EPILOGUE


“Semua yang kau anggap berakhir bisa jadi merupakan awal dari cerita yang sebenarnya.”

– Arcblood Phoenicis –

🚔🚔🚔

“Kawamura-san Anda melupakan tas Anda!”

“Hah!” Aku menunduk dan menyadari bahwa tanganku tidak menenteng satupun tas yang seharusnya kubawa kembali ke Tokyo. Padahal itu berisi hal-hal penting yang tidak boleh tertinggal. Sial, entah kenapa aku jadi gugup dan berkeringat padahal baru saja mandi.

“Terima kasih banyak, aku berangkat!”

“Apa saya harus memberitahu Nyoya dan Tuan jika hari ini adalah hari kelulusan Anda?”

Aku tersentak pelan saat menyadari sesuatu yang terlupa, lagi. Tanganku merogoh sepucuk surat yang ada di dalam tas kemudian berjalan mendekat kembali pada salah satu asisten rumah tangga yang menatap terkejut sekaligus bingung.

“Tolong beri ini pada Chitose, ya. Suruh dia segera membacanya,” kataku sambil tersenyum.

“Tuan dan Nyonya bagai–”

“Tidak perlu. Berikan saja itu pada adikku. Terima kasih banyak, aku sungguh akan berangkat sekarang!”

Wanita paruh baya itu mengangguk lalu melepas kepergianku yang kini sudah duduk di dalam mobil. Padahal sudah kubilang untuk tidak diantar. Namun, setelah dipikir-pikir, sepertinya sepanjang perjalanan, mulut ini akan terus mengucap sumpah serapah berikut kata-kata mutiara dan duduk tidak tenang jika menggunakan kereta. Belum kalau harus berdesak-desakan dengan penumpang lain, lebih parah lagi dompetku bisa saja dicuri untuk yang kedua kali.

Aku rasa, stasiun menjadi salah satu tempat yang menyimpan rasa traumatis tersendiri untukku mulai hari ini.

“Pak, apa kita bisa lebih cepat lagi? Saya bisa dihukum di hari kelulusan kalau terlambat. Atau mungkin saja tidak akan diberi kesempatan lulus tahun ini … tidak, tidak, tidak. Tolong saya, Pak!”

“Siap Tuan. Tolong pakai sabuk pengaman Anda terlebih dahulu.”

“Tidak perlu, cukup lajukan dengan cepat sa–PAK!!”

Belum sempat aku selesai bicara, tubuhku  spontan terdorong ke belakang cukup kencang saat mobil dinaikkan kecepatan.

“Woah! Bapak bisa mengebut juga?!”

Pak Supir tersenyum bangga. “Biar umur mulai tua, tapi kemampuan balap yang pernah saya lakukan dulu saat jaman sekolah masih ada, Tuan. Jadi tolong pakai sabuk pengaman Anda karena saya tidak akan mengurangi kecepatan lagi.”

Aku tertawa sambil bertepuk tangan. Tidak kusangka supir pribadiku ternyata mantan seorang pembalap. Kecemasanku perlahan memudar saat mobil melesat cepat melewati kendaraan lain tanpa harus sering menginjak pedal rem. Nasib baik jalanan cukup lengang, jadi aku bisa menikmatinya. Ini seru asal kau tahu!

“Tuan juga sebentar lagi akan jadi perwira polisi, jadi momen dan situasi di mana Anda akan mengendarai mobil dengan kecepatan penuh pasti akan sering terjadi. Terlebih jika sedang mengejar penjahat, bukan?”

Aku menoleh lalu mengangguk. “Iya. Aku bahkan tidak sabar ingin mengendarai mobil polisi dengan tanganku sendiri. Tentu rasanya berbeda jika menggunakan mobil pribadi, kan?”

Pak Supir mengangguk sambil tersenyum hingga menimbulkan kerutan di kedua matanya. Aku ikut tersenyum lalu menatap lurus ke arah jalanan di depan.

Setelah keluar dari rumah sakit karena kejadian dramatis yang kualami bersama Hokuto, seluruh dadaku seketika diliputi oleh perasaan bersalah. Terlebih saat tahu fakta bahwa dia tertembak karena melindungiku. Jika saja aku tidak bertengkar dan memilih mengikutinya, mungkin peristiwa mengerikan itu tidak akan pernah terjadi.

Aku jadi teringat bagaimana dokter dan suster di rumah sakit saat itu bekerja sangat keras di ruang operasi dan hanya aku yang menunggu di luar tanpa bisa melakukan apapun. Mematung layaknya manekin yang hanya bisa menatap kosong ke arah dalam. Mulutku bahkan bersumpah untuk segera menyusulnya jika Hokuto memutuskan pergi lebih dulu.

Aoyama-san dan beberapa petugas polisi masih harus menghadapi para wartawan yang tiba-tiba saja penuh di halaman depan. Bertanya ini dan itu yang benar-benar terasa muak di dengarkan, mendorong amarah dan penyesalan semakin dalam.

Kepalaku kembali berdenyut. Terlalu menyebalkan jika rasa bersalah selalu menggerogotiku setiap saat. Ini bukan seperti diriku, tapi mengingat bagaimana setiap teman yang dekat denganku akan selalu celaka bahkan nyaris kehilangan nyawa, apa mungkin ucapan pria itu benar?

“Jangan pikirkan apapun di hari kelulusan Anda, Tuan. Nikmati dan lihatlah hasil kerja keras dan usaha Tuan selama berada di akademi.”

Aku terkesiap lalu menoleh pada Pak Supir yang masih tersenyum. “Ah iya, Pak,” jawabku singkat.

“Tuan sudah melakukan yang terbaik. Semua kejadian dan pelajaran yang telah Tuan ambil pasti sudah membentuk diri Anda menjadi seseorang yang baru dan lebih baik lagi. Sebagai seorang supir, saya mungkin tidak berhak mengatakan ini, tapi jangan menghakimi diri Anda sendiri atas apa yang telah terjadi. Tuan hanya berusaha, dan tidak ada yang salah dengan hal itu.”

Aku sungguh tidak berbohong jika mataku memanas dan mulai berair sekarang. Bukan karena aku cengeng! Hei, perasaan kalian juga pasti menjadi tidak keruan saat berada di posisiku.

“Apa saya boleh bertanya sesuatu, Pak?” ucapku sedikit ragu.

“Anda tidak perlu meminta izin saya, Tuan. Katakan saja.”

Kueratkan pegangan pada sabuk pengaman, siap bertanya meski belum terlalu siap dengan jawaban yang ada.

“Apa benar saya anak pembawa sial?”

Senyap. Pak Supir terdiam cukup lama hingga dia menghentikan laju mobil karena lampu merah menyala di depan sana. Apa mungkin, dia sedang memikirkan jawaban yang tepat agar tidak terlalu menyinggung perasaanku karena hal itu benar adanya?

“Semua teman yang bahkan sudah saya anggap sebagai kakak atau adik sendiri, selalu mengalami hal buruk jika sedang bersama dengan saya. Anehnya, hanya saya seorang yang masih bisa hidup dengan tenang seperti ini. Salah satu alasan papa dan mama tidak menganggap kehadiran saya juga, karena kehadiran saya bisa mengancam kehidupan, bisnis atau apapun itu yang dimiliki oleh keduanya, kan? Entah bagaimana bisa, hal-hal baik tidak pernah mau dekat-dekat dengan orang seperti saya. Layaknya parasit yang selalu mendatangkan kerugian pada orang-orang yang hinggap atau dekat dengannya.”

