CASE 9# CONFESSION
"Ada misteri yang lebih rumit dari motif dan rahasia di balik sebuah kejahatan, yaitu hati dan pikiran manusia."
- Arcblood Phoenicis -
🚔🚔🚔
Bagaimana jika korban itu adalah pelaku yang sebenarnya dan si tersangka ini adalah korban yang sedang ingin membeberkan sesuatu kepada polisi?
Kazuma menuntutku untuk menjelaskan teori yang sebenarnya aku sendiri belum terlalu yakin. Entah mengapa aku spontan mengatakannya, karena menurutku kasus ini sedikit aneh. Hal itu membuatku penasaran dan memutuskan untuk menggali informasi dari seseorang. Lorong menuju kantor para staf sudah sangat sepi, tapi aku tahu satu ruang yang masih akan ditempati hingga nyaris tengah malam nanti. Aku berhenti di depan pintu kayu yang tertutup. Tidak mengelak jika aku masih memikirkan hukuman yang belum selesai, tapi kasus lain membuatku gatal ingin ikut campur secara tidak langsung. Aku mengetuk pintu, sahutan dari dalam menandakan jika Sakamoto ternyata masih berada di ruang kerjanya, ruang kerja yang baru kuketahui jika sebenarnya hanya menjadi tempat singgah selama menunggu masa promosi jabatannya. Kedatanganku rupanya membuat polisi itu terkejut.
Ruangan itu bercahaya redup, lemari kabinet berjajar pada sisi dinding dan dipenuhi map-map ordner berisi berkas yang entah sudah sejak kapan berada di sana. Di samping itu, banyak berkas-berkas dan foto seperti biasanya di atas meja. Saat aku mendekat, dia baru saja menutup satu map yang berisi berita acara kasus pembunuhan itu. Mungkin dia menyadari jika tatapanku mengarah ke map tersebut, Sakamoto lekas menyimpannya ke dalam laci.
"Oh, ada perlu apa, Yoshino? Aku sudah tidak membutuhkan bantuanmu."
"Tidak, tidak, saya hanya ingin menyerahkan materi kedisiplinan yang Anda tugaskan untuk saya pagi ini."
Aku menarik satu buku jurnal khusus yang berisi materi dari Sakamoto untuk aku pelajari. Dia memberikan aku tugas untuk mencari tahu poin-poin tentang seorang Criminal Profiler. Sebuah materi yang menurutku sangat menarik, membuatku tahu lebih jauh mengenai profesi penyusun profil kriminal tersebut.
"Ada apa?"
Pertanyaan dari polisi itu membuyarkan perhatianku terhadap sisa-sisa berkas kasus pembunuhan yang masih berada di atas meja.
"Jika saya boleh jujur, kasus ini terkesan aneh."
"Mengapa demikian?"
Sakamoto menghentikan kegiatannya dan menatapku. Sebelum itu dia menyuruhku duduk, kami sudah seperti dua rekan detektif yang sedang memecahkan kasus pembunuhan. Aku sedikit menyukai keseriusan seperti ini.
"Bolehkah saya tahu tentang siapa saja anggota keluarga Moriuchi?"
Kedua alis Sakamoto menyatu untuk sejenak lalu wajahnya kembali normal, seolah menganggap pertanyaanku gurauan karena dia tertawa pelan. "Pria itu hidup bersama istri dan dua keponakannya."
"Apakah mereka seorang gadis kecil dan seorang remaja perempuan?
Wajah Sakamoto terlihat kaget. "Dari mana kau tahu dan mengapa kau bertanya mengenai kasus itu?"
"Kawamura bertemu dengan mereka berdua sore ini saat menemani Aoyama-san patroli. Dia bercerita jika keponakan Moriuchi yang berusia 6 tahun ketakutan saat melihat Aoyama-san. Apakah hal itu ada hubungannya dengan psikologis seorang korban?"
Sakamoto mengusap dagunya lalu mengangguk. "Bisa dikatakan seperti itu. Karena efek trauma yang dialami anak-anak lebih mudah dilihat, maka bisa diasumsikan jika anak tersebut mempunyai kenangan tidak mengenakkan dengan laki-laki dewasa."
"Dari situ saya beranggapan jika pelaku sebenarnya dari kasus ini adalah Moriuchi sendiri," tukasku yang jelas langsung membuat Sakamoto menatap penuh tanya.
