3
"Ndien, sudah bangun?"
Aku terkesiap dan refleks membuka kedua mata saat mendengar suara teriakan Mama dari balik pintu kamar. Hari ini, kami berencana untuk menjalankan agenda yang sudah disusun. Membuat beberapa resep kue.
Di lantai bawah, aku disambut dengan betapa sedapnya masakan Mama. Kulihat Mama yang terlihat sibuk mengisi beberapa wadah dengan lauk, nasi dan sayur.
"Sudah mandi?" tanya Mama. Aku mengangguk. "Kamu siapkan bahan-bahannya. Mama mau antar ini dulu."
"Antar ke mana, Ma?"
"Ke rumah Tante Wina?"
"Tante Wina sudah pulang, Ma?" Mama menggeleng. "Terus, nanti siapa yang mau makan itu semua? Mubazir dong, Ma."
"Kan ada keponakannya Tante Wina. Tadi pagi Mama ketemu dia sepulangnya dia dari jogging. Kasihan kalau dia kesusahan cari makanan. Kompleks kita kan lumayan jauh dari warteg."
Apa aku tidak salah dengar?
"Ma, ini nggak lagi bercanda, kan?"
"Bercanda? Bercanda gimana, Ndien? Emangnya lucu banget kalau nganterin makanan ke tetangga sebelah? Selama ini Mama sama Tante Wina sering tukar-tukaran makanan lho, Ndien."
"Ma, semalam dia ...."
Kuhentikan ucapanku. Akan sangat konyol kalau Mama tahu kejadian semalam. Gara-gara kejadian semalam, aku susah tidur!
"Mama mau ke sebelah dulu."
"Ma ...." Langkah Mama terhenti. "Bi—biar aku yang antar."
Aku sudah di depan pintu rumah Tante Wina. Selama puluhan tahun bertetangga, baru kali ini merasa begitu resah berkunjung ke sini. Biasanya aku akan langsung masuk karena sudah menganggap rumah ini seperti rumah sendiri.
Pintu rumahnya tertutup. Tak seperti biasanya. Kebiasaan Tante Wina adalah membiarkan pintu rumah terbuka untuk menjaga sirkulasi udara.
Beberapa kali kuketuk. Beberapa kali juga kuucap salam. Sepertinya suaraku tak cukup kencang. Kuulang sekali lagi mengucap salam. Kalau masih tak ada sahutan, aku akan meletakkan nampan ini di meja teras.
"Astagfirullah!" pekikku terkejut saat melihat Si Mesum Jendela muncul dengan handuk yang dililit di pinggang. Aku sontak menutup kedua mataku.
"Maaf ... maaf. Saya pakai celana, kok."
"Beneran?" sahutku masih dengan kedua mata yang tertutup.
"Buka matanya. Kalau begitu gimana mau bisa lihat."
Kuikuti sarannya. Saat kedua mataku terbuka, laki-laki itu memang mengenakan celana pendek berwarna cokelat. Handuk yang awalnya melilit di pinggang sudah tersampir di pundaknya. Kuserahkan nampan yang kubawa padanya.
"Ini apa, ya?"
"Dari Mama."
"Oh, sampaikan ucapan terima kasih dari saya untuk Tante, ya. Tadi kami sempat ngobrol sebentar."
"Mumpung kita ketemu. Semalam ...."
"Semalam?" sahutnya. Aku mengangguk. "Semalam kenapa?"
"Pura-pura lupa?"
"Oh! Soal warna ...."
"Nggak usah disebut! Masnya memang punya niatan untuk ngintip saya, kan? Ngaku aja!"
Kutangkap raut terkejut di wajahnya. Halah! Menjadi sok polos adalah yang akan dilakukan maling saat tertangkap basah. Aktingnya boleh juga.
"Dengerin saya ya, Mas. Sekali lagi kalau saya pergokkin Mas ngintip saya dari jendela, saya bakal langsung laporin ke Pak RT."
"Kayaknya ada yang harus diluruskan, deh."
"Semuanya sudah lurus, Mas. Masnya terang-terangan ngintipin saya dari jendela kamarnya Mbak Sandra. Iya, kan?"
"Mbak, dengar saya dulu. Saya sudah di jendela itu jauh sebelum Mbak masuk ke kamar. Saya lagi cari angin sembari ngerokok dan minum kopi. Jadi, nggak ada indikasi kalau saya ngintip waktu Mbak lepas baju. Saya nggak segampang itu ngintipin cewek, Mbak."
Aku merasa begitu malu. Aku sudah salah menuduh. Kuputuskan untuk segera pergi dari rumah Tante Wina.
