11

Hai semuanyaaaa,

Ih gimana kabarnya ihhhh?

Sehat kaannnnn?

Duhhh aku ga enak sama kalian.

Ya ampuuuun lama banget nggak update Andien sama Rama.

Barra sama Olive juga belum sempat kepegang.

By the way. Kalian sudah baca cerita TENTANG SEBUAH KISAH beluuuum?

Ayooook dibacaaaa.

Kalian pasti syukaaaaaa.

Kutatap jendela di mana Rama pertama kali memergokiku saat hanya mengenakan bra waktu itu. Aku tersenyum geli setiap ingat kejadian konyol itu. Kenapa lusa terasa begitu lama? Kenapa hati kecilku merindukan laki-laki itu. Bahkan, semalaman ini berkali-kali kutengok ponsel. Rama tak kunjung menghubungiku.

Teringat pertemuanku dengan Adam saat di toko bunga siang tadi. Ia terlihat sedikit kurus. Mungkin masih sedih setelah kepergian bayinya. Meskipun pada akhirnya ia harus kehilangan anak, setidaknya Adam sudah pernah merasakan menjadi seorang ayah.

Ya, sekarang aku sudah benar-benar merdeka. Aku bebas melakukan appaun yang kumau. Aku berhak bekerja di manapun aku suka tanpa adanya larangan dari siapapun. Kalau dulu memang beda ceritanya. Adam sangat membatasi ruang gerakku. Ia hanya mengingikan aku menjadi seorang istri yang patuh pada suami.

Pengalaman berumah tangga sebelumnya kadang membuatku sedikit khawatir. Akankah aku menemukan laki-laki yang memberikan keleluasaan padaku untuk berkembang? Atau mungkinkah aku akan kembali menemukan pria seperti Adam yang otoriter dan hanya menginkanku berdiam diri di rumah sembari menunggu kepulangannya dari bekerja?

Aku tersenyum menatap layar ponsel, diiringi suara dering dari lagu yang akhir-akhir ini menjadi kesukaanku. Yang kutunggu datang juga. Ada cerita baru apa lagi yang akan dia bagi bersamaku.

"Hi! Belum tidur?" sapanya. Aku menggeleng. Bagaimana kalau dia tahu aku belum tidur karena menunggu panggilannya? "Kenapa belum tidur?"

"Masih belum ngantuk," jawabku bohong. "Jadi pulang lusa, Mas?"

"Jadi. Kenapa?" tanyanya. "Sudah kangen sama aku, ya?"

Ini gila, sih!

Aku tak bisa menyembunyikan raut wajah dengan semuburat merah yang menghiasi. Rama tersenyum di layar poselku. Latar di belakangnya membuatku tahu kalau ia sedang berada di sebuah restoran. Beberapa orang yang kutebak rekan kerjanya pun sesekali ikut in frame.

"Aku bercanda. Kamu jangan marah, ya."

"Biasa aja, kok."

Sesekali—saat aku terdiam dan obrolan kami terjeda karena bingung apa yang ahrus dibicarakan, Rama akan berbincang dengan beberapa orang yang ada di sana bersamanya. Kulihat ada dua orang wanita. Sepertinya mereka adalah pramugari yang ikut bertugas.

"Capt Rama, ih. Iseng banget."

"Tau, ih. Capt Rama kan emang gitu orangnya."

"Tapi Capt Rama jadi idola di maskapai lain, lho."

"Carinya yang sesama dari aviasi aja, Capt. Biar kayak couple goals gitu."

Aku mulai merasa risih. Kubiarkan layar ponsel tetap menyorot, tapi aku sibuk membaca buku. Tak ingin mengganggu yang sedang asyik berbincang, tapi tak bisa juga menutup panggilan satu pihak.

"Ndien, kamu masih di sana, kan? Ndien ... Andien."

"Ya, Mas. Kenapa?"

"Aku pikir kamu ketiduran. Kamu sudah ngantuk?"

