CASE 7# CONFESSION

"Rahasia yang kau simpan, suatu saat mungkin bisa menjadi bumerang untukmu sendiri "

- Arcblood Phoenicis -

🚔🚔🚔

Sekian detik, berubah menit, lalu menjadi jam. Aku tidak pernah sebosan ini dalam menjalani satu hari penuh tanpa melakukan apapun selain berbaring di brankar rumah sakit. Otakku masih berusaha mencerna semua hal yang terjadi dalam kurun waktu kurang dari sepekan aku berada di akademi. Seolah dikutuk Dewa, nyatanya aku tak pernah tak terlibat dalam masalah. Apakah aku harus menjadi anak penurut pada kedua orang tua? Menjadi sosok yang patuh dan tidak lagi main-main dengan urusan orang? Atau aku harus menjadi murid akademi yang memang sudah sewajarnya tidak terlibat dengan kasus-kasus besar seperti kemarin dan hanya menjalani hari-hari dengan belajar kemudian lulus lalu menjadi seorang aparat?

Aku menegakkan punggung, menimbulkan sensasi ngilu di setiap inci tubuh. Kepalaku berangsur membaik, beruntungnya luka benturan itu hanya menimbulkan gegar otak ringan dan tidak berefek fatal, setidaknya aku tidak lupa ingatan. Yang jelas, dokter mengatakan jika setelah aku tiba di rumah sakit, aku tertidur seperti orang depresi. Selama 3 hari, bangun hanya untuk makan, ekskresi, lalu memejamkan mata lagi. Aku benar-benar mencoba untuk tidak memikirkan permasalahan yang sudah terjadi, tapi ada satu yang mengganjal di benakku. Bagaimana nasib Ueda bersaudara itu di tangan polisi?

"Kau sudah bangun rupanya."

Pintu kamar rawatku bergeser terbuka, bersamaan dengan munculnya Sakamoto yang membawa satu tas jinjing besar. Wajahnya tampak seperti orang yang banyak pikiran, aku duga dahinya terlalu sering mengerut untuk memikirkan profil seorang penjahat.

"Sudah merasa lebih baik? Aku menunggu waktu untuk berbicara denganmu sejak beberapa hari lalu. Tapi kupikir, kau perlu waktu." Sakamoto menunjuk luka di kepalaku kemudian tersenyum.

"Ada apa?"

"Tipikal orang yang enggan berbasa-basi, jangan terlalu serius, Nak. Kau akan cepat tua."

Harusnya aku kembali tidur. "Apakah mereka sudah diamankan?"

"Kedua Ueda itu? Mereka sedang dalam proses penyelidikan lebih lanjut."

"Padahal sudah jelas duduk perkaranya, apakah sekarang kinerja polisi itu lambat?"

Sakamoto tertawa, sepertinya dia tahu aku masih diambang suasana ingin mengamuk. "Prosedur. Apapun sekarang harus sesuai prosedur, tidak boleh gegabah atau akan berakhir dengan ... ya kau tahu, seperti ini." Kedua tangan Sakamoto menunjuk diriku, dia meledek.

Lalu dia berdeham karena kuabaikan. "Sebenarnya aku ke sini untuk memberitahumu sesuatu," katanya sembari mengeluarkan map cokelat dari tas dan beberapa lembar kertas dari map itu. "Pengurus akademi memintamu untuk menemui mereka saat kau sudah keluar dari sini. Mereka ingin memberikan beberapa pertanyaan kepadamu dan juga Kawamura. Kurasa mereka penasaran dengan alasan kalian yang selalu tahu dan terlibat kasus-kasus besar."

"Apakah kami akan dikeluarkan?" Nada ragu terselip juga di kalimatku.

Sakamoto menghela napas, dia mengedik samar lalu menggeleng. "Itu sudah di luar wewenangku, Nak. Hanya aku berani bertaruh mereka akan menyesal jika itu benar-benar terjadi." Dia mendekatkan tubuh lalu berkata, "setidaknya kerja kepolisian dua kali lebih ringan ketika kalian masuk ke sini."

"Apa itu?" Aku mendecih karena pemikiran mereka memanfaatkan keadaan atas kedatangan kami ke akademi.

Polisi ini terkekeh. "Berita acara pertemuanmu dengan mereka. Milik Kawamura masih di sini, kondisinya lebih buruk dari perkiraanku."

Aku tak bersuara saat mengamati namaku dan beberapa pelanggaran yang tercatat di sana. Ini sudah cukup untuk mendepak kami dari akademi. Pertemuan ini akan berlangsung lusa dan akan dihadiri oleh setidaknya kurang lebih 8 orang petinggi dan perwakilan kepolisian Shibuya. Mungkin mereka ingin memberi pembelaan, aku tidak tahu.

"Aku ingin memberimu nasihat," ujar Sakamoto memecah keheningan ruang ini.

Aku menatap wajahnya yang serius, memperhatikannya.

"Menjadi polisi tidak selamanya harus menggunakan hati nurani. Kadang kita dituntut untuk menjadi buta akan rasa iba. Bukan aku menyuruhmu untuk enggan berkorban, melainkan menyarankanmu untuk bertindak lebih selektif dalam melibatkan perasaan. Kita juga tidak selamanya bisa menyelamatkan nyawa manusia, itu di tangan Tuhan. Berdedikasi pada pekerjaan bukan berarti kita menomorduakan nyawa kita. Ini sedikit-tidak, tapi sangat egois, hanya kau harus berpikir yang mana yang layak dijadikan prioritas.

"Tugas polisi memang untuk memberikan rasa aman di dalam lingkungan masyarakat. Kita harus memprioritaskan itu, tapi bukan berarti kau harus ada selama 24 jam seminggu untuk menjadi perisai mereka. Kau juga manusia biasa yang punya rasa lelah. Jangan sampai kau gila karena tuntutan pekerjaan."

