PROLOGUE

"Ada saat kau ingin menjadi orang lain karena ketika menjadi diri sendiri, orang lain tak pernah ingin mengakui."

- Arcblood Phoenicis -

☆☆☆


OSAKA PREFECTURE, JAPAN.

8pm-

Udara terasa lembap malam ini. Suhu pada pendingin di ruangan kamarku juga tidak berpengaruh sama sekali, tapi hal itu tidak membuat semangatku surut untuk menyisir seluruh barang yang berserakan di lantai. Jari telunjukku menunjuk satu persatu benda sambil berusaha mengingat apa yang terlupa. Otak berkapasitas rendah ini selalu memaksaku bekerja lebih keras. Sialan.

"Apa sampo di kamar mandimu sudah masuk ke dalam tas?"

"Sampo! Kau benar! Hampir saja aku lupa pada benda sepenting itu." Tanpa pikir lama, pintu kamar mandi terbuka lebar dan cairan beraroma mint terbungkus kemasan itu langsung masuk ke dalam ritsleting tas dengan aman.

"Huh, dasar pikun. Kau akan menjadi polisi setelah lulus dari akademi, tapi masih butuh bantuanku?"

Pandanganku beralih pada sosok mini di ambang pintu yang tengah bersedekap sambil tersenyum miring. Dia sangat mirip denganku saat kecil, kecuali sifat jahil dan besar kepalanya yang kadang membangkitkan aura iblis dalam diriku untuk mengurungnya di gudang tanpa lampu satu pun.

"Anak kecil seharusnya sudah ada di atas kasur, memeluk guling lalu bermimpi indah sekarang. Tidurlah, besok kau sekolah."

"Aku bukan anak kecil!" sentaknya dengan wajah memerah. Aku berkedip lalu tersenyum lebar sambil menatapnya penuh arti. "Chitose-chan, apa kau takut sendirian di kamar? Aku bisa menemanimu jika mau. Siapa tahu ada yang merayap di kakimu nanti ketika tidur...." ucapku mendekat ke arahnya.

"Berhenti menggodaku! Kau sendiri kenapa belum selesai berbenah dari siang? Aku saja bisa merapikan semua barangku dalam waktu satu jam!"

Wajahnya benar-benar memerah. Aku menghela napas, menegakkan tubuh kemudian mulai memasukkan satu persatu barang ke dalam kantung. "Semua pekerjaan akan mudah jika dibantu oleh seseorang, kan? Tapi dalam kasusku, tidak ada yang ingin melakukannya." Chitose diam ketika aku menoleh. Dia menunduk sambil mengepalkan tangannya erat. Dasar bocah. Padahal aku hanya bicara asal padanya.

Yah ... tidak heran kenapa reaksinya seperti itu. Berada di dalam keluarga terpandang dan mempunyai segalanya, tentu jadi harapan dan impian setiap orang, bukan? Tapi orang sepertiku sepertinya menolak sekalipun ditawari secara cuma-cuma. Fasilitas yang sangat memadai, hidup berkecukupan, masa depan yang cerah dan gemilang tanpa perlu bersusah payah, harta yang tidak akan habis 7 turunan-ah, mungkin 10. Siapa yang tidak tergiur?

Semua aku dapatkan dengan gratis dari lahir. Hebat bukan? Tapi hanya satu yang tidak pernah kudapatkan.

"Mama, apa kau menunggu mama untuk membantumu?"

Bohong jika aku berkata tidak. Tapi berhadapan dengan adikku yang berusia 12 tahun, menjelaskan dan marah hanya karena dua orang itu lebih memilihnya, rasanya hanya membuang tenaga saja. Chitose mendongak, menatapku seolah sosok di hadapannya ini adalah manusia paling malang sejagat raya. Oh ayolah! Aku bahkan pernah mendapat pengakuan cinta dari seorang perempuan di sekolah. Ya, walau pada akhirnya dia memutuskanku secara sepihak tanpa alasan yang jelas di hari Valentine. Jangan tertawa, aku hanya sedang apes saja.

"Mama sedang sibuk. Aku tidak ingin merepotkannya. Ck, gara-gara kau mengajakku bicara, pekerjaan ini pasti akan selesai lebih lama!" kataku sambil mengusap rambut kasar.