"Belum. Aku cuma nggak mau ganggu kamu. Kan lagi ngobrol sama teman-teman. Atau teleponannya udahin aja, jadi Mas bisa lanjut ngobrol."

"Maaf karena tadi sempat nyuekkin kamu. Kami lagi makan siang bareng."

"Oh," sahutku malas. "Mas, udah dulu, ya. Tiba-tiba aku ngantuk."

Aku tak menunggu persetujuannya. Segera kuakhiri panggilan. Ada rasa tak nyaman mendengar ucapan beberapa rekannya tadi. Tunggu, berhak kah aku?

***

Rama rutin mengirimi pesan seperti biasanya. Kubalas seperlunya. Aku mulai tak mempercayai apa yang pernah dikatakannya. Terkenal di maskapai lain? Aku tak peduli.

Anak-anak di kelas lumayan menghibur. Tingkah polah mereka memang cukup membuatku kelimpungan. Tangis, tawa sampai teriakkan pun menghiasi ruang kelas setiap harinya.

"Miss! Aku mau pipis," ucap Naima, muridku.

"Yuk, Miss Andien temani ke toilet."

Kugandeng Naima kembali ke kelas. Anak-anak masih sibuk mengerjakan tugas mewarnai gambar yang kuberikan. Aku berjalan berkeliling kelas, memeriksa pekerjaan murid satu per satu.

Kelas hari ini selesai. Aku pun langsung menuju ke ruang guru. Jatah makan kubiarkan karena tak merasa lapar. Aku hanya ingin cepat sampai di rumah.

"Miss Andien," panggil suara kecil padaku. Aku menoleh dan mendapati Vano yang sudah memanggul tas bergambar tokoh Marvel favoritnya, Captain America.

"Kenapa, Vano? Vano butuh apa biar Miss bantu."

"Boleh temani aku sampai Papa jemput?" pintanya. Aku terpaksa mengangguk.

"Papa sering jemput Vano, ya?" tanyaku. Anak itu menggeleng. "Lho?"

"Aku nggak tau kenapa. Papa bilang katanya bakal sering jemput."

"Papa dan Mama sibuk, ya?" Vano mengangguk. "Kalau mereka sibuk, kamu di rumah sama siapa?"

"Di rumah Papa ada Bik Sumi dan Pak Mul. Di rumah Mama ada Mama, Om Tommy, adik bayi, Bik Surti dan Pak Parjo."

Aku termenung dalam hati. Kucerna semua ucapannya. Rumah Papa dan rumah Mama. Apa itu artinya kedua orang tuanya sudah berpisah?

"Aku tinggal di rumah Papa. Ke rumah Mama jarang-jarang. Mama bilang sekarang Mama punya adik bayi. Jadi, nggak boleh terlalu repot. Mama juga bilang kalau aku nggak boleh terlalu sering main ke sana. Kasian adik bayi, katanya." Vano menghela napasnya pelan. Kutangkap ada rasa kecewa di sana. "Kayaknya Mama sudah nggak sayang aku, deh."

Kutatap tubuh kecil Vano. Anak ini masih terlalu kecil untuk tahu keadaan kedua orang tuanya. Bagaimana mungkin seorang ibu menolak kehadiran putra di dekatnya dengan alasan konyol seperti itu?

"Vano nggak boleh ngomong begitu. Bukannya Mama nggak sayang. Mungkin Mama memang lagi benar-benar sibuk urus adiknya Vano."

Cukup lama aku menemani Vano sampai akhirnya Mas Adrian tiba.

"Kamu sudah mau pulang, Ndien?" tanyanya. Aku mengangguk. "Aku antar sekalian."

"Nggak usah. Aku bisa pulang sendiri. Kasian Vano sudah kecapekan nunggu. Dia pasti mau cepat-cepat sampai rumah, terus istirahat." Mas Adrian menatap Vano. "Sampai rumah langsung istirahat, ya. See you next week."

"Kami pulang dulu. Kamu hati-hati di jalan."

