4

"Ndien, Mas minta maaf atas semua kelakuan Della. Kamu jangan salah paham. Mas nggak percaya sama apa yag dia bilang tentang kamu. Nggak mungkin kamu ngomong kayak begitu. Mas mewakilkan Della minta maaf ke kamu. Maksud Mas telepon Mama bukannya mau ngebela Della. Dia jelas salah. Aku nggak akan bela."

"Kenapa harus kamu yang minta maaf, Mas? Istrimu terlalu gengsi untuk minta maaf ke aku? Oh, iya. Aku lupa. Dia kan nggak sadar sama kesalahan dia. Baiknya kamu kasih tau dia bagaimana seharusnya bersikap. Kalau dia cari masalah sama aku sih bodo amat. Tapi, kalau sampe dia cari masalah sama orang lain dan buat kamu malu, itu bakal jadi masalah."

Mas Alvin segera menghubungiku setelah kukirimkan pesan berisikan kekecewaan padanya. Sifat Mbak Della yang seperti ini membuatku menyesal sudah mendukung pernikahan mereka dulu. Andai waktu bisa diputar, aku lebih rela salah satu dari dua sahabatku yang menikah dengan Mas Alvin.

Ah, sudahlah. Aku tak mau perkara apa yang diucapkan Mbak Della kembali menghancurkan keadaan psikologisku. Aku sudah sangat berjuang untuk bisa kembali sampai di titik ini.

Aku, Mama dan Mbak Sarti dibuat sangat sibuk. Bahkan, ini masih minggu pertama bulan puasa. Papa benar-benar memenuhi ucapannya untuk memasarkan kue-kue kami ke teman-teman kantornya. Mama pun begitu. Banyak ibu-ibu kompleks memesan kue untuk sajian di hari raya nanti.

Kami biasa memulainya setelah sahur. Semua akan selesai saat malam, ketika Papa dan semua orang kembali dari mesjid. Setelahnya, kami akan memilih untuk istirahat di kamar masing-masing.

Dari kabar yang kudengar, kondisi kesehatan Om Umar masih bermasalah. Dokter masih mengharuskannya untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit. Tante Wina hanya akan pulang sesekali, mengambil baju ganti dan beberapa keperluan lainnya.

"Aku titip kunci rumah, ya. Tolong kasih ke Rama kalau dia pulang nanti. Dia bilang kalau kunci yang dibawa hilang di tempat kerja."

Tante Wina menyerahkan kunci rumahnya pada Mama. Ia sudah menenteng satu tas berukuran besar yang sepertinya sudah dpenuhi dengan barang-barang. Tubuhnya terlihat sedikit lebih kurus dari sebelumnya. Mungkin Tante Wina terlalu lelah karena harus menjaga suaminya seorang diri di rumah sakit.

"Anak-anak nggak ke sini, San?" tanya Mama. Sudah menjadi kebiasaan sejak lama memanggil satu sama lain dengan menggunakan nama anak pertama.

"Sandra sama Edwin katanya sore sampai di Jakarta. Sabda sama Tara lusa karena baru dapat izin dari kantor."

"Anak-anak mereka ikut?"

"Nggak, lah. Mereka nggak bisa lama-lama juga di Jakarta. Nginepnya juga nggak di rumah. Di hotel dekat rumah sakit, katanya."

"Ya sudah. Nggak apa-apa. Yang penting mereka masih nyempetin untuk pulang nengok Mas Umar."

"Aku cuma takut mereka nggak bisa lihat ayahnya untuk terakhir kalinya. Dokter sudah menyerah. Kondisi Mas Umar sudah sangat lemah."

Mama gegas memeluk Tante Wina yang sudah mulai terisak. Selama ini, Tante Wina sudah begitu sabar merawat suaminya yang sakit-sakitan. Tanpa anak-anak mereka. Bisa dibayangkan rumah itu hanya ditempati Tante Wina dan suaminya? Sepi. Terkadang, Mama akan berkunjung ke rumahnya untuk sekedar menghibur dan mengajak berbincang. Tante Wina butuh teman karena selama suaminya jatuh sakit, intensitas keluar rumah berkurang drastis.

"Jangan ngomong kayak begitu, ah. Mas Umar pasti sembuh. Sebentar lagi kan lebaran. Nanti bisa kumpul bareng seluruh keluarga di rumah."

"Bantu doanya, Ndre. Aku mau ke rumah sakit dulu. Titip Rama sekalian. Meskipun sudah dewasa, kadang tingkahnya masih kayak anak kecil."

"Kerjanya keluar negeri terus ya, San? Apa majikannya suka liburan?"

"Majikan?" sahut Tante Wina. Mama mengangguk.

"Keponakanmu itu supir, kan? Waktu itu aku dikasih oleh-oleh dari Perancis."

"Supir, ya. Sudah dulu, ya. Kasihan ayahnya ditinggal lama-lama."

