12

hai, semuanya.

terima kasih sudah mampir ke sini.

sudah ada part 13nya di KaryaKarsa yaaaa.

"Kenapa Mas segala ngaku-ngaku jadi pacarku?" ucapku ketus. "Kapan kita jadiannya?"

Mas Adrian yang sepertinya merasa tak nyaman dengan jawaban yang diberikan Rama pun segera pamit undur diri. Sementara itu, aku dibaut semakin kesal karena melihat wajah Rama yang terkekeh. Ia jelas menganggap ucapanku sebuah lelucon.

Aku kesal. Segera kututup gerbang, tapi tangan kokoh itu menahannya. Rama menahan pintu gerbang dengan kuat. Mustahil aku bisa melawannya.

"Jangan tiba-tiba masuk dong, Ndien. Aku sudah pulang. Di sepanjang perjalanan aku semangat banget mau cepat-cepat ketemu sama kamu."

Entah kenapa mendengar semua yang diucapkannya membuatku merasa bahagia dalam hati. Aku tetap berusaha untuk menemukan celah kebohongan di kedua sorot mata beriris cokelat tua itu. Namun, tak ada. Sejauh ini, aku memang tak pernah mendapatinya berbohong.

Tangannya yang menahan gerbang mulai mengendur. Rama menyambar tanganku. Satu tangannya menggandengku, sementara tangan yang lain menggeret koper dinasnya. Ia memintaku duduk di nagku teras.

Belum ada satu pun dari kami yang bicara. Selama beberapa menit duduk di teras, Rama hanya terus-terusan menatapku. Tatapannya membuatku salah tingkah.

Perjalanan udara yang begitu panjang membautnya terlihat begitu lelah. Setibanya di rumah, bukannya langsung istirahat ia justru menemuiku.

"Mau terus lihatin aku sampai kapan?" tanyaku. Ia tersenyum. "Kalau nggak ada yang mau dibahas, aku mau masuk. Aku ngantuk."

"Tunggu. Jangan begitu, Ndien. Besok weekend. Apa kamu benar bakal langsung tidur nantinya? Aku sih nggak yakin."

"Kok malah ngajakkin berantem?" sahutku kesal. "Mendingan kamu pulang aja, deh. Lagipula kamu juga pasti capek kan terbang 20 jam lebih? Eh, aku lupa. Nggak mungkin capek sih kalau ditemani sama pramugari-pramugari cantik. Iya, kan?"

"Kamu ngomong apa sih, Ndien?" sahut Rama. Keningnya berkerut. Mungkin dia bingung karena tiba-tiba aku menyinggung tentang rekan-rekan kerjanya yang cantik itu. "Ada apa?"

"Justru kamu yang ada apa."

Rama meraih pundakku dengan kedua tangannya. Ia memintaku menghadap ke arahnya. Tatapannya menajam dan tak berkedip. Aku merasa terpojok.

"Aku sama sekali nggak ngerti kamu kenapa? Terakhir, kita baik-baik aja. Sampai akhirnya kamu selalu alasan tiap kali aku mau telepon atau video call."

"Aku paling nggak suka dijadiin mainan. Kamu tau kan aku pernah gagal berumahtangga. Aku tutup hatiku untuk kembali menjalin hubungan. Aku malas kenal sama laki-laki lain karena aku pikir yang namanya laki-laki itu sama. Sama-sama brengseknya. Tapi, kamu berusaha meyakinkan aku kalau kamu beda. Jujur, aku susah mau percaya. Apalagi kamu bikin aku terbang dengan semua kata-kata kamu. Aku benci karena aku percaya begitu aja."

"Hei ...." Rama membingkai wajahku dengan kedua tangannya. "Kamu ngomong apa, sih?"

"Jangan pernah kamu dekati aku. Aku sama kamu itu beda. Kita datang dari latar belakang yang beda. Pekerjan kita juga beda. Kamu dengan pekerjaan kamu pasti pengin punya pasangan yang seenggaknya satu level sama kamu. Dan itu bukan aku. Cukup, Mas!"

Rama terlihat tambah bingung.

"Aku benar-benar nggak ngerti apa yang kamu maksud, Ndien."

"Aku nggak siap punya pasangan yang jadi idola banyak perempuan, termasuk yang dari MASKAPAI LAIN."

Sengaja kuperjelas di dua kata terakhir dalam ucapanku. Rama seolah mendapatkan petunjuk. Dan ia pun tertawa. Tawanya membuatku kesal.