***

Komunikasiku dengan Rama tak berjalan begitu baik. Aku masih malas menanggapinya. Pesan-pesan yang dikirimnya masih kubalas seperlunya. Setiap kali ia mengajakku untuk bicara di telepon atau video call, aku akan berkilah. Ada saja alasan yang kugunakan.

Mas Rama

Ndien, kamu kenapa?

Kok setiap aku telepon nggak bisa terus?

Aku pulang hari ini.

Pesannya tak kubuka. Aku hanya mengintip dari notifikasi yang muncul. Mau pulang kapan pun, itu bukan urusanku.

Ponselku berdering. Satu nomor asing tanpa nama tampak di layar. Tak berpikir panjang, segera kuangkat.

"Halo. Selamat pagi."

"Selamat pagi. Ini dengan siapa?" tanyaku.

"Ini aku, Ndien. Adrian."

"Ada apa, Mas?"

"Maaf karena sudah lancang telepon kamu. Aku minta nomor kamu dari wali kelas Vano sebelumnya. Semoga kamu nggak keberatan."

"Nggak apa-apa, Mas. Ngomong-ngomong ada apa, Mas? Ada masalah sama Vano?"

"Sama sekali nggak," ucapnya. Kudengar Mas Adrian sedikit mengembuskan napas. "Ndien, kebetulan aku dan Vano ada rencana jalan besok. Kami sih berharap kamu mau join. Gimana menurut kamu? Bisa?"

"Duh, aku minta maaf. Aku nggak bisa ikutan. Aku lagi nggak enak badan," jawabku bohong. "Maybe next time aku bisa gabung sama kalian."

"Kamu sakit, Ndien?" tanyanya.

"Kurang enak badan aja, Mas. Mungkin karena terlalu capek."

"Ya sudah kalau begitu. Istirahat ya, Ndien. Semoga kamu lekas sembuh."

"Terima kasih, Mas."

Aku dibuat kaget saat Mama mengetuk pintu kamarku. Ada tamu yang ingin bertemu denganku. Aku dibuat kaget bukan main saat tahu siapa yang datang.

"Miss Andien!" teriak Vano.

"Aku bilang Vano kalau kamu nggak bisa join sama kami karena lagi sakit. Eh, dia malah ngajak untuk jenguk kamu," ucap Mas Adrian. "Keadaan kamu gimana? Sudah enakkan?"

"Su—sudah. Sudah enak. Silakan duduk. Bik Sarti mengantarkan dua cangkir minuman dan meletakkannya di atas meja. "Makasih ya, Bik."

"Sama-sama, Mbak."

"Miss Andien, kapan-kapan ikut aku sama Papa jalan-jalan mau?" tanya Vano.

"Wah, jalan-jalan ke mana?" sahutku.

"Ke mana aja, Miss. Aku sama Papa suka jalan-jalan kalau weekend. Kalau pas nggak ke rumah Mama, ya jalan-jalan."

"Aku dan mamanya Vano ...."

"Sudah, Mas. Jangan dibahas. Aku nggak mau obrolan ini malah bikin Vano sedih."

Mas Adrian mengangguk. Kupersilakan kedua tamuku untuk minum dan mencicipi kue-kue yang disajikan. Kulihat Vano begitu menikmati setoples kue kacang buatan Mama.

"Vano suka kuenya?" tanyaku. Ia mengangguk semangat. "Nantiboleh Vano bawa pulang, ya."

"Jangan, Ndien. Jangan ngerepotin."

"Nggak apa-apa. Lagipula, Vano juga suka."

Sambil menikmati kue, Vano sibuk bermain seorang diri. Suasana canggung mulai terasa karena hanya ada kami—aku dan Mas Adrian di ruang tamu. Aku menangkap gelagat kalau laki-laki di hadapanku ini ingin menanyakan sesuatu.

"Ndien ...."

"Ya?" sahutku. "Ada apa?"

"Apa kamu sudah menikah?" tanyanya. Aku mengangguk. "Oh, ya ampun. Aku minta maaf. Kita benar-benar nggak ketemu untuk waktu yang lama. Aku juga nggak sempat tanya soal ini waktu itu. Aku minta maaf. Aku nggak enak sama suamimu."