"Begini," aku mencondongkan tubuh, "kita tidak bisa melihat sebuah kasus dari satu sisi saja, bukan? Saya tidak mengarahkan tuduhan langsung kepada mendiang Moriuchi, tapi ketika saya melihat dari sisi gadis kecil itu, saya jadi berasumsi jika pembunuhan itu terjadi akibat ulah Moriuchi. Maksud saya, dialah penyebab kematiannya sendiri."
"Jelas ini bukan kasus bunuh diri, Yoshino."
Aku menggeleng. "Saya tahu. Moriuchi tewas dibunuh, tapi melihat kronologi yang disampaikan awak media, petunjuk yang ditinggalkan itu bukan dari Moriuchi. Melainkan dari si pelaku."
"Dari mana kau tahu?"
"Itu hanya pendapat saya, Sakamoto-san. Seorang korban dengan luka seperti itu tidak akan mungkin sempat meninggalkan petunjuk untuk polisi. Moriuchi tewas seketika saat benda tumpul itu mengenai kepalanya, bukan?"
Sakamoto mendesah berat, dia seperti orang yang dipaksa ketika mengeluarkan berkas pembunuhan itu dari dalam laci dan menyerahkannya kepadaku. "Aku tidak menyangka kau sudah berteori sejauh itu, Yoshino. Bahkan hasil autopsi resmi belum diumumkan ke publik."
Aku membukanya, di dalam map itu terdapat begitu banyak berkas-berkas yang menyangkut tentang kasus pembunuhan. Mulai dari profil keluarga yang tinggal di rumah Moriuchi hingga para kenalan pria itu. Di dalam satu lembar kertas, aku sempat meneguk ludah saat melihat foto-foto mayat Moriuchi yang kepalanya bersimbah darah, begitu juga dengan tubuh bagian depannya. Luka koyak yang dalam, menghunjam tepat ke jantung dan paru-parunya. Moriuchi mendapat lebih dari 10 luka tusuk, tapi yang jelas dia tewas karena luka pukul di bagian belakang kepalanya. Sebuah palu yang tergeletak di lantai menjadi bukti, sayangnya tidak ada keterangan sidik jari yang disertakan pada isi berkas itu.
"Apakah orang-orang ini tidak ada yang dicurigai?" tanyaku begitu terfokus dengan delapan lembar profil orang-orang yang saat ini berstatus sebagai saksi.
Sakamoto menggaruk kepala, dia menunjuk satu profil seorang wanita yang bernama Moriuchi Nonoka-yang tidak lain adalah istri Moriuchi. "Anda yang menentukannya sendiri atau-"
"Tentu saja para penyidik itu," sergah Sakamoto.
"Mengapa?" Aku dirundung rasa penasaran.
Helaan napas panjang polisi di depanku ini menandakan jika dia sudah lelah meladeniku. Aku hanya ingin tahu sejauh mana gerak polisi dalam menangani kasus ini, alasannya ... tidak, aku tidak berharap ada kasus berikutnya lagi.
"Kurasa kau sudah harus kembali ke kamarmu, Yoshino. Besok ada hal yang harus kau lakukan setelah materi pembelajaran selesai. Tidak ada kata menolak atau aku akan mengajukan perpanjangan masa hukuman ke kepala sekolah."
"Anda belum menjawab pertanyaan saya, Sakamoto-san."
Sakamoto terkekeh lalu berdiri dari kursinya dan menghampiriku. Dia menepuk bahuku kemudian berkata, "Kau akan tahu semuanya setelah kami berhasil menangkap si pelaku, Nak. Kau cukup diam dan menunggu tindakan polisi, jangan pernah meragukan kami."
Aku tak menjawab, belum. Lalu atensiku beralih pada foto-foto sandi petunjuk yang tergeletak di depanku. "Bagaimana dengan ini?"
"Pihak investigasi sedang mencoba untuk memecahkannya," jawab Sakamoto, dia sudah tidak memperhatikanku lagi. "Apa kau punya praduga lagi?"
Aku tahu itu adalah pertanyaan satire yang menyindir sikapku, tapi aku tidak peduli. "Di dalam kasus pembunuhan, seberapa parahnya luka korban bisa menentukan apakah dia bisa meninggalkan petunjuk untuk memudahkan penyidik menemukan pelakunya. Dalam kasus ini, saya yakin jika sandi itu bukan dari korban. Ini hanyalah cara si pembunuh untuk mengelabuhi petugas, bisa jadi ...."
"Ya?"
Aku menghela napas dan entah mengapa menatap foto dua keponakan Moriuchi. "Ada pembunuhan lain yang akan terjadi."
"Oi, kau-"
"Si pembunuh ingin menyampaikan sesuatu," sergahku.