Kukira dia akan balas menjawab, rupanya masih saja diam menatap bajuku yang tertumpuk di atas kasur. Baiklah, sebetulnya dia hanya ingin menemani dan mengatakan sesuatu padaku. Gengsi menggelikan Papa pasti menurun padanya. Apa susahnya menawarkan bantuan atau sekedar mengucapkan selamat malam pada kakaknya sendiri yang esok akan pergi dan tak akan kembali dalam waktu singkat? Lagi-lagi aku menghela napas. Rasanya aku tahu kenapa kebanyakan ibu di luar sana terlihat lebih tua ketimbang usianya.

"Hei, apa kau mau ikut denganku? Tapi jangan harap aku akan membantumu kali ini," ucapku membuatnya menoleh dengan tatapan bertanya. Rambut hitam lembut yang bersentuhan dengan telapak tanganku mencipta sebuah lengkung di bibir.

Gesit, aku langsung berlari menyusuri lorong dan menaiki tangga menuju atap tanpa memedulikan teriakan nyaring Chitose dari belakang. Tawa menggelegar bergema di sepanjang ruangan yang kulewati. Sudah lama aku tidak melakukan hal ini!

Pintu berpelitur cokelat tertangkap mata setelah berbelok tiga kali dengan gembok besar yang tergantung di sana. Hah! Sudah kuduga pria itu tidak akan begitu saja membuka jalan rahasianya. Aku berbelok lagi lalu mendobrak gudang perkakas dan membuka jendela tua yang berderit termakan usia. Angin malam menyambut, mengibaskan rambutku yang mulai memanjang. Aku mendongak lantas tersenyum saat tahu jalan pintas satu-satunya terbebas dari campur tangan penghuni rumah.

Tubuhku merapat ke di dinding kemudian berjalan seperti kepiting dengan hati-hati. Asal kau tahu, senekat-nekatnya seorang Kawamura Kazuma, aku juga tidak ingin jatuh lalu tewas mengenaskan hanya karena terlalu banyak tingkah di rumahnya sendiri. Mau ditaruh di mana wajahku jika hal itu sampai terjadi.

Baiklah, lupakan sejenak pemikiran bodoh itu. Kakiku melangkah menuju atap dengan cepat setelah beberapa meter memacu degup jantung kemudian berlari dan melompat ke atap yang lebih tinggi. Ada untungnya juga semasa kecil menonton kartun monyet di televisi yang hobi bergelantungan saat pulang sekolah. Terima kasih, monyet.

Senyumku mengembang dengan penuh percaya diri ketika berhasil meraih pijakan terakhir dan menarik sepenuhnya tubuhku ke atas. Peluh mengucur di semua tubuh, tapi pemandangan malam Osaka di atas sini membuat teriakanku terdengar keras di langit malam. Mataku memejam sesaat ketika angin lagi-lagi hilir mudik menerpa wajah. Rasanya aku ingin tidur di sini malam ini.

BRAK!

Aku nyaris melompat lagi saat pintu terbuka dengan kasar. Chitose dengan napas terengah-engah dan raut wajah menahan marah terlihat jelas di sana. Aku tersenyum lalu melambai pelan seraya berkata, "Akhirnya sampai. Aku tidak tahu kalau kau yang memegang kuncinya."

Dia berderap menyusulku lalu berdiri diam saat melihat ratusan cahaya warna-warni di bawah sana. Kepalan tangannya melonggar, wajah kaku yang lebih mirip papan kayu itu melunak sesaat. Walau kadang kadar gengsi dan rasa malunya setinggi Tokyo Tower, Chitose tetaplah duplikat diriku yang senang teralihkan oleh hal lain. Ah, kecuali sifat dan wajah tampan ini. Camkan itu.

"Kau terlihat ingin sekali memukulku tadi. Tidak jadi, eh?"

"Mereka tidak akan mengantarmu besok pergi."

Tanganku yang terjulur untuk menepuk kepalanya spontan terhenti. Perasaan menyebalkan yang sangat ingin tidak kurasakan ini malah muncul perlahan. Aku menggeleng lalu menepuk-nepuk pipi Chitose yang kemudian mendapat amukan protes darinya. "Kenapa kau malah tersenyum seperti itu?! Besok kau akan berangkat sendiri tanpa bekal, tanpa pelukan, dan tanpa ucapan selamat tinggal dari mereka! Apa kau tidak peduli?"