Sakamoto mengakhiri ucapannya dengan mengembuskan napas panjang, sedangkan aku terpaku pada kertas-kertas di tangan karena mencoba mencerna kalimatnya. Dia benar, bagaimana pun pengalamannya bisa membuatku meyakini bahwa perkataan itu tepat. Kita tidak bisa menjadi pelindung setiap manusia selama 24 jam, butuh istirahat, dan lain sebagainya. Bagaimana bisa akhir-akhir ini aku hampir mengenyahkan pikiran seperti itu?

Karena tidak ada yang kami bahas lebih lanjut, Sakamoto pamit. Dia berpesan jika nanti kami kembali ke akademi, kami harus semaksimal mungkin tidak melibatkan diri lagi ke urusan polisi. Aku bilang, aku tidak janji dan dia hanya mengedik seolah tahu itu hal yang tidak mungkin kami lakukan.

Setelah itu, karena kebosanan yang kembali melanda, aku merebahkan diri dan mencoba terpejam sebelum perawat datang untuk memeriksa kondisiku. Setidaknya, hari ini tidak ada acara lari-lari atau berkelahi dengan para pelanggar hukum. Nikmatilah, Hokuto.

Namun, rupanya tidak seperti itu. Pintu bergeser lagi, kali ini sosok aniki yang muncul dengan wajah lelah yang sangat mencolok.

"Oi, oi, oi!"

Dia tergopoh mendekati brangkarku sambil meletakkan satu kantong plastik yang entah apa isinya di nakas.

"Bagaimana bisa kau menjadi seperti ini?! Aku mendapat kabar dari pihak akademi pagi tadi dan langsung meminta izin untuk mengunjungimu. Untung saja pekerjaanku bisa sedikit menunggu."

"Aku baik-baik saja."

"Ya!" tukasnya. "Dengan kepala diperban seperti ini."

Aku mengaduh saat aniki memukul puncak kepalaku. "Kau terlihat lebih kurus, apa kau baik-baik saja?"

"Hoku-chan, kau baru meninggalkan Kobayashi satu minggu bukan sepuluh tahun lalu. Aku masih sama, kau hanya berlebihan."

"Bagaimana dengan mereka?"

Pertanyaan itu menciptakan jeda di antara kami. Aniki menghela napasnya lalu mengurut kening. "Ayah tahu semua yang terjadi kepadamu selama satu minggu ini. Kau beruntung karena aku bisa mencegahnya untuk tidak menjemputmu pulang. Sementara ibu, dia tidak banyak bicara mengenai kasus yang melibatkan dirimu dan temanmu itu."

"Dari mana mereka tahu?"

Gelengan aniki membuatku penasaran, pasalnya kami tidak mempunyai kerabat dekat di Tokyo. Menurutku, ayah mempunyai relasi di akademi atau kenalan yang selalu mengawasiku di sini.

"Omong-omong, bagaimana bisa kau terlibat dengan kasus-kasus seperti itu?"

"Tidak tahu." Aku mengedik.

"Kupikir kau akan menjadi murid paling teladan dan tidak berniat untuk ikut campur dengan urusan orang lain. Kau tahu, kau berubah dan ya ... ini sedikit menggelikan, tapi aku bangga padamu. Terus berjuanglah!"

Aniki menggaruk tengkuk saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Aku tidak memungkiri jika pernyataan itu menggelikan, tapi perasaan lega karena membuat bangga seseorang setidaknya bisa menjadi pengusir lelah. Aku tidak tahu bagian mana yang berubah di dalam diriku, biar orang lain yang menentukan.

"Tidak! Harusnya dia dihukum lebih dari-"

"Oh, selamat sore!"

Rupanya Aoyama dan Kurosawa-san muncul di ambang pintu dengan perdebatan yang kuyakini mengenai hukuman untukku serta Kazuma. Aniki membungkuk dan mereka membalas sebelum mendekat.

"Apakah Anda kakak dari Yoshino Hokuto?"

"Ya, benar."

Kurosawa-san tersenyum lalu mendekat ke arahku. Entahlah, raut wajahnya tidak terlalu menunjukkan jika dia akan marah atau memuntahkan seluruh omelannya padaku. Berbanding terbalik dengan Aoyama yang hanya berdiri di dekat pintu dengan ekspresi datar. Kurasa dia sudah bosan terus berurusan dengan siswanya yang satu ini.

"Adikmu bahkan lebih aktif dari yang kubayangkan selama berada di akademi. Dia benar-benar tahu bagaimana caranya menyesuaikan diri untuk menjadi perwira polisi."

Aku sedikit meringis saat Kurosawa-san menepuk bahuku. Aniki hanya menanggapinya dengan senyuman tipis, tapi aku tahu arti tatapan itu. "Maaf sudah merepotkan kalian. Adikku memang sedikit berbeda setelah keluar dari Kobayashi. Mungkin dia ingin mencari suasana baru?"

"Sayangnya keputusan petinggi sekolah tidak lama lagi akan keluar," ucap Aoyama yang memusatkan seluruh atensi kami padanya. Dia maju selangkah lalu berdeham kembali. "Maaf, tapi dilihat dari berbagai pelanggaran yang telah Yoshino dan Kawamura lakukan sampai terjadinya kasus ini, pengeluaran dari akademi merupakan hukuman mutlak yang seharusnya mereka dapatkan."

"Kau terlalu berlebihan, Riku. Kau lupa jika perwakilan kepolisian Shibuya juga akan hadir, mereka bisa jadi memberikan alasan lain yang mampu memperkuat posisi Yoshino dan Kawamura di sini. Kasus yang melibatkan Yakuza seperti Ueda bersaudara, apalagi berakhir dengan penangkapan, bukan suatu kasus yang akan mudah dilupakan."