Sakamoto kembali menyandarkan punggungnya di kursi setelah sempat tegang mendengar perkiraanku kemudian tertawa pelan. Dia menghela napas sambil memilin keningnya.
"Sebuah kasus tidak bisa diselesaikan hanya dengan praduga dan logika saja, Yoshino. Jangan seenaknya dan sesuka hati mengaitkan ini dan itu. Memecahkan teka-teki dalam permainan kriminalitas tidak hanya melibatkan otak manusia untuk berpikir, tapi juga tindakan nyata dan sebuah bukti.
"Terlebih kau hanya seorang murid akademi yang mudah sekali menyimpulkan sesuatu hanya melalui asumsi diri sendiri. Aku tahu kau jenius, Nak, tapi kadang manusia dengan ilmu berlebih bisa terjerumus ke jalan yang keliru karena berpikir jika pengetahuannya adalah satu-satunya penentu hasil akhir."
Aku terdiam, menatap mata polisi yang kini sibuk merapikan barangnya setelah menceramahiku.
"Kembalilah ke kamarmu, tugasku sudah selesai. Polisi juga punya rumah. Kuharap kau tidak lupa dari mana kau masuk tadi, Yoshino."
Sakamoto mengakhiri pertemuan dengan menunjuk pintu keluar. Dengan sedikit jengkel aku mengangkat kaki dari ruangan itu. Sebelum benar-benar pergi, aku berhenti dan menoleh kepadanya sekali lagi.
"Sakamoto-san."
"Hm?"
Aku menunduk sejenak lalu menghela napas berat dan kembali menatapnya. "Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini ada alasannya, dan saya berharap apapun alasan pelaku melakukan pembunuhan itu sudah dibayar tuntas oleh kematian Moriuchi Uruha."
🚔🚔🚔
Tanggal 7 Juli, saat matahari sedang terik dan musim panas membuatku malas beraktifitas di luar bangunan akademi. Beruntung kegiatan olahraga di lapangan tidak dilakukan dan digantikan dengan berlatih kendo serta judo di dalam ruangan. Aku sedikit bersyukur tentang hal itu. Meski demikian, aku tidak menampik pikiran mengenai kasus Moriuchi. Penyelidikan sudah berjalan dua pekan lebih dan belum membuahkan hasil. Bahkan, kasus itu seperti menciptakan teror sendiri di Fuchu. Keadaan sedikit mencekam karena masyarakat tahu jika ada pembunuh berdarah dingin yang masih berkeliaran di sekitar mereka.
Sejak terakhir kali aku membahas kasus itu dengan Sakamoto, aku tidak pernah melakukannya lagi. Bukan aku ragu, tapi menurutku menyelidikinya seorang diri terasa lebih efektif. Ingat, aku hanyalah seorang murid akademi dan bukan seorang penyelidik apalagi detektif. Rasanya percuma jika nanti aku menjabarkan teori dan asumsiku mengenai kasus itu kepada Sakamoto, aku tidak suka diremehkan olehnya.
Beberapa kali, dia juga memancingku. Sepertinya sengaja. Saat aku menyerahkan laporan materi atau sekadar membantu pekerjaannya menganalisis profil seorang kriminal, polisi itu akan menanyakan apakah aku masih menyelidiki kasus Moriuchi, aku menjawabnya tidak. Sakamoto tidak berkomentar, tapi aku tahu dia tidak mempercayai kata-kataku.
Namun, anehnya Sakamoto mengajakku mengunjungi tempat kejadian perkara yang masih berhias pita kuning sebanyak tiga kali. Dia menyuruhku untuk mendampinginya ketika memberikan beberapa pertanyaan kepada anggota keluarga Moriuchi, termasuk seorang keponakannya yang berusia 17 tahun-Usagi Shiori. Gadis itu tampak polos dan sorot matanya beberapa kali terlihat kosong, seperti tertekan dengan keadaan yang tengah terjadi kepada keluarganya akhir-akhir ini. Aku hanya bertugas mencatat apa yang disampaikan oleh mereka, dan kupikir hal itu menguntungkan. Karena sedikit banyak aku bisa mengetahui berbagai alibi yang mereka utarakan.
Soal alibi mereka yang kuingat, aku akan membahasnya nanti karena sekarang Kurosawa-san tengah serius membahas "Hukuman Bagi Remaja Pelaku Kriminal dan Pembunuhan". Masalah yang menurutku memang sangat serius. Anak-anak dikenal dengan sosok yang polos dan lugu, seperti tidak akan pernah menyentuh hal-hal yang bersangkut paut dengan tindak kriminal apalagi pembunuhan. Jika anak-anak di bawah 16 tahun melakukan tindak kriminal, mereka akan bebas tanpa pernah merasakan dinginnya lantai penjara jika pengadilan keluarga memutuskan demikian. Setidaknya sebelum Undang-Undang Remaja mengalami perubahan.