Menyedihkan. Oh, Kazuma, kenapa kau jadi seseorang yang melankolis seperti ini? Tapi mau bagaimana lagi? Mulutku gatal sekali ingin menyuarakan isi hati. Biarlah dianggap lebay atau terlalu berlebihan, aku hanya ingin mengungkapkan apa yang selama ini selalu mengganjal dan menekan hingga sesak sekali rasanya.

Pak Supir menoleh kemudian tersenyum lebih lebar. Dia menepuk sekali pundakku kemudian berkata, “Justru keberadaan Tuan yang menyelamatkan saya.”

Keningku mengeryit. “Maksud Bapak?”

“Apa Tuan tidak ingat jika dulu saya hanya seorang tukang kebun? Perintah dari Anda secara tiba-tiba yang menginginkan saya menjadi supir pribadi Anda membuat kehidupan saya perlahan berubah.”

Pak Supir kembali melajukan mobil sebab lampu sudah berubah warna kembali menjadi hijau.

“Saya banyak belajar selama mengantar Anda kemanapun sebelum pergi ke akademi. Tuan mengajarkan saya banyak hal, terutama dalam memahami perasaan orang lain. Karena Anda, saya bisa berdamai dengan diri sendiri atas penghakiman yang selama ini menekan diri saya sendiri selama bertahun-tahun.”

Aku hanya sanggup diam mendengar penuturan pria yang mulai memiliki banyak uban di sampingku itu. “Tapi, saya–”

“Kalau Tuan pembawa sial, saya tidak mungkin berada di sini, menemani Tuan dan mendapat kehidupan yang jauh lebih baik daripada sebelumnya. Anda tidak perlu khawatir pada orang-orang yang mungkin tidak beruntung saat berada di dekat Anda. Tidak semua dari mereka menganggap Tuan demikian, bukan? Bisa saja justru kehadiran Anda adalah hal yang sangat mereka syukuri, tapi tidak pernah diungkapkan sama seperti saya.”

Aku menunduk untuk meyakinkan diriku sendiri. Apa Ryoma dan Hokuto juga merasa begitu? Dipikir-pikir, aku belum pernah mendengar kata-kata itu keluar dari mulut keduanya. Apa aku harus bertanya? Kalau Ryoma mungkin akan langsung menjawab, tapi Hokuto? Kulkas seribu pintu itu mungkin akan menatapku dengan aneh sambil berkata, ‘Apa kepalamu terbentur sesuatu sampai otak itu bergeser dari tempatnya?’

Mobil berhenti tepat di depan akademi tanpa kusadari. Netraku menatap gedung megah yang menjadi saksi perjuangan penuh kisah itu sesaat, kemudian mengembuskan napas pelan untuk menenangkan diri.

Pak Supir benar, aku hanya perlu menikmati hari kelulusan yang selama ini selalu kunanti. Apapun yang akan terjadi di dalam, aku hanya perlu bertingkah seperti biasanya. Entah apa yang ada di pikiran orang-orang, bukankah aku sudah terbiasa dengan tatapan mengintimidasi dari mereka?

“Terima kasih banyak, Pak. Mengobrol dengan Bapak, perasaan saya jadi jauh lebih baik.”

“Sama-sama, Tuan. Selamat karena Anda sudah menjadi perwira polisi. Saya jadi ikut bangga dan terhormat bisa melihat pertumbuhan Tuan sampai jadi seseorang yang hebat seperti ini.”

Aku tertawa lalu mengangguk. “Keren sama ganteng juga kan, Pak?” Pak Supir mengacungkan jempolnya.

Pintu mobil dibuka kemudian menutup kembali. “Saya akan menunggu sampai acara kelulusan selesai. Jadi Tuan tidak perlu khawatir,” ucapnya.

“Tidak usah, Pak. Bapak bisa pulang atau jalan-jalan saja. Setelah selesai, ada beberapa urusan yang harus saya lakukan.”

“Saya bisa menunggu–”

Aku menggelengkan kepala. “Ambil libur hari ini ya, Pak. Meski Bapak tidak mengantar saya selama saya di akademi, tapi Chitose selalu meminta Bapak untuk mengantarnya ke mana-mana setiap hari, kan?”

Pak Supir tampak terkejut. “Ka-kalau itu–”

Aku tertawa kecil lalu mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajah. “Saya tahu tabiat anak itu yang selalu mengikuti apapun yang saya lakukan. Saya tidak akan terkejut kalau tiba-tiba dia masuk ke akademi ini saat sudah besar. Ah, bagaimanapun, sekarang ini waktu Bapak berlibur. Jangan membantah karena ini perintah. Oke?”

Pak Supir tersenyum kemudian mengangguk. Aku balas dengan cengiran kemudian berlari masuk. Upacara kelulusan sudah menanti.

🚔🚔🚔

Kakiku hendak melangkah ke gedung akademi, sebelum Takechi memanggil dan menghampiriku sambil berlari kecil. Wajahnya terlihat sumringah dengan senyum khas yang selalu dia tunjukkan saat bertemu. Aura anak itu benar-benar membuat siapapun yang berada di dekatnya akan ikut terbawa senang.

“Bagaimana kabarmu? Apa ada luka yang serius?” tanyanya sambil memutar-mutar tubuhku.

“Aku baik-baik saja.”

“Sungguh? Cedera pada bahumu sudah sembuh?”

“I-iya. Takechi, apa kau bisa berhenti memutar-mutar tubuhku?” Takechi sontak melepaskan genggamannya sambil nyengir lebar. Kekuatan anak itu benar-benar membuatku bergidik.

“Maaf, maaf. Ah, di mana Yoshino-san? Bukankah dia juga sudah keluar dari rumah sakit? Tidak mungkin dia melewatkan kelulusan hari ini, kan?”

Aku terdiam saat Takechi menoleh ke arah kanan dan kiri, mencari keberadaan Hokuto yang bahkan tidak kutahu bagaimana kondisinya sekarang.

Hokuto masih harus berada di rumah sakit selama beberapa hari untuk pemulihan saat aku sudah diperbolehkan pulang. Ada keraguan yang terasa saat berada di depan pintu ruang rawat anak itu untuk memastikan kondisinya sekaligus berpamitan.

Bagaimana jika Hokuto jadi membenciku? Bagaimana jika Hokuto tidak lagi mau mempercayaiku? Bagaimana jika Hokuto tidak mau lagi bertemu denganku yang hampir membuat nyawanya hilang? Banyak pertanyaan yang terus merangsek masuk tanpa izin, tapi tidak tahu kebenarannya seperti apa. Untuk kedua kalinya, aku merasa harus menjaga jarak agar dia tidak lagi dalam bahaya.

Yang kulakukan saat itu hanya bisa menatap tubuhnya yang terbaring di atas brankar, dari balik jendela samping pintu yang sedikit buram, sambil berharap jika kondisinya sudah jauh lebih baik dari pikiranku sendiri.

“Kazuma!”

Aku terhenyak saat Kamiya tiba-tiba menepuk bahuku. “Sialan! Sejak kapan kau ada di sampingku, hah?” umpatku.