Hening timbul di antara kami. Kupikir ucapan kepala instruktur itu tidak sepenuhnya salah. Aku menghela napas tanpa sadar, tidak ingin memikirkan hal rumit lain walau kepalaku memaksa bekerja. Aku sendiri tidak tahu kenapa akhirnya malah jadi seperti ini.

"Baiklah, sepertinya Yoshino butuh istirahat. Maaf jika kami mengganggu waktumu. Syukurlah kau terlihat lebih baik dari sebelumnya. Kami hanya khawatir kau belum siuman seperti temanmu sampai saat ini," ucap Kurosawa-san kemudian membungkuk di depanku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Kedua polisi itu pergi keluar ruangan, menyisakan siluet seseorang yang kupikir tidak jadi masuk karena satu hal.

"Apa yang harus kukatakan pada ayah kalau tahu kau akan dikeluarkan, Hoku-chan?" ucapnya sambil merebahkan diri di sofa. Pasrah dengan nasib adiknya.

"Kurasa, aku masih bisa bertahan di akademi."

"Hah? Bagaimana bi-"

"Salah satu anggota polisi juga terlibat dalam kasus ini. Selain itu kami mendapat persetujuan darinya untuk ikut mencari tahu, tapi kejadian tidak terduga malah terjadi. Entah apa yang akan terjadi nanti, tapi kupikir masih ada sedikit harapan. Ck, aku lelah. Tidurlah di mana pun kau suka." Lebih baik aku segera memejamkan mata dan lupa pada semua hal yang membuat kondisiku semakin parah. Waktu tenang tanpa tugas seperti ini harus bisa kumanfaatkan.

"Omong-omong, apa temanmu yang sampai saat ini belum sadar itu bernama Kazuma?"

Aku tidak jadi memejamkan mata dan kembali menatap aniki. "Ada apa?"

"Ah, tidak." Dia mengelak lalu menggeser kursi dan duduk di sana. "Nama keluarganya seperti tidak asing."

"Kawamura-"

Aniki mengangguk. "Aku tidak tahu ini benar atau tidak, tapi jika benar, maka kau berteman dengan putra salah satu pengusaha berpengaruh di negara ini. Nama itu sering dibicarakan di kantor, pro dan kontra. Perusahaan besar memang selalu seperti itu, dibicarakan seperti artis yang terkena skandal."

"Kurasa dia tidak ingin ikut campur dengan urusan bisnis yang seperti itu," balasku.

Aku mengatakannya bukan tanpa alasan. Untuk apa Kazuma repot-repot menjadi seorang perwira polisi walaupun keluarganya mempunyai kekayaan yang tidak akan habis tujuh turunan jika dia tidak ingin terlibat dengan urusan mereka? Itu bukan urusanku, tapi kupikir alasan di baliknya sedikit menarik untuk digali.

"Apa kau pernah mendengar kasus kematian seorang anak SMP di Osaka beberapa tahun yang lalu?"

Aku mengernyit, mencoba kembali mengingat hal itu. Hanya tidak ada ingatan apapun yang saat ini muncul, pada akhirnya aku menggeleng dan menyerah. Aniki mengembuskan napas dan melambaikan tangan.

"Sudahlah, kau tidak perlu mengingatnya. Tapi bersiaplah jika ada sesuatu yang mungkin saja akan membuatmu terkejut suatu hari nanti."

Tidak ada pembicaraan lebih lanjut, aniki memejamkan mata, sedangkan aku memandang partikel kecil yang bergerak di air dalam vas bunga. Dari obrolan singkat tentang keluarga Kawamura itu aku menyadari satu hal, bahwa ternyata kita tidak sepenuhnya mengenal orang yang telah kita "kenal".

🚔🚔🚔

Aniki menginap selama beberapa hari di rumah sakit, sesekali dia tidak ada di kamar rawat entah pergi ke mana. Aku sendiri sudah mulai jengah karena terus bersama dengan brankar dan bantal setiap hari. Aku ingin pulang. Perawat datang tidak lama kemudian, memeriksa kondisiku secara cepat lalu pergi. Namun, sebelum dia benar-benar melangkah keluar pintu aku memanggilnya.

"Maaf, apa kau tahu di mana kamar rawat Kawamura Kazuma?"

Apakah aku terlalu jahat jika baru menanyakannya sekarang?

"Dia persis ada di ruangan sebelah kiri dari kamar rawatmu," jawab perawat itu. Aku mengangguk lalu mengucap terima kasih yang membuatnya benar-benar pergi.

Tanpa sadar aku sudah membayangkan lagi kejadian hari itu. Untuk pertama kalinya juga, kepalaku merasakan sakit yang luar biasa akibat hantaman benda tumpul dan keras sampai harus diperban dan dirawat secara intensif. Mungkin ini sakit terparah yang pernah kualami selama 23 tahun hidup. Di rumah, jika aku demam, ibu akan mengompresku secara diam-diam. Bagaimana aku bisa tahu, kau sendiri pasti paham seperti apa rasanya terserang meriang malam-malam. Jangankan tidur, menutup mata saja sangat sulit.

Baiklah, lupakan saja. Aku menggeser kakiku perlahan untuk turun dari brankar. Memakai sendal tipis kemudian memegang erat tiang infus sambil menyeretnya ikut bersamaku keluar. Koridor rumah sakit nampak lengang, kecuali beberapa dokter dan perawat yang keluar masuk ruangan. Sejenak aku terdiam saat hendak membuka kenop pintu. Jika dipikir-pikir lagi, bukankah Kazuma bisa sampai seperti ini karena terus melawan musuh yang jauh lebih kuat daripada lawanku? Dia seperti sengaja menjadikan dirinya sendiri umpan agar mereka tidak jadi menyerangku. Apa aku benar-benar semenyedihkan itu?

