2

HAI, BUAT KALIAN YANG PUNYA MEDIA SOSIAL, BOLEH DONG FOLLOW AKU.

IG : @missdandelionishere8

FB : MissDandelion

Oh, iya. Aku juga punya akun KARYAKARSA. Sudah lamaaa banget aku baut, tapi belum ada karya apa-apa di sana. Buat kalian yang punya, boleh difollow juga, ya. Tulis aja Miss Dandelion di kolom pencarian. Atau kalian bisa klik link yang aku tulis di wall. Di sana, buat yang mau dukung aku ... bisa banget J

Makasih banyak.

Kunikmati secangkir teh manis hangat sambil melihat indahnya langit biru siang ini. Layar laptopku masih menampilkan halaman blog seorang ibu rumah tangga yang namanya bersinar cerah di dunia masak-memasak. Beberapa hari terakhir, aku banyak mempelajari resep-resep kue dari blognya.

Sampai saat ini, aku masih bingun jenis kue-kue seperti apa yang akan kami produksi. Sebagai langkah awal, aku sudah memilih beberapa resep dari beberapa blog dan membandingkannya. Kucatat semua baha yang dibutuhkan dan kusodorkan proposal pada sang investor, Papa.

Tak mudah untuk meminta Papa mendanai usaha yang sebenarnya belum jelas akan seperti apa ke depannya ini. Papa mentransfer sejumlah uang ke rekeningku yang nantinya bisa kugunakan untu berbelanja bahan-bahan. Aku sangat bersyukur menjadi anak bungsu di keluarga ini. Papa dan Mama selalu mengabulkan keinginanku, termasuk memberikan restu untuk menikah dengan Adam saat itu.

Sengaja kuajak Mama untuk ikut berbelanja ke toko bahan kue. Aku mau Mama melihat keseriusanku dalam menjalankan usaha ini. Sebagai langkah awal, setelah berbelanja semua bahan kami akan membuat sampel dan membagikannya ke beberapa teman Mama yang memang selalu excited setiap ada hal yang baru.

Kunyalakan mobil Papa untuk memanaskan mesinnya. Sementara menunggu, aku pun lebih memilih untuk duduk di teras rumah sambil menikmati ikan-ikan yang berenang lincah ke sana ke mari di kolam. Tak lama, kudengar suara pagar rumah Tante Wina yang didorong. Suaranya lumayan berisik. Yang kutahu, Tante Wina memang sudah beberapa kali mengeluhkan kondisi pagarnya akhir-akhir ini. Sudah beberapa tahun belakangan suaminya hanya tergeletak di atas tempat tidur. Penyakit karena semakin tuanya usia menggerogotinya.

Tembok pembatas rumah kami dengan rumah Tante Wina hanya setinggi dada orang dewasa. Aku bisa melihat siapa sosok yang baru saja masuk ke rumah Tante Wina. Pria yang kulihat di kamar yang ada di lantai dua!

Pria itu sadar kalau aku sedang memperhatikannya. Ia tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku. Aku mengernyitkan kening karena merasa pria itu terlalu sok kenal.

"Hi again!" ucapnya. Tak kuhiraukan sapaannya. Tangannya masih terangkat dan melambai. Sadar tak dapat balasan dariku, ia pun segera menarik tangannya turun. Masih dengan senyum yang terkembang, pria itu meninggalkanku dan masuk ke rumah Tante Wina.

Sok kenal banget, sih!

Aku dan Mama menuju ke sebuah toko bahan kue terbesar yang ada di daerah Fatmawati. Aku dan Mama mulai sibuk mengisi troli kami dengan barang-barang yang sudah kucatat di selembar kertas. Wanita memang beda. Kertas catatan hanya sebuah formalitas belaka. Nyatanya, aku dan Mama banyak mengambil barang-barang yang sama sekali tak direncanakan. Kami membeli beberapa loyang kue dan cetakan kue kering dengan bentuk-bentuk yang lucu.

Ini akhir pekan. Toko dipenuhi begitu banyak orang. Kami harus mengantre untuk membayar. Di sela mengantre, aku pun berbincang dengan Mama.

"Ma, kayaknya ada tamu di rumahnya Tante Wina, ya?"

"Tamu? Masak, sih? Mama nggak tau karena belum ketemu sama Tante Wina. Om Umar kan dirawat di rumah sakit, jadi Tante Wina nemenin di sana. Bik Tini belum pulang dari kampungnya. Tamunya kayak gimana, Ndien?"

"Mas-mas. Kayaknya seumuran sama Mas Alvin. Kayaknya lho, ya."

"Coba nanti Mama telepon Tante Wina. Mama takut aja kalau ternyata yang di rumahnya bukan tamu mereka. Seram banget, kan?"

Tiba giliran kami. Semua barang digotong masuk ke bagasi mobil dengan bantuan seorang pegawai toko. Aku dan Mama memutuskan untuk mampir ke sebuah warung soto Betawi terkenal yang ada di Manggarai sebelum pulang.

