9
HOLAAAAAAA!
YUK DIBACA!
SEMOGA SUKAAA
HAPPY READING!
Kalau aku jadiin REFAL HADY visualisinya Mas Rama gimana?
huahahha aku lagi mabok yang brewokan!!!
asli deh! ahahahha
"Terima kasih sudash diantar sampai rumah ya, Papa Vano."
"Sama-sama, Ndien. Terima kasih juga karena kamu tadi sudah mau nemenin Vano sampai aku datang. Ada meeting penting dengan client, itu kenapa aku agak telat datang jemput."
Adrian. Aku sampai lupa kapan terakhir kali bertemu dengannya. Yang kuingat hatiku berdegup super kencang saat pertama kali melihatnya di ospek gabungan saat itu. Aku hanya seorang mahasiswi baru, sedangkan dia mahasiswa penggiat BEM.
Kisah ini hanya sepenggal kisah kekaguman yang terpendam. Selama bertahun-tahun kuliah, aku tak pernah menyampaikan perasaanku padanya. Sebagai gantinya, aku turut menjadi saksi tiap kali Adrian memadu kasih dengan mahasiswi-mahasiswi famous yang ada di kampus.
Meskipun berasal dari jurusan yang berbeda, tapi kami cukup kenal dekat. Kegiatan ospek gabungan yang diselenggarakan beberapa hari kala itu cukup membuatku sedikit salah paham. Pasalnya, Adrian kerap kali mendekatiku, mengajak ngobrol dan berbagai macam tindakan yang membuat kedua pipiku terasa menghangat.
"Vano, Miss pulang dulu. Vano sama Papa hati-hati di jalan, ya."
"Iya, Miss. See you tomorrow ya, Miss Andien."
Adrian turun dan membukakan pintu mobil untukku. Tepat saat aku turun dari mobil Adrian, mobil maskapai tempat di mana Rama bekerja pun tiba. Tatapan kami sempat bersirobok selama beberapa detik, tapi aku segera mengalihkan pandangan dan berpura-purra tengah berbincang dengan Adrian. Sadar kuabaikan, Rama menuju ke bagian belakang mobil dan membuka bagasinya. Ia mengeluarkan koper dinas yang selalu dibawanya.
Sudah setengah bulan ini kami tak pernah berbicara satu sama lain setelah kejadian di mall saat itu. Aku juga absen menikmati pemandangan di luar jendela saat dirinya ada di kamar Mbak Sandra. Memang sudah beberapa hari ini kamar Mbak Sandra gelap. Itu tandanya si empunya sedang pergi berdinas.
Sambil menggeret kopernya, ia menatapku sekilas dan sedikit tersenyum. Aku tak menghiraukannya. Setelahnya, ia masuk ke rumah Tante Wina.
"Aku masuk dulu, ya. Kak Andre sama Vano hati-hati di jalan."
"Ndien, aku sudah bukan seniormu lagi, lho. Kayaknya aneh kamu panggil aku begitu."
"Aneh kenapa, Kak?" sahutku. "Kan memang lebih tua Kakak. Atau mau dipanggil Papa Vano aja biar lebih profesional?"
"Jangan bercanda, Ndien," ucapnya terkekeh sambil menyugar rambutnya yang klimis karena pomade. Adrian memang sealu terlihat sangat rapih. Celana bahan, kemeja dan sepatu pantofel. "Kamu bisa panggil namaku. Supaya lebih enak didengarnya."
"Eh, jangan. Nggak enak."
"Kamu bisa tambahin 'Mas' di depannya, kaau kita ada di luar lingkungan sekolah," ujarnya.
"Okay. Aku masuk dulu ya ... Mas Adrian."
"Silakan, Ndien."
"Bye, Miss Andien."