"Undang-undang remaja telah direvisi oleh pemerintah pada tahun 2001, salah satu poin yang mengalami revisi adalah UU Remaja mengatur agar pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan oleh anak di bawah umur bisa menjalani persidangan umum tergantung dari keputusan yang diambil pada pengadilan keluarga. Tentunya kalian sudah tahu mengenai salah satu kasus yang membuat pemerintah Jepang merevisi undang-undang remaja tersebut," tutur Kurosawa-san yang menimbulkan suara perbincangan pelan antar siswa, tapi lekas sunyi kembali saat instruktur itu berdeham.
"Kasus di Kobe, kan?" Kazuma tiba-tiba berbisik di belakang. Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.
"Aku membenci nama orang itu yang nyaris mirip dengan namaku." Dia melanjutkan.
"Shinichiro Azuma, tidak ada miripnya." Aku membalas, masih tanpa berpaling dari papan tulis.
"Paman itu akan menanggung dosa besar seumur hidupnya, aku yakin-"
"Kawamura!" seru Kurosawa-san tiba-tiba yang sukses membuat Kazuma terdiam. "Apa kau menyimak penjelasan yang saya berikan?!"
"Tentu saja, Pak! Siapa yang lupa dengan kasus menggemparkan itu? Bahkan sekarang paman itu sudah bebas berkeliaran di Jepang. Apa kalian ada yang pernah berpapasan dengannya di jalan?"
Kurosawa-san menghela napas, sepertinya sudah hafal dengan sikap tidak bisa serius seorang Kawamura Kazuma. "Sudah, sudah. Jangan bicara sendiri pada saat saya menjelaskan, Kawamura."
"Baik, Pak. Maafkan saya."
Keadaan kembali hening, semua menyimak papan tulis di depan sana. Materi kali ini membuatku berpikir jika anak-anak polos itu rupanya bisa mempunyai perilaku menyimpang yang sangat parah. Kasus di Kobe pada tahun 1997 yang dikenal dengan Kobe Child Murders oleh Sakakibara Seito yang mempunyai nama asli Shinichiro Azuma cukup menjadi pelajaran untuk khalayak umum jika anak kecil bisa bertindak sadis seperti itu. Meski pelakunya sudah bebas pada usia 21 di tahun 2005 lalu, aku yakin jika keluarga korban tidak bisa melepaskan memori kelam 25 tahun silam tersebut sampai sekarang.
"Apa yang sebenarnya memicu anak-anak atau remaja ini melakukan tindak kriminal?" Kurosawa-san bertanya kepada kami.
Kamiya mengangkat sebelah tangan. "Kebanyakan dari mereka hanya ingin meminta perhatian dari orang lain untuk mengakui keberadaannya."
"Kau benar, Kamiya. Banyak dari anak-anak itu hanya ingin mencari perhatian, tapi tidak jarang mereka melakukannya karena ingin memberikan perlawanan atau protes terhadap sesuatu yang menurut mereka tidak adil."
"Bagaimana dengan pengaruh keluarga? Apakah hal itu bisa menjadi faktor pemicu tindak kriminal oleh anak-anak?" Aku menimpali yang membuat beberapa kepala menoleh.
Kurosawa-san tersenyum singkat lalu mengangguk. "Tentu saja itu faktor utamanya, Yoshino. Keluarga adalah sumber pengetahuan pertama untuk anak-anak. Bagaimana cara mereka mendidik seorang anak tentu sangat bisa mempengaruhi tindak tanduknya. Namun, kembali ke psikologis sang anak sendiri, apakah ada perilaku menyimpang sebelumnya atau tidak. Banyak faktor yang sebenarnya bisa membuat anak-anak itu melakukan kejahatan. Maka dari itulah sekarang hukum pidana bagi mereka lebih diperketat."
"Lalu bagaimana jika mereka melakukannya atas inisiatif sendiri? Maksud saya, misalkan ada seorang anak yang berani melakukan tindak kriminalitas, tapi itu murni atas kehendak dirinya sendiri. Apakah ada faktor tertentu yang menyebabkan hal tersebut terjadi?"
