십삼

Good bye, guys:*

.
.
.

〔 ❁ -; ᴀ ᴅ ᴅ ɪ ᴄ ᴛ ᴇ ᴅ〕

.
.
.

Seongwoo mengerjap, membiasakan bias cahaya yang menerobos masuk melalui celah tirai yang menghalangi jendela. Ia duduk, menahan rasa sakit yang menyerang tubuh bagian bawahnya secara mendadak.

"A-ah-," sang surai hitam merintih pelan, terkejut dengan rasa kebas di kedua kakinya. Barulah ia menyadari hal lain ketika ia memutar kepalanya, memperhatikan tiap sudut kamar yang ia singgahi.

Ini bukan kamarnya.

Satu persatu ingatan menyeruak masuk memenuhi kepala mungilnya. Tentang bagaimana ia mengenakan kemeja kebesaran, bagaimana semuanya berlangsung begitu panas, dan juga dari mana asal rasa kebas pada tubuh bagian bawahnya.

Seongwoo mengacak rambutnya kalut. Perlahan, ia bergerak turun dari kasur. Kamar kosong itu terasa memalukan baginya. Berbekal selimut tebal yang ia lilitkan di tubuhnya, Seongwoo berjalan tertatih keluar kamar.

Keadaan di luar kamar sendiri tak jauh beda dengan di dalam kamar. Sepi, tak ada tanda tanda orang lain di rumah besar itu. Seongwoo menghela nafasnya. Dengan langkah berat ia melanjutkan langkahnya, bermaksud kembali ke kamarnya, hingga sebuah suara memanggil dirinya.

"Seongwoo."

Seongwoo bergidik, mendengar nada otoriter yang berasal dari pria di belakangnya cukup membuatnya limbung sesaat. Pria di belakangnya sendiri sigap menahan tubuh Seongwoo.

"Kau baik?" Daniel menatap wajah Seongwoo lembut. Jemarinya merapikan poni Seongwoo yang sama berantakannya dengan sang pemilik. "Apa tubuhmu masih sakit? Aku sudah memberikan obat saat kau tidur."

Seongwoo membuka dan menutup bibirnya bak ikan. Pria itu kebingungan hendak menjawab ataukah berterima kasih lebih dahulu pada Daniel.

"Lepas selimut itu."

"E-eh?" Seongwoo menoleh terkejut. Beberapa kali ia mengerjap tak paham.

Daniel tak menjawab. Ia hanya menggerakkan netranya ke samping, bermaksud menyuruh Seongwoo untuk menjatuhkan selimut yang membalut tubuhnya. Mau tak mau, pria yang lebih muda menurut; Seongwoo menjatuhkan penutup tubuhnya lambat. Ia pun diam saja ketika Daniel mencengkram pundaknya, memintanya sedikit menunduk.

"A-apa yang d-daddy lihat?"

"Tubuhmu, diamlah."

Manik Daniel bergerak menelusuri tubuh Seongwoo. Beberapa berkas kemerahan yang tercetak di tubuh Seongwoo berubah menjadi lebam yang untungnya tak separah perkiraan Daniel. Daniel menarik nafasnya lega.

"Kita harus sarapan."

"A-aku tidak lap-"

"Kita. Harus. Sarapan. Apa itu kurang jelas di telingamu, Ong Seongwoo?"

Seongwoo menunduk, menatap gundukan selimut di kakinya semantara tangannya bergetar pelan. "T-tidak-," jawabnya.

"Bagus. Pakai lagi selimutmu, kita ke ruang makan."

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

Suara denting yang ditimbulkan dari peralatan makan yang saling beradu tetap tak bisa memecah rasa canggung diantara Seongwoo dan Daniel. Kedua pria dewasa itu hanya diam, menikmati makan mereka. Sesekali Seongwoo mencuri pandang pada Daniel, hanya sekian detik, kemudian melanjutkan makannya.

Anehnya, tak ada Jinyoung yang biasanya selalu berdiri di dekat Daniel, mengekori Daniel kemanapun Daniel pergi.

Seongwoo berdeham sekali, meminta atensi Daniel. "Jinyoung... Pergi kemana?," tanya Seongwoo setengah berbisik.

"Jinyoung?" Daniel mengerjap sejenak, mengingat kemana sang tangan kanan pergi. "Menemui kekasihnya yang masih bersekolah."

Seongwoo terbatuk. Segera ia meraih minum dihadapannya dan meneguknya cukup rakus.

"Memang, berapa usia Jinyoung? Bukannya dia masih muda-"

Daniel menggeleng. "Jinyoung berusia 21 tahun ini, kau berusia 23 tahun ini. Kalian berjarak dua tahun."

"D-dan kekasihnya-?"

"Jihoon? 16 atau 17 tahun kurasa."