OoO
Selesai makan malam, aku naik ke kamar dan mulai sibuk mempersiapan materi esok hari. Setelah semua properti bahan ajar selesai, kurasakan kerongkonganku sedikit kering. Aku butuh minum. Aku turun ke lantai bawah dan berjalan menuju dapur. Semua lampu sudah dipadamkan. Itu tanda semua penghuni rumah ini sudah masuk ke kamarnya masing-masing.
Kubuat segelas susu cokelat panas dan tak lupa membawa dua buah apel dari lemari es. Kunikmati apel dan susu cokelatku sambil menatap tenangnya langit malam ini. Ada begitu banyak bintang bertaburan di langit. Langit sangat cerah.
Susu cokelat dan apelku sudah hampir habis. Perutku kenyang, tapi aku sama sekali tak merasa mengantuk. Kuambil ponselku dan kuputar lagu yang ada di daftar putar.
Aku tersentak kaget saat tiba-tiba lampu kamar seberang menyala dan seseorang membuka jendela kamar. Tak sempat untuk menghindar. Kuputuskan untuk tinggal.
"Belum tidur, Ndien?" tanyanya. Aku tak menjawab. "Kamu masih marah sama saya?"
Tak kuacuhkan dirinya dan tetap menikmati lantunan musik yang sedang diputar. Aku bisa menangkap rasa frustasi yang nampak di wajahnya. Rama masih berdiri dan menyembulkan kepalanya ke luar jendela.
"Ndien." Kutatap dirinya. Ia mengisyaratkanku untuk melepas headphone yang terpasang di telinga. Tak usah dilepas pun aku masih bisa mendengar semua yang diucapkannya. "Kita bicara, Ndien."
Kulepas headphoneku sesuai permintaannya. "Mau bicara soal apa?"
"Saya minta maaf. Saya sama sekali nggak berniat untuk mencampuri urusan kamu. Maaf kalau kamu justru berpikiran begitu."
"Sudah selesai?"
"Ndien, jangan begitu. Saya terpaksa melakukan itu semua karena nggak suka kamu diperlakukan begitu. Mall itu ruang publik, Ndien. Ada banyak orang di sana yang lihat kamu diperlakukan begitu. Saya nggak bisa diam aja, sementara kamu habis sama keluarga mantan suami kamu."
"Baik. Saya maafkan Mas Rama. Saya juga minta maaf karena sudah berprilaku kasar. Saya harap Mas Rama juga mau maafin saya."
"Kamu nggak perlu minta maaf, Ndien."
"Semuanya sudah clear ya, Mas. Sudah malam, saya mau tidur. Selamat malam, Mas." Kuakhiri perbincangan kami dan menutup jendela serta tirainya.
Pagi harinya, aku sudah siap untuk berangkat kerja. Seperti biasanya, aku akan menumpang mobil Papa. Meskipun tujuan kami berbeda, Papa tak keberatan untuk mengantarku sebelum bekerja.
Kutunggu Papa di teras rumah. Aku sudah lebih dulu menyelesaikan sarapanku. Papa masih membutuhkan waktu untuk mengirimkan email yang diminta rekan kerjanya.
"Ayo berangkat, Ndien."
Aku dan Papa sudah siap untuk berangkat. Papa terlihat kesal. Mobilnya tak bisa menyala.
"Tadi sudah Papa panasin, lho. Kenapa, ya?"
"Yah, nggak bisa nebeng Papa, dong?"
"Kamu naik ojol aja gimana?" saran Papa. Aku mengangguk.
Gegas kupesan ojol untuk mengantarku kerja. Tapi, berkali-kali kucoba, hanya penolakan yang kudapat. Sepertinya lalu lintas pagi ini yang membuat para pengemudi ojol menolak orderanku.
"Sudah dapat?" tanya Papa. Aku menggeleng. "Coba lagi, Ndien. Paling Papa juga cuti dulu. Mau suruh orang bengkel lihat kondisi mobil."
Masih belum juga kudapatkan pengemudi yang bersedia mengantarku. Aku dibuat semakin panik karena hari sudah semakin siang. Sebelumnya, kukirim pesan pada Tante Winda dan memberitahukan kemungkinan keterlambatanku.