Hening menyapa ruang kelas. Kurosawa-san menatapku tanpa senyuman seperti beberapa saat lalu. Dia berdeham, lalu membungkukkan tubuh dengan bertumpu pada mejanya. "Motif balas dendam atau melakukan perlindungan diri."
Sebelum aku ingin berbicara lagi, Kurosawa-san mengangkat satu tangannya untuk memotong pembicaraanku. "Meski begitu pelaku tidak akan bisa lolos dari jerat hukum, bagaimanapun sistem peradilan anak-anak di Jepang sekarang sudah berubah."
Jawaban itu membuatku diam. Aku menunduk pada buku jurnal milikku, menekur dan sedang menyambungkan materi kali ini dengan kasus Moriuchi karena terdapat dua anak-anak di sana. Meski aku tahu mereka seperti tidak mungkin melakukan kejahatan keji seperti ini, tapi jawaban terakhir dari Kurosawa-san berhasil membuatku sangsi.
Jam makan siang terasa sangat lama berlalu, di luar gedung, matahari bersinar begitu terik sehingga udara panas seolah bisa masuk dan menggantikan udara pendingin ruangan. Kami makan dalam diam sebelum Kamiya tiba-tiba saja menunjuk televisi yang menempel pada dinding kantin dan spontan membuat kami menoleh. Seorang reporter wanita mengisi layar tapi atensiku sepenuhnya bertumpu pada tajuk berita di sana.
"Ada ap-uhuk!"
Kazuma tersedak dan berusaha meraih gelas berisi air putih di depannya, tanpa mengalihkan pandangan dari layar aku menepuk punggung anak itu yang kini sedang terbatuk akibat tersedak nasi kari ayamnya.
"Korban diketahui bernama Furukawa Gouki yang berusia 17 tahun. Jasad Furukawa-san ditemukan oleh seorang petugas kebersihan sekolah yang bertugas pada hari itu. Kronologi kejadian belum ditentukan, Kepolisian Metropolitan masih mendalami kasus ini-"
"Murid sekolah sedang libur musim panas, kan?" Takechi menimpali.
Aku mengangguk. "Mungkin mereka ada jadwal kelas tambahan di musim panas," jawabku kemudian.
"Aku menduga pelakunya bukan dari orang luar." Kazuma tiba-tiba menyeletuk setelah batuknya reda.
Saat kami menoleh ke arahnya, anak itu berdeham dan menggeser gelas. "Begini, saat anak sekolah liburan musim panas hanya ada beberapa dari mereka yang harus mengikuti kegiatan kelas tambahan. Peraturan sekolah saat ini sangatlah ketat, jadi kemungkinan orang luar masuk ke area sekolah sangatlah sedikit. Jadi menurutku, para polisi pantas mencurigai mereka yang berada di sana, termasuk anak-anak itu sendiri."
"Kau yakin anak-anak itu terlibat?" tanya Takechi.
Aku mengerutkan kening dan menatap tayangan di televisi. "SMU Hakamatsu-"
"Apa kau bilang?"
Aku menjawab Takechi dengan menunjuk layar televisi, raut wajah anak itu berubah terkejut.
"Oh, Kaisei, bukankah Hori bersekolah di sana?"
Dia mengangguk menanggapi pertanyaan Kamiya. Aku dan Kazuma saling pandang, lalu mengangguk bersamaan. Entah apa yang sedang dia pikirkan, tapi aku pikir kami sedang merencanakan hal yang sama.
"Pertemukan kami dengan Hori, Takechi," tutur Kazuma dan aku mengangguk setelahnya.
"Oi, untuk apa? Hori tidak ikut kelas musim panas."
"Dia pasti mengenal Furukawa. Aku hanya ingin tahu seperti apa anak laki-laki itu," ujarku.
Takechi mengangguk. "Baiklah, akan ku usahakan supaya Hori bisa bertemu dengan kalian, tapi awas jika kalian memberinya pertanyaan yang macam-macam," tukas Takechi yang memperingatkan kami dengan memperlihatkan betapa besar otot lengannya.
"Tenang saja, kami bukan seorang investigator atau awak media."
Jawabanku hanya mendapat anggukan dari Takechi. Setelah itu kami semua terdiam, hampir seluruh orang yang ada di kantin menyimak berita itu hingga kasak-kusuk terdengar. Aku menatap sekitar, seperti inikah rasanya hidup dalam ancaman yang tak kasat mata? Jika memang pembunuhan itu hanyalah pembunuhan acak, bisa jadi pelakunya tengah mengincar salah satu di antara kami. Waspada di dalam ketakutan, aku membenci situasi seperti ini.