OoO

Aku dibuat bahagia karena Mas Andre—kakak pertamaku datang berkunjung dengan istri dan kedua anaknya. Karena menjadi anak perempuan satu-satunya di keluarga ini, kedua kakakku memang sudah terbiasa untuk selalu melindungiku. Aku masih ingat bagaimana marahnya Mas Andre saat mengetahui keretakan rumah tanggaku dengan Adam kala itu. Mas Andre semakin dibuat marah karena Adam menolak permintaannya, mengembalikanku secara baik-baik pada Papa dan Mama.

Karena kedatangannya dan keluarga kecilnya sangat tiba-tiba, kami sekeluarga memutuskan untuk berbuka puasa bersama. Makan malam bersama kali ini terasa begitu damai. Tanpa kehadiran Mbak Della, tentunya. Sengaja kutolak usulan Mama untuk menelepon Mas Alvin karena istrinya pasti akan merengek untuk ikut.

"Gimana usaha kue kering kamu, Ndien?" tanya Mbak Mitha. "Kayaknya lancar jaya, nih."

"Alhamdulillah, Mbak. Papa rajin nawarin ke teman-temannya. Nanti pulang bawa ya, Mbak. Siapa tau tetangga-tetangga di sana mau ikutan pesan. Masih ada banyak slot kosong," guyonku.

"Siap. Nanti aku bantu kamu pasarin kue di kompleks perumahan kami."

"Mbak atur aja harganya. Nanti aku kasih daftar harga dari aku. Terserah Mbak Mitha mau nambahin berapa."

"Aku bantuin kamu aja, Ndien. Nanti dikasih kuenya aja untuk isi-isi meja di rumah."

"Gampang, Mbak."

Ini salah satu hal yang membuatku menyukai sosok Mbak Mitha. Ia begitu jauh berbeda dari Mbak Della. Sejak berpacaran dengan Mas Andre, Mbak Mitha tak pernah sekalipun berubah. Jadi, jangan heran kalau aku lebih dekat dengannya ketimbang Mbak Della.

Mbak Mitha juga menjelma layaknya kakak perempuan yang selalu diimpikan seorang adik. Saat aku terpuruk, ia akan selalu menyempatkan diri untuk datang. Bahkan, ia juga selalu menelepon Mama dan memastikan kalau aku tak akan melakukan hal bodoh. Bunuh diri, misalnya.

Rumah sudah kembali sepi. Aku dan Mama kembali melanjutkan pekerjaan kami. Menata toples-toples yang sudah berisi kue. Ada yang

memesan beberapa macam kue, jadi kami harus menumpuknya jadi satu dan menghiasnya dengan pita yang cantik.

"Ma, besok dilanjut lagi. Aku sudah capek banget."

"Iya. Kamu ke kamar, deh."

Aku langsung naik ke lantai atas. Hari ini memang tidak terlalu melelahkan. Produksi kue dihentikan saat Mas Andre dan keluarganya datang. Kami hanya menghabiskan sias adonan yang sudah dibuat.

Aku sempat membuat segelas teh manis hangat sebelum naik ke lantai atas. Lantunan ayat suci terdengar begitu syahdu dari pengeras suara mesjid kompleks.

Aku mengerjap saat kulihat lampu kamar Mbak Sandra tiba-tiba menyala. Sudah pulangkah ia?

Tiba-tiba jendela kamar dibuka lebar, seolah meminta agar udara di dalam ruangan digantikan oleh udara segar yang baru. Masih dengan jaket kuliat yang biasa dikenakannya, ia mengeluarkan kepalanya dan menyapaku.

"Belum tidur?" tanyanya. Aku mengangguk. "Tidur. Nanti terlambat bangun untuk sahur."

Aku pun segera menutup jendela. Mematikan lampu kamar dan tidur.

OoO

Papa berangkat kerja seperti biasanya. Aku dan Bik Sarti memasukkan semua kue-kue pesanan yang sudah siap ke bagasi mobil. Sisanya akan segera menyusul.

Rama—laki-laki yang menempati kamar Mbak Sandra melewati rumah kami. Sepertinya dia baru saja jogging keliling kompleks perumahan. Ia tak langsung menuju rumah Tante Wina.

"Maaf sudah ganggu semalam, Om."

"Nggak apa-apa, Rama. Semalam kuncinya sama Bik Sarti, kan?"

"Iya, Om."

"Saya dan mamanya Andien sudah masuk kamar. Terima kasih oleh-olehnya, ya. Kamu dari mana memangnya?"

"Kebetulan dari Belgia, Om."

"Semalam sahurnya gimana?"

"Masak mi rebus, Om."

"Lho, kenapa makan mi?"

"Yang gampang itu soalnya. Mau pesan online takut nggak sempat. Soalnya kalau waktu sahur biasanya ojol banjir orderan, restoran penuh."