Derit pintu terbuka, menyuguhkan pemandangan kamar yang tidak jauh berbeda dengan milikku. Hanya bedanya jendela di sini berukuran dua kali lebih besar yang mengarahkan langsung ke pemandangan pusat kota di bawah sana. Kakiku melangkah masuk, menatap tubuh Kazuma yang masih terbaring tanpa membuka mata. Kepalanya memang tidak diperban sepertiku, tapi aku tahu jika dibalik baju itu sudah tertempel berlapis-lapis kain untuk menutupi seluruh lukanya. Melihat warna ungu dan biru yang menghias wajahnya saja membuatku meringis seketika. Apa dia benar masih hidup?

"Na, Ka-kun. Kuharap kau tidak pura-pura mati sekarang. Sampai kapan kau akan tidur, hah?"

Tidak ada jawaban. Napasnya masih berembus secara teratur. Baiklah, dia tidak jadi diambil oleh malaikat maut. Setidaknya aku mensyukuri hal itu. Tubuhku berbalik, mendekat ke arah jendela dan memandang senja yang sebentar lagi akan lenyap. Semburat jingga keabuan membuatku terpaku sesaat. Indah, tapi sayangnya aku malah terjebak di sini. Melibatkan diri pada kasus kriminal, mendapat luka dan omelan, tidak bisa tenang sepanjang hari, suram sekali.

"Siapa kau?"

Aku reflek berbalik saat menatap Kazuma yang kesulitan ingin bergerak. Aku mendekat lalu mencoba membantunya duduk, tapi dia malah menepis tanganku. "Siapa kau?" ulangnya.

"Hah?"

Tunggu, jangan bilang dia hilang ingatan karena pukulan itu?

"Ini aku, Hokuto. Yoshino Hokuto," ucapku perlahan. Alis Kazuma mengerut, seperti tengah berpikir keras.

"Aku ... tidak ingat."

"Aku teman satu kamarmu di akademi. Kita baru saja terlibat kasus besar dan berakhir di sini. Namamu Kawamura Kazuma."

"Teman? Bukankah Hokuto tidak memiliki seorang teman?"

"Aku punya-"

Kazuma terbahak begitu menyadari jika aku tertipu oleh akting murahannya. Sepertinya anak ini sudah baik-baik saja.

"Hahahaha! Wajahmu benar-benar membuatku ingin tertawa, Hoku-chan! Kukira kau tidak akan percaya begitu saja mengingat sifatmu yang seperti itu."

Bocah ini!

Aku berusaha tersenyum setengahnya menganggap otak Kazuma sudah benar-benar bergeser. "Apa kau pernah membaca sebuah cerita seseorang yang tewas di tangan temannya sendiri?"

"O-oi! Jangan bercanda, kau tidak akan membunuhku, kan?! Kau ... kau akan kehilangan teman paling tampan dan baik hati jika aku mati, Hoku-chan."

Aku mengedik dan menyeret tiang infus untuk mendekat ke arahnya. Tidak ada ekspresi, hanya memandangnya tanpa berkedip.

"T-tunggu! Oi!"

"Apa kalian sudah selesai bermain-main?"

Suara Matsuda-san terdengar dari pintu yang masih menyisakan celah. Polisi wanita itu masuk, aku tidak bisa menangkap ekspresi apa yang tepatnya sedang dia tunjukkan.

"Sepertinya Kawamura harus diperiksa karena sudah siuman," ucapnya yang membuat seorang dokter lantas masuk, tersenyum ke arahku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain membungkuk lalu keluar dari sana.

Kepalaku mengangguk sekali saat melewati Matsuda-san dan melanjutkan langkah ke arah kamar. Namun yang terjadi dia justru membukakan pintu untukku.

"Apa kita bisa bicara sebentar?"

Raut wajahnya seolah menyiratkan ada suatu hal penting yang harus kuketahui. Aku kembali mengangguk lalu mengizinkannya masuk. Matsuda-san duduk di kursi sementara aku bersandar di brankar. Baiklah, mari kita dengarkan apa yang akan polisi wanita ini katakan. Walau sepertinya aku sudah tahu.

"Aku tidak bisa menolongmu dan Kawamura nanti di pengadilan."

Apa sekarang dia juga tidak ingin melihat wajah kami lagi di akademi? Kenapa mereka semua membicarakan hal yang sama secara bersamaan hari ini?

"Aku juga melakukan sebuah pelanggaran. Mana mungkin seseorang yang bersalah membela orang lain yang juga ikut bersalah? Pembelaan yang tidak berguna," ucapnya seolah tahu apa yang kupikirkan.

"Tidak apa-apa. Saya juga tidak mau memikirkan tentang apa yang akan terjadi nanti. Lagipula tidak ada yang bisa saya lakukan selain menerima keputusan petinggi sekolah, bukan?"

Matsuda-san mengangguk lalu bangkit dan membalikkan tubuhnya, membelakangiku.

"Terima kasih," katanya. "Aku tidak menyangka jika suatu saat akan menerima bantuan dari muridku sendiri." Matsuda-san kembali menatapku lalu berjalan ke arah lain, mengamati seisi ruangan.

"Kanna-chan adalah keponakanku yang sangat berdedikasi tinggi pada pendidikan. Dia terkenal di seluruh sekolah yang menerimanya, mendapat berbagai penghargaan dan tidak jarang masuk ke dalam berita harian sebagai seorang gadis muda yang jenius. Dia selalu menceritakan seluruh pengalaman membahagiakannya padaku melalui percakapan di SNS bahkan saat aku sedang bekerja. Namun, aku tidak pernah sekalipun mendengar cerita tentang apa yang sedang dia rasakan atau alami.

