5
Tak terasa tiga hari pun sudah berlalu. Rama sudah pulang dari tugasnya mengantar para penumpang yang menggunakan jasa maskapainya ke Jepang dan kembali ke Indonesia. Aku tak tahu kapan pastinya dia kembali. Tiba-tiba saja ia sudah datang ke rumah untuk berbuka puasa bersama.
"Kapan sampai, Ram?" tanya Papa saat Rama baru saja tiba di rumah kami.
"Tadi siang, Om. Kebetulan penerbangan pagi dari Haneda. Oh, iya. Ada sedikit oleh-oleh untuk Om dan Tante." Tangannya bergerak menyodorkan sebuah paperbag pada Papa.
Cuma untuk Papa dan Mama? Buat gue nggak ada, nih?
Papa mengeluarkan isi dari paperbag itu. Dari penglihatanku ada sesuatu berbentuk pisang yang dikemas dengan plastik. Dan beberapa kotak yang aku tak tahu apa isinya karena ditulis dengan tulisan kanji.
"Ini apa, Ram? Kok bntuknya lucu."
"Itu namanya Tokyo Banana, Om. Semacam kue yang dibentuk seperti pisang. Orang bilang, kue itu jadi jajanan wajib kalau ke Jepang. Kalau yang di kotak itu Nama Chocolate. Tekstur cokelatnya nyaman di mulut dan nggak akan nempel di gigi. Saya sering beli itu setiap kali dinas ke Jepang, Om."
"Ini apa, Ram?" tanya Mama sambil menunjukkan sehelai kain bermotifkan bunga sakura merah muda.
"Oh, itu semacam scarf. Bisa Tante jadikan jilbab. Sengaja saya pilih motif yang nggak terlalu penuh supaya nggak kelihatan heboh."
"Terima kasih banyak ya, Ram."
"Pa, kita siap-siap, yuk! Sebentar lagi azan maghrib," ucapku ketus.
Kami berempat pun akhirnya berbuka puasa bersama. Menu makanan kali ini khusus dibuat sesuai dengan permintaanku. Sejak siang, aku membayangkan betapa nikmatnya berbuka puasa dengan pisang uli goreng dan es timun serut buatan Bik Sarti.
Usai berbuka, aku dan Mama kembali sibuk di depan oven. Masih ada beberapa gelombang kue yang mengantre untuk dipanggang. Pesanan kue bertambah berkali-kali lipat. Sungguh sebuah berkah bagi kami yang tergolong masih merintis usaha.
Aku tak melihatnya setelah selesai berbuka. Papa bilang, Rama pamit pulang untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Aku tak peduli apapun itu yang diambilnya. Perasaan cuma perkara tak mendapatkan jatah oleh-oleh, tapi kenapa rasanya begitu kesal, ya?
"Ma, nggak nyangka banget usaha kita bisa kayak sekarang. Padahal, awalnya cuma iseng-iseng aja, ya. Aku pengin banget lihat ekspresinya Mbak Della. Waktu itu, dia yang terang-terangan ngejek usaha ini."
"Nggak usah kamu urusin dia, Ndien. Biarin aja. Kita cukup tau gimana sifatnya dia. Ibarat perumpamaan, Della itu sudah berhasil mancing ikan yang dia mau. Kamu anggap aja kalau masmu itu ikan tangkapannya dia. Waktu belum berhasil ketangkap, kamu ingat kan gimana lembutnya sikap dia. Sampai Mama tuh mikir kalau Della bakal jadi menantu idaman Mama selain Mitha."
"Biar dinikmati Mas Alvin, Ma. Kan dia sendiri yang ngotot mau nikah sama Mbak Della. Semoga aja pernikahan mereka nggak akan berakhir kayak aku sama Adam."
"Sudah, Ndien. Mendingan kamu tengok kuenya. Mama takut kuenya gosong."
Bik Sarti baru mengabarkan padaku kalau Rama sudah menungguku di depan rumah. Rasanya sangat malas untuk berdiri saat asyik mengerjakan sesuatu. Namun, Mama memintaku untuk menemuinya dengan alasan tak enak hati.
Rama sudah berdiri di depan pintu pagar. Penampilannya sudah berubah dibandingkan tadi saat berbuka puasa di rumah. Sepotong baju koko berlengan panjang berwarna putih gading sudah melekat di tubuh atletisnya. Sebuah sajadah juga sudah tersampir di pundaknya.
"Ada apa, Mas? Bibik bilang kalau Mas Rama cari saya." Rama tak menjawab. Ia hanya menyodorkan sebuah paperbag ke arahku. "Ini apa, Mas?"
"Ini oleh-oleh khusus untuk kamu dari saya. Sengaja saya belikan bubuk teh hijau premium dari sana. Saya dengar dari mama kamu kalau kalian sedang merintis usaha kue kering dan hasilnya lumayan. Kamu bisa pakai bubuk teh hijau itu untuk mengembangkan resep kue kamu. Karena bubuknya kualitas premium, kamu nggak perlu pakai banyak. Saya beli satu kilo untuk kamu. Kamu anggap itu investasi dari saya. Jadi, kalau nanti kuenya berhasil jangan lupa kasih saya. Saya mau cicipi."
