok pesantrennya Rara aku ambil nama dari Pondok Pesantren Tahfidz Quran Abi-Umi Mahad 'Aly, itu di boyolali ya kawan di jalan Sidomulyo, Ampel, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah 57352. PPTQ ini awalnya untuk anak SMP, tapi dua tahun lalu, tepatnya 2016, mereka membuka Pondok Pesantren untuk lulusan SMA, dan yahhh ... inilah pondok pesantren yang pingin aku masuki tapi gagal. Kalau enggak salah pas aku tanya sama santriwati sana, mereka masih angkatan pertama dan kalau aku masuk aku angkatan kedua. Wow. Berasa apa gitu haha. Dan lagi di pondok pesantren itu enak banget, deket dengan alam, bangunannya warna hijau-hijau semua ihiiirrr.

Ya sudah lah, aku bingung mau ngomong bukan ding ngetik apalagi. Aku akhiri, terima kasih.

TARA

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top