OoO
Aku dan Mama menatap dengan sangat puas pada toples-toples yang sudah berjejer di atas meja makan. Selama beberapa hari belakangan ini, aku dan Mama dengan dibantu Bik Sarti mencoba semua resep yang kutemukan di internet. Hasilnya begitu menakjubkan. Aku yakin kalau kue-kue yang akan dipasarkan nanti bakal laku keras di pasaran.
Papa yang baru saja pulang kerja pun langsung ikut berkumpul dengan kami di meja makan. Kubuka satu per satu tutup toples. Sebagai investor utama, Papa mendapatkan kehormatan untuk mencicipi kue-kue yang dibuat dari aliran dana yang diberikannya.
"Wah, layak jual nih, Ndien. Nanti Papa coba tawarin ke teman-teman, deh. Kamu coba buat brosurnya kalau bisa. Jadi, Papa nggak perlu jelasin panjang lebar. Bisa nggak kepegang kerjaan Papa kalau nanti cuma dagang kue kamu. Buat brosurnya yang menarik supaya nggak kalah sama kue-kue yang sudah punya nama."
"Tapi, Papa beneran bantu jualin ke teman-teman kantor Papa, ya."
"Iya. Nanti Papa bakal suruh anak buah Papa beli. Kamu siap-siap banjir orderan sepanjang bulan puasa, lho."
"Pa, minta tambahan dana lagi dong," ucapku pada Papa, Kedua tanganku sudah mengalung di leher Papa. "Mau beli oven yang besar."
"Kamu cari ovennya. Nanti, Papa tinggal bayar."
"I love you, Papa!"
Sudah tiga hari ini lampu kamar laki-laki itu tidak menyala. Lampu teras rumah Tante Wina pun dibiarkan terus menyala. Biasanya, lampu teras rumah Tante Wina dimatikan jam enam pagi setiap harinya. Ke mana perginya laki-laki itu?
Meskipun beberapa hari ini lampu kamarnya tidak menyala, aku tetap waspada tiap kali akan melakukan apapun itu. Selama ini, aku begitu cuek karena kamar bekas Mbak Sandra memang sudah kosong untuk waktu yang lama. Itu kenapa aku dibuat kaget saat ada yang menempatinya.
Sebelum tidur, aku terus memikirkan saran Papa. Papa benar. Membuat brosur yang menarik adalah strategi marketing yang bisa menarik perhatian calon pembeli.
Keesokan harinya, Mas Alvin dan istrinya—Mbak Della datang berkunjung. Setiap kali Mbak Della datang, aku akan lebih memilih untuk tidak menemuinya. Mbak Della punya berbagai macam cara untuk menjatuhkan mentalku. Di awal masa perceraianku dengan Adam pun ia yang menjatuhkan semua kesalahan padaku. Katanya, aku kurang becus jadi seorang istri, itu kenapa Adam tak menolak saat kulayangkan gugatan cerai.
Sebenarnya, Mama pun kurang menyukai menantu perempuannya itu. Mas Alvin dan Mbak Della sudah lama berpacaran sebelum mereka meikah. Tadinya, Mbak Della dikenal manis dan lembut dalam bertuturkata. Sifat aslinya mulai kelihatan setelah menikah dengan Mas Alvin.
"Kata Mama, sekarang kamu jualan kue-kue kering ya, Ndien?" tanya Mbak Della. Aku mengangguk. Aku tengah sibuk menata kue-kue di wadah cantik untuk difoto. "Berasa kayak jatuh dari langit ya, Ndien. Biasanya dinafkahi sama suami. Sekarang harus survive sendiri. Andai kamu benar, mungkin pernikahan kalian masih bisa diselamatkan."
Aku lebih memilih untuk tak menyahuti ucapan Mbak Della. Meladeninya hanya akan memberikan panggung padanya. Aku sudah tak serapuh sebelumnya. Aku jauh lebih kuat sekarang.
"Kamu yakin kue-kuenya bakal laku?"
"Jalani aja dulu, Mbak. Seenggaknya aku ada usaha. Meskipun sudah nggak ada yang kasih nafkah, aku nggak harus bingung menghasilkan uang. Suami bukan satu-satunya sumber dana. Jadi perempuan itu juga harus mandiri. Nggak cuma nadah aja."
Ucapanku berhasil mengalahkannya dengan telak. Mbak Della terlalu manganggap remeh usaha yang sedang kurintis. Ia tak pernah tahu berapa banyak uang yang sudah dikeluarkan untuk semua ini. Ia juga tak akan pernah tahu betapa kerasnya usahaku dan Mama untuk mendirikan bisnis ini.
