6
Happy reading!
"Terima kasih ya, Pak."
Kuminta supir taksi yang mengantarkan kami pulang untuk merebahkan Rama di kamar Mas Andre. Sebenarnya bisa saja kuminta supir itu untuk membawanya ke rumah Tante Wina. Tapi, aku tak berani mengambil resiko. Demamnya lumayan tinggi.
"Mbak, ini air kompresannya." Bik Sarti baru saja masuk dengan membawa baskom berisikan air hangat dan selembar handuk kecil. "Mas Rama puasa ndak, Mbak?"
"Puasa, Bik."
"Kalau ndak puasa biar Bibik buatin teh anget."
"Tunggu orangnya bangun ya, Bik."
Hari ini, aku mengosongkan jadwal membuat kue. Tak mungkin kukerjakan semua tanpa Mama. Aku berjaga di ruang tengah. Takut kalau tiba-tiba Rama bangun dan membutuhkan sesuatu.
Kuintip kamar Mas Andre. Rama masih tertidur pulas. Saat mendekat, kulihat beberapa bulir keringat muncul di keningnya. Gegas kuambil termometer dan menyelipkan di ketiaknya.
"Masih demam."
Bersamaan dengan itu, azan maghrib pun berkumandang. Bik Sarti membawakan dua gelas teh manis hangat untuk kami berdua. Kubangunkan Rama karena ia harus segera membatalkan puasanya.
"Bangun dulu, Mas. Sudah buka puasa."
"Saya di rumah kamu?" tanyanya. Aku mengangguk. "Maaf sudah merepotkan."
"Sama sekali nggak kok, Mas. Tadinya, saya mau bawa Mas ke rumah Tante Wina. Tapi, saya khawatir karena di sana sama sekali nggak ada orang. Minum dulu, Mas."
Rama berpamitan pulang setelah menandaskan minumannya. Aku yang masih khawatir dengan keadaannya spontan melarangnya. Setidaknya, demamnya harus turun dulu.
"Nginap di sini dulu ya, Mas. Nanti kalau Mas benar-benar sudah sehat, baru boleh balik ke rumah Tante Wina. Kamar mandinya ada di dekat dapur kalau Mas Rama mau bersih-bersih, ya. Saya mau ke kamar dulu. Nanti kita makan malam bareng. Mas Rama juga harus minum obat penurun demam. Badannya masih panas."
"Iya, Ndien."
Huh? Ini adalah kali pertama kudengar ia memanggilku dengan cara itu.
Rama sudah berganti pakaian dan duduk di meja makan. Papa dan Mama tidak ada, jadi makanan tak terlalu banyak. Rama belum juga bergerak. Piringnya masih kosong. Segera kuisi piringnya dengan secentong nasi. Biarlah kalau kurang ia bisa menambahkan sendiri.
"Silakan makan. Setelah makan, minum obatnya. Sudah saya siapkan," ucapku sambil menunjuk satu strip obat penurun panas yang kuletakkan di atas meja makan. "Tidur lebih awal ya, Mas. Masih pusing nggak? Atau kita ke dokter aja, gimana?"
"Nggak usah. Istirahat aja cukup. Pusingnya masih sedikit. Mungkin karena terlalu kecapekan setelah perjalanan panjang. Masih kaget cuaca juga. Di sana dingin banget, sedangkan di sini panas terik."
Kami makan dalam diam. Rama menghabiskan isi piringnya. Setelahnya, ia mengambil sebutir obat penurun panas dan langsung meminumnya.
Kubereskan piring-piring kotor bekas kami berdua. Setelah menaruh semuanya di dapur, aku membuat segelas sirup melon dan membawanya ke ruang tengah. Rama masuk kembali ke kamar Mas Andre. Tak tahu apa yang sedang dilakukannya.
Sebuah tayangan hiburan khas ramadhan menjadi pilihanku. Di sela menonton, aku kembali memeriksa rekap pesanan kue sampai dengan hari ini. Masih banyak yang harus kami buat.
"Ndien, saya pulang ke rumah Tante Wina aja, ya." Rama baru saja keluar dari kamar Mas Andre dan menyusulku duduk di ruang tengah. "Badannya sudah enakkan."
"Coba sini," ucapku. Kuminta ia untuk segera mendekat. Kutempelkan telapak tanganku di kening dan pipinya. "Masih panas. Nginap di sini aja, Mas. Kalau setelah sahur nanti sudah mendingan, baru boleh pulang."
"Tapi ...."
"Sudah, Mas. Sana tidur!"
OoO
Awan kelabu pekat menyelimuti kediaman Tante Wina. Satu minggu setelah seluruh anaknya berkumpul, Om Umar dipanggil menghadap Yang Kuasa. Seluruh keluarga memadati kediaman mereka. Tante Wina terlihat begitu tegar. Kedua matanya memang sembab, mungkin karena sudah terlalu banyak mengeluarkan air mata.
