일
.
.
.
〔 ❁ -; ᴀ ᴅ ᴅ ɪ ᴄ ᴛ ᴇ ᴅ〕
.
.
.
Seoul, ibukota Korea Selatan, yang eksistensinya tidak pernah padam. Tempat dimana seluruh penduduknya terjaga dari pagi hingga malam, dari satu hari ke hari lainnya, tempat dimana kesibukan dan nyala lampu akan terus ada.
Gangnam sendiri merupakan distrik yang juga tidak pernah tertidur. Apa yang kau harapkan dari Gangnam? Mereka memiliki semuanya disini. Gangnam adalah tempat dimana kau bisa menghamburkan seluruh kekayaanmu tanpa kau sadar. Kau akan menemukan banyak hal menarik di Gangnam. Tampan, jelek; kaya, miskin; baik, buruk; terang, gelap. Semuanya hanya tergantung kemana kau melangkahkan kakimu, yang menjadi penentu dari nasibmu sendiri.
Nasib ya?
Tapi dia sudah tidak ingin percaya dengan nasibnya lagi.
Ong Seongwoo, pria dengan helai sehitam jelaga yang menghiasi kepalanya, merapatkan mantel usang yang ia kenakan. Rasa dingin yang menusuk, atau juga angin yang berhembus, tak membuatnya beranjak dari tempat dimana ia berpijak. Dengan mata yang memandang lurus pada bangunan megah di depannya, Seongwoo mengepalkan tangannya.
Ini kesempatan terakhirnya.
Jika Seongwoo ingin melihat dirinya sendiri masih hidup di kemudian hari, mengonsumsi makanan selain sebungkus ramyeon dalam satu hari, dan secara ajaib dapat membayarkan hutang-hutang sang appa yang baru saja membunuh dirinya sendiri minggu lalu dengan begitu tidak bertanggungjawabnya, serta hidup dengan normal lagi-maka Seongwoo harus masuk.
Seongwoo tidak bisa terus berlarut dalam duka, sementara rentenir mengancam nyawanya jika ia tak bisa membayarkan hutang sang appa. Untuk pertama kalinya, bola mata Seongwoo nyaris melompat keluar melihat nominal hutang yang ditunjukkan padanya. Keluarga Seongwoo -ia dan ayahnya- hanyalah keluarga biasa, tidak kaya tidak juga miskin. Dan Seongwoo baru menyadari, bahwa keuangan keluarganya yang akhir-akhir ini pasang surut, merupakan hasil perbuatan appanya yang berjudi.
Dengan segala kehormatan, Seongwoo menerima undangan dari salah satu club ternama yang begitu terkenal karena sisi lainnya, untuk datang dan membayarkan hutang sang appa.
Lampu neon bertuliskan Wahl VVIP Club and Casino menyilaukan pandangnya. Seongwoo sudah membayangkan seperti apa keadaan di dalam sana; penuh dosa yang belum pernah dilumurkan pada dirinya. Seongwoo ingin pulang, tapi ia tidak bisa. Ia sudah membayar sangat mahal dengan tabungannya untuk menjadi member disana, dan maka, ia harus kesana. Ini kesempatannya, ini adalah tempat dimana ia menaruh harapan besar untuk hidupnya, ini adalah tempat dengan jaminan begitu besar untuk mendapat keuntungan yang begitu diharapkan.
Atau malah, kau akan 'mati' di dalam sana.
Mau bagaimana pun, Seongwoo sudah siap menanggung apa yang akan terjadi. Masuk ke dalam sana sendiri sudah menjadi suatu jalan akhir, yang menandakan, ia akan mempertaruhkan segalanya. Tidak banyak pilihan yang bisa dimiliki jika sudah menginjakkan kaki dan bertaruh di dalam sana. Seongwoo memang naif, tapi ia mengerti soal yang satu ini.
Seongwoo menarik nafas. Telapaknya meremat tumpuk uang di balik saku mantelnya, uangnya yang terakhir, yang akan ia taruhkan di dalam. Akan bagus jika ia bisa melipatgandakan uang yang tak seberapa itu seelah bermain di dalam. Seongwoo bahkan harus belajar secara otodidak dengan menonton video permainan kartu di ponselnya.
Meski ia sadar, semuanya akan berbeda saat kau bermain di lapangan secara langsung.
Dan Seeongwoo tidak pernah bertaruh, seumur hidupnya ia tidak pernah melakukannya. Tapi sekarang ia harus.
Gila, tapi Seongwoo tidak punya pilihan lain.
"Tidak apa. Kau akan mendapatkannya Seongwoo, kau akan mendapatkan uang dan membayar hutang, sehingga kau bisa hidup tenang setelahnya."
Seongwoo beranjak dengan langkah kecil juga setengah ragu; Tubuh kurusnya ia tuntun, masuk ke dalam tempat dimana ia akan selamat atau bahkan mati.
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
Seongwoo mengernyit. Hal pertama yang ia tangkap sebagai seorang pemuda berusia 23 tahun yang baru merasakan seperti apa sebuah club, adalah berisik. Suara pekikan yang bersahutan dengan bunyi dentingan berbagai benda, yang dilengkapi dengan dentuman musik, sudah mampu membuat Seongwoo mual dan muak. Ditambah, udara yang begitu penuh bau-bauan menyesakkan, membuatnya susah untuk sekedar menarik nafas.