"Kenapa repot begini, Mas?"
"Nggak, kok. Nggak tau kenapa saya ingat kamu waktu jalan-jalan ke Shizuoka. Kata orang, teh dari sana itu yang terbaik. Saya sih nggak tau, ya. Buat saya, teh hijau sama. Pahit. Mungkin kamu bisa rubah rasa pahitnya jadi manis?"
"Saya usahakan deh, Mas." Tanganku bergerak memeriksa barang lain yang ada di dalam paperbag. "Kalau ini apa, Mas?"
"Itu skincare yang terbuat dari ginseng dan beberapa herba alami khas Japang. Katanya khasiatnya bagus untuk menirmalisasai fungsi kulit dan menghilangkan tanda-tanda penuaan."
"Maksud Mas saya tua, begitu?"
"Bukan begitu. Jangan salah paham. Untuk mencegah penuaan. Jangan marah-marah dulu. Sekarang kamu masuk ke dalam. Kamu cobain cokelat yang saya bawakan, ya. Jangan maka punya Om dan Tante. Saya sudah belikan khusus untuk kamu. Saya mau ke mesjid dulu."
OoO
Kepulangan Rama tak bertahan lama karena beberapa hari setelahnya ia harus melanjutkan perjalanan dinas ke Belanda. Dari obrolan kami di malam terakhir sebelum keberangkatannya, ia terlihat sangat bersemangat. Mungkin karena akan segera bertemu dengan keluarganya. Hal itu bukan berarti karena ia jarang bertemu dengan mereka. Setiap kali mendapat kesempatan terbang ke Eropa, ia pasti akan menyempatkan diri untuk mengunjungi kedua orang tuanya.
Selama kepergiannya untuk berdinas, kamar Mbak Sandra kembali sepi. Entah kenapa aku merasakan ada yang kurang. Biasanya, ada pemandangan yang seringkali mengganggu kegiatanku mengagumi langit dan selalu berakhir dengan aku yang langsung menutup tirai kamar.
Ada kabar yang begitu tidak mengenakkan. Tante Wina mengabarkan kalau kondisi Om Umar semakin menurun dari hari ke harinya. Tante Wina meminta dukungan doa dari kami semua.
Papa dan Mama yang ikut panik sekaligus khawatir segera memutuskan untuk mengunjungi Tante Wina di rumah sakit. Aku pun ikut dengan keduanya karena ingin melihat kondisi Om Umar. Di rumah sakit, Tante Wina hanya berjaga seorang diri. Semua anaknya sudah dikabarkan dan diminta untuk segera datang karena kemungkinan terburuk bisa saja terjadi cepat atau lambat. Dokter meminta Tante Wina untuk pasrah dan mengiklashkan kalau memang Om Umar harus berpulang.
"Sudah, San. Berdoa. Malam ini aku sama papanya Andien temani kamu di sini, ya. Biar nanti Andien pulang naik taksi."
"Aku juga sudah kabari Rama, Ndre. Dia bilang landing nanti siang dan mau langsung ke sini dari bandara."
"Apa dia nggak capek setelah perjalanan panjang?" sahut Mama.
"Aku sudah bilang. Dia ngeyel. Rama sudah kasih tau ke orang tuanya, tapi mereka nggak bisa datang karena pekerjaan papanya yang padat. Mungkin Rama ngerasa nggak enak karena papanya sebagai kakak tertua Mas Umar nggak bisa datang."
"Biar nanti dia pulang sama Andien, San. Kasihan pasti capek. Kamu kita yang temani."
"Iya, Ndre."
Dengan jaket kulit biasa yang selalu dikenakannya, Rama sudah sampai di depan ruang ICU. Wajahnya terlihat sangat kelelahan. Ini adalah kali pertamaku melihatnya dengan seragam kebanggaannya, seragam supir pesawat terbang. Selama ini ia selalu merangkapnya dengan jaket kulit.
"Om gimana, Tante?" tanyanya dengan nada khawatir.
"Masih dalam pemantauan dokter. Kita harus siap untuk semua kemungkinan yang akan terjadi, Ram."
"Papa sama Mama minta maaf karena nggak bisa pulang ke Indonesia."
"Nggak apa-apa, Ram. Tante minta dibantu doanya supaya Om bisa sembuh. Itu aja, Ram."
"Sandra sama Sabda sudah dikabari, Tante?" tanya Rama. Tante Wina mengangguk. "Mereka ke sini, kan?"
"Iya. Tante minta mereka semua harus ke sini."
"Apa Om bisa dijenguk?" Tante Wina mengangguk. "Aku mau lihat Om sebentar."
"Tante, aku boleh masuk?" sahutku. Tante Wina mengangguk.
Aku dan Rama diminta untuk mengenakan jubah steril serta masker. Saat memasuki ruangan, terdengar suara mesin pemantau yang saling bersahutan satu dengan yang lainnya. Jujur aku merasa sangat takut. Banyak orang bilang kalau ruangan ini seolah hanya sebuah tempat transit. Sedikit orang yang bisa keluar dari sini dalam keadaan masih bernyawa.