“Pendengaranmu jadi tidak berfungsi dengan jelas setelah dirawat selama berhari-hari, ya? Aku sudah memanggilmu lebih dari lima kali asal kau tahu!”

“Untuk apa kau memanggilku? Meminta foto bersama? Atau tanda tangan? Sini kemarikan kamera dan pulpenmu sebelum aku berubah pikiran.”

Kamiya mendorong kepalaku sambil berucap, “Lebih baik meminta tanda tangan Kurosawa-san daripada kau. Dasar bodoh.”

“Memangnya berani?” ledek Takechi.

“Berani! Mana Kurosawa-san, biar kuminta tanda tangannya sekarang juga.”

“KUROSAWA-SAN! ADA YANG INGIN MEMIN–HMP!”

“Kau tahu arti bercanda tidak, hah?!” Kamiya menutup mulutku sambil berbisik kesal saat semua orang yang baru ataupun sudah datang menatap ke arah kami. Takechi hanya tertawa kecil di sebelahku.

“Dasar penakut.”

Aku melepaskan tangan Kamiya kemudian tersenyum puas. Wajahnya memerah saat beberapa wanita tertawa melihatnya. “Dasar payah, kau lebih pengecut dari dugaanku, Kamiya. Sayang sekali.”

“Diam kau!” ancamnya yang semakin salah tingkah.

“Dia memang menyukai banyak wanita, tapi saat semua menatapnya balik, justru dia yang kelimpungan sendiri– oh! Yoshino-san!”

Punggungku menegang dan langsung terasa dingin saat melihat Hokuto berjalan mendekat. Sebelah tangannya di gips dengan luka memar di beberapa titik wajah yang belum kunjung menghilang. Membuatku semakin enggan untuk bertemu. Separah itu lukanya karenaku? Dan kenapa dia bisa ada di sini jika kondisinya belum pulih?

“Aku harus pergi ke toilet! Perutku sakit sekali.”

“Eh? Sungguh? Kau baik-baik sa–”

“Aku pergi dulu!”

“Oi Kazuma! Anak itu .…”

Tidak. Aku belum siap bertemu denga Hokuto. Sialan, sialan, sialan, sialan! Kenapa tidak lenganku yang patah atau bahuku yang tertembak saja? Kalau itu terjadi, perasaan bersalah yang bersarang tidak akan jadi sebesar ini. Padahal aku sudah mengukuhkan diri untuk bertingkah biasa saja sebelum masuk ke sini!

Aku membuka kran wastafel dengan kasar saat sudah sampai di toilet. Mencuci wajah berulang kali kemudian menatap diriku sendiri di cermin.

Seragam polisi yang kukenakan begitu gagah dan keren. Seragam yang selalu kuimpikan agar bisa dipakai dengan rasa bangga dan penuh dengan kebahagiaan, tapi kenapa hari ini rasanya sangat berbanding terbalik?

Bekas lebam di wajah ini belum seberapa dengan apa yang telah dialami oleh Hokuto. Dan mungkin rasa sakit ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang dirasakan oleh Ryoma.

Aku menghela napas kemudian mengeringkan kedua tangan lalu merapikan rambut yang belum kusisir saat berangkat. Setelah memberanikan diri sekali lagi, aku segera keluar. Upacara kelulusan pasti akan segera dimulai.

“Jam berapa sebenar–”

“Kazuma.”

“OH ASTAGA!” Nyaris ponselku melayang tepat saat wajah Hokuto berada di depan wajahku begitu berbelok untuk menapak koridor.

“Kenapa kau menghindariku?”

“H-hah? Apa maksudmu?”

Hokuto menghela napas kemudian memukul bagian belakang kepalaku tanpa aba-aba. “Harusnya aku yang bertanya! Apa kau tidak merasa bersalah saat melihatku seperti ini, hah? Memang karena siapa aku begini sekarang?!”

Aku membuang pandang saat Hokuto menatap sengit ke arahku. Tanpa ditanya pun, aku sudah tahu itu! Dia bahkan tidak tahu jika sedari tadi aku berusaha mati-matian untuk bersikap biasa saja saat bertemu dengannya.

Hokuto menghela napas seraya berkata, “Baiklah, Kazuma. Kurasa menyalahkanmu dan memarahimu seperti ini tidak ada gunanya. Bagaimana kondisimu? Apa kau baik-baik saja?”

Aku mengangguk.

“Bagaimana cedera bahumu? Apa sudah pulih sepenuhnya?”

Aku mengangguk lagi.

“Apa mulutmu juga terluka hingga tidak bisa bicara, Kawamura Kazuma?” Hokuto tersenyum lebar penuh arti ke arahku dengan sebelah tangan yang tidak di gips sudah terangkat di atas kepala.

“A-aku sungguh baik-baik saja! Sebaliknya, kau yang tidak!”

Koridor lengang sejenak, menyisakan keheningan ganjil yang terasa sangat canggung dan aneh ini. Aku menggaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal, memejam sejenak, lantas menatap Hokuto yang masih terdiam.

“Sialan. Kenapa harus kau yang tertembak dan jadi seperti itu? Harusnya kau pergi dan meminta bantuan saja bodoh!” ucapku sedikit berteriak hingga menimbulkan gema di sepanjang lorong.

“Dan kita akan mati bersama secara mengenaskan sebelum lulus?” imbuhnya begitu tenang.

“Aku tidak pernah menyesal peluru yang ditembakkan oleh Sakamoto menembus bahuku. Aku juga tidak pernah menyesal dengan kondisi yang menimpaku sekarang. Itu artinya aku jauh lebih berguna, kan?” lanjutnya.

“Apa maksud–”

“Maaf.”

Mataku mengerjap. Hokuto menunduk kemudian menatapku kembali. “Aku mengaku jika aku bodoh dan terlalu terobsesi pada asumsiku sendiri tanpa berpikir bagaimana pendapatmu. Aku salah menilai jika Sakamoto adalah orang yang akan membantuku dalam menguak kasus itu. Aku salah menduga, bahkan menuduh jika Aoyama yang terlibat dalam semua upaya penculikan dan perampokan itu. Aku juga salah dan sangat bodoh bahkan tidak memberikan kesempatan pada temanku. Lebih parah, aku tidak mempercayainya sama sekali.”

Kami sama-sama terdiam lagi dengan pikiran masing-masing. Entah apa maksud dari perasaan aneh ini, aku memutuskan mengeratkan genggaman lalu mengulurkan tinjuku ke hadapannya.

“Apa kita bisa saling membalas satu sama lain setelah kau sepenuhnya pulih? Aku juga berhutang nyawa padamu.”

Hokuto tampak sedikit terkejut saat melihatku yang perlahan menerbitkan senyum padanya. Dia ikut tersenyum tipis kemudian menyambut tinjuku seraya berkata, “Tentu. Siapa takut?”

Kami tertawa setelahnya. Tawa yang selalu membuatku merasa lebih baik meski berada dalam situasi sulit sekalipun. Meskipun aku tidak tahu pasti apa yang sedang anak itu pikirkan atau rasakan sekarang, tapi satu yang pasti, bahwa aku bersyukur akan kehadirannya. Walau kadang merepotkan harus selalu berdebat mengenai hal-hal tidak penting sekalipun.