"Dia selalu menutup diri untuk hal yang menjadi kelemahannya. Terkadang aku ingin tahu apa yang sedang dia pikirkan, apa yang sedang dia rasakan, apakah dia baik-baik saja selama ini, aku hanya bisa menebak dari bagaimana cara dia berbicara melalui percakapan di ponsel, menyimpulkan sendiri tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Aku berdeham untuk menetralisir rasa sakit yang mulai timbul di kepala. "Apa Anda tidak pernah bertemu secara langsung dengannya?"

Matsuda-san menghela napas. Dia tersenyum tipis dengan raut wajah yang tidak bisa kuartikan. "Aku menolak permintaan pertamanya untuk bertemu."

Penyesalan. Sorot matanya jelas memancarkan hal itu saat bersitatap denganku. Mungkin bukan hal yang mudah bagiku untuk bisa memahami dan tahu apa yang orang lain rasakan, tapi sebuah keinginan yang tidak terpenuhi kemudian berakhir untuk selamanya merupakan salah satu hal paling menyakitkan yang pernah kutahu. Beberapa buku cerita dan film yang pernah kubaca dan tonton dulu juga sering menceritakan hal serupa. Kasih sayang, cinta, penyesalan, kadang aku berpikir kenapa semua manusia harus memiliki rasa seperti itu. Melelahkan.

Matsuda-san berjalan mendekat kembali kemudian merogoh sesuatu di dalam kantung seragamnya.

"Kanna-chan pernah memberitahuku kalau dia ingin menjadi seorang polisi. Dia ingin bisa berinteraksi langsung dengan para korban dan penjahat untuk mengetahui sudut pandang dan cerita mereka masing-masing. Begitulah, sampai dia akhirnya tersudut dan tidak mempercayai apa yang diinginkannya lagi." Matsuda-san memberikan selembar kertas padaku.

Sejenak aku ragu, tapi uluran tangannya yang tidak kunjung berhenti membuatku mau tidak mau mengambilnya.

Tidak ada yang menarik dari kertas putih polos ini kecuali tulisan rapi dari tinta spidol yang tercetak di sana.

Aku akan menemui dua siswamu di akademi. Setelah itu akan kuceritakan seluruhnya.

"Ini ...."

"Sejak beberapa minggu terakhir, dia tidak lagi menghubungiku melalui SNS. Seluruh foto, dan postingannya secara tiba-tiba dihapus. Kami hanya bertukar surat selama seminggu sekali dan tepat di hari aku menolaknya bertemu, Kanna tahu kau dan Kawamura adalah orang yang menangkap pelaku tosatsu di stasiun Fuchu."

"Artinya Kanna ...."

"Benar. Dia mengalami tosatsu jauh sebelum kalian menangkap pelaku lain dengan kejahatan yang serupa. Aku baru tahu jika dia mengirim surat lagi ke depan rumah tepat di atas buku harian miliknya yang tidak pernah tersentuh siapapun. Kanna menuliskan segalanya di sana. Di halaman terakhir dia mengungkapkan rasa bahagianya karena Ueda Noya akan segera ditangkap. Kanna memberanikan dirinya kembali untuk melapor, tapi sayangnya keparat sialan itu terlanjur menyebarkan foto dan video yang didapatnya ke seluruh sosial media dan berpura-pura menjadi Kanna yang seolah-olah memang menginginkannya.

"Menurutmu apa yang akan terjadi jika seorang gadis jenius, yang tidak pernah mendapat catatan buruk di sekolah atau masyarakat diketahui melakukan perbuatan seperti itu?"

Aku sukses terdiam. Mencoba memahami apa yang Matsuda-san paparkan sedari tadi. Dia menarik napasnya untuk sesaat lalu mengembuskannya secara perlahan. Urat tipis yang timbul di pelipisnya sejenak membuatku takut tadi. Wanita yang mengamuk lebih seram daripada apapun.

"Matsuda Kanna menyadari jika dia terkena kasus tosatsu yang mengharuskan dirinya melapor pada polisi. Namun, yang terjadi dia malah diabaikan dan tidak ditindak lanjuti. Ueda Noya mengetahui hal itu lalu mengancamnya untuk tidak melapor kembali dan membuat Kanna ketakutan hingga tersudut sampai harus menarik diri dari SNS. Beberapa waktu berlalu, dia akhirnya berhasil melihat saya dan Kazuma yang juga menangkap pelaku lain dengan kasus serupa dan menimbulkan kembali kepercayaan diri dan keberaniannya lagi, tapi nahas justru dia mengakhiri diri karena video dan foto tosatsu dirinya sudah tersebar di sosial media. Apa saya benar?" jelasku yang berusaha mengurutkan kronologi dari kasus ini.

"Jika saja aku tidak menolak bertemu, Kanna tidak akan mengirimkan surat itu dan catatan miliknya padaku. Dia akan berbicara secara langsung, menangis, dan memelukku dengan erat." Matsuda-san menitikkan air matanya sambil tertawa hambar. Dia menunduk, lalu terisak pelan di sana.

"Anda berpikir jika Kanna akan bercerita tentang pencapaian baru yang dia dapatkan lagi, karena itu Anda enggan untuk bertemu dan membiarkannya menyadari sendiri bahwa Anda juga ... merupakan rumah untuknya pulang."

Aku baru teringat akan beberapa isu tentang Matsuda Kanna yang kutemukan di internet saat itu. Seorang gadis kecil yang ditemukan terbaring lemah di atas kasurnya sendiri akibat upaya pembunuhan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, tapi tidak berhasil. Dia hidup sebatang kara dengan hanya mengandalkan bantuan dari orang sekitar yang memberinya makan setiap hari.

"Setidaknya kau punya alasan yang tepat saat dimintai keterangan nanti, Yoshino." Matsuda-san tersenyum lalu membungkuk dalam padaku cukup lama.