🚔🚔🚔
Baik aku maupun Kazuma tidak ada jadwal sore ini untuk ikut berpatroli atau membantu pekerjaan kedua polisi itu karena mereka sibuk dengan kasus pembunuhan Furukawa Gouki. Sebagai gantinya, kami harus membersihkan halaman belakang asrama hingga jam makan malam tiba. Tubuhku terasa begitu penat karena harus berjibaku dengan debu dan sinar matahari sore pada musim panas. Kazuma juga tidak jauh berbeda, rambut hitamnya menempel tanpa daya di dahinya dan wajah anak itu sangat kotor. Intinya, kami mengenaskan.
Beruntung setelah mandi sore yang menyegarkan, menu makan malam kali ini sangat lezat. Setidaknya cukup untuk mengurangi rasa penat dan kelaparan yang mendera kami. Namun, entah perasaanku saja atau bukan, keadaan kantin petang tadi sangatlah berbeda. Semua orang tampak tergesa-gesa, bahkan Takechi dan Kamiya yang biasanya betah berbincang denganku dan Kazuma, ingin kembali ke kamar asrama mereka dengan segera.
"Hoku-chan."
Aku menghentikan kegiatan menulis dan mendongak untuk menatap Kazuma yang sibuk menggulir layar ponselnya di kasur atas. "Ada apa?"
"Menurutmu apakah kedua kasus ini saling berhubungan? Maksudku, bukan sekadar pembunuhan acak."
Aku mengalihkan atensi dari buku jurnal. "Alasannya?"
Kazuma tidak langsung menjawabnya dan memilih untuk turun dari ranjang lalu duduk di kursi kosong di dekatku. Dia menunjukkan layar ponselnya, sebuah artikel berita terbitan petang ini terbuka di sana. "Bacalah," katanya.
-Furukawa Gouki, 17, ditemukan tidak bernyawa di kamar mandi sekolahnya. Hasil autopsi sementara menyebutkan jika kematian Furukawa Gouki-san disebabkan oleh senyawa kimia yang terkandung di dalam air minum korban. Tidak adanya saksi mata di tempat kejadian membuat pihak kepolisian mengumpulkan alibi dari para saksi yang pada saat kejadian berada di lingkungan sekolah-
"Asahi Shimbun juga berhasil mendapatkan rekaman cctv-nya," lanjut Kazuma, "Lihatlah."
Kami menekur di depan layar ponsel untuk menyaksikan video kamera pengawas yang memperlihatkan lorong menuju ke toilet sekolah. Pada pukul 12.14, terlihatlah sosok Furukawa yang terhuyung-huyung sembari memegang perutnya lalu dia masuk ke toilet tanpa pernah keluar lagi. Aku berasumsi jika dia meninggal dunia sekitar pukul 12.16-12.20 siang tadi. Berhubung hasil autopsi resmi dari ahli forensik belum diumumkan, media massa beranggapan jika Furukawa sengaja dibunuh dengan bahan kimia yang bisa didapatkan di laboratorium sekolah.
"Menurutmu, hal apa yang membuat sebuah kasus pembunuhan terjadi di sekolah?"
Kazuma mengetuk-ketukan jarinya di meja, menciptakan suara yang setidaknya mengusir kesunyian aneh di kamar asrama kami. "Balas dendam?" jawabnya setengah bertanya lalu dia menoleh padaku. "Aku pernah dengar beberapa kasus pembunuhan di sekolah bermotif balas dendam yang disebabkan oleh perundungan, itu jika pelaku cukup berani untuk membayar dendamnya dengan membunuh. Beda cerita jika si korban perundungan ini lebih memilih untuk mengakhiri hidup, hanya saja untuk kasus Furukawa aku ragu dia bunuh diri."
"Mengapa?"
Kazuma menutup artikel berita itu dan menggantinya dengan salah satu laman SNS milik Furukawa. "Anak SMA yang narsis dan sangat percaya diri seperti Furukawa tidak akan sebodoh itu untuk mengakhiri hidup, Hoku-chan."
"Tapi kau tidak tahu kondisi psikologis seseorang, Ka-kun."
Dia tertawa dan menatap lampu di atas nakas kami. "Yang dia butuhkan hanya pengakuan dari semua orang, dia sudah mendapatkannya lalu untuk apa susah-susah mati?"
Benar juga, penjelasan Kazuma membuatku mengusap rambut kasar. Menyelidiki sebuah kasus ternyata sangat rumit. Berulang kali aku membuang napas kasar, sedangkan Kazuma menguap pertanda bahwa anak itu jenuh merenung di meja dan berjibaku dengan berkas-berkas yang aku kumpulkan.