"Pagi, Om." Aku menengok dan menemukan Rama yang sudah berdiri di tembok pembatas rumah kami dengan rumah Tante Wina. "Belum berangkat?"
"Pagi, Ram. Belum. Kayaknya Om harus cuti. Mobilnya tiba-tiba mogok." Papa beralih melihatku. "Pesan taksi aja deh, Ndien. Daripada kamu terlambat ngajarnya."
"Iya, Pa."
"Andien mau ke mana?" tanya Rama.
"Andien sudah mulai ngajar, Ram," jawab Papa karena aku tak kunjung menjawab pertanyaan Rama.
"Saya antar ya, Ndien?"
"Diantar Rama ya, Ndien?"
OoO
Aku terpaksa mengiyakan tawaran Rama. Aku hanya tak ingin mengambil resiko datang terlalu terlambat ke sekolah. Aku masih baru. Kinerjaku jelas masih dalam pemantauan, meskipun Tante Winda adalah teman baik Mama. Aku tak ingin rekan-rekan guru yang lain mengira aku dianakemaskan karena mengenal baik Tante Winda.
"Ini helmnya, Ndien," ucap Rama. Ia menyerahkan sebuah helm bergambar Doraemon padaku. "Maaf, ya. Nggak ada helm yang lain di rumahnya Tante."
"Nggak apa-apa, Mas." Kuterima helm itu dan langsung memakainya.
Motor kami melaju membelah jalanan. Beruntung karena sekolah tempatku mengajar tidak berada di daerah rawan macet. Setidaknya butuh setengah jam untuk bisa sampai di sana.
Rama mengucapkan sesuatu, tapi aku tak bisa mendengar karena laju motor dan angin yang lumayan kencang. "Kenapa, Mas?"
"Pegangan."
"Apa?"
"Pegangan, Ndien."
"Pelanan? Jangan terlalu pelan, Mas. Nanti saya bisa terlambat."
Kulihat dari spion, Rama tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Tangan kanannya meraih tangan kananku yang kuletakkan di paha. Ia meletakkan tanganku ke pinggangnya. Seketika aku langsung merasa salah tingkah.
"Tangan kamu dua-duanya ya, Ndien. Pegangan supaya lebih aman," ucapnya saat ia memelankan laju motor. Aku hanya bisa mengangguk.
Kami sampai di sekolah. Aku terlambat. Gerbang sudah ditutup. Aku turun dari motor. Aku kesulitan membuka pengait helm yang kupakai.
"Saya bantu," ucap Rama. Ia memintaku mendekat. Tangannya mulai bergerak melepaskan pengait helm. "Sudah."
"Terima kasih ya, Mas."
"Selesai ngajar jam berapa?" tanyanya.
"Jam 11. Kenapa, Mas?"
"Langsung pulang?" tanyanya lagi. Aku menggeleng. "Masih ada kegiatan?"
"Evaluasi sebentar."
"Selesainya jam berapa?"
"Paling setengah jam."
"Aku jemput kamu, ya."
"Eh, nggak usah. Aku pulang naik ojol aja."
"Aku free selama beberapa hari ke depan, kok. Aku jemput kamu di sini. Jam setengah dua belas, ya." Rama mengambil helm yang ada di tanganku. "See you, Ndien."
Aku masih berdiri sambil menatap motornya yang semakin lama semakin menghilang. Kenapa dia terlalu perhatian padaku?
OoO
Pekerjaan hari ini selesai. Evaluasi pembelajaran hari ini juga sudah selesai. Semua murid juga sudah dijemput. Segera kubereskan barang-barangku dan bersiap untuk pulang. Bersamaan dengan beberapa rekan guru, aku berjalan melewati koridor sekolah.
Kutunggu Rama di tempat di mana ia memintaku untuk menunggu tadi pagi. Lumayan aku menunggunya, tapi Rama tak kunjung datang. Hari sudah semakin siang. Ponselku berdering. Ada satu panggilan masuk. Dari Rama.