Aku tidak bisa berkata dan melakukan apapun saat polisi wanita itu melangkah keluar dari kamar. Kupikir kasus ini telah selesai dengan berakhirnya aku dan Kazuma di rumah sakit. Namun, rupanya Ueda bersaudara itu tidak mengizinkanku tidur dengan tenang. Aku juga masih harus menyelidiki hal lain, tepatnya apa yang diinginkan Kazuma dalam kasus ini.

🚔🚔🚔

Aniki bersiap untuk pulang setelah membeli makan di luar. Dia meletakkan kertas koran yang mungkin didapatnya tadi di luar di ranjangku begitu saja kemudian menenteng tasnya dan berdiri di sampingku sambil menghela napas panjang. "Jaga dirimu baik-baik. Aku akan berusaha menyampaikan kondisimu sesuai dengan apa yang kulihat di sini pada mereka. Ya ... mungkin tidak semua, tapi berjanjilah padaku kalau kau tidak akan terlibat lagi dalam kasus kriminal, Hoku-chan," katanya serius.

Aku hanya mengangguk sambil menatap ke arah lain. Janji tidak bisa diucapkan secara sembarangan. Saat aku tidak bisa menepati apa yang telah kuucapkan, apa bedanya aku dengan seorang pengkhianat? Aku tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi ketika keluar dari rumah sakit ini. Selama aku masih berada di akademi, urusan dan persoalan dengan berbagai kasus kriminal pasti akan menjadi makananku sehari-hari, bukan?

"Aku sungguh-sungguh, Hoku-chan. Jika ayah sampai mendengar kau terlibat dalam kasus seperti ini lagi, aku tidak bisa menahannya untuk langsung menemui dan menyeretmu keluar dari sini," tegasnya.

"Tenang saja. Aku tidak akan memberikan kabar buruk atau membawa pandangan negatif untuk keluargaku. Bilang pada mereka aku baik-baik saja dan tidak perlu khawatir pada hasil ujian."

"Jangan terlalu memaksa-"

"Kau akan tertinggal kereta jika terus mengulur waktu, Aniki," sergahku cepat yang membuatnya urung berkata.

Bibirnya menyunggingkan senyum tipis saat mengacak-acak rambutku kemudian berjalan lunglai ke arah pintu. Sejenak dia berhenti dan kembali menatapku dengan ekspresi-ah, aku tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikannya, yang jelas tatapannya mengundang rasa tidak berguna dalam diriku timbul kembali.

Aku mengenyahkan pikiran itu lalu berbaring dan memejamkan mata. Tidak ada selang infus yang menancap di dekat jemariku, juga dengan perban yang mengikat kepala. Hanya kapas dan plaster yang menahan agar luka di atas alisku tidak terinfeksi oleh apapun. Besok, kemungkinan besar aku akan keluar dan segera melakukan persidangan. Membayangkannya saja membuat suasana hatiku langsung mencapai ke titik terendah. Aku tidak ingin hari itu tiba.

Mataku terbuka saat teringat sesuatu. Benar juga, masih ada beberapa hal yang harus kuselidiki. Tanganku spontan mengambil ponsel di bawah bantal kemudian segera pergi ke mesin situs pencari, mengetikkan beberapa kalimat yang berhubungan dengan kasus kematian seorang anak SMP di Osaka beberapa tahun silam. Perkataan aniki terus terlintas di benakku. Bukan, bukan karena aku ingin mencari masalah lagi, tapi aku hanya sedikit heran kenapa aniki mengatakan kasus itu tepat setelah dia bertanya tentang nama Kazuma. Jika prediksiku tidak salah, mungkin saja ada hubungan spesial dan menarik di antara keduanya. Namun, hal itu langsung dipatahkan dengan kenyataan bahwa aku tidak bisa menemukan satupun informasi setelah menelusuri berpuluh-puluh laman web di internet.

Aniki bilang jika perusahaan itu selalu terlibat pro dan kontra serta diperbincangkan seperti artis yang terkena skandal, tapi mengapa aku tidak bisa menemukan setidaknya satu tajuk atau sebaris informasi tentang hal seperti itu, hah? Apa mungkin sengaja dihapus untuk alasan lain dan hanya meninggalkan profil perusahaan pada umumnya? Ck, aku butuh lebih banyak informasi lagi.

Tunggu, apa Kamiya tahu tentang kasus itu? Dari cara dia berbicara saat di kelas tempo hari dan penjelasan yang dia beberkan tentang cyber crime, anak itu pasti masih banyak menyimpan informasi lain. Baiklah, aku akan coba menghubunginya. Namun, baru saja aku melakukan panggilan suara, suara gaduh terdengar dari luar. Beberapa perawat bahkan terlihat mondar-mandir secara cepat seperti sedang mencari seseorang dari jendela bulat di pintu. Rasa penasaranku muncul, kakiku melangkah mendekat dan langsung membukanya.

"Saya baru saja memeriksanya, tapi saat kembali dia sudah tidak ada."

"Cepat cari ke seluruh lantai dan pantau cctv secara berkala!"

Agaknya situasi koridor memang sedikit ramai. Aku menghentikan satu perawat yang melintas dengan berkata, "Maaf, kenapa dari tadi kedengarannya ribut sekali. Apa ada sesuatu yang gawat terjadi?"

Wajah perawat itu terlihat ragu. dia menunduk, menoleh ke kanan kiri lalu menatapku. "I ... itu, sebenarnya ..." ucapnya dengan suara kecil.

"Maaf, tapi saya tidak bisa mendengar-"

"Kawamura-san tidak ada di kamarnya dan kami belum bisa menemukan ada di mana dia sekarang."

Mataku sontak melebar. " Hilang? Bagaimana bisa?"

"Maaf, Yoshino-san. Sebaiknya Anda kembali beristirahat saja dan serahkan semuanya pada kami. Kami akan menemukan temanmu segera. Permisi," tukasnya yang langsung berlari menuju lift.

