Ada Lima
Ada lima, termasuk aku.
Beragam rupa dan kisah.
Dari yang senasib hingga beda nasib.
Tapi, tujuan kami hanya satu.
Pergi dari sini hidup-hidup.
***
Hijaunya rumput membuatku rindu, mengenang masa di mana masih bisa menikmati indahnya sinar mentari yang kuning dan hangat.
Tinggal di sini, dunia rasanya hanya terdiri dari warna kelabu. Hambar rasanya tanpa bisa menghirup udara segar, melihat dunia luar, harus tetap tegar.
Di sini, kami hanya makan apa yang diberikan. Bentuknya hanya satu, yaitu berupa bubur merah muda. Baunya aneh seperti bahan yang biasa dipakai untuk berobat. Tapi, demi mengisi perut kami makan saja. Jika minta yang lain, yang ada hanya cacian.
“Sudah diberi gratis malah minta lagi! Dasar tidak tahu terima kasih!”
Setelahnya, kami hanya bungkam. Berserah diri dengan apa yang diterima.
Tinggal dalam satu ruang bersama empat orang lainnya, lengkap dengan keheningan dan kecanggungan, tiada rasa selama beberapa waktu terkurung di sini.
Aku tidak ingat banyak apa yang terjadi. Dahulu, aku hanya bermain bersama teman sebayaku di sebuah taman.
Muncul sosok pria datang kepadaku, menawarkan sebuah permen.
“Ini permen paling manis yang pernah diciptakan,” katanya sambil menyodorkan permen kecil berwarna merah muda. “Kamu yang terpilih untuk mencicipinya.”
Tanpa ragu, diriku yang tidak tahu menahu langsung menyantapnya kemudian lari menyusul teman-temanku.
Langkah kakiku terpacu mengejar teman-teman sambil tertawa riang. Bermain sambil mengecap permen manis ini. Hingga perlahan dunia terada berputar, kaki perlahan kaku, hingga kepalaku terbentur ke tanah.
Menyisakan kegelapan.
Disertai jeritan teman-temanku.
***
Begitu bangun, aku telah berada di ruangan kelabu ini bersama keempat anak lainnya. Mereka duduk memeluk lutut, sebagian berbaring, tapi tidak satu pun menyapa saat menatapku.
“Um, halo?” sapaku.
Hening.
Tiada dari mereka yang bahkan membuka mulut. Semua diam menatapku. Tatapan yang sama herannya.
Menyadari bahwa aku barangkali tidak akan bisa bicara lagi, kuputuskan untuk diam dan duduk di pojokkan. Menunggu dan menunggu.
Di sinilah aku berada. Bersama orang baru di tempat yang baru pula.
***
Langit biru tampak di sela jendela berjeruji. Aku dekati kemudian berusaha menghirup udara dari sana. Saking lamanya di sini, lupa bagaimana bau kebebasan itu.
Ada lima orang termasuk aku di sini. Kami diambil pada suatu hari, direngut dari tanah kelahiran tanpa tahu apa yang terjadi.
Tidak ada yang bicara, bahkan aku sendiri merasa berat saat hendak berbisik. Namun, kami semua tetap saling menerima, meski di sisi lain tampak lebih mengabaikan.
Terkurung di sini dan diberi makan makanan yang aneh, tanpa alasan yang jelas, membuat semangat hidup pudar.
Rasanya, tiada gunanya hidup di dunia candramawa ini.
Namun, aku tidak akan menyerah.
Kami akan keluar.
Kami harus pergi.
Suatu saat nanti jika takdir berkehendak, aku akan mengibarkan sayapku menuju langit biru.
Mencari keluargaku yang tidak pernah ada.
***
Ada lima, termasuk aku.
Meski tidak bicara, kami bisa saling memahami melalui isyarat.
Tapi, dengan ini kami juga harus bersabar dan menunggu sebelum melancarkan aksi.
Ketika penjaga yang biasa mengawasi kami pergi, kami mencoba mendobrak pintu. Setiap bunyi dentuman yang kami ciptakan, tidak menimbulkan suara lain melainkan dentuman tadi. Pertanda kami benar-benar aman.
Inilah kesempatan.
Makanan merah muda aneh itu memang terasa memengaruhi badan kami, membuat kami kian cepat letih. Tetapi, tekad kami tetap kuat hingga ...
Pintu didobrak.
Jatuh di hadapan kami.