Jika saja aku lupa dia adikku, sudah kubekap mulut macam bebek itu dengan selotip. Chitose menangis, dia bahkan menepis tanganku yang hendak menepuk kepalanya. Dasar! Harusnya aku yang marah dan merasa sedih, kan?

Kabar kedua orang tuaku yang tidak akan datang besok, sudah kuketahui 2 hari sebelumnya setelah akhirnya mereka pergi dengan alibi lembur di kantor dan tidak akan pulang sementara. Chitose tidak akan bisa mengantarku karena harus pergi sekolah. Teman-temanku juga tidak ada yang tahu keputusanku pergi menimba ilmu baru. Kenapa dua orang itu tidak mengatakannya sedari awal?

Merepotkan!

"Jika aku sedih dan memohon pada mereka untuk mengantarku, apa dalam sekejap mata mama dan papa akan mengangguk? Lagi pula aku tidak pergi selamanya, bodoh. Aku hanya pergi selama beberapa tahun dan akan kembali ke rumah. Kecuali aku mati, baru kau boleh memelas dan memeluk kedua kaki mereka sambil memohon agar mau mengantarku ke pemakaman."

Chitose memukul bahuku cukup kencang tanpa diduga. Aku balas merangkul lalu menjitaknya berulang kali sambil tertawa. Dia meronta kemudian mendorongku cukup kencang tiba-tiba. Suara nyaringnya yang nyaris tercekat mau tidak mau membuatku diam.

"Kalau kau ingin marah karena aku mengambil semua kebahagiaanmu, lakukan saja! Pukul aku! Bunuh aku jika perlu! Karena aku mereka mencampakkanmu, kan? Kenapa kau terus bergurau dari tadi dan seakan tidak peduli dengan dirimu sendiri?! KENAPA?!"

Seulas senyum tipis yang kutunjukkan membuat amarahnya sedikit mereda. Aku duduk lalu mendongak, menatap ribuan lampu dari gedung pencakar langit yang membuatku seakan terlihat kecil seperti kuku jari semut-anggap saja sebuah perumpamaan. Setidaknya pria itu mengatakan hal yang benar. Cahaya malam kota angkasa ini benar-benar tidak pernah mengecewakan.

"Jangan sembarang berucap seperti itu, Chitose. Kalau memang mau, aku pasti sudah melakukannya bahkan saat kau baru dilahirkan. Tapi kenyataannya, kau masih menangis di sampingku sekarang, kan?" ucapku yang membuatnya semakin menunduk dalam.

"Mama dan papa lebih menyayangimu karena keinginan murni mereka. Aku tidak bisa berbuat banyak selain menerimanya. Bisa bernapas dengan tenang, makan, tidur, buang air kecil dan besar tanpa gangguan di sini saja sudah cukup untukku. Aku tidak benci padamu, kecuali jika kau masuk kamarku sembarangan dan mengataiku lagi."

Suara tarikan ingus Chitose membuatku tertawa kencang. Tubuhku mendekat lalu menariknya untuk duduk bersama. "Dengar, Chitose. Kau harus menjaga mama dan papa sampai mereka bisa melihatku sepenuhnya."

"Maksudnya? Bukan kah mereka bisa melihatmu setiap hari jika bertemu?"

Kenapa dia tidak mengerti setelah merasa hebat dengan berkata tentang bunuh membunuh? Cih, sia-sia aku curhat dan meladeninya dari tadi.

"Sudahlah! Aku menjelaskan padamu sampai satu abad pun kau tidak akan mengerti. Ayo tidur. Barang-barangku juga masih berantakan di kamar." Tubuhku berdiri dan menggeliat untuk sesaat sebelum akhirnya melangkah ke arah pintu. Aku lelah bergelantung dan uji coba parkour setelah pinggangku berbunyi tadi. Hah ... esok aku pasti akan merindukan tempat ini.

"A-aniki!"

Langkahku terhenti dan spontan berbalik menatap Chitose dengan wajah menahan malu di sana. Hah? Dia memanggilku apa tadi?

"Kau harus lulus dan pulang dengan selamat agar mama dan papa bisa memelukmu! Berjanjilah padaku, Aniki!"

Aku termenung. Hening sesaat di antara kami sampai aku berkedip dan sadar jika tubuhku belum sampai di atas kasur dan bermimpi. Senyumku mengembang. Dasar payah, berapa banyak waktu yang dia habiskan untuk memikirkan itu?