Anak itu ... tidak sedang sakit atau dalam kondisi mengkhawatirkan sekalipun masih sempat-sempatnya merepotkan orang lain, tapi walau begitu tidak dapat dipungkiri aku juga ikut tidak tenang sekarang. Ke mana anak itu bisa pergi dengan tubuh dan wajah penuh luka dan lebam? Sekuat-kuatnya tubuh Kazuma, dia tetap tidak bisa nekat melompat dari lantai 4 hanya untuk melarikan diri entah ke mana.

Mengusir pikiran buruk dengan hanya menduga-duga, aku memutuskan pergi ke kamar Kazuma setelah memastikan tidak ada siapa-siapa lagi di luar. Mungkin saja dia berubah pikiran dan sekarang sudah tidur nyenyak seperti biasanya. Pintu terbuka, aku bergidig saat masuk karena hawa dingin yang begitu menusuk. Apa anak itu tidak mematikan pendingin ruangan sepanjang hari? Tidak ada orang, hanya menyisakan selimut yang berantakan di atas brankar. Aku mendekat ke arah jendela dan mengamati secara saksama. Alisku mengerut saat tahu jika tidak ada kunci pembuka atau atau selot atau apapun yang dapat membuka jendela itu. Mustahil anak itu kabur melalui jalan ini.

Aku berbalik, menatap seisi ruangan yang hanya di penuhi oleh warna putih pada dinding dan beberapa figura yang tertempel. Langkahku mendekat ke arah kamar mandi, tidak di kunci dan tentu saja tidak ada dia di sana. Keningku mengerut. Jika dia memilih keluar secara mandiri dari pintu, mana mungkin perawat dan dokter yang bertugas setiap hari tidak melihatnya? Paling tidak ada satu dua yang berhasil melapor, tapi kenapa sampai sekarang mereka seolah benar-benar buta di mana Kazuma berada?

"Sst!"

Aku tersentak lalu menoleh ke belakang dengan cepat. Siapa tadi?
"Ssst! Hoku-chan!"

Tubuhku menjauh dari brankar lalu awas menatap sekitar. Siapa yang memanggil namaku? Siapa yang tadi bersuara? Aku meneguk ludah lalu kembali mendekat perlahan. "O-oi!" teriakku berusaha mengalahkan rasa takut yang entah sejak kapan sudah menyerang.

"Jangan berisik!" jawabnya setengah berbisik.

Tunggu dulu. Kepalaku menunduk, memastikan jika suara Kazuma tadi berasal dari bawah brankar. "Aku di sini!" ujarnya lagi sambil mengulurkan sebelah tangannya. Aku membungkuk lalu mengangkat selimut yang menjuntai ke bawah, tepat saat mataku ingin melihat siapa di sana, kepala Kazuma langsung menyembul begitu saja dan menghantam keningku dengan keras.

"Apa yang kau lakukan di bawah sana?!" sentakku sambil menjauh darinya. Sial! Kepalaku langsung berdenyut lagi.

"Seseorang hendak masuk tadi, jadi aku bersembunyi. Apa kau baik-baik saja?" ringisnya saat melihat raut wajahku.

Aku hanya mengangguk lalu menatapnya yang kini sudah sepenuhnya keluar dari bawah brankar. Sebenarnya apa yang dia pikirkan, hah?

"Semua orang mencarimu sekarang. Berhentilah bermain-main. Kau merepotkan semuanya," cetusku.

Kazuma hanya mengedik kemudian mendekat ke arah jendela. "Biarkan saja, bukankah menyenangkan jika ada seseorang yang mencarimu?" Dia tersenyum tipis yang anehnya membuatku langsung terdiam.

Apa itu? Kenapa dia berkata seperti itu?

"Aku akan mengatakan jika kau sudah kembali. Istirahatlah, kemungkinan besok kita akan pulang."

"Aku sedang tidak ingin berbicara dengan orang lain karena itu aku bersembunyi."

Aku memandang ke arah pintu yang terbuka. Belum sempat untuk memberitahu bahwa Kazuma sudah di sini, seorang perawat dan pria berpakaian serba hitam dan terlihat sangat formal masuk. Aku tidak mengenalnya, dia bukan orang akademi. Orang itu menekan sesuatu di telinganya dan menatap tajam Kazuma.
"Kawamura-san sudah di sini," ujarnya pada seseorang di seberang telepon.

Aku melirik Kazuma yang sepertinya tidak menyukai situasi ini. Auranya bahkan turut berubah.

"Ck! Merepotkan." Dia berbisik.

Pria itu mendekat dan mengulurkan sebuah tas koper kecil kepada Kazuma. "Ambil ini dan pulanglah."

"Tidak."

"Anda akan mendapat masalah jika tidak menurutinya."

Kazuma mendecih, mengambil tas itu dan membukanya. Isinya membuatku nyaris membuka mulut, lembaran uang yang entah berapa jumlahnya itu justru malah membuat Kazuma tertawa lalu menghela napas panjang. "Berhenti menyogokku dengan uang dan bilang kepadanya bahwa aku tidak akan pulang," protesnya sambil menuang isi tas tersebut ke lantai.

Saat aku hanya diam tanpa tahu titik masalah yang sebenarnya, Kazuma pergi. Dia meninggalkan sejuta pertanyaan yang meraung di dalam otakku menuntut jawab. Aku menyusulnya dengan otak yang sibuk menghubungkan ini dan itu. Pria tadi sudah bisa dipastikan orang suruhan sang ayah, tapi aku baru tahu jika hubungan Kazuma dengan ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Anak itu duduk di kursi panjang ruang tunggu, kedua tangannya memangku kepala lalu mengusai rambut dengan kasar.

"Apa yang terjadi?"