"Kamu sahur bareng kita aja, ya."

"Jangan, Om. Nanti ngerepotin."

"Nggak. Sama sekali nggak. Tantemu sudah nitipin kamu ke kami."

"Ya ampun, Tante Wina. Saya minta maaf ya, Om. Saya memang selalu dianggap anak kecil sama Tante Wina."

"Kami biasa sahur jam setengah 4. Apa sesuai sama jadwal sahur kamu?"

"Saya juga biasanya sahur jam segitu, Om."

"Ya sudah. Om tunggu. Nanti sore kamu ada di rumah?"

"Ada, Om."

"Buka puasa bersama di rumah kami, ya."

Rama memenuhi undangan buka puasa bersama di rumah. Dari yang kulihat, sepertinya ia sangat menikmati es blewah yang dicampur dengan sirup melon buatan Mama. Sudah habis tiga gelas.

Bakwan sayur buatan Bik Sarti tak pernah gagal menarik minat semua orang. Renyah dan garing di luar, tapi begitu lembut dan berisi banyak sayuran di dalamnya. Laki-laki itu juga sepertinya penggemar makanan pedas. Satu bakwan dinikmatinya dengan beberapa buah cabai rawit hijau.

"Makanannya sederhana, ya," ucap Papa.

"Ini sudah lebih dari cukup, Om. Beberapa hari di luar saya justru kangen sama yang kayak begini."

"Jadwal kerja kamu itu gimana tho, Ram?" tanya Papa.

"Kalau ada schedule, saya jalan. Kalau kosong ya di rumah, itupun nggak lama. Kebetulan lusa saya ada jadwal ke Jepang. Mungkin tiga hari. Libur dua hari dan berangkat lagi ke Belanda."

"Wah, enak juga ya kamu keliling dunia. Majikan kamu suka liburan ya, Ram?" sambar Mama. Yang ditanya malah tersenyum. "Orang tua kamu sudah jenguk Om Umar?"

"Kebetulan belum, Tante. Papa dinas di luar negeri. Mama mendampingi. Mereka belum bisa kembali ke Indonesia."

"Oh, Papa dan Mama kamu di luar negeri?" ucap Papa. Rama mengangguk. "Papamu kerja di mana memangnya?"

"Papa ... duta besar Indonesia untuk Belanda, Om. Sebelumnya pernah bertugas di beberapa negara lain. Dua tahun lagi baru pensiun. Kebetulan nanti mau sekalian mampir jenguk mereka berdua."

Aku, Papa dan Mama sontak melongo. Gila! Ternyata laki-laki yang pernah kuklaim seorang mesum ini adalah anak dari seorang duta besar.

"Lebaran kamu ke Belanda?"

"Nggak, Om. Saya ada tugas ke Afrika Selatan."

"Lebaran di sana, dong?" sahutku. Ia menjawabnya dengan anggukkan. "Apa nggak sedih?"

"Sudah biasa," jawabnya santai. "Kan nanti bisa video call conference sama yang lainnya."

"Kenapa kamu jadi supir, Ram? Kamu bisa ikuti jejak papamu. Jadi diplomat, misalnya. Sekarang banyak diplomat-diplomat yang muda."

"Bukan passion saya, Om," kekehnya.

Hari ini adalah sahur keduanya di rumah kami. Selesai sahur, Rama berpamitan pada Papa dan Mama. Ia akan bertugas ke Jepang selama tiga hari ke depan.

Paginya, aku kembali melihat sebuah mobil di depan rumah Tante Wina. Rasa penasaran yang teramat membuatku iseng menghampiri mobil itu. Pengemudinya tengah menunggu di dalam sambil memainkan ponsel.

"Nunggu Mas Rama ya, Pak?" ucapku. Laki-laki itu menurunkan jendela mobil, mengangguk dan tersenyum.

"Masih siap-siap dulu katanya, Mbak."

"Bosnya baik banget ya, Pak. Supirnya diantar jemput."

"Supir?" sahutnya. Aku mengangguk.

"Sudah siap, Pak Adi."

Aku terperanjat saat mengetahui dirinya yang sudah berdiri di sebelahku. Kulirik sebuah koper berukuran besar di dekatnya. Seorang yang dipanggil Pak Adi turun dari mobil dan memasukkan koper ke bagasi.

"Nggak ada yang tertinggal, Capt??

Capt? Capt? Capt?

"Nggak ada, Pak." Pandangannya beralih menatapku. "Saya berangkat dulu. Sampaikan salam untuk Om dan Tante. Sampai jumpa tiga hari lagi."

Aku masih berdiri terpaku. Menatap mobil yang semakin lama semakin menjauh. Supir? Supir pesawat terbang!

-TO BE CONTINUED-

DEPOK, 26 MARET 2022

23:51 WIB

PAK SUPIR TUGAS DULU, YAAAA.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top