"Apa kau meragukanku? Lihat saja. Kupastikan semua penduduk Tokyo akan selalu mengingat nama Kawamura Kazuma!"

•••

Lima menit lagi. Hanya tinggal lima menit lagi aku sampai di Fuchūhommachi Station, Tokyo. Berdesakan dengan penumpang lain selama kurang lebih 3 jam membuatku pengap. Terlebih wanita tua yang berdiri di sebelahku terus menggenggam erat ujung baju yang entah akan jadi melar atau tidak. Lagi, tidak ada seorang pun yang mau menggeser setidaknya lima senti saja untukku atau nenek ini duduk. Dasar tidak berperikemanusiaan!

"Hei, Nak. Kau akan pergi ke mana setelah turun dari sini?"

Aku menoleh pada wanita tua itu yang bahkan terlihat seperti tengah tertidur karena matanya yang tertutup oleh keriput. "Aku akan pergi ke akademi polisi. Kau sendiri ... ano ..."

"Nabihara Ebi. Polisi ... ya. Aku selalu ingin cucuku menjadi seperti itu. Dia pasti akan selalu mengantarku ke mana-mana dengan aman. Sayangnya aku bahkan malah berpegangan pada orang asing sekarang, ya." Nabihara-san tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. Rambutnya yang sangat putih menunjukkan betapa renta dan tuanya dia. Apa mungkin tidak ada keluarga lain selain cucunya itu?

"Kau bisa memanggilku jika ingin bepergian lagi. Aku akan senang meminjamkan ujung bajuku untuk kau genggam, Nabihara-san. Karena itu, tolong beri aku semangat agar bisa lulus menjadi polisi dengan cepat, ya?" ucapku seraya tersenyum lebar padanya. Ah, mungkin terlalu lebar sampai gigiku terasa dingin karena terus terlihat.

Wanita tua itu tersenyum lalu memelukku tanpa diduga bersamaan dengan desis pintu gerbong kereta yang terbuka. "Terima kasih." Hanya itu kalimat yang dia ucapkan sebelum akhirnya pergi berjalan pelan melangkah keluar.

Yosh! Mari kita mulai dengan semangat-

DUG!

"M-maaf. Maafkan saya," ucap pria kurus bertopi yang menghentikan selebrasiku. Dasar! Untung saja aku tidak jatuh tersungkur di peron. Orang-orang Tokyo memang sesibuk itu sampai tidak bisa melihat sekitarnya, ya? Huh!

"Tangkap orang itu! Dia mencuri dompet dan ponselku!" Aku tersentak saat gadis remaja berteriak nyaring persis di sebelahku. Bahkan suaranya bisa memecahkan gelas di ruangan tertutup, kurasa.

"Hei, kau hanya perlu melapor ke koban terdekat, kan? Kenapa harus berteriak heboh seperti itu?"

"Kau juga di rampok, bodoh! Lihat tasmu!"

H-hah?! Sejak kapan aku membawa tas berlubang? Dompetku ... di mana dompetku? Ponselku? Sampoku?

"Kau ini calon polisi, kan? Cepat kejar pria bertopi yang menabrakmu tadi! Dia bersekongkol dengan wanita tua yang terus berada di sebelahmu untuk mengalihkan perhatian. Jangan membuang waktu selagi dia masih terlihat!"

"B-baik! HEI KEMBALIKAN SAMPO, DOMPET, DAN PONSELKU!"

Sial! Dia langsung berlari setelah aku berteriak kencang dan menyusulnya. Terlalu banyak orang di stasiun menyulitkanku untuk bergerak bebas. Kenapa juga bajingan itu harus memiliki badan yang kecil dan gesit dalam menghindar?

"SIAPA PUN HENTIKAN PRIA BERTOPI ITU! DIA SEORANG PENCURI!"

BRUK!

Bagus! Dia menabrak seseorang dan akhirnya terjatuh. Sudah lama aku tidak menghajar orang, mari kita lakukan dasar bangsat sialan!

T-tunggu. E-eh? Kenapa, kenapa dia membiarkan pencuri itu pergi lagi?!