Seongwoo membeku diam. Jinyoung... Berusia 21 tahun? Pria berkepala kacang itu tampak baru saja lulus dari bangku sekolah!

"Habiskan makananmu, setelah itu beristirahatlah di kamarmu. Got it?"

"Y-yes... D-daddy."

Percakapan singkat itu terhenti disana. Daniel yang sudah lebih dulu menghabiskan makanannya segera berdiri, hendak kembali ke kamarnya. Sebelumnya, ia sempat mengusap surai Seongwoo sesaat. Gerakan tersebut terang memunculkan semburat kemerahan di pipi yang lebih muda.

"Tinggalkan saja piringnya, Jinyoung akan membersihkannya nanti."

Pria yang lebih tua berlalu, meninggalkan Seongwoo di ruang makan sendirian, dan masuk ke dalam kamarnya.

Seongwoo meremat selimut yang membalut tubuhnya. Sementara itu, tangannya yang lain bekerja menepuk dadanya pelan. Setengah tertunduk, ia berbisik pada dirinya sendiri.

"What the fuck- my heart beat...."

.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
.
.
.

Daniel meletakkan penanya saat mendengar ketukan halus dari balik daun pintunya. Alisnya terangkat separuh, tampak heran dengan kedatangan Seongwoo kali ini.

Merasa tak ada jawaban, sang pengetuk mengetuk pintu kembali, membuyarkan rasa heran Daniel. Ia berdeham, kemudian menyahutkan kata masuk pada sang pengetuk. Tak lama setelah izin sang pemilik kamar, sebuah kepala menyembul dari balik pintu. Surai hitamnya menggantung, ditarik oleh gravitasi bumi.

Daniel menarik nafas lama, kemudian menghelanya. "Ada apa, sayang?," tanyanya dengan suara lembut.

Seongwoo melangkah masuk, tangannya memeluk erat selimut yang telah ia lipat. Diletakkannya benda tersebut di kasur empuk milik Daniel.

"A-aku hanya mengembalikan itu-," Seongwoo berputar, hendak berjalan menuju pintu. Sayang, Daniel sudah memanggil namanya terlebih dahulu. Pria yang lebih tua menggerakkan tangannya, meminta pada Seongwoo untuk mendekat. Mau tak mau, Seongwoo menurut.

"Yes?"

Daniel menarik tangan Seongwoo lembut, setengah memaksa Seongwoo untuk menunduk. Dalam keadaan membungkuk, Seongwoo menatap Daniel polos. Kedua kelopak matanya mengerjap beberapa kali.

Daniel hanya diam, tak menjawab Seongwoo. Tangan kanannya terulur, menyentuh pelipis Seongwoo pelan, kemudian mengusapnya sehalus sutera. Sembari mengusapkan jarinya, Daniel menangkup pipi Seongwoo yang sudah bersemburat kemerahan.

Yang Seongwoo kagumi adalah, kali ini, ia bisa melihat sebuah senyum tulus menghias wajah Daniel. Senyum yang ternyata begitu indah dan membuatnya nyaris menahan nafas cukup lama.

Seongwoo merasa linglung. Dari sekian banyak kemungkinan, kenapa Daniel harus tersenyum? Apa pria itu tak mengerti, bahwa tanpa sadar, Seongwoo menahan nafasnya sendiri melihat lengkungan tulus di bibir Daniel.

Daniel tersenyum untuknya.

Setidaknya itu lebih baik dibanding Daniel menciumnya secara mendadak. Mungkin Seongwoo benar benar akan pingsan karena semburat merah dan rasa pening di kepalanya.

"Kembalilah ke kamarmu, istirahat okay? Jangan menyakiti dirimu sendiri."

"A-aku tidak menyakiti diriku, sungguh-"

Daniel mengangkat sebelah alisnya. Jemarinya menelusuri kening Seongwoo yang mulai dihiasi bulir keringat. Sebuah dengusan konyol meluncur dari celah bibir Daniel. "Benarkah? Aku tidak yakin," ucapnya dengan nada gurau.

Seongwoo mengangguk cepat, memberikan persetujuannya bahwa ia sudah merasa jauh lebih baik, jauh. Setidaknya, tubuhnya tidak terasa sesakit ketika ia bangun tidur tadi. Sialan, Daniel . . . .

Daniel melepaskan kacamata yang menggantung di hidungnya diikuti helaan nafas panjang. Sebelah tangannya yang lain bergerak menuju lampu duduk yang menghias di mejanya, mematikannya dengan gerakan pelan. Pria yang lebih tua itu berdiri dari tempatnya semula. Tangannya ia letakkan begitu saja pada pinggang Seongwoo, kemudian mendorong sang surai hitam, menggiring Seongwoo pada kasur Daniel.

Daniel lebih dulu menjatuhkan tubuhnya di kasur, membiarkannya memantul beberapa kali, kemudian berhenti. Ia melirik Seongwoo yang masih berdiri gugup di tepian kasur.