"Andai kita mempunyai petunjuk lebih mengenai kasus ini. Aku tidak tahu mengapa kau sangat terobsesi, kasus ini lebih rumit dari sekadar menendang bokong Ueda tempo hari."
Aku mendesah berat karena aku pun tidak tahu jawabannya. "Kita juga tidak mungkin pergi ke Fuchucho untuk mencari barang bukti di ruang kerja Aoyama-san."
"Bagaimana dengan ruang kerja Sakamoto-san? Kau berada di sana hampir sepanjang hari."
"Tidak ada map baru untuk hari ini. Polisi itu tahu aku sedang melakukan sesuatu jadi dia memilih untuk bermain aman, lagipula itu hanya ruangan sementara yang digunakannya selama menjadi instruktur tambahan di sini."
"Ah, merepotkan. Aku ingin tidur, jangan memaksakan diri."
Tidak ada respon yang kuberikan selain mengangguk dan membiarkan Kazuma menaiki ranjangnya. Kesunyian kembali menyapa ruangan ini, sedangkan aku sendiri kembali menyelami internet untuk mencari informasi terbaru mengenai kasus Moriuchi maupun Furukawa.
🚔🚔🚔
Setelah malam tadi otakku dibuat kusut oleh kedua kasus itu dan mengakibatkan jam tidurku berantakan, pagi ini aku berakhir di mobil polisi bersama Sakamoto. Kukira dia tidak akan melibatkanku lagi, tapi dengan dalih dia butuh tangan tambahan untuk mencatat hasil temuannya nanti, aku harus mengikutinya ke SMU Hakamatsu.
Trotoar di sepanjang jalan Asahi-cho hingga Koshu-Kaido Ave terlihat lengang padahal ini masa libur musim panas. Sakamoto yang berada di balik kemudi juga tidak bersuara sejak tadi, membiarkanku seperti anak kecil yang akan menikmati lalu lalang kendaraan atau pohon-pohon di tepi jalan. Awalnya tidak ada agenda untuk pergi ke sekolah itu, tapi Sakamoto mendapatkan panggilan telepon dari pihak investigasi untuk mengecek barang bukti temuan baru.
Tidak butuh waktu lama kami pun tiba, gerbang depan SMU Hakamatsu dibatasi oleh pita kuning dan papan pengumuman yang mengatakan jika sekolah ini diliburkan hingga jangka waktu yang belum ditentukan. Ada dua orang petugas yang menghentikan mobil kami lalu setelah Sakamoto menunjukkan lencana serta menjelaskan siapa diriku, kami diberi izin masuk. Sekolah besar yang begitu sepi di masa libur, saat ini terasa sangat mencekam. Dinding abu-abunya membawa kesan dingin, lapangan baseball di sisi kiri kami tampak gersang. Entah mengapa, suara-suara khas suasana sekolah tiba-tiba terdengar di dalam kepalaku.
Aku menggeleng untuk mengusir nostalgia yang tercipta sesaat itu dan kembali terfokus pada kenyataan. Mobil berhenti di depan lobby, seorang polisi wanita datang menghampiri dan menatapku sangsi.
"Tenang saja, dia adalah tanggung jawabku," ujar Sakamoto seolah menjawab pertanyaan tersirat dari polisi itu. Selanjutnya aku mengekor mereka masuk ke area gedung sekolah.
"Kuharap kau memberiku kabar penting hari ini, Ishimori."
"Aoyama-san ingin menunjukkan sesuatu kepada Anda," kata wanita bernama Ishimori itu.
Kami melalui lorong-lorong sekolah hingga berhenti di lantai tiga. Di depan kelas 2B, Aoyama sudah menunggu kedatangan kami. Dia menatapku heran tapi gelengan Sakamoto menghentikan aksi protesnya yang belum terlaksana. Kurasa mereka harus berhenti meremehkanku.
Beberapa polisi yang berada di sana membungkukkan tubuh saat kami masuk kemudian keluar dari ruang kelas itu. Meja-meja ditata sedemikian rupa sebagai tempat mengumpulkan barang bukti yang sudah terbungkus plastik bening. Di sana ada botol air minum, peralatan sekolah, sepatu, uwabaki, sebuah tisu bekas, dan buku-buku pelajaran milik Furukawa.
"Ada apa?" Sakamoto mengawali pertanyaannya.
"Semuanya bersih, di barang-barang ini tidak ada jejak sama sekali. Hanya ada satu tisu bekas yang terjatuh di dekat botol air minum korban."