"SIAL! Kenapa kau hanya diam dan membiarkan orang itu pergi? Apa kau tidak tahu jika dia seorang pencuri?! Padahal aku sudah berteriak dari tadi agar ada yang menghentikannya."

Dia menatapku dengan ekspresi wajah yang menunjukkan jika kehadiranku membuatnya terganggu. Dengan santai orang itu memungut tas jinjingnya yang sempat terlempar dan memikul benda besar itu di pundak kemudian melangkah gontai setelah mengatakan hal yang membuatku kesal.

"Bukan urusanku."

"Apa kau tidak peduli jika ada orang yang mengalami kesulitan? Setidaknya kau bisa menghentikannya, kan? Dia seorang pencuri!"

Langkahnya terhenti. Dia menoleh kemudian tersenyum miring lantas mengarahkan pandangannya kembali ke depan. "Aku tidak punya banyak waktu. Sudah, ya."

Dengan cepat, punggung yang terbalut kaus putih itu hilang ditelan banyaknya orang yang berlalu lalang. Kepalan tanganku mengerat semakin kencang saat mengingat lagi wajah dan sorot matanya. Orang sepertinya tidak pantas untuk dibantu atau dikasihani. Jika mungkin suatu saat aku bertemu dengannya lagi, jangan harap bantuanku aku terjulur padanya. Siapa juga yang sudi membantu orang yang bahkan tidak punya rasa peduli walau hanya sebesar bulir beras yang baru dipanen.

Ah! Aku sampai lupa dengan pencuri itu! Gadis bersuara dewa, aku harap kau tidak hanya berdiri diam melihatku berlarian seperti orang gila dan segera melapor ke koban terdekat sekarang. Aku mengandalkanmu!

🚓🚓🚓

MIYAZAKI PREFECTURE, JAPAN.

Hierarki, menjadi tuntutan di beberapa keluarga untuk masa depan penerus mereka. Bukan tentang bagaimana proses yang dilalui si anak untuk menjadi seperti apa yang mereka inginkan, akan tetapi lebih cenderung dipaksa untuk menjadi robot demi tujuan tertentu. Posisi, itu yang para orang tua incar untuk anak-anaknya. Entah posisi agar dilihat oleh keluarga besar atau untuk dipertontonkan kepada khalayak bahwa anak mereka bisa mencapai puncak tertinggi. Aku sendiri sudah hidup berdampingan dengan hierarki sejak masih kecil. Dituntut untuk memenuhi keambisiusan orang tua, dituntut untuk menjadi yang teratas, meminimalisir masalah-masalah kecil yang hanya dilakukan oleh orang-orang ceroboh, dan membenci kekalahan.

Semua itu sudah tertanam sejak aku lahir, mulai berjalan, hingga sekarang aku masih diperlakukan sebagai robot, terutama oleh ayah. Mengapa? Alasan sederhana yang membayangi keluarga kami adalah karena sebuah kegagalan pernah menimpanya. Aku tidak akan menceritakan aib memalukan-itu yang dianggap ayah-kepada siapa pun. Aku sendiri tidak bisa menolaknya, hanya gara-gara imbas dari pembangkangan yang dilakukan oleh kakakku. Dia berhasil memutus hierarki itu untuk dirinya, sedangkan aku tidak bisa melakukan apa pun selain menurut.

Seperti hari ini, Tokyo sudah menungguku. Menunggu mimpi yang sudah ditetapkan oleh ayah sejak dulu. Metropolitan yang akan dipenuhi oleh orang asing, oleh orang-orang yang tidak akan peduli denganmu saat melakukan apa pun kecuali kejahatan. Aku tahu jika negara ini memiliki jumlah kriminalitas yang sangat rendah. Mengesampingkan kinerja profesional para penegak hukum, tingkat kejujuran dan kepercayaan di negeri ini sangatlah dijunjung tinggi. Ayah selalu mengajariku untuk tidak berlaku jahat kepada orang lain, bahkan sekadar untuk mengganggu orang lain pun, ayah mengajariku untuk selalu menghindarinya. Namun, aku sedikit heran dengannya. Ayah menciptakan sikap apatis di dalam diriku, tapi mengapa dia mengendalikan mimpi yang bertentangan dengan hal itu?