Ada iring-iringan beberapa mobil mewah yang berhenti di depan rumah Tante Wina. Seorang laki-laki paruh baya didampingi seorang wanita dengan balutan busana hitam keluar dari mobil. Dari kejauhan, kulihat Rama menghampiri keduanya. Beberapa orang berjas kelihatan berjaga di bagian luar rumah.
Pemakaman selesai. Aku dan Mama membantu Tante Wina untuk mempersiapkan acara kirim doa malam ini. Tante Wina dan kedua anaknya tengah bertemu dengan pengacara keluarga mereka di ruang tamu. Kedatangan pengacara itu bertujuan untuk membacakan surat wasiat yang ditulis langsung oleh Om Umar.
Almarhum Om Umar memang bukan seorang konglomerat kaya dengan harta yang tak akan habis tujuh turunan. Tapi, yang kutahu keuletannya selama bekerja membuatnya menghasilkan banyak uang. Dari yang kudengar, Om Umar selalu menginvestasikan uangnya dalam bentuk tanah di beberapa tempat. Bahkan, selain rumah yang ditempati saat ini, Om Umar sempat membeli beberapa rumah di Jakarta.
Pembacaan surat wasiat sepertinya bertujuan untuk menghindari perebutan harta warisan. Tante Wina, Mbak Sandra dan Sabda mendapatkan masing-masing hak mereka. Rumah ini mutlak hak Tante Wina. Perkara akan diwariskan pada siapa setelah Tante Wina meninggal nanti akan jadi urusan belakangan. Mbak Sandra dan Sabda mendapatkan masing-masing satu unit rumah yang dibeli Om Umar.
Acara kirim doa akan berlangsung selama tujuh hari setelah sarat tarawih selesai dilaksanakan. Rama yang sempat menghilang setelah pemakaman kembali muncul. Ia datang dengan dua tamu yang sebelumnya sempat kulihat.
Wajah mereka terlihat sangat familiar. Astaga! Jelas saja Rama terlihat begitu akrab dengan keduanya. Itu orang tuanya! Sejak Rama memberitahukan kalau papanya seorang duta besar, malam itu juga aku mencari tahu. Dan benar saja. Informasi yang kudapatkan di internet memang sesuai dengan apa yang Rama katakan.
Wirawan Hadikusuma. Sudah beberapa kali ditunjuk sebagai duta besar yang mewakili Indonesia di berbagai negara. Istrinya, Anita Hadikusuma, dikenal sebagai sosok wanita yang kental dengan kegiatan amal dan sosial. Keduanya memiliki dua orang anak. Rama adalah yang bungsu.
"Kami nggak bisa lama-lama ya, Win. Besok harus kembali ke Den Haag karena ada pertemuan dengan beberapa delegasi dari Kementrian Luar Negeri. Pekerjaanku nggak bisa ditinggal terlalu lama. Rama yang akan temani kamu di sini. Bilang kalau kamu butuh apa-apa."
"Iya, Mas. Terima kasih sudah menyempatkan untuk datang dan mengantarkan Mas Umar ke tempat peristirahatan terakhir."
"Umar itu adik kandungku. Aku ngerasa salah karena nggak bisa sering-sering jenguk dia. Aku menyesal karena baru bisa lihat dia setelah dia nggak ada."
Hari sudah semakin larut. Seharian ini aku sibuk membantu di rumah Tante Wina. Kukatakan pada Mama kalau aku akan pulang duluan.
"Terima kasih banyak ya, Ndien." Aku tersentak kaget saat melihat Rama yang sedang menghisap sebatang rokok di pojok teras depan.
"Sama-sama, Mas. Saya pamit pulang dulu. Oh, iya. Mas jadi terbang ke Afrika?"
"Jadi. Lusa saya berangkat. Kenapa?" sahutnya. Aku menggeleng.
"Berarti jadi Lebaran di sana, ya?"
"Kayaknya begitu. Tadinya mau cuti dan minta teman gantiin jadwal terbang untuk nemenin Tante Wina. Tapi, Sandra sama Sabda ternyata nginap sampai Lebaran nanti."
"Oh, begitu. Saya pulang dulu ya, Mas. Selamat malam."
OoO
Tahun ini adalah tahun kebangkitan. Lupakan enam bulan suram yang telah kulalui. Aku berhasil meraih pencapaian besarku. Usaha yang kurintis secara perlahan berhasil menghasilkan pundi-pundi dalam jumlah lumayan banyak.
Semuanya jelas tak akan pernah kudapat tanpa dukungan Papa dan Mama. Setelah semua, aku mantap untuk tetap melanjutkan usaha ini. Aku akan memperbesar usaha ini. Jika pesanan membludak, mungkin akan mempekerjakan beberapa pegawai.