"Kau tidak mengirimnya kepada petugas forensik supaya diuji lab?"
"Saya perlu menunjukkannya kepada Anda terlebih dulu, apakah ada yang ingin Anda lakukan dengan benda-benda ini, Sakamoto-san."
Sakamoto tidak langsung menjawab, dia malah berkeliling untuk melihat benda-benda itu. Sementara aku menatap malas ke arah buku pelajaran Furukawa.
"Sejak kapan kelas tambahan mempelajari materi sebanyak ini?" Aku berceletuk, mengundang perhatian mereka.
"Suaramu tidak dibutuhkan di sini, Yoshino," balas Aoyama.
Aku menatapnya sengit dan berusaha untuk tidak berteriak marah di depannya. "Maaf jika saya lancang, Aoyama-san, saya hanya ingin menyampaikan kesan aneh saja. Jika dulu kelas tambahan hanya mempunyai satu pelajaran intensif, sekarang peraturan sekolah sudah jauh berbeda, ya."
Helaan napas Sakamoto mengundangku untuk menoleh padanya yang ternyata sedang menggeleng keheranan.
"Sebaiknya kau mulai mencatat temuan ini atau mengabadikannya, Yoshino. Waktuku tidak banyak di sini."
Aku mengangguk dan mulai mengambil satu persatu foto barang bukti di meja serta mencatat hal-hal kecil yang sekiranya diperlukan untuk penjelasan lebih lanjut di berita acara nanti. Hingga tiba giliranku untuk memotret buku pelajaran milik Furukawa, ada keanehan pada sampul buku bahasa inggris itu.
"Sakamoto-san, apakah cairan kimia yang membunuh Furukawa bisa melunturkan warna pada kertas?"
Keduanya mendekat, aku menunjuk noda air yang berada di sampul buku itu.
"Kita baru akan mengetahui cairan apa yang digunakan untuk membunuh Furukawa sekitar 3 sampai 5 hari ke depan, tapi menurutku bisa mengingat mereka adalah benda cair."
Aku hanya mengangguk. "Bolehkah saya memeriksa isinya?"
"Sekali lagi jangan membuang waktu-"
"Sebentar saja," potongku.
Aku bergegas membuka lembar demi lembar buku itu, sejauh ini tidak ada hal yang mencurigakan hingga di lembar terakhir aku menemukan secarik kertas terselip dengan sebuah pesan;
Kalian sudah melewatkannya
Otakku mendadak penuh dengan pertanyaan; apa yang sudah kami lewatkan? Aku menghela napas panjang sebelum membuka buku itu dari awal.
"Sakamoto-san, lihatlah!"
Kedua polisi itu mendekat dan mengikuti arah telunjukku. Halaman 2 pada buku itu dilingkari dengan warna biru dan halaman 7 dilingkari dengan warna merah. Aku bergegas mencatatnya dan berlanjut membuka itu hingga Aoyama menghentikanku.
"Kembali ke halaman 72!"
Aku menurut, halaman itu hanya berisi judul dan sub judul bab serta silabus kecil materi yang akan dibahas pada halaman berikutnya.
"Hanya huruf A dan N yang dicoret dengan tinta merah, sementara huruf K dengan warna biru. Ini sama dengan kedua angka tadi. Apa kalian menyadari sesuatu?"
Aoyama dan Sakamoto saling tatap lalu memandangku.
"Ini adalah sebuah petunjuk!" Aku berseru.
"Kerja bagus, Yoshino." Sakamoto menepuk bahuku, sedangkan Aoyama merebut buku itu dari tanganku.
"Permainan anak-anak seperti ini merepotkan sekali," komentarnya.
Aku menyunggingkan senyum setengah ikhlas saat menatap polisi itu. "Kadang orang dewasa tidak memahami betapa misteriusnya pola pikir anak-anak. Mereka terlalu sering diremehkan."
"Jangan menyindirku."
Aku mengedik, tidak peduli dengan amarah Aoyama. "Saya harap kalian segera menangkap pelakunya karena ini belum sepenuhnya berakhir."
Sakamoto mengalihkan pandangannya dari mengamati barang bukti itu ke arahku. Aku sendiri mengalihkan atensi pada ranting pohon yang bergoyang di luar sana, kekhawatiran itu kembali muncul. Dalam helaan napas panjang, aku berpikir jika menyampaikannya kepada mereka mungkin juga tidak akan mengubah apapun.
"Jika memang ini tentang pembalasan dendam, maka penebusan dosa itu belum selesai."
🚔🚔🚔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top