OoO

Kutatap semua barang belanjaan yang dijejer di atas meja makan. Ini sangat gila! Aku dan Mama menghabiskan banyak uang untuk semua ini. Papa pun tak kalah heran. Kepalanya tak berhenti bergeleng sejak kami pulang dari belanja.

Papa tak berhenti terkekeh saat melihatku yang sedang kebingungan memilah barang-barang. Beliau menantangku dan Mama untuk menghasilkan beberapa jenis kue kering dalam waktu seminggu. Sebagai gantinya, Papa akan mencoba memasarkan kue-kue itu ke teman-teman kantornya.

"Buat dulu, Ndien. Jangan sampe barang-barang kitu mubazir, ya. Nanti Papa bantu pasarin kue kamu. Itu juga kalau enak. Kalau ngga enak, ya nggak. Papa malu sama teman-teman kantor Papa nanti."

"Papa, ih. Begitu banget sama anak sendiri," sahutku kesal yang justru menghadirkan kekehan panjang. "Tapi, makasih ya, Pa. Makasih karena Papa sudah bersedia jadi investor."

"Ndie, barusan Mama telepon Tante Wina."

"Terus? Tante Wina bilang apa, Ma?"

"Yang di rumahnya itu keponakannya Om Umar. Baru pulang dari luar negeri, katanya."

"Oh, begitu."

Seharian ini kulalui dengan berkeliling ke seluruh bagian toko bahan kue bersama dengan Mama. Kakiku terasa sangat pegal. Aku memandang kamarku yag ada di lantai atas dengan malas. Seketika aku berharap Papa adalah salah satu crazy rich yang memasang lift di rumah.

Setelah membersihkan diri, aku memeriksa ponsel yang seharian ini jarang kusentuh. Ada beberapa pesan yang masuk. Semuanya dikirim oleh teman-temanku. Pasca bercerai dengan Adam, aku memang sempat menjadi pribadi yang senang menyendiri di kamar. Tak mau ada seorang pun yang mengganggu kesendirianku.

Gita dan Dea mengajakku untuk bertemu. Sudah hampir satu bulan ini kami hanya saling berkomunikasi lewat pesan singkat. Di sini, jelas aku yang sangat menyedihkan. Keduanya justru tengah menikmati indahnya bahtera pernikahan. Gita yang menikah setahun setelahku dikaruniai seorang anak yang lucu berusia 1 tahun bernama Alea, sementara Dea tengah harap-harap cemas karena waktu persalinannya yang sudah semakin dekat. Terkadang, hal seperti itulah yang membuatku kerap menolak setiap kali mereka meminta untuk bertemu.

Aku ikut bahagia menatap kedua sahabatku yang kini juga tengah menikmati kebahagiaan mereka. Meskipun baru sebulan tak saling melihat dan hanya berbincang lewat pesan instan, tetap saja rasa rindu itu terasa. Aku sibuk bermain dengan Alea, sementara Gita menikmati makanannya. Melihat Alea membuatku merasa bersyukur karena tak pernah ada seorang anak yang hadir di pernikahanku dengan Adam. Kalau saja sampai itu terjadi, mungkin aku tak akan pernah bisa menebus kesalahanku padanya karena sudah membuatnya hidup di sebuah keluarga yang tercerai berai.

"Si Dea ngebet banget ketemu sama lo, Ndien. Katanya mumpung belum lahiran."

"How is the feeling?" Aku yang tiba-tiba saja melankolis tak sadar mengucapkan pertanyaan itu. "Rasanya gimana, sih?"

"Ndien," ucap Dea pelan. Tangannya bergerak meraih telapak tanganku. Aku merasa seperti ada aliran energi yang menjalar. "Lo juga bisa bahagia. Percaya deh sama gue. Bahagia itu punya semua orang. Nah, tinggal kitanya sendiri mau atau nggak."

"Tadinya, gue pikir nikah sama Adam saat itu bakal jadi pencapaian tebesar gue. Gue minta maaf sebelumnya sama kalian berdua. Tapi, di umur gue yang segitu, nikah tuh emang kayak sebuah kebanggaan tersendiri. Kayak gimana, ya. Wah, cepat juga gue lakunya. Tapi, ternyata gue salah. Sampe detik ini gue nggak tau kenapa Adam cari perempuan lain untuk muasin dia di ranjang. Apa mungkin dia nggak puas sama pelayanan gue selama tiga tahun pernikahan kami? Apa ada kekurangan dalam diri gue yang bikin dia iya-iya aja waktu gue bilang mau gugat cerai? Dia sama sekali nggak nolak, lho. Dia malah nyuruh gue untuk urus semuanya ke pengadilan. Dari sana, gue sadar kalau dia juga sebenarnya menginginkan perceraian, tapi emang kedualuan gue aja yang ngajuin."

"Tadinya, gue sama Dea ke sini mau kasih tau lo sesuatu. Tapi, lihat keadaan lo yang kayak begini, kayaknya lebih baik lo nggak usah tau."

"Soal apa? I'm okay, lho. Ngomong aja."