"Ndien, saya otw. Bannya bocor, jadi tadi harus cari bengkel dulu untuk nambal. Kamu nggak keberatan kan kalau nunggu saya?"
"Nggak kok, Mas. Saya masih ada di sekolah."
Sepuluh menit berselang, Rama pun sampai. Ia segera memberikan helm bergambar Doraemon itu padaku.
"Kamu ada acara?" tanyanya. Aku menggeleng. "Mau temenin saya sebentar nggak?"
"Ke mana, Mas?"
"Ada barang yang harus saya ambil. Mau?"
"Boleh, Mas. Jauh?"
"Lumayan. Nanti saya traktir makan siang."
Tujuannya jelas sangat jauh dari rumah. Motor terus melaju sampai akhirnya masuk ke sebuah kawasan perumahan elit. Rama terlihat begitu akrab dengan dua satpam yang berjaga di pintu masuk.
Sebuah rumah besar berdiri di hadapanku. Pagarnya tinggi menjulang, otomatis menutup bagian dalam rumah dan menjamin privacy para penghuninya. Seorang laki-laki berumur sekitar 40 tahunan membukakan gerbang dan mempersilakan kami untuk masuk.
"Kok nggak telepon kalau mau pulang tho, Mas?" ucap laki-laki itu.
Pulang? Ini rumahnya? Gila, gede banget!
"Nggak apa-apa, Pak."
"Kalau pulang kan bisa dimasakkin makanan sama Bik Ning. Apa ada barang yang harus diambil, Mas?"
"Iya, Pak. Aku mau ambil playstation. Bosan banget di rumah Tante Wina nggak ada hiburan kalau pas libur. Oh, iya. Ini Andien, Pak. Ndien, ini Pak Muji yang bantu-bantu di sini."
Sebuah ruang tamu luas menyambutku. Sebuah foto keluarga berukuran besar dipasang di salah satu sisi dinding. Ada seorang wanita yang sedang bersih-bersih di sana.
"Mbak Ida, tolong buatin minuman dulu, ya."
"Baik, Mas."
"Ndien, kita ke ruang tengah, ya. Saya mau ke atas dulu ambil PS."
Rama meninggalkanku sendirian di ruang tengah. Wanita yang tadi diminta untuk membuatkan minuman datang. Segelas minuman es sirup berwarna merah tersaji di hadapanku dengan beberapa toples makanan ringan.
"Silakan diminum, Mbak."
"Terima kasih banyak ya, Mbak. Maaf sudah merepotkan."
"Sama sekali nggak, Mbak. Saya tinggal bersih-bersih dulu ya, Mbak. Mas Rama masih di kamarnya."
Rasa penasaranku membuat kakiku melangkah melihat-lihat ke seluruh penjuru ruangan. Ruangan ini terasa begitu nyaman. Sangat cocok untuk berkumpul dengan seluruh anggota keluarga. Saat aku tengah memperhatikan sebuah hiasan yang terpasang di dinding, Rama muncul.
"Kamu sudah lapar?" tanyanya. Aku menggeleng. "Kita ke dapur dulu. Siapa tau Bik Ning punya makanan untuk ganjal perut."
Aku berjalan mengekor di belakangnya. Kami sudah tiba di dapur. Seorang wanita tengah sibuk di hadaan kompor.
"Bik, ada yang bisa dimakan?" ucap Rama. Wanita itu berbalik dan terlihat sedikit terkejut.
"Lho, kok ada di rumah?" ucapnya.
"Ambil PS. Bosan nggak ada hiburan di rumah Tante Wina. Bibik masak apa?"
"Hari ini cuma masak sayur bayam, Mas. Mau dibelikan makanan? Biar Sari atau Ida yang keluar."
"Gimana, Ndien?" tanya Rama padaku.