"Come here, baby," Daniel membentangkan tangannya dan menepuknya dengan telapak tangan yang lain, meminta Seongwoo untuk menidurkan tubuhnya di sisi Daniel.

Seongwoo ingin menolak. Ia ingin tidur dengan tenang di kamarnya seperti sedia kala. Tapi, ketika ia melihat kilat lelah di balik manik Daniel, ia memutuskan untuk menunda tidur di kamarnya.

Seongwoo merangkak naik bak anak anjing; langkahnya pelan dan sedikit goyah, dilihat dari dua lengannya yang tampak tak kuat menopang dirinya. Dengan takut dan ragu, Seongwoo merebahkan kepalanya pada lengan Daniel. Dari jarak sedekat ini, ia jelas bisa mencium wangi segar yang menguar dari dada bidang Daniel.

Daniel menarik Seongwoo dalam sebuah pelukan. Refleks, Seongwoo meremat kaus yang Daniel kenakan.Wajahnya memerah, Daniel bisa melihat itu.

"Hey."

"Y-yes-?"

Daniel mengeratkan pelukannya, meminta Seongwoo untuk meringkuk dalam pelukan hangat yang ia berikan. Ia tenggelamkan wajahnya pada surai hitam Seongwoo, sesekali mengecupnya lembut dan menghirup wangi surai Seongwoo.

"I love you, baby-"

Seongwoo menggerakkan bibirnya, membukanya dan menutupnya tanpa suara sebab tak mampu menjawab pernyataan Daniel. Ia memilih untuk semakin mengeratkan genggamannya pada kaus Daniel.

"Apa tubuhmu masih terasa sakit?," Daniel menarik mundur wajahnya, hendak menatap tepat pada manik Seongwoo. "Apa kau butuh sesuatu?," sambungnya seraya mengusap pelipis Seongwoo pelan.

"I-ini hanya- hanya sedikit sakit... Tidak perlu khawatir, aku baik- sungguh."

Daniel menghela nafasnya kembali. Dalam gerakan cepat, ia mengecup bibir Seongwoo lembut. Tanpa paksaan atau nafsu, hanya kecupan manis pada bibir Seongwoo. Tangan kanannya mengusap-usap punggung Seongwoo, berusaha memberikan ketenangan pada Seongwoo.

Seongwoo sendiri tidak bisa diperlakukan seperti ini- diusap punggungnya dengan begitu lembut.... Sebab ia pasti akan jatuh tertidur-

Seongwoo mengerjap berat, menahan rasa kantuk yang seketika menyerangnya. Salah satu tangannya mengusap matanya, namun Daniel menahannya. Seongwoo merengek pelan, memberikan protes pada Daniel dengan separuh nyawanya yang siap untuk tidur.

Daniel tak melepaskan tangan Seongwoo. Ia justru memberikan kecupan ringan pada jari jari Seongwoo, pula ia berikan kecupan lain pada kelopak mata Seongwoo.

"Tidurlah, sugar."

Seongwoo memejamkan kedua kelopak matanya patuh. Setengah tersadar, ia menggerakkan bibirnya, bertanya pada Daniel. "Kenapa kau melakukan ini-?," tanyanya dengan bisikan lemah.

Daniel terkekeh. "I just miss you, Ongwoo-"

Seongwoo tak menangkap lagi suara Daniel setelahnya. Suara berat pria itu justru menghilang, digantikan dengan suara anak kecil yang begitu khas-

"Euigeon, euigeon-!"

-seperti suara dirinya.

". . . . . . Eui- geon?"

"Close your eyes and sleep, sugar. I'm here, and always here for you. I love you so much, Ongwoo-ah."

.
.
.
.
.
.
.

* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *
* . · . ✧ THE ˚ END ✦ . · . *
* . · . ✧ ˚ ✦ . · . *

.
.
.
.
.

a/n: Iya udah.
Udah gitu doang.
Dadah:*

HEHEHEHEHEHEHEHEHEHEHEHHE
Masih ada dua chap lagi kok frinz, kita flashback ria sama epilog yak :*

Jadi,
Iya udah, itu beneran the end. Bukan prank. Beneran. Dua rius.

Makasihhhhh banyak untuk kalian yang mau nunggu ini;____; makasih untuk kalian yang mau aku gantungin, yang terkena php, yang kena prank, yang kesel, yang seneng, dan yang lainnya. Thank you so much for your support, lets move on from this fanfic bCS THIS IS THE REAL END;______;

Gantung parah? Iya, gantung banget ya Allah sabar;( maafkan hamba manis ini ya frinz, tolonq jangan bakar saia, masih mau nulis untuk he's an art nah;(((

Thank you so much.

My pleasure to met all of you guise.

XOXO,
Jinny Seo [JY]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top