"Lo janji ya untuk tenang," pesan Gita. Aku mengangguk. "Jadi, gue nggak tau gimana bisa begini. Waktu gue sama Ardi ke acara ulang tahun keponakannya Ardi, gue lihat Adam juga datang ke sana."

"Adam datang ke acara ulang tahun keponakan lo?" tanyaku. Gita mengangguk. "Kok bisa? Mungkin dia punya hubungan sama keluarganya Ardi."

"Nah. Gue nggak lihat dia sendirian. Dia datang sama perempuan hamil. Setelah acara selesai, gue iseng nanya sama sepupunya Ardi. Dan, gue sempat nggak habis pikir kok bisa Adam kayak gitu ke lo."

"Dia kenapa, Git? Mendingan lo langsung aja, deh. Jangan berbelit-belit. Gue tuh beneran nggak apa-apa. Adam kenapa?"

"Sepupunya Ardi bilang kalau perempuan itu istrinya Adam. Dilihat dari usia kandungannya, sih emang udah bulannya. Kayak tinggal nunggu hari aja gitu. Gue sengaja nggak kasih tau sepupunya Ardi kalau Adam mantan suami lo biar gue bisa ngorek informasi. Dari info yang gue dapat, mereka nikah waktu Alea baru banget lahir. Itu berarti setahun sebelum kalian bercerai. Apa Adam sudah mulai aneh waktu itu?"

Aku tak tertarik menjawab pertanyaan Gita. Di kepalaku tengah melintas kenangan-kenangan saat aku mulai menyadari perubahan dalam diri Adam. Di setahun terakhir pernikahan kami, Adam mulai sering pergi ke luar kota. Saat itu, ia hanya mengatakan kalau kantor menjadikannya orang kepercayaan untuk mengurus kantor cabang. Itu saja. Aku yang selalu berusaha untuk menjadi seorang istri yang baik di mata suami tak pernah menaruh curiga.

Apa yang kudengar barusan seakan menjadi drama konyol yang baru saja terkuak. Bagaimana mungkin aku tak pernah tahu kalau mantan suamiku menduakanku, bahkan saat kami masih berstatus suami istri? Aku menarik kesimpulan kalau alasan ke laur kota yang selalu dibuatnya hanya untuk menutup rahasia yang disimpan rapih.

"Hapus nama Adam dari hidup lo. Jangan buat apa yang sudah terjadi menjadikan trauma di hidup lo. Nggak semua laki-laki kayak dia. Masih ada banyak banget laki-laki yang jauh lebih baik dari dia. Jangan takut untuk menikah lagi, Ndien. Lo juga mau kan anak-anak kita main bareng kayak kita?"

Anggukanku menjawab pertanyaan Gita.

OoO

Aku dan Mama menyibukkan diri di dapur. Kami memutuskan untuk mengeksekusi resep pertama. Sebenarnya, Mama punya beberapa resep andalan, di antaranya nastar dan putri salju. Dan menurutku, kue-kue buatan Mama sangat layak untuk dijual. Pun tak kalah rasanya dengan kue-kue kering yang dijual di toko terkenal.

Mama membaut nastar versinya, sementara aku membuat nastar sesuai dengan resep yang kudapatkan di internet. Dari testimoni orang-orang yang sudah mencoba, resep ini sangat direkomendasikan karena begitu lumer di mulut. Di akhir, kami akan membandingkan mana yang terbaik. Nantinya, yang terbaik yang akan kami jadikan resep andalan.

"Kok enakan punya Mama, ya? Punyaku terlalu apa ya ... nggak sesuai sama lidahku. Terlalu kering nggak sih, Ma? Kalau nastar kan enaknya yang basah kayak punya Mama gini."

Dengan raut wajah sombong, Mama tersenyum mengejek ke arahku. Ya, kami sepakat untuk menggunakan resep nastar andalannya sebagai komoditi perdangan nantinya. Besok, perjuangan masih akan berlanjut. Ada begitu banyak resep yang butuh dicoba. Sebentar lagi Hari Raya. Itu akan jadi momentum yang bagus, kan?

"Kamu mandi aja, Ndie. Biar Mama sama Bibik yang beresin bekasnya. Sudah malam juga."

Aku tak mendebat. Kulirik jam dinding yang memang sudah menunjung angka tujuh. Aku segera naik ke lantai atas.

Karena merasa gerah, kunyalakan AC kamar. Aku juga mulai melepas kaos yang kukenakan sejak pagi tadi. Lumayan kotor karena banyak serbuk tepung yang menempel saat kukibaskan.

Dehaman seseorang membuatku seketika langsung berdiri terpaku. Aku menoleh dan menemukan pria itu tengah duduk menopang dagu dengan satu telapak tangan di balik jendela kamarnya lagi-lagi tersenyum padaku. Gegas kusambar kaos yang tadi kulepas untuk menutup aset berharga bagian depanku yang terbalut bra.

"Warna itu cocok sama kamu."

Sialan!

-TO BE CONTINUED-

DEPOK, 19 MARET 2022

22:43 WIB

SEE YOU SOON!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top