Menghela napas, aku menatap sangsi layar laptop di depanku. Kasus pembunuhan dan kejahatan jalanan menurun drastis pada tahun-tahun terakhir, sedangkan kejahatan siber meningkat. Penggunaan media sosial yang salah menjadi penyebabnya. Bersembunyi di balik akun palsu untuk menjatuhkan orang lain. Aku sangat membenci kejahatan seperti itu, hanya orang-orang pecundanglah yang berani menyerang orang lain melalui sosial media. Bukan berarti aku membenarkan kejahatan secara langsung, aku hanya tidak suka cara mereka menyakiti korbannya tanpa menyentuh dengan tangan melainkan dengan kata-kata tidak berpendidikan.

Baiklah, aku jadi melantur ke mana-mana.

Penerbanganku ke Tokyo kurang dari dua jam. Aku memilih untuk berangkat pagi-pagi agar bisa istirahat di akademi nanti malam. Berharap semuanya lancar dan tidak ada halangan yang mengangguku. Aku tidak ingin bertemu dengan orang asing yang menyebalkan karena itu bisa menyita waktu.

"Hokuto," panggil seseorang yang masuk begitu saja ke kamarku.

Aku meliriknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, hasilnya dia memukul bagian belakang kepalaku.

"Bagaimana bisa kau menjadi seorang polisi jika tidak peduli dengan orang lain, hah?"

"Ada apa kau ke mari?"

Aniki duduk di ranjang, helaan napas beratnya bahkan sampai terdengar dan memaksaku untuk melirik ekspresi menyedihkan di wajahnya.

"Maaf aku tidak bisa mencegah ayah melakukan ini kepadamu," katanya.

Terkekeh, aku memilih untuk menutup layar laptop dan berbalik. "Jangan meminta maaf untuk hal yang bukan salahmu. Selama aku masih bisa memikulnya, kau tidak perlu khawatir."

"Kau berhak menolaknya, Hokuto."

Aku terdiam. Aniki benar dengan apa yang dikatakannya. Penolakan selalu bisa kuajukan agar ayah tidak mengendalikanku seperti ini. Namun, ada satu sisi yang mengatakan bahwa aku harus tetap menjadi sosok yang bisa diandalkan oleh keluarga. Setiap kali aku teringat ayah melabeliku sebagai anak laki-laki yang lemah, tekadku berpacu untuk mencari pembuktian. Benarkah aku seseorang yang lemah? Benarkah aku seseorang yang tidak bisa diandalkan? Benarkah aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis selayaknya anak kecil? Tentu saja aku tidak ingin stigma itu menempel dan menghantuiku seumur hidup.

"Kau benar-benar sudah siap untuk pergi ke Tokyo?"

Aku mengangguk. "Bukan apa-apa."

Aniki melemparkan bantal ke arahku dan berdiri. "Sejak kapan kau jadi besar kepala seperti ini, hah? Kau tahu, Hokuto, Tokyo lebih susah kau taklukkan daripada Miyazaki."

Aku mendengkus. "Aku tahu. Pergilah, aku akan berkemas."

Setelah pintu kamar tertutup, kesunyian kembali menyergapku. Barang-barang yang akan kubawa ke Tokyo masih berserakan di dekat tas. Pikiranku berkelana, mungkin sudah terbang mengelilingi Kyushu terutama Kobayashi. Aku belum pernah keluar dari kota kecil yang terkenal dengan pemandangan langit malamnya yang menakjubkan, dan sekarang, aku harus menapaki Tokyo yang dipenuhi oleh orang asing.

Kobayashi ke Tokyo memerlukan waktu penerbangan kurang lebih dua jam, jika estimasi keberangkatan dan perjalananku tidak ada hambatan. Aku sudah mencari beberapa informasi mengenai Metropolitan Police Academy di Fuchu, setidaknya memerlukan waktu enam bulan hingga satu tahun untuk menempuh segala pendidikan agar aku bisa menjadi seorang aparat. Tentu saja semua itu tidak akan dengan mudah kulalui, berbagai hal merepotkan pasti akan menyambutku di sana. Bertemu dengan orang-orang dari penjuru Jepang, menghadapi senior kejam, dan peraturan ketat. Jika aku beranggapan bahwa itu bukan apa-apa, apakah kalian akan tetap mengatakan jika aku besar kepala? Baiklah, terserah. Tas dan segala isinya sudah selesai kubereskan, satu lembar tiket sudah berada di genggaman.

"Yosh, ayo lakukan ini!"