"Aku sudah cerai. Lumayan lama."

"Maaf."

"It's okay. No worries. Silakan diminum lagi tehnya, Mas."

Mas Adrian sempat menitipkan Vano karena ada urusan yang harus diselesaikannya. Ia mengatakan akan kembali secepatnya saat semuanya selesai. Kutemani Vano bermain, sesekali kucoba untuk mengajarinya membaca. Dia memang anak yang pintar.

Hari sudah menjelang sore, tapi Mas Adrian tak juga datang. Anaknya yang kelelahan pun tertidur di kamar tamu. Ia bilang kalau masalahnya lumayan rumit, jadi butuh waktu untuk benar-benar menyelesaikannya.

"Aku minta maaf, Ndien. Urusanku benar-benar nggak bisa selesai cepat. Vano mana?" tanya Mas Adrian.

"Vano aku suruh tidur di kamar tamu. Kasian banget dia kecapekan main. Ehm, tadi dia lapar. Karena kebetulan hari ini menu makanan di sini serba pedas, aku minta Bik Sarti untuk gorengin nugget untuk dia. Nggak apa-apa kan, Mas?"

"Nggak apa-apa, Ndien. Aku nggak membatasi makanannya. Selama itu nggak berlebihan dan dia doyan, go ahead. Aku minta maaf karena sudah merepotkan. Kapan-kapan aku gantian traktir kamu."

"Nggak usah, Mas. Kayak apa aja," sahutku terkekeh. "Mau aku antar ke kamar tamu? Siapa tau kamu kangen sama Vano."

"Boleh."

Mas Adrian duduk di tepi ranjang. Ia mengamati anak laki-lakinya yang terlihat begitu pulas. Pandangannya terlihat seolah ada banyak beban yang dibawa.

"Aku dan mamanya Vano memilih untuk pisah. Waktu itu Vano masih dua tahun. Hak asuh jatuh ke tanganku karena mamanya memang nggak berusaha untuk memperjuangkan. Nggak lama setelah kami pisah, Cessa nikah lagi. Sekarang dia sudah punya kelaurga baru dan baru saja melahirkan," ucapnya. "Cessa bilang kalau dia nyesal nikah sama aku. Kondisiku sulit saat itu. Pekerjaanku belum jelas karena memang sedang meniti bersama dengan teman-teman yang lain. Aku pikir dia bisa sabar mendampingiku. Tapi, nyatanya dia menyerah gitu aja."

"Vano tetap korban di sini," sahutku. Ia mengangguk. "Kalau bisa, kamu jangan terlalu sibuk. Dia juga butuh kamu sebagai ayahnya. Dia cerita ke aku kalau kamu sibuk. Jangan sampai kamu kehilangan momen-momen penting sama dia."

Obrolan kami terhenti saat Vano bergerak menggeliat. Kedua matanya terbuka. Ia tersenyum ke arahku dan Mas Adrian.

"Papa sudah datang?' ucapnya yang direspons Mas Adrian dengan sebuah anggukkan. "Kita pulang, Pa?"

"Ayo. Kita sudah terlalu lama di sini. Kasihan Miss Andien. Miss Andien pasti butuh istirahat."

Langit sudah semakin gelap. Kuantar keduanya sampai di ambang pagar rumah. Sebuah taksi berhenti di depan rumah Tante Wina. Seseorang yang begitu kuhindari keluar.

"Ndien," ucapnya. Ia berjalan mendekat. "Lagi ada tamu?"

"Iya," sahutku singkat. "Mas Adrian, kenalin ini Mas Rama."

Keduanya saling berjabat tangan.

"Temannya Andien?" tanya Mas Adrian. Rama menggeleng. "Oh."

"Saya pacarnya Andien," ucap Rama.

-to be continued-

akhirnya update uga nihhhh.

Huahahhah

Chapter selanjutnya bisa dibaca di Karyakarsa yaa.

Kapan?

Nanti aku kabari. Hauahhahah 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top