“Hei kalian, cepat berkumpul di Aula Barat. Upacara kelulusan akan digelar sepuluh menit lagi,” ucap Kamiya yang berjalan ke arah kami.

Aku dan Hokuto serempak mengangguk lalu berjalan beriringan menuju tempat yang dimaksud. Ada hal lain yang ingin kutanyakan lebih lanjut, tapi sepertinya obrolan itu akan jauh lebih panjang jika dilakukan sekarang. Setidaknya aku ingin mendapat lencana terlebih dahulu dan mengobrol bersama Hokuto sebagai dua orang petugas polisi resmi yang tengah berdiskusi. Jauh lebih keren, bukan?!

Semua siswa terlihat sudah berkumpul di halaman depan aula. Baik Takechi maupun Kamiya hanya bilang padaku untuk menunggu sebentar lagi karena sebelumnya Matsuda-san mengarahkan kami untuk berada di sini sekarang.

Sesuai perkataan keduanya, Matsuda-san dan Kurosawa-san terlihat berjalan beriringan. Tanpa perintah, kami langsung berbaris rapi sebagaimana mestinya seperti saat tengah latihan. Orang yang paling depan memimpin kami untuk memberi hormat setelah semua barisan sudah berjajar rapi.

“Selamat pagi. Hari ini adalah hari yang penting untuk kalian semua. Hari di mana kalian akan dinyatakan lulus menjadi seorang perwira polisi dan akan menjalankan kewajiban dari apa yang telah kalian dapatkan selama berada di akademi. Setelah pintu aula di buka, kalian bisa langsung masuk sesuai dengan urutan barisan dan menduduki kursi yang telah disediakan. Mengerti?”

“Siap, mengerti!” ucap kami semua serempak.

Matsuda-san tersenyum lalu segera berjalan dan membuka pintu aula. Barisanku yang kebetulan berada paling dekat dengan pintu berjalan masuk terlebih dahulu.

Atmosfer yang begitu berbeda dari sebelumnya saat memasuki ruangan yang sering dipakai untuk berlatih, mulai membuatku gugup. Jantungku bahkan memompa lebih cepat dan kakiku bahkan rasanya kaku saat bergerak. Aku duduk di barisan paling depan yang berhadapan langsung dengan podium tempat juru bicara. Barisan kedua, ketiga, dan seterusnya terus masuk secara bergiliran, memenuhi kursi yang kini sudah terisi penuh.

Di belakang podium serta pinggir sebelah kanan dan kiri hadir orang-orang penting yang tidak semuanya kukenal. Wajah mereka tidak begitu familiar, atau mungkin aku yang tidak pernah bertemu dengan mereka. Netraku mencoba mencari seseorang yang sedari tadi tidak terlihat. Apa mungkin dia sedang melakukan misi atau menyelidiki kasus lagi? Seharusnya dia hadir di sini bukan?

Perintah yang diserukan oleh pemimpin di depan setelah seluruh siswa masuk, serentak membuat kami mengangkat tangan kanan untuk melakukan posisi hormat. Lagu kebangsaan negeri matahari terbit ini seketika bergaung memenuhi aula. Tidak ada yang bersuara. Semua khidmat dalam posisi masing-masing hingga lagu selesai mengalun.

Selepas pembawa bendera pergi, kami akhirnya duduk untuk mengikuti rangkaian acara selanjutnya. Sambutan demi sambutan diucapkan secara bergantian oleh para petinggi kepolisian yang disisipi tepuk tangan riuh di setiap pergantian juru bicara. Ucapan terima kasih dan rasa bangga yang mereka tujukan pada kami berulang-ulang kali, membuat perasaanku berangsur-angsur membaik. Hokuto yang terpaut dua kursi dariku juga tidak berhenti tersenyum sedari tadi. Baru kali ini aku melihat wajahnya secerah itu.

Hingga tanpa kusadari penyebutan nama untuk pemasangan lencana dan penyerahan sertifikat sudah dimulai. Kami semua berdiri secara serempak untuk bersiap. Takechi dipanggil lebih dulu. Tubuh tegap dengan postur yang menurutku nyaris sempurna itu berjalan gagah ke depan. Dia membungkuk dalam setelah lencana terpasang di seragamnya. Senyum lebar tercetak di wajah Takechi saat sesi pengambilan foto singkat dilakukan sembari menggenggam sertifikat kelulusan.

“Kawamura Kazuma.”

Kuhembuskan napas secara perlahan saat namaku terdengar menggema di dalam aula. Meski perasaan gugup sedikit menyelimuti, aku mantap berjalan ke depan. Sebuah senyuman tak biasa menyambutku dengan sorot tajam yang biasa dia layangkan pada semua orang, memaksaku untuk ikut tersenyum mau tidak mau. Pasalnya mulutku terus berkedut berulang kali karena gugup asal kau tahu.

“Kawamura Kazuma. Nama yang selalu disebut-sebut di kantor bersama satu orang siswa lainnya bernama Yoshino Hokuto. Senang bisa melihatmu kembali, Nak. Selamat atas kelulusanmu. Kepolisian berhutang banyak pada kalian berdua,” ucap Masanobu-san bertepatan dengan pemasangan lencana yang telah selesai.

Aku mengangguk lantas membungkuk singkat dan segera menerima sertifikat. Senyum terbaik kini kutunjukkan saat flash dari kamera menyorot wajah sekejap mata saja. Takechi melirikku dengan senyum yang masih menghias wajahnya ketika tubuhku mendekat dan diam di samping anak itu.

Hokuto menyusul kemudian. Berbeda denganku yang sedikit gugup, tidak ada sedikitpun gurat tersebut yang kutangkap dari wajahnya. Meski lebih sedikit memerah, tapi aku yakin perasaan bahagia tengah meluap-luap di dalam sana.

Pemasangan lencana dan pemberian sertifikat masih berlangsung selama 20 menit ke depan.

🚔🚔🚔

Area di sekitar Aula Barat kian padat saat aku keluar dari sana. Ramai orang tua, sanak saudara, istri, pacar, dan lain-lain yang langsung memeluk para siswa akademi kepolisian dengan tawa dan tangis yang menyatu di pendengaranku.

Matahari yang terpancar terik dan angin sepoi yang turut hadir seolah ikut merayakan kelulusan kami hari ini.

“Hoo … kau lulus juga ternyata. Kukira harus mengulang selama setahun lagi. Para petinggi kepolisian rupanya masih memiliki hati nurani untuk memaafkan siswa ajaib seperti kalian.” Kamiya tersenyum tepat di depanku dengan wajah menyebalkannya. Jika saja tidak ingat ini hari kelulusan, sudah kupastikan memar biru hinggap di mata sebelah kirinya detik ini juga.

“Meskipun mereka siswa ajaib, setidaknya Kawamura-san dan Yoshino-san memiliki prestasi hingga dikenal di seluruh kepolisian Fuchu. Kalau kau, apa prestasimu? Latihan fisik saja selalu mendapat nilai paling kecil.” Takechi menyikut Kamiya yang langsung salah tingkah dan menyuruhnya untuk berhenti bicara.

Aku terbahak kelewat kencang hingga menarik atensi beberapa siswa dan para orangtua di sana. Biar saja dianggap berlebihan, aku juga ingin sesekali menjahili anak sok keren dan sombong itu.