"Kalau aku bilang sekarang kamu lagi cemburu, boleh?" ucapnya. Aku membuang muka ke sembarang arah. Ia memutar daguku dengan jemarinya dan membuatku kembali menatapnya. "Kamu cemburu?"

Dan bodohnya, aku mengangguk. Ya Tuhan. Kenapa hati dan otak sulit sekali diajak kerja sama? Ke—kenapa mudah sekali aku mengaku? Kenapa aku secemburu itu? Kenapa?

Rama berlutut di hadapanku. Ia meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat seakan tak akan pernah dilepaskannya. Sesekali ia pun mengecupi tanganku.

"Aku minta maaf," ucapnya. "Aku lalai karena mengabaikan perasaan kamu. Aku nggak sadar karena sudah buat kamu cem—"

Buru-buru aku membungkam mulutnya dengan tanganku. Aku yang masih belum pulih dari rasa malu merasa tak sanggup untuk mendengar kata itu dari mulutnya. Aku benci karena harus mengakui kalau aku cemburu.

"Jangan diucapin. Aku malu. Please," ucapku memohon. Ia mengangguk masih dengan mulut yang terbungkam.

"Terima kasih."

"Untuk?" sahutku.

"Cem—"

"Jangan diucapin!" teriakku. Ia kembali mengangguk. "Pulang sana!"

"Urusan kita belum selesai, lho."

"Ada apa lagi sih, Mas?"

"Siapa laki-laki yang tadi sama anaknya? Dia nggak lagi usaha untuk dekatin kamu, kan? Dia nggak lagi pakai anaknya untuk bisa dapetin kamu, kan?"

"Mas, sejak kapan sih kamu jadi orang yang suuzon begini?" Aku yang heran dengan serentetan pertanyaannya pun langsung memicingkan mata. "Tanyanya satu-satu. Jadi, aku jawabanya juga enak."

"Aku bisa jadi orang yang suuzon kalau perkara cinta," sahutnya yang membuatku salah tingkah. "Dia suka sama kamu?"

"Ada juga aku yang suka sama dia."

"Ndien, aku nggak lagi bercanda. Satu hal yang harus kamu tau, sekali aku pegang tangan kamu ... sampai kapan pun aku nggak akan pernah lepas. Apapun itu keadaannya. Aku harap kamu akan selalu ingat ini. Mau itu kamu yang minta, aku nggak akan lepas."

***

Kejadian semalam membautku susah tidur. Aku tak berhenti tersenyum. Aku bukan lagi remaja yang dilanda kasmaran. Namun, kenapa rasanya sebahagia ini? Rasanya ... bagai bertemu dengan cinta pertama.

Pesan yang baru saja dikirimnya menghadirkan senyuman di bibirku. Ditambah, emoticon yang disisipkannya di akhir. Hati berwarna merah.

Kuusap perlahan bibir bawahku. Terasa lembut ... bibirnya. Dengan sedikit aroma kopi di akhir embusan napasnya. Kami melakukannya! Di teras rumah!

Jujur, setelah apa yang terjadi semalam membuatku takut untuk sekedar menarik tirai dan membuka jendela. Aku takut kalau tiba-tiba mendapatinya yang sedang duduk menatap ke arah kamarku. Aku tak sanggup.

Dan benar saja. Yang kukhawatirkan terjadi.

"Baru bangun?" ucapnya dari seberang. Aku mengangguk. "Tidurnya nyenyak?"

"I—iya." Kulihat Rama yang mengusap bibirnya. Membuatku mendadak malu. "A—aku mau ke kamar mandi."

"Sayang ...."

Apa yang baru saja dikatakannya? Sa—sayang?

"Aku panggil kamu," ucapnya.

Jederrrrr.

Aku tak merespons. Namun, masih tetap menatapnya. Rama tersenyum ke arahku.

"Aku boleh ke rumah?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. "Ada sesuatu yang mau aku kasih ke kamu. Semalam nggak sempat karena terlalu kebawa suasana. Ya sudah, katanya kamu mau ke kamar mandi."

Aku segera berbalik badan dan meninggalkannya. Lelucon macam apa ini? Tapi, anehnya kenapa aku suka? Aneh.

Saat turun ke lantai bawah, kulihat Rama sedang berbincang dengan Papa di ruang tengah. Bukan main aku dibuat salah tingkah. Ingin rasanya menghindar, tapi tak mungkin. Papa memanggilku dan Rama terkekeh di sebelahnya.