Seongwoo memilih untuk menyingkir sejenak. Ia mendudukkan dirinya segera di salah satu kursi bar yang kosong. Tangannya menumpu kepalanya yang sudah berdentam terlebih dahulu. Menyentuh meja permainan saja belum. Sial, bahkan ia belum lima menit berada di dalam sini, tapi ia sudah ingin segera keluar dan pulang.
Maniknya bergerilya, melirik tiap sudut yang bisa ia tangkap, dan berakhir pada deret botol kaca berisi minuman keras di bar. Seongwoo tidak ingin terlalu beresiko dengan menyicip salah satu minuman disana. Selain karena harga yang jelas melubangi seluruh kantungnya, ia juga tidak ingin mabuk. Ia hanya ingin bermain, mendapat keuntungan, lalu pulang dengan hati lega.
Meski ia sudah berusaha bersikap tenang dan berpengalaman di dalam sana, ragu terus melintasi hatinya. Seongwoo benar-benar merasa tengah berdiri di tepian jurang, dimana sewaktu-waktu ia bisa terjatuh, dan menyesali keputusannya mendekati jurang tersebut.
Dan sekali lagi, ia tak bisa berbuat banyak selain menyelesaikan harapan terakhirnya ini.
Seongwoo memutuskan berdiri setelah duduk sekitar lima menit di bar. Bukan karena bartender yang memandangnya heran, atau karena beberapa orang yang melemparkan berbagai pandangan padanya; pandangan tertarik, pandangan menilai, pandangan melecehkan, dan pandangan lain. Hanya saja, Seongwoo merasa harus pergi dari sana dan cepat menyelesaikan apa yang menjadi tujuannya kemari.
Mungkin, memang hanya perasaannya saja, tapi Seongwoo merasa diperhatikan.
Seongwoo tidak ingin menoleh, mencari apa yang mengganggu dan membuatnya risih. Ia tau, bahwa hal itu mungkin akan beresiko pada dirinya sendiri jika ia menolehkan kepalanya. Jadi, pria itu memutuskan untuk segera melangkah ke bagian dimana meja meja permainan kartu sudah tertata.
Seongwoo harus berhasil.
Harus.
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
"Lucu sekali."
"Apanya?"
"Seorang pemuda lugu yang baru saja masuk ke dalam asetmu ini, dengan sekantung uang di saku mantelnya kurasa, dan terkapar lemas bahkan belum lima menit setelah menginjakkan kakinya di tempat ini."
"Kau memperhatikan dengan baik, dude. Menarik perhatianmu?"
Sepasang mata elang kecokelatan di lantai upper base terpaku pada salah satu dari lautan manusia yang memenuhi lantai base. Maniknya bergerak, mengikuti arah gerak pria surai hitam di bawah sana, bahkan ketika pria itu melangkah menuju meja permainan kartu. Sudut bibirnya tertarik pada satu sisi, menciptakan seringai kecil pada wajah tegasnya.
"Menarik sekali."
Pria di sisi kanannya, sang pemilik dari Wahl VVIP Club and Casino menghembuskan asap putih panjang. "Kau ingin mengusirnya?"
"Oh tidak," pemilik manik elang kecokelatan berdiri. Tangannya menepuk satu sisi jas yang dirasa kotor olehnya. "Aku akan 'membunuhnya'."
"Kau mau kemana?" pria pemilik Wahl menegakkan punggungnya, menyadari pemilik manik elang melangkah menjauh dari meja mereka.
"Bermain."
"Ruang bermain di sebelah sana, kalau kau lupa- oh, jangan bilang-"
"Aku akan bermain di lantai base."
Pria surai hitam terbatuk. Tangannya meletakkan rokok elektrik yang sejak tadi ia hisap. Dua alisnya terangkat tinggi, keheranan.
"Kau serius? Banyak yang mengincarmu disana- maksudku, uangmu dan nyawamu."
Manik kecokelatan tertawa dengan suara parau khas miliknya. "Aku akan mengincar satu terlebih dahulu."
"Kau bertindak gegabah. Nyawamu, dude. Ini tentang nyawamu."
"Sejak kapan Kwon Hyunbin berubah menjadi seorang pria melankolis seperti ini?" manik cokelat itu tenggelam ketika sang pemilik tertawa. "Dan sejak kapan nyawaku tidak pernah tidak terancam?"
Pria bernama Hyunbin menghembuskan nafas panjang. Bahunya mengendik pasrah sebagai jawaban pada lawan bicaranya.
"Mati saja kau, bangsat."
"Jangan sekarang," maniknya kembali turun menelusuri lantai base hingga bertemu dengan surai hitam yang cukup mudah dikenali dari atas sini. Ia tersenyum. "Belum sekarang, Kwon."
"Terserah."
"Ah Hyunbin," sang pria menghentikan langkahnya sebelum benar-benar turun ke lantai base. "Bisakah aku meminta padamu untuk mengamankan board pertama yang terdekat dengan bar?"
.
.
.
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
To be continue
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.
.
.
.
.
.
a/n: Saia nggak tau mau sampaiin apa. Saia mau bilang so sorry yeorobun. Semoga dengan konsep yang lebih mendorong ini, saia jadi bisa lancar menuliskannya;"))
Myane yeorobun, luv u;"))
Myane juga untuk molor apdet, habis kena ceramah hmz. Saia usahakan untuk bisa double apdet, mungkin jam setengah sepuluh kalau lancar yeorobun~
And, double update for this night! So, scroll down juseyo!
Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vomment ya yeorobun;)
XOXO,
Jinny Seo [JY]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top