“I-ibu! Ahaha, itu ibu dan ayahku sudah sampai rupanya. Aku harus pergi menemuinya dulu. Dadah!” Kamiya berlari secepat kilat membelah kerumunan siswi yang tertawa kecil. Baik aku maupun Takechi dan Hokuto hanya menggeleng dan menepuk jidat saja.

“Selamat, ya. Menjadi teman satu angkatan kalian, adalah sebuah kehormatan tersendiri untukku. Kalian memang layak menjadi seorang polisi,” ucap Takechi sembari menepuk bahuku dan Hokuto.

“Kau juga, Takechi. Terima kasih karena tidak melaporkan kami saat kabur malam itu.” Hokuto balas tersenyum dengan lebar. Aku turut mengangguk sambil nyengir.

“Kita sama-sama diuntungkan bukan? Berkat pemberian tips bagaimana mendapat jatah makan yang lebih banyak di kantin oleh Kawamura-san, aku bisa memanfaatkannya jika sewaktu-waktu sangat lapar. Terima kasih.”

Kami bertiga tertawa tanpa sekalipun peduli jika menjadi pusat perhatian. Hingga seruan nyaring dari seorang gadis yang melambaikan tangannya dari kejauhan, dengan satu buket bunga berukuran sedang di tangannya, membuat Takechi harus pamit undur diri lebih dulu.

“Hori sudah memanggilku. Lain kali, ayo kita makan siang bersama, biar aku yang traktir nanti.”

“Aku pegang ucapanmu, ya!” Aku berseru saat Takechi berlari kecil menjauh dengan satu jempol tangan di udara tanda setuju.

Dan tinggalah kini aku dengan Hokuto, lagi. Tidak ada percakapan selama beberapa detik membuat mulutku gemas ingin bertanya ini dan itu. Mungkin ini saatnya, sebelum keluarga Hokuto datang. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan.

“Hokuto.”

“Kazuma.”

Kami mengerjap bersama.

“Kau dulu,” tawarku.

“Ah tidak, kau dulu saja,” jawab Hokuto.

“Kau pasti ingin membicarakan hal yang penting, kan? Jadi kau dulu,” ucapku tegas.

“Hal yang ingin kau bicarakan pasti lebih penting, jadi silahkan duluan.” Hokuto sama keras kepalanya sepertiku.

Lagi-lagi terjadi! Apakah keributan kecil dan sepele seperti ini memang menjadi tabiat dan tradisi kami berdua sebelum mulai membicarakan hal-hal penting? Aku mengambil napas dalam kemudian kembali berucap.

“Baiklah.”

“Baiklah.”

“Kenapa kau selalu mengikuti ucapanku, hah?!”

Hokuto mengerutkan keningnya lantas menjawab, “Justru kau yang mengikutiku. Aku sudah mempersilahkan berbicara sebelumnya, tapi kau tidak mau. Sekarang aku ingin bicara, malah kau ikut bicara.”

“HEH! KAU YANG–”

“Biar aku yang bicara.”

Suara berat seseorang menginterupsi perdebatan tak berguna ini hingga nyaris membuatku melompat dari tempat. Sosok yang sedari tadi kucari di dalam aula, yang tidak terlihat sepanjang upacara, kini berdiri dengan seragam polisi lengkap dan seulas senyum yang jarang–tidak, langka sekali kulihat.

“Sepertinya aku datang di saat yang tepat. Bagaimana upacaranya? Apa kalian mengikuti dengan baik? Atau membuat keributan lagi?”

“Aoyama-san!” teriakku. Kurasa pita suaraku akan habis hari ini saat sampai di rumah.

“Pelankan suaramu, Kawamura. Apa kau juga berteriak seperti itu saat menerima lencana?” Aoyama-san kembali menunjukkan wajah garang. Cih, baru saja ingin kuabadikan wajah spesialnya itu. Kamiya dan Takechi pasti akan ikut heboh jika tahu inspektur terkejam di akademi kepolisian tersenyum.

“Kenapa Anda baru datang sekarang, Aoyama-san?” Hokuto menarik bahuku untuk mundur dan maju selangkah lebih dekat. Pertanyaan yang sama membuatku ikut mengangguk.

“Sakamoto memanggilku untuk berbicara sebentar. Ah, dia juga menitipkan salam dan ucapan selamat atas kelulusan kalian hari ini.”

Baik aku maupun Hokuto terdiam. Kami saling lirik beberapa saat kemudian mengangguk bersamaan seolah sudah memahami isi kepala masing-masing.

“Maaf Aoyama-san. Meski dirasa bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal ini sekarang, tapi saya dan Kazuma ingin Anda menjelaskan lebih detail tentang kasus Amane dan Ryota yang melibatkan Sakamoto-san. Walau saya dan Kazuma sedikit banyaknya mengetahui apa yang terjadi, tapi tetap saja kami belum sepenuhnya mengerti.” Hokuto memulai topik pembicaraan.

Aoyama-san mengangguk-angguk tanpa melayangkan tatapan tajam atau menghindar seperti sebelumnya. Dia menatapku dan Hokuto secara bergantian.

“Baiklah. Tidak ada gunanya juga bagiku terus menutup-nutupi ini. Jadi, apa kalian sungguh ingin tahu apa yang terjadi?”

Aku dan Hokuto mengangguk. Aoyama-san mulai menjelaskan secara runtut dan perlahan.

“Dalang dari semua kejadian penculikan dan pembunuhan Amane serta Ryota, merupakan seorang anggota parlemen yang cukup berpengaruh dalam sektor pemerintahan. Dia adalah seorang wanita yang terlibat kasus suap dalam proses pemilihannya di beberapa kota di Tokyo bernama Iseri Junko. Kurasa kalian sudah membicarakan hal tersebut melalui sambungan telepon di malam penculikan Kawamura berlangsung. Kalian juga menemukan bukti kepemilikan barang dari wanita itu, bukan?”

“Benar. Aku yang menemukan anting itu di mansion lama milik Hayashida-san dan mantan suaminya tinggal dulu. Sakamoto-san tidak tahu bahwa kami menemukan barang bukti itu karena memilih untuk menyelidiki sendirian.” Aoyama-san mengangguk setelah mendengar penuturanku.

“Alasan yang melatarbelakangi upaya penghilangan nyawa ini, sedikit demi sedikit mulai terungkap setelah tim kepolisian berulang kali menyelidiki dan mencari bukti dengan susah payah. Asumsi yang memiliki kemungkinan benar paling besar, ialah disebabkan oleh perebutan hak asuh yang gagal dimenangkan oleh Iseri. Kesal karena tidak mendapatkan apa yang dia inginkan untuk pertama kali dalam hidupnya, pembalasan dendam itu akhirnya terjadi.

“Ryota yang juga masih seorang anak kecil, hanya bisa terdiam dan menurut saat wanita itu membawanya secara paksa. Hayashida Miya yang mengetahui ada sebuah kejanggalan dari kasus perampokan yang menewaskan putrinya dan upaya penculikan Ryota yang dilakukan oleh Iseri, segera melapor ke pihak kepolisian yang sayangnya saat itu diterima oleh Sakamoto yang sedang berjaga.”