"Omonganmu sombong banget, Ndien. Kayak masih punya suami aja. Kamu nggak ada rencana nikah lagi?"
"Belum. Masih nyaman kayak begini."
"Umur kamu lama-lama semakin tua, Ndien. Mau punya anak kapan? Aku yang nikah sama Mas Alvin aja sampe sekarang belum punya anak. Coba deh kamu intospeksi diri. Mana yang salah di diri kamu di pernikahan sebelumnya. Jangan sampe keulang di pernikahan selanjutnya"
Mungkin Tuhan masih berat memberikan tanggung jawab besar itu ke kamu.
"Kenapa harus aku yang introspeksi? Kenapa selalu aku yang disalahkan? Kenapa Kamu nggak pernah nyalahin Adanya dan nyuruh dia untuk introspeksi, Mbak? Kamu nggak usah ikut campur di masalah kehidupanku, Mbak. Itu sama sekali bukan kapasitas kamu. Di sini, posisi kamu cuma seorang menantu dan ipar. Tolong jangan melewati batas. Suamimu memang mas kandungku. Tapi, itu bukan berarti kamu bisa dengan leluasa menilai aku seenak jidat kamu. Selama ini aku diam setiap kali kamu menjatuhkan mentalku. Aku masih menghormati Mas Alvin. Semua orang di rumah ini begitu menjaga perasaanku. Cuma kamu yang dari awal sampe detik ini nggak pernah bosan menjatuhkan. Kamu pikir aku mau pernikahanku hancur? Aku nggak mau! Mendingan kamu fokus sama rumah tangga kamu. Bukannya nggak mungkin kalau suatu saat nanti kamu ngerasain apa yang aku rasa."
OoO
Ratusan brosur sudah siap disebar. Aku dan Mbak Sarti berkeliling komplek untuk membagikan brosur dari satu rumah ke rumah yang lain. Tak lupa kami juga membawa beberapa toples kue sebagai tester.
Beruntung respons semua penghuni kompleks sangat baik. Mereka bilang, kue-kue buatan kami enak. Bahkan, ada beberapa dari mereka yang meminta brosur agar bisa dibagikan ke teman-teman yang lainnya.
Setibanya di rumah, kulihat sebuah mobil berhenti di depan rumah Tante Wina. Seorang laki-laki berjaket kulit dan memakai kacamata hitam turun. Ternyata dia.
"Hai ...," sapanya. Aku hanya mengangguk. "Mau titip ini untuk Tante bisa?"
"Titip apa?" Dia mengangsurkan sebuah paperbag padaku. "Ini apa?"
"Oleh-oleh. Tolong sampaikan ke Tante, ya. Oh, iya. Piring-piring yang waktu itu, nanti saya antar ke rumah."
"Mas pulang kerja atau gimana?"
"Iya. Saya baru pulang kerja."
"Kerjanya apa?"
"Supir."
"Oh."
Aku masuk dan langsung menyerahkan paperbag titipannya pada Mama. Saat melihat isinya, Mama tersenyum.
"Mama sengaja minta oleh-oleh?" tanyaku. Mama menggeleng. "Lho, kok dia bawain oleh-oleh?"
"Mama cuma bilang kalau pernah dapat oleh-oleh parfum dari Paris dan Mama suka banget sama wanginya. Itu aja, kok."
"Aku pikir Mama sengaja minta oleh-oleh sama dia."
"Gajinya besar juga ya, Ndien. Gaji dia sebagai supir termasuk besar, buktinya bisa beli parfum kayak begini."
"Mungkin dia supir bos mafia narkoba internasional, Ma," kelakarku yang mendapat satu pukulan di lengan. "Sakit, Mama!"
"Kamu kalau ngomong sembarangan. Nanti kalau ada yang dengar dipikirnya beneran."
"Masuk akal tapi, Ma."
"Tadi Alvin telepon Mama."
"Pasti soal Mbak Della lagi," sahutku. Mama mengangguk. "Mbak Della ngadu apa sama Mas Alvin?"
"Della bilang katanya kamu ngedoain pernikahan mereka hancur."
"Mama percaya sama menantu Mama itu?"
"Kamu pikir Mama sudah nggak waras, Ndien?"
"Terima kasih ya, Ma."
"Kamu itu anak Mama. Mama jauh lebih percaya kamu dibanding dia."
-TO BE CONTINUED-
DEPOK, 26 MARET 2022
00:27 WIB
YEAYYYY
UDAH CUMA MAU BILANG YEAYYY AJA.
SEE YOU !
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top