Saran Rama untuk memngembangkan resep kue dengan bubuk teh hijau yang diberikannya pun kuikuti. Respons pembeli sangat baik. Bahkan, bisa dibilang kalau kue variant teh hijau berhasil menduduki singgasana best seller bersama dengan nastar dan putri salju.
Kemarin, Rama berpamitan. Ia akan terbang ke Afrika Selatan selama beberapa hari ke depan. Kemungkinan baru kembali di hari ketiga Idul Fitri.
Sebagai ucapan terima kasihku padanya, kubekali dirinya setoples kue teh hijau. Rama harus tahu betapa lezatnya kue buatanku dengan campuran bubuk teh hijau pemberiannya. Anggapannya tentang teh hijau yang melulu pahit akan segera terpatahkan.
Aku tengah memandang langit malam. Tak ada bintang satu pun karena lumayan mendung. Petir kecil saling bersahutan, meskipun tak begitu menggelegar. Lampu kamar Mbak Sandra menyala. Tanpa sadar aku tersenyum. Ada apa ini? Senyuman hilang seketika saat kulihat bukan ia yang muncul.
"Belum tidur, Ndien?" ucap Mbak Sandra. Aku menggeleng dan tersenyum. "Duluan ya, Ndien."
"Iya, Mbak."
Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur. Jemariku bergerak mengusap layar ponsel. Pernikahanku dengan Adam memang sudah berakhir. Tapi, aku tak memblokir media sosialnya. Kubiarkan saja agar ia tahu apa yang sedang kukerjakan sekarang. Aku terbiasa membagikan kegiatanku membuat kue di sana. Dan dirinya akan menjadi salah satu yang menyaksikan.
Sebuah unggahan muncul di berandaku. Sebuah foto di mana Adam tengah menemani istri barunya di rumah sakit. Sepertinya akan segera bersalin. Caption pun ditambahkan di bagian bawah foto.
"Hari Raya tahun ini bertiga di rumah sakit. Papa nggak sabar nunggu kelahiran kamu, Nak."
Ada gelenyar aneh yang kurasa. Aku sudah berusaha untuk masa bodoh, tapi kenapa foto itu berhasil mengacaukan diriku? Tiga tahun pernikahan kami memang berakhir tanpa adanya tangis tawa bayi. Aku bersyukur. Tapi, apa belum hadirnya buah hati menjadi alasannya mendua?
Gegas kumatikan layar ponsel. Biarlah Adam bahagia dengan keluarga kecilnya. Kami sudah meiliki kehidupan yang baru.
Layar ponselku kembali menyala. Ada sebuah notifikasi pesan masuk. Sebuah nomor tanpa nama. Kuintip isi pesannya. Terlihat sangat familiar.
Unknown Number
Hai, Ndien
Terima kasih cookiesnya, ya.
Enak.
Semoga kamu nggak keberatan karena saya berbagi dengan beberapa rekan.
Mereka suka.
Boleh saya bantu promosikan?
Ini jelas dirinya. Sebuah foto penampakan toples yang isinya sudah ludes dimakan pun turut dikirimkan. Aku kenal betul bentuk toplesnya.
Andien
Mas Rama?
Suka sama cookiesnya?
Wah, syukurlah.
Dengan senang hati, Mas.
Terima kasih banyak kalau Mas mau bantu promosikan.
Tenang.
Bakal ada komisi untuk Mas.
Hanya butuh semenit untuknya membalas pesanku. Entah kenapa aku menjadi sangat bersemangat membaca setiap baris pesan yang dikirimkannya. Aneh!
Unknown Number
Jatah komisi saya besar ya, Ndien.
Bercanda.
Kenapa belum tidur?
Di sana sudah jam 11 malam, kan?
Andien
Iya, Mas.
Sebentar lagi mau tidur.
Mas lagi di hotel?
Unknown Number
Iya.
Masih capek banget.
Besok kami mau keliling-keliling.
Nanti saya kirim foto-fotonya boleh?
Andien
Boleh, Mas.
Saya juga mau tau gimana Afrika.
Unknown Number
Baik.
Sudah malam, Ndien.
Baiknya kamu tidur.
Sampai jumpa di Jakarta, ya.
Salam untuk Om dan Tante.
Dari mana ia mendapatkan nomorku? Seingatku kami tak pernah bertukar nomor. Mungkin Tante Wina. Kebetulan Tante Wina memang punya nomorku.
Sebelum menutup kedua mata, lagi-lagi layar ponselku menyala. Satu pesan masuk. Sebuah foto. Aku refleks tersenyum saat melihat foto itu. Rama tengah memegang sekeping kue yang kubekali. Beberapa kalimat pesan setelahnya sukses membuatku kembali tersenyum.
"Terlalu enak. Saya simpan satu untuk besok. Kalau sampai mereka tau, bisa direbut. Kamu yang tanggung jawab, ya! Selamat tidur ya, Ndien."
-TO BE CONTINUED-
DEPOK, 2 APRIL 2022
21:11 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top