Aku menelan ludah. Meski berulang kali mendengar penuturan yang sama tentang kasus kriminal, tetap saja bulu kudukku seringkali berdiri sendiri tanpa diminta. Terlebih dari beberapa informasi yang telah aku dapatkan. Tidak bisa kubayangkan bagaimana gadis sekecil Amane harus meregang nyawa di usia yang seharusnya berkumpul dan bermain bersama teman-temannya yang lain.

“Sakamoto-san memiliki urusan yang belum selesai dengan Iseri Junko di masa lalu. Karenanya dia tidak bisa menolak apapun yang diinginkan oleh wanita itu termasuk dalam membersihkan seluruh bukti dan jejak busuk yang ditinggalkan olehnya. Apa saya benar?”

Aoyama-san mengangguk. “Kau tidak sepenuhnya salah, Yoshino. Sakamoto adalah–”

“Lanjutkan saja obrolan kalian, ya! Aku akan mendengarnya darimu, Hokuto! Ada seseorang yang harus aku temui dulu.”

Tidak salah lagi. Aku sungguh melihat Chitose diantara lalu lalang orang. Tidak mungkin dia sendirian ke sini, tapi kenapa aku tidak melihat siapapun bersamanya tadi? Mustahil dia mengendarai mobil sendirian, kan? Awas saja, kupukul pantatnya sampai menangis nanti.

“Aku melihatnya di sini tadi. Ke mana dia sekarang?” gumamku setelah sampai di tepi lapangan besar. Kakiku kembali melangkah sambil terus memutar kepala ke kiri dan kanan. Masa Chitose tersesat?

Aniki!”

Kepalaku sontak menoleh. Suara ini jelas milik Chitose. Namun, seseorang yang berdiri di sampingnya dengan gaun hitam panjang polos sebetis dan rambut panjang yang diikat membentuk sanggul, sanggup menahan kakiku yang hendak menghampiri.

“Hoo … lihat seragam itu. Kau sungguh tampan dan cocok, Aniki. Betul kan, Mama?”

Wanita itu–Mama, betul-betul Mama, mengangguk sambil tersenyum saat adikku mendongak untuk bertanya. Genggaman tangannya dilepas. Chitose berlari kemudian secara mengejutkan memelukku begitu erat.

Tunggu, tunggu, tunggu dulu! Kenapa Chitose jadi bersikap manis dan aneh seperti ini? Mana sikap gengsi dan menyebalkannya itu? Dan kenapa Mama bisa ada di sini? Bukankah dia seharusnya berada di luar negeri untuk urusan bisnisnya seperti biasa? Kejutan macam apa ini, hah?!

“Kau ini jahat sekali hanya mengundangku ke hari kelulusanmu. Bukankah Mama juga harus ikut hadir agar bisa memelukmu? Aku sudah bilang di rooftop waktu itu, apa kau sudah pikun karena terlalu lama berada di sini?”

Aku menunduk demi melihatnya yang kini tersenyum miring sambil menaik turunkan kedua alisnya.

“Kau ini, bukankah aku sudah bilang untuk menghubungiku dulu kalau mau datang!”

Aku balas memeluknya dengan erat hingga dia meronta-ronta ingin lepas. Suaranya yang terendam di dalam dekapan, membuatku terkekeh. Kepalanya yang berhasil menyembul dengan susah payah memunculkan wajahnya yang memerah.

“Lepaskan aku! Kau sungguh ingin membunuhku, hah?!”

“Ucapanmu sudah seperti polisi betulan saja. Siapa suruh bersikap manis lebih dulu padaku? Hah! rasakan ini sekarang.”

“Lepaskan adikmu, Kazuma. Dia bisa kehabisan napas kalau kau memeluknya seperti itu.” Mama mendekat dengan tawa kecil yang baru kali ini kudengar.

Merasa pelukanku melonggar, Chitose mendorongku cukup kencang kemudian memperbaiki rambutnya yang berantakan sambil mendumal.

“Rambut yang sudah kutata lebih dari satu jam jadi rusak!”

“Kau tetap tampan, Chitose. Ah, apa kau bisa membantu Mama, Nak?” Mama merendahkan tubuhnya untuk berbisik pada Chitose yang sialnya tidak bisa kudengar.

Anehnya, anak itu kembali sumringah dan mengangguk semangat. Dia menatapku dengan senyum yang jauh lebih lebar lantas berlari menuju ke arah gerbang masuk. Meninggalkanku dengan Mama berdua yang … oh, rasanya canggung sekali!

Mataku melirik tipis-tipis ke arah Mama yang sedang mengedarkan pandangannya ke sekitar, melihat gedung-gedung di dalam akademi yang berdiri di depannya dengan jelas, kemudian tanpa bisa kuhindari, berakhir menatapku cukup lama dengan senyuman yang masih sama.

“K-kenapa ke sini?” tanyaku akhirnya tanpa berani menatap Mama balik.

“Hm? Memangnya seorang ibu tidak boleh datang di hari kelulusan anaknya sendiri?”

Aku menggaruk pipi yang sama sekali tidak gatal. Aduh! Memangnya Mama tidak mengerti apa maksudku?

“Pekerjaan Mama pasti menumpuk gara-gara memaksa datang ke sini, kan? Kehadiran Chitose saja sudah cukup bagiku.”

“Oh, jadi kau tidak suka karena Mama datang, ya? Apa Mama harus pulang–”

“BUKAN BEGITU!” teriakku begitu saja.

Mama tertawa melihat wajahku yang merah padam. “Kau ini lucu sekali. Kenapa mendadak jadi kaku seperti itu? Padahal saat bersama Chitose kau bersikap seperti biasa.”

Aku menunduk, tidak menjawab. Memang menurutnya karena siapa hubungan antara seorang anak dan ibu bisa secanggung dan setidak nyaman ini? Melihat Mama datang tiba-tiba seperti ini saja membuatku ragu apakah sekarang diriku betul-betul sedang dalam posisi sadar atau bermimpi.

“Selamat, ya. Akhirnya kau lulus dan menjadi seorang polisi. Tidak sia-sia Mama ikut membantu.”

Mataku memanas saat tepukan hangat dan lembut kurasakan tepat di pucuk kepala. Dia kembali tertawa kecil saat aku memutuskan berbalik dengan cepat agar tidak terlihat sedang menitikkan air mata. Turun harga diriku nanti!

“Membantu apanya? Mama bahkan tidak pernah peduli padaku.”

“Loh? Apa inspektur itu tidak memberitahumu?”

Keningku mengernyit kemudian menatap Mama. “Inspektur? Aoyama-san?”

Mama mengangguk. “Asal kau tahu, Mama yang ikut mencari keberadaanmu saat diculik oleh polisi gadungan itu. Enak saja mengganggu anakku yang tengah berusaha mencari keadilan. Dia juga harus merasakan akibatnya.”

“Ha-hah? Mama? Bagaimana caranya?”

“Kau lupa kalau Mama punya banyak relasi? Mama juga tahu siapa dalang di balik kasus yang tengah kau coba selidiki. Wanita itu jauh lebih berbahaya daripada seekor ular beracun, bahkan Papamu sendiri tidak akan sanggup melawannya. Karena itu, daripada Papamu mengetahuinya secara langsung kalau kau terlibat dengannya, lebih baik Mama yang menanganinya diam-diam. Bagaimana? Apa kau masih mau bilang kalau Mama tidak peduli padamu?”