Atas ketabahan dan kekuatan, kami bersama berhasil keluar dari jeruji besi ini.
Terpampang jelas rumput hijau menyambut. Artinya kami hanya dikurung di satu ruang kecil tanpa pengawasan yang berarti. Tampak warna lembayung senja menyambut mata, membuatku seakan telah bertemu dengan sosok yang telah lama tidak dijumpa.
Rasa rindu ini ... Membuat jantungku berdebar.
Rasa rindu ini membuat hatiku terasa berbunga.
Aku telah bebas.
Tapi, ada yang aneh.
Kami hanya dikurung semudah ini dan bebas secepat ini pula. Lantas, kenapa kami ditangkap dan dikurung? Jika benar tiada niat, kenapa bisa terjadi?
Aku tidak begitu memusingkan, kami pun saling tatap dan memantapkan diri.
Begitu mentari mulai tenggelam, kami meneruskan langkah ke depan. Tidak tahu pasti apa yang menghadang.
Kami akan maju.
Kami harus tetap maju.
Bergandengan kami berlari menembus hijaunya hutan di kelamnya malam.
Tidak ada yang terlihat melainkan bayangan kegelapan.
Tiada suara melainkan suara napas dan langkah kaki.
Napasku memburu, perlahan membuatku tersenggal. Tapi, tekad untuk bebas tetap berkobar. Demi bisa merasakan kehidupan lamaku yang indah.
Hingga tampak semburat cahaya dari kejauhan. Tampak bagaikan malaikat penyelamat.
Itu lampu jalanan menuju kota.
Sebentar lagi kami akan diselamatkan warga kota di ujung sana.
Kami akan keluar.
Kami telah bebas ...
Dor!
Jantungku berdegup kencang, napasku kian kacau. Bahkan kaki nyaris terjatuh akibat tidak fokus berlari saking gentarnya.
Rasa takut kembali menggelayut. Harapanku untuk bebas pecah bersamaan dengan bunyi tembakan itu. Seakan sebuah peluru menembus langsung ke kepala.
Bruk!
Bunyi benda jatuh menghantam tanah. Diiringi langkah kaki kami yang meleburkan suara kekacauan tadi.
Mataku tidak sempat menoleh, hanya melihat salah seorang dari kami jatuh.
Dia telah gugur. Bersama genangan merah dari kepala.
Kami tidak menjerit. Sejak awal kami tidak bisa bersuara meski berharap.
Kami tidak boleh bersuara. Tidak bisa menolong apalagi membopong.
Kami harus maju.
Kami harus tetap maju.
Meneruskan langkah, menghindari bunyi tembakan serta peluru yang melesat ke segala arah.
Beberapa pohon dan tanah tertembak, mereka tidak menjerit juga.
Lidahku kelu, ditambah tenaga kian menipis. Yang ada di benak adalah cara bebas. Setelah semua perjuangan ini, aku akan pergi, harus.
Kini tinggal kami berempat.
Ketika bunyi dentuman disertai bentakan menghias udara malam yang sunyi, kami berpegangan dengan erat.
“Sialan! Di mana mereka?!”
Suara itu tidak digubris melainkan dengan bunyi tembakan dan bentakan lain darinya. Bagai kesetanan, dia menjerit layaknya seekor serigala yang kelaparan dan geram akibat kehilangan mangsa.
Sayangnya, dia hanya berhasil menemukan satu. Itu pun tiada gunanya lagi baginya.
Aku menarik napas, mengumpulkan tenaga sebelum akhirnya melesat sambil menarik tangan teman-temanku.
Kami berlari.
Berlari dan terus berlari.
Menyusuri hutan yang gelap, disertai bunyi tembakan dalam ketakutan.
Kami akan bebas.
Kami harus bebas.
Jika perjuangan kami sia-sia, setidaknya kami tidak menunjukkan kalau kami pasrah.
Ketika bunyi mengerikan itu perlahan tertelan di dalam gelapnya hutan, kami akhirnya bisa tenang.
Meski kami tidak tahu pasti jika kami telah aman.
Aku terus menggandeng teman-temanku. Bertekad akan menjaga mereka hingga maut memisah.
Kami terus berlari. Meninggalkan semua kesialan ini. Menuju terbitnya mentari.
TAMAT
Cerita pendek ini terinspirasi dari lagu "Balonku Ada Lima" yang fenomenal itu. Yap, kalian pasti ingat lagu itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top