Kazuma menoleh, dia terlihat sekali ingin mengusir wajah gelisahnya dengan senyuman lebar. Hal itu membuatku mendengkus, teringat fakta bahwa manusia yang terlihat tegar padahal kenyataannya tidak adalah manusia dengan sejuta masalah dan sangat tidak baik-baik saja.

"Aku lupa jika papa akan selalu mengawasiku. Kali ini mungkin dia sudah hilang kesabaran jadi menyuruh utusannya untuk membawaku pulang ke Osaka."

"Kenapa kau menolaknya?"

Kazuma tertawa. "Aku belum menjadi polisi," jawabnya dengan nada gurau.

Aku terdiam, di balik pernyataan itu pasti ada alasan lain yang membuatnya enggan untuk pulang. Kupikir masalah Kazuma dengan keluarganya tidak sebatas orang tua yang terlalu berlebihan dalam mendisiplinkan anak, tetapi jauh lebih berat daripada itu. Aku penasaran, tentu, tapi tidak baik bertanya macam-macam pada orang lain apalagi itu merupakan masalah pribadi.

"Mungkin ayahmu akan mengerti."

"Bagaimana perasaanmu besok? Apakah kali ini mereka akan mengeluarkan kita?"

Aku tahu Kazuma sedang tidak ingin membahas apapun mengenai keluarganya dan memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

"Kita tidak bisa berbuat apapun, tapi kurasa ada pihak-pihak yang akan membela kita.

"Kupikir Kurosawa-san dan Aoyama-san akan turut membela kita."

Aku menoleh padanya dengan satu alis terangkat. "Percaya diri sekali."

Dia mengedik dan tidak membalas ucapanku. Aku juga berharap demikian, bahwa kami hanya akan mendapat hukuman dan tidak dikeluarkan. Namun, bagaimana pun juga, resiko menjadi siswa yang tidak patuh aturan layak kami dapatkan. Membahasnya membuat otakku berpikir, apa yang harus aku lakukan setelah angkat kaki dari tempat ini?
Mataku melirik ke arah kanan dan menemukan lagi pria dengan seragam hitam itu-tidak, kali ini mereka berjumlah tiga orang. Sontak kami berdiri dan mencoba menjauh dari mereka yang menunjukkan raut wajah tidak ramah. Sejenak aku meneguk ludah, sebenarnya kenapa mereka bersikukuh menginginkan Kazuma pulang? Apa alasannya sama dengan ayahku yang mendengar kabar bahwa kami terlibat dengan seorang Yakuza?

"Tolong jangan memaksa kami untuk membawa Anda secara paksa, Kawamura-san. Ini perintah yang tidak bisa Anda abaikan," ucap salah satu dari mereka. Bahkan aku tidak bisa membedakan wajah ketiganya karena tertutup masker dan kacamata hitam.

"Bilang padanya keputusanku tetap sama. Cih, sejak kapan dia peduli pada apa yang kulakukan?"

"Baiklah, tidak ada pilihan lain."

Mereka maju serentak kemudian berusaha mencekal lengan Kazuma yang masih kesulitan bergerak. Tanganku mengepal tanpa sadar lalu entah atas perintah siapa menangkis dan menyentak lengan salah satunya hingga dia terkejut. Tubuhku berdiri di depan Kazuma, menghalanginya dari kemungkinan aksi buruk yang akan mereka lakukan selanjutnya.

"Saya rasa kalian tidak tuli dan mendengar dengan jelas bahwa Kazuma tidak akan pulang. Di mana etika kalian pada seorang anak yang bahkan menjadi atasan kalian sendiri, hah?"

Sejujurnya kakiku sedikit bergetar asal kalian tahu, masa bodoh dengan apa yang akan mereka lakukan, paling tidak aku sudah berusaha mencegahnya mengusik Kazuma lagi.

"Tidak ada urusannya dengan Anda. Bisakah Anda menyingkir sekarang?"

"Tentu saja ada. Kazuma secara resmi masih menjadi siswa dari akademi kepolisian hingga saat ini. Jika kalian ingin membawanya, kalian harus meminta izin pada kami terlebih dahulu."

"Kalian berdua!" seru seseorang dari kejauhan. Aku menoleh dan melihat Aoyama serta Sakamoto berlari mendekat. Syukurlah mereka datang di saat yang tepat. Mataku kembali menatap ketiga orang itu yang terdiam. Mereka menunduk lalu membungkuk singkat.

"Kami permisi."

Koridor langsung nampak ramai saat dokter dan perawat yang biasa memeriksaku ikut menyusul dengan tergesa-gesa. Aku menatap Kazuma yang hanya menunduk kemudian tersenyum tipis pada seluruhnya. Tangannya mengusap tengkuk sambil berusaha tertawa.

"Aku ketahuan, ya? Apa kalian mau bermain petak umpet lagi?"

"Sebenarnya ke mana saja kau, hah?!"

Aku hanya menghela napas saat Kazuma mulai berdebat dengan Aoyama dan Sakamoto yang menjadi penengahnya. Lorong rumah sakit mulai lengang sejak kepergian ketiga pria itu, menyisakan tanda tanya besar pada apa yang sebenarnya terjadi di dalam keluarga Kawamura. Aku masih belum bisa menemukan apapun selain aura kebencian yang sejenak timbul di dalam dirinya.

🚔🚔🚔

Jalanan di bawah sana tampak sangat lengang. Fuchu adalah kota yang lumayan besar, akan tetapi jauh lebih sepi daripada pusat Tokyo. Melihat langit malam yang nyatanya hanya berhias sedikit sekali bintang, membuatku merindukan Kobayashi. Ini masih pukul 7 malam, jam-jam untukku enggan pulang dan memilih untuk berdiam diri di tanah lapang dekat SMA-ku dulu. Aku tahu aku terlalu melankolis, tapi percayalah di sana aku tidak sedang memikirkan kisah cinta atau seorang gadis. Lebih