Mulutku terbuka hanya untuk menutup kembali. Entah apa maksud perasaan ini, aku sama sekali tidak tahu. Apa aku harus senang? Terharu? Bahagia? Apa yang selama ini hanya mampu kubayangkan saat hendak tidur, terjadi begitu saja. Bagaimana aku harus bereaksi?

“Kazuma, apa kau ingin menyelidiki kasus Ryoma kembali?”

Mataku membulat. Mama tersenyum tipis saat melihat wajahku yang terkejut. Kedua tangannya terlipat di depan dada kemudian memejam sejenak sambil berkata, “Anggap saja bantuan ini sebagai bentuk permintaan maaf Mama padamu. Bukankah pria brengsek itu harus segera masuk penjara?”

Aku mengepalkan jemari saat Mama kini menatapku kembali dengan sorot tajam dan penuh kesungguhan. Ada setitik kebencian yang turut kurasakan di sana. Aku tidak tahu apa yang terjadi diantara mereka selagi tidak di rumah, tapi satu yang pasti, Mama kini berada di pihakku.

“Apa kau tidak takut melawan suamimu sendiri, Ma?”

“Jangan remehkan wanita ini, Kazuma. Mama juga tidak kalah hebatnya dari lelaki tua itu. Lagipula Mama memiliki seorang anak polisi yang hebat dan dikenal di seluruh Fuchu–ah atau Tokyo? Untuk apa Mama takut?”

Aku tertawa kecil kemudian mengangguk. “Mama berhutang penjelasan padaku nanti. Jadi, apa kita satu tim sekarang?”

Mama tersenyum hangat. Kemudian ikut mengangguk sembari mengusak rambutku cukup kencang. “Ya. Mari kita masukkan pria itu ke jeruji besi bersama-sama demi Ryoma.”

“Ekhem.”

Baik aku maupun Mama menoleh dan mendapati Hokuto serta Aoyama-san berdiri di depan kami. Mereka membungkuk singkat kemudian memperkenalkan diri secara formal.

“Terima kasih sudah menjaga Kazuma dengan baik. Maaf jika dia sedikit merepotkan.” Mama ikut membungkuk kemudian tersenyum.

“Sama sekali tidak. Justru pihak kepolisian banyak terbantu oleh Kawamura. Yoshino selaku teman baik satu kamar Kawamura juga ikut berperan banyak dalam menangani kasus bersama.”

Aku tertawa dalam hati. Mama tidak tahu saja seperti apa hukumanku dengan Hokuto saat melanggar peraturan. Nasib baik tidak jadi dikeluarkan. Merepotkan inspektur satu itu, kan, adalah hobi kami berdua.

“Apa adikmu datang juga, Kazuma?” tanya Hokuto.

“Iya, tapi dia sedang pergi entah ke–”

Aniki!”

Mataku refleks memejam saat sebuah krim lengket dan manis mendarat tepat di seluruh wajahku. Tawa membuncah tanpa rasa berdosa dari bocah setan di depanku sekarang.

“Selamat atas kelulusanmu, Aniki! Itu hadiah bolu yang sangat mahal dariku untukmu. Bagaimana? Enak bukan rasanya?”

“CHITOSE!!”

Tidak peduli pada orang-orang di sekitar, aku berlari dengan wajah berlumur krim putih dan biru mengejar adikku yang sudah berlari tunggang langgang. Beberapa di antara mereka termasuk Mama tertawa seolah terhibur dengan kegaduhan kecil yang terjadi.

Yah, amarahku memang ada, tapi rasa lega juga turut terasa. Aku lulus menjadi seorang polisi, pertemananku dengan Hokuto juga sudah terjalin kembali, dan yang paling mengejutkan di antara seluruhnya adalah kehadiran Mama di hari kelulusanku. Semuanya akan terasa lebih lengkap, saat Ryoma mendapatkan keadilan sebentar lagi.

Aku hanya bisa berharap perasaan seperti ini akan terus ada di hari-hari selanjutnya hingga selamanya. Sebab hari ini, aku sangat bahagia.

🚔🚔🚔

Jadi seperti ini rasanya lulus?

Kebahagiaan membuncah pada setiap wajah orang-orang di sekitarku. Tawa dan tangis haru karena berhasilnya seseorang dalam mencapai satu tujuan hidupnya kurasa memenuhi segala titik di tempat ini.

Ayah bangga padamu!

Kau melakukan yang terbaik!

Terima kasih atas kerja kerasmu!

Kata-kata itu mengudara, terucap dari mereka yang bangga. Raut wajah penuh suka cita mereka mengundangku untuk tersenyum. Di kejauhan, Kamiya bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Takechi tengah sibuk berfoto dengan sepupunya. Lalu Kazuma yang paling berisik, sedang bertingkah layaknya bocah lima tahun bersama adiknya. Aku sendiri hanya berdiri di samping Aoyama dan sesekali menyimak pembicaraan beliau dengan ibu Kazuma.

Jujur aku baru tahu jika wanita yang tampak sangat elegan di hadapanku ini berperan penting dalam penanganan kasus kemarin. Kontribusinya tidak bisa diremehkan. Relasinya yang kuat membuat kepolisian sedikit banyak terbantu olehnya. Dari kabar yang baru saja Aoyama katakan, yang mana tidak terlalu kupahami, wanita itu hanya menginginkan satu hal–membuat suaminya mendapatkan balasan yang setimpal.

Aku lantas tidak bertanya apapun mengenai masalah itu, lebih tepatnya tidak ada waktu karena seseorang tiba-tiba menepuk bahu kananku.

“Apakah kau lupa jika kau masih punya keluarga, Bocah?”

Pikiranku mendadak tidak berfungsi, mataku hanya berkedip sebelum sadar siapa yang berdiri dengan kedua tangan bersedekap.

Aniki?”

“Bukan, aku adalah orang suruhan perdana menteri. Kau bodoh sekali!” serunya dengan menyentil dahiku. “Ayah dan ibu–”

“Aku tidak masalah dengan itu,” potongku. Aku tidak ingin mendengar alasan mereka berdua yang tidak bisa datang pada upacara kelulusan ini. Jika aku bertanya mungkin jawabannya adalah mereka terlalu sibuk mengurusi ini dan itu, paling buruk … mereka tidak ingin melihat putra mereka lulus dengan rekam jejak buruk selama menjalani pendidikan di sini.

Mungkin Aniki tahu jika ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sehingga dia merangkul lalu menyeretku pergi. “Dengar, Hokuto,” ujarnya memulai, sorot matanya serius. “Saat ini bukan waktunya untukmu bersedih, kau harus bersuka cita! Lihatlah sekelilingmu, lihat mereka, tidak ada satupun dari anak-anak itu yang mengerutkan kening seperti adikku yang satu ini. Bahkan Takechi, dia tetap berbahagia meskipun cuma sepupunya yang hadir. Ayah dan Ibu akan menyambutmu di Miyazaki, percaya padaku.”

Aku tidak menjawab, membiarkan Aniki melanjutkan karena sepertinya dia belum selesai berbicara.

“Mereka mungkin tidak bisa menunjukkan rasa bangga mereka kepadamu secara jelas, tapi aku berulang kali mendengar mereka membicarakanmu dan ya … segala prestasi? Eh, bisakah aku menyebutnya prestasi?”