"Dicari Rama," ucap Papa. Aku mengangguk. "Temani Rama. Papa mau ke depan dulu siram tanaman. Ajak sarapan sekalian. Mama sudah masak."

"Mama ke mana?" tanyaku.

"Mama ke pasar sama Bik Sarti. Dapat pesanan kue untuk acaranya Bu RW."

Kuikuti perintah Papa. Aku duduk di sebelah Rama. Ia menyodorkan sebuah paperbag ke arahku dan memintaku untuk membukanya.

"Ini apa?" tanyaku.

"Coba dibuka. Semoga kamu suka."

Kubuka paperbag dan melihat isinya. Beberapa bungkus cokelat dan ....

"Mas ...."

"Aku suka modelnya. Jadi, aku beli untuk kamu. Aku bantu pakai, ya."

Sebuah kalung berbandul hati sudah bertengger di leherku. Sederhana, tapi terlihat begitu cantik.

"Kenapa beli ini?"

"Kan aku sudah bilang kalau aku suka modelnya. Lagipula aku juga sudah niat untuk lebih serius sama kamu sepulangnya dari sana. Kamu suka nggak?"

"Suka. Ini cantik."

"Dan semakin cantik karena kamu yang pakai," pujinya yang membuatku seketika menegang. Ia mengusap pipiku lembut. "Pipinya lucu. Ada merah-merahnya."

Mati aku!

"Geser sana, ah!" Kudorong Rama agar sedikit bergeser menjauh. Aku malu.

"Ya sudah. Kalau begitu, aku pulang aja."

Refleks kutahan lengannya saat ia berdiri. Kuminta ia untuk kembali duduk. Rama mengangguk sambil tersenyum ke arahku. Dan ... ia kembali duduk di sebelahku tanpa mengikis jarak seperti beberapa menit sebelumnya—saat kuminta ia bergeser.

Kurasakan kupu-kupu tengah menari di perutku. Rasa seperti ini sudah lama tak kurasakan. Jauh sebelumnya, seorang lelaki pernah membuatku terbang seakan tak akan pernah lagi memijakkan kaki di atas tanah. Adam pernah membuatku begitu terbuai dengan cintanya.

Kulirik jam dinding. Ternyata sudah cukup terlambat untuk sarapan. Kugandeng tangannya dan mengajaknya berjalan menuju ke ruang makan.

"Sarapan dulu," ucapku. "Mas belum sarapan, kan?"

"Belum," jawabnya singkat. "Jangan banyak-banyak. Aku masih agak pusing setelah perjalanan panjang. Semalaman juga nggak terlalu nyenyak tidurnya."

"Kok bisa?" tanyaku sambil mengisi piringnya dengan dua centong nasi goreng dan satu telur ceplok. "Dimakan dulu. Kerupuknya ambil sendiri, ya."

Aku menuju dapur dan mengambil dua gelas. Kuberikan satu untuknya. Kuisi gelas dengan air dari lemari es.

"Air yang nggak dingin habis. Kayaknya belum pesan galon lagi. Minum air dingin nggak apa-apa, kan?" Ia mengangguk dan memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya.

"Kamu mau tau nggak kenapa aku nggak bisa tidur semalaman?" tanyanya. Aku mengangguk. "Aku tuh berasa kayak mimpi."

"Ih, apaan, sih." Kucubit lengannya sedikit kencang. Rama mengaduh. "Cepat dimakan."

"Iya, Sayang. Aku makan."

Piring kami sudah bersih. Tak ada sebutir pun nasi yang tersisa. Rama menenggak habis minumnya. Kubersekan piring serta gelas kotor dan membawanya ke tempat cuci piring. Tak kusadari ada seseorang yang mengikutiku.

"Ngapain ngintil, sih? Aku mau cuci piring dulu. Tunggu di ruang tengah aja."

"Nggak mau. Aku mau kayak begini. Nanti, aku bakal bantuin kamu ngerjain kerjaan rumah. Kalau libur terbang, aku bakal bantu kamu nyuci piring, nyuci baju, bahkan masak sekalipun. Aku juga bakal bantu kamu untuk jaga anak-anak. Aku mau kamu melibatkan aku di semua hal. Ingat itu ya, Ndien."

"Maksudnya?" sahutku. "Anak-anak?"

"Iya. Anak-anak kita."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top