▪▪▪

Perpisahanku dengan ayah dan ibu tidak meninggalkan bekas apa pun, selain ibu yang menangis dan menyisakan kelembapan di bahu pada kaus yang kukenakan. Berbeda dengan mereka berdua, aniki berubah menjadi manusia tercengeng yang pernah kutemui seumur hidup. Lusinan kali dia mengatakan jika ada hal yang membuatku kesulitan selama di Tokyo, aku harus menghubunginya. Aku mengerti, tapi berpegang pada prinsip minimalisir kesalahan yang akan menyusahkan diriku sendiri, aku berjanji kepada mereka tidak akan memberikan kabar kegagalan.

Setelah menempuh perjalanan udara selama satu jam lebih, punggungku terasa letih. Orang-orang berlalu lalang di terminal 3 Bandara Internasional Haneda. Kebanyakan mereka yang melakukan perjalanan seorang diri sepertiku. Kereta yang akan membawaku ke Stasiun Kawasaki sudah tiba, kami masuk dan mengisi kursi-kursi yang kosong. Hanya ada sepuluh orang yang berada di gerbong yang sama denganku. Jika di Kobayashi, perbincangan di antara mereka akan dengan mudahnya terjadi, tapi aku menemui keadaan yang sangat asing di sini.

Seorang wanita yang duduk di sebelah gadis seusiaku dan tidak memberikan sapaan satu sama lain, sibuk dengan gawai yang lebih menarik dari bersosialisasi. Seorang pria paruh baya yang langsung mendengkur begitu kepalanya bersandar pada tiang pegangan di sebelah kanannya. Di depanku ada seorang nenek yang bercengkerama ringan dengan cucu laki-lakinya, momen itu satu-satunya yang mengundang kehangatan di dalam diriku. Rasa rindu mendesir ketika kenanganku pada mendiang nenek di Kobayashi melintas.

Sisanya aku tidak terlalu peduli. Belum lama mataku terpejam, kereta sudah tiba di Kawasaki. Aku turun, masih menatap sosok nenek dan cucunya itu hingga menghilang di tengah-tengah lalu lalang. Perjalananku berlanjut agar lekas tiba di Fuchu. Kali ini kereta yang kutumpangi lumayan penuh, bahkan aku tidak mendapat tempat duduk dan harus berdiri di dekat seorang gadis SMA yang aku pikir baru pulang sekolah. Jika aku tak salah mengartikan gestur, dia sempat membicarakanku dengan salah satu teman yang berdiri di depannya.

"Selamat datang di Stasiun Fuchuhommachi-"

BRUK!

Nyeri menjalar di lengan begitu seseorang tiba-tiba saja menabrakku di tengah keramaian. Sebenarnya apa yang membuat mereka terburu-buru, hah? Aku menggeram samar, menatap wajahnya yang ketakutan. Samar, gestur protektif aku temukan padanya ketika dia menggenggam sebuah tas. Belum sempat aku berdiri, laki-laki itu sudah berlari dan menghilang di antara orang-orang.

"SIAL! Kenapa kau hanya diam dan membiarkan orang itu pergi? Apa kau tidak tahu jika dia seorang pencuri?! Padahal aku sudah berteriak dari tadi agar ada yang menghentikannya."

Berisik.

Seorang pemuda menambah buruk suasana di sekitarku dengan ocehannya yang panjang lebar. Aku mengabaikannya dan memilih untuk mengambil tas yang terlempar.

"Bukan urusanku," ujarku kemudian pergi.

"Apa kau tidak peduli jika ada orang yang mengalami kesulitan? Setidaknya kau bisa menghentikannya, kan? Dia seorang pencuri!"

Tanganku tanpa sadar mengepal, ocehannya yang menyebalkan itu sepertinya memang harus kuladeni. Menoleh, aku berusaha mengingat wajah konyol yang kekanakan itu kemudian menyunggingkan senyum.

"Aku tidak punya banyak waktu. Sudah, ya."

Cukup. Cukup bertemu dengan anak yang merepotkan dan terlalu peduli dengan bagaimana orang lain bersikap sepertinya sekali ini saja. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa jika bertemu dengannya-tidak, tidak. Aku tidak sudi.

Orang seperti dia hanya akan sangat merepotkan, akan kujamin itu sampai kapan pun.

🚓🚓🚓

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top