Seorang perawat memimpin jalan dan menunjukkan kami di mana Om Umar dirawat. Ya Tuhan, aku memang awam dengan semua ini. Tapi, yang kutahu semua alat-alat yang terpasang di tubuhnya hanya bersifat mendukung. Dan ... ventilator sudah terpasang untuk membantunya bernapas.
Om Umar sudah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Rama mendekat ke arahnya dan berbisik tepat di telinganya. Aku tak bisa mendengar apa yang dikatakannya dengan jelas. Tapi, samar-samar kutangkap kalau Rama sedang menyampaikan salam perpisahan.
"Om, kalau Om sudah nggak kuat, Om boleh pergi. Insha Allah kami semua ikhlas melepas kepergian Om. Om boleh pergi. Papa dan Mama titip salam untuk Om. Mereka berdua minta maaf karena nggak bisa pulang ke sini."
Aku semakin dibuat merinding karena ada bulir bening yang mengalir dari sudut mata Om Umar. Raganya memang dalam keadaan tak sadarkan diri. Tapi, aku yakin ia bisa mendengar apa yang baru saja disampaikan keponakannya itu.
Kami tak bisa berlama-lama di dalam ruangan. Seorang perawat menghampiri dan meminta kami untuk segera meninggalkan ruangan karena pertimbangan kenyamanan pasien yang lainnya. Dalam hati aku masih memikirkan apa yang dikatakan Rama pada Om Umar. Kenapa ia begitu tegar mengatakan semuanya?
"Kamu pulang ya, Ram. Kamu pasti capek setelah terbang belasan jam. Tante ditemani papa dan mamanya Andien. Kamu bisa istirahat di rumah."
"Iya, Tante. Tolong segera kabari kalau ada apa-apa, ya. Aku bakal langsung ke sini."
OoO
Duduk berdua di bangku penumpang menghadirkan suasana kaku di antara kami berdua. Perjalanan pulang akan memakan waktu lumayan lama mengingat jarak rumah sakit ke rumah lumayan jauh. Belum lagi ditambah macet.
Di sepanjang perjalanan, Rama menutup kedua matanya. Mungkin ia benar-benar lelah setelah perjalanan panjang. Aku pun tak berani mengganggunya. Kubiarkan ia menikmati waktu istirahatnya.
"Masih lama, ya?" tanyanya.
"Hem. Tidur aja, Mas."
"Nggak bisa. Kepala saya pusing," ucapnya.
"Sudah makan?" tanyaku. Ia menggeleng.
"Kan puasa."
"Oh, iya. Lupa. Saya sih lagi nggak puasa. Kalau Mas Rama mau batalin, kebetulan ada roti di tas saya. Mau?"
"Nggak. Nanti saya diketawain karena batal puasanya."
"Kalau sakit kan pengecualian, Mas."
"Tanggung," balasnya singkat.
"Mas, saya mau tanya. Boleh?"
"Silakan. Kalau saya bisa jawab, pasti saya jawab."
"Kenapa tadi bilang begitu sama Om Umar?"
"Andien, saya tau bagaimana perjuangan Om Umar melawan penyakitnya. Saya juga tau bagaimana setianya Tante Wina mendampingi Om Umar selama ini. Wanita lain mungkin akan memilih untuk mundur. Tapi, Tante Wina justru tetap bertahan. Bagi saya, perjuangan Om Umar sudah seharusnya selesai. Om Umar sudah terlalu kesakitan. Kasihan Tante Wina yang harus bolak-balik ke sana kemari. Selama ini, saya cuma bisa menemani Tante kalau nggak ada jadwal terbang. Anak-anak mereka? Sibuk semua. Melepaskan dan mengikhlaskan Om Umar adalah jalan terbaik. Kalau tadi kamu lihat saya terkesan biasa saat menyampaikan salam perpisahan, itu bukan berarti saya mengharapkan Om Umar untuk segera pergi. Saya cuma mau Om Umar tau kalau kami semua memang sudah ikhlas."
Apa yang dikatakannya memang ada benarnya. Selama ini, perjuangan Om Umar memang tidak bisa dikatakan biasa. Semua sudah dikorbankannya. Uang, tenaga dan waktu. Tapi, penyakitnya tak kunjung sembuh, justru semakin parah seiring bertambahnya usia.
Taksi kami tiba di depan rumah. Rama masih tertidur setelah perbincangan kami tadi. Aku merasa sungkan untuk membangunkannya.
"Mas, sudah sampai rumah." Sama sekali tak ada respons. "Mas ... Mas Rama. Bangun dulu."
Kedua matanya perlahan membuka. Tapi, seketika langsung tertutup lagi.
"Mas Rama! Kok tidur lagi, sih?" Kuguncang tubuhnya, tapi sama sekali tak berpengaruh. Kulihat bulir keringat muncul di keningnya. "Kok panas banget badannya?"
"Kenapa, Mbak?" tanya supir taksi.
"Pak, saya minta tolong bantu bawa masnya masuk ke rumah saya ya, Pak. Badannya panas."
"Baik, Mbak."
-TO BE CONTINUED-
DEPOK, 31 MARET 2022
01:14 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top