"Nggak usah, Mas. Ngerepotin. Kita makan di perjalanan pulang aja."
"Ya sudah kalau mau kamu begitu. Bik, kenalin ini namanya Andien."
"Pacarnya Mas Rama, ya?" todongnya. Aku menggeleng cepat. "Oalah, bukan. Bibik kira pacarnya Mas Rama. Beum jadi pacar mungkin, ya."
Rama meninggalkanku dengan wanita yang dipanggilnya Bik Ning di dapur. Entah ke mana perginya dia. Aku duduk dengan perasaan sedikit sungkan. Bik Ning menyodorkan sepiring bakwan jagung yang baru saja selesai digorengnya.
"Silakan dimakan, Mbak. Mumpung masih panas. Enak pakai cabe rawitnya."
"Iya, Bik. Terima kasih." Kuambil satu bakwan jagung dan satu buah cabai rawit hijau. Aku hampir saja tersedak saat mendengarkan penuturan Bik Ning.
"Mas Rama itu nggak pernah bawa perempuan ke rumah kalau perempuan itu nggak penting buat dia, Mbak."
"Maksud Bibik?" sahutku bingung.
"Coba nanti Mbak Andien tanyakan sendiri ke Mas Rama," ucap Bik Ning sambil terkekeh.
Bakwan jagung buatan Bik Ning benar-benar terasa enak. Mungkin sudah empat atau lima yang masuk ke perutku. Lumayan, bisa sedikit mengganjal.
"Ndien, kita pulang naik mobilku, ya. Di luar gerimis."
"Motornya gimana?" tanyaku spontan.
"Nanti biar diantar Mas Supri ke rumah Tante Wina."
Mas Supri? Siapa lagi? Yang kerja di sini banyak banget, sih.
Hujan turun begitu derasnya. Angan-angan makan di sebuah warung pinggir jalan terpaksa sirna. Rama memilih jalan pintas. Memesan makanan secara drive-thru. Kami memesan beberapa ayam goreng, burger, kentang goreng, chicken nugget dan dua gelas minuman ringan. Karena hujan bertambah deras dan beresiko mengganggu jarak pandang saat mengemudi, kami pun memilih untuk menikmati semua makanan yang sudah dipesan di area parkir restoran.
"Maaf, ya. Batal traktir," ucap Rama.
"Nggak batal, dong. Ini semua kan dibayarin Mas Rama."
"Maksudnya nggak jadi makan di restoran, malah di parkiran."
"Nggak apa-apa, Mas." Aku sibuk membuka saus sambal kemasan dengan gigiku. Kusemprotkan semua saus ke permukaan daging burgerku. "Mas, aku boleh tanya sesuatu nggak?"
"Mau tanya apa?" sahut Rama.
"Tadi Bik Ning bilang kalau Mas Rama nggak pernah ajak perempuan ke rumah kalau perempuan itu nggak penting untuk Mas Rama. Itu maksudnya gimana sih, Mas?"
Rama tersenyum sambil mengunyah kentang gorengnya. Kutunggu ia menjawab pertanyaanku. Tapi, tangannya terus bergerak mengambil kentang goreng dan memasukkannya ke mulutnya.
"Mas! Kok nggak dijawab?" Kurebut kentang goreng yang sudah dicocol saus sambal dan siap masuk ke mulutnya. "Dari tadi makan terus."
"Itu berarti kamu kurang peka, Ndien."
"Maksud Mas Rama?"
"Kamu sadar nggak kalau sekarang saya lagi pendekatan ke kamu? Dan saya sudah menganggap kalau kamu itu orang yang penting di hidup saya."
Hah?
Burgerku jatuh dan mengotori pakaianku.
-TO BE CONTINUED-
DEPOK, 24 APRIL 2022
02:17 WIB
EAAAAAA
ADA APAAN NIHHHHHHHHHHHHHH?
HUAHAHHAHA
DAH AH.
MAU TIDUR DULU.
SEE YOU SOON!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top