“Terserah kau.”

Aniki mengangguk dengan cengiran lebar. “Tanpa kau tahu, mereka memuji hal-hal yang kau lakukan itu sebagai tindakan heroik meskipun sangat bodoh dan ceroboh.”

“Lalu aku harus apa dengan informasi ini?”

Sebuah pukulan yang tidak terlalu keras mendarat di tengkuk kepalaku. Setelah itu kami hanya membicarakan hal-hal yang tidak penting sebelum Aoyama dan Kazuma datang menghampiri kami.

“Maaf sudah mengganggu kesenangan Anda, Yoshino-san, tapi kepala akademi dan kepala kepolisian ingin berbicara dengan Yoshino Hokuto-san.”

Aniki mengangguk. “Aku akan menunggumu di penginapan dekat akademi, Hokuto. Jika kau sudah selesai dengan segala urusanmu tolong hubungi aku.”

“Aku mengerti.”

Kami berpisah, aku mengekor Aoyama dan Kazuma yang entah sedang membicarakan apa. Ketika aku menoleh, aniki masih di tempatnya dan melambaikan tangan. Dasar orang tua itu.

Ruangan kepala akademi sudah familiar di mataku. Begitu pula dengan wajah pria paruh baya yang tampak lebih berisi dari terakhir kali aku berjumpa dengannya. Namun, di salah satu ujung kursi panjang yang tersedia di ruangan itu, seorang pria berseragam lengkap duduk dengan punggung tegap. Auranya tampak lebih mendominasi begitu kami sudah berdiri di dekat dua petinggi tersebut. Kami memberi salam dan hormat, lalu Masanobu-san mempersilakan kami untuk duduk.

“Yoshino-kun … Kawamura-kun, selamat atas kelulusan kalian berdua.”

“Masanobu-san, saya rasa Anda tidak perlu berbasa-basi dengan mereka. Saya harus segera kembali ke kantor pusat untuk bekerja setelah menyampaikan beberapa hal kepada dua anak ini.”

Kekehan canggung terdengar dari bibir Masanobu-san. Aku hanya memperhatikan, sedangkan Kazuma sudah beberapa kali bergerak gelisah meskipun samar. Aoyama sendiri tampak tenang di sebelah Kazuma.

“Proses penyelidikan kasus yang melibatkan Sakamoto mulai menemui titik terang. Setelah menjalani masa percobaan, Sakamoto akhirnya mengakui perbuatannya. Dia akan menjalani sidang perdananya di Pengadilan Distrik Tokyo pekan depan, kehadiran kalian berdua diperlukan sebagai saksi mata.”

“Baik, Pak!”

“Oh, satu lagi. Jangan harap catatan kalian selama pendidikan di sini akan membuat jalan kalian mulus ke depannya. Semua tindakan mempunyai konsekuensi dan konsekuensi itu akan disampaikan oleh Masanobu-san. Apa kalian mengerti?”

“Siap, Pak, mengerti!” Aku dan Kazuma kompak melakukan hormat.

Setelah kepergian Kepala Polisi, intimidasi di ruangan itu sedikit mengendur. Aku bisa bernapas lega, meskipun terbesit pikiran tentang hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada Sakamoto. Aku tidak tahu dia masuk dalam kejahatan tipe apa, mungkin hanyalah berupa kasus penyuapan dan penyalahgunaan wewenang. Entahlah, lebih baik memikirkan nasib kami setelah melangkahkan kaki keluar dari bangunan ini.

“Yoshino-kun, Kawamura-kun,” panggil Masanobu-san mengembalikan atensiku sepenuhnya kepada pria itu. Tampaknya dia akan berbicara mengenai sesuatu yang lebih serius dibandingkan dengan dijadikannya kami sebagai saksi mata tadi.

“Setelah melalui pertimbangan berbagai pihak, Kepala Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo memutuskan untuk menyerahkan kalian berdua kepada Kantor Kepolisian Prefektur masing-masing untuk menjalani masa percobaan selama beberapa bulan. Jika rekam jejak kalian di kantor kepolisian bagus, saya rasa tidak ada salahnya Tokyo menginginkan kalian di sini.”

Baik aku dan Kazuma saling menoleh, mungkin dia juga sedang memproses informasi yang baru saja kami dengar itu. Setelah beberapa detik, kami menyanggupi keputusan Masanobu-san dengan segala hormat yang dapat kami berikan kepada beliau.

“Apakah setelah ini kita akan berpisah?” tanya Kazuma setelah kami dipersilakan untuk keluar ruangan, dia membuatku dan Aoyama harus berhenti di lorong.

“Kau dan aku masih berada di Jepang, bukan berbeda benua. Berhentilah mendramatisir keadaan.”

“Kau ini tidak ada sedih-sedihnya?” Dia bertanya lagi, kali ini dengan tatapan sinis itu.

“Anggap saja ini hadiah untukku agar aku bisa bernapas dengan bebas,” jawabku acuh lalu melangkah pergi.

Tentu saja Kazuma tidak tinggal diam, bocah itu memukul bahuku yang meskipun pelan sudah cukup untuk membuatku mengaduh kesakitan. “Kau bodoh!”

“Kau pikir aku sejenis udara beracun, hah?”

“Ya–”

“Kurasa perkiraan Masanobu-san salah besar. Kepolisian Metropolitan Tokyo akan berada dalam masalah besar jika kalian berdua di atas atap yang sama.”

Aku menyentil memar yang ada di pelipis Kazuma lalu lekas meninggalkannya ketika bocah itu menggerutu tidak terima. Begitu pintu terbuka, langit cerah menyambut kami di luar. Angin tidak terlalu kencang, tapi udara segar seakan bisa melegakan paru-paru yang sempat terasa berat.

Hah, masa depan. Rasanya aku masih terlalu naif dan bodoh untuk menjalani kehidupan di dunia yang luas ini. Apalagi mengarungi jalan terjal di depan bersama manusia unik yang kini merangkulku dengan cengiran kudanya ini. Setidaknya Kazuma tampak dipenuhi oleh tekad dan keyakinan, berbanding terbalik dengan diriku yang masih bertarung dengan rasa apatisme di dalam sana. Akankah jalanku di sini masih panjang? Ataukah aku akan berhenti di tengah jalan?

“Nikmati apa yang disuguhkan di hadapanmu, Hokuto. Jangan terlalu menjadikan segala sesuatunya itu beban yang harus kau pikirkan dengan sangat serius.”

Aku melirik Kazuma yang menatap langit. “Jangan lupakan aku, bodoh.”

Dia tampak terkejut, lalu terbahak di tempat. “Kau akan merindukanku, Kawan. Jangan lupa berkunjung ke Osaka jika kau sempat. Sebaliknya, aku akan mengunjungi Miyazaki juga. Sampai bertemu saat kita sukses!”

Kazuma mengulurkan kepalan tangannya. Sorot mata penuh keyakinan itu memantik api ambisi di dalam diriku. Kami beradu kepalan tangan, saling mengangguk seolah mengatakan bahwa ya … persetan dengan masa depan, masa sekarang adalah yang utama untuk dijalankan.

— FIN.

YOU'RE IN THE VERY END OF THE STORY! THANK YOU FOR READING. WE LOVE YOU.

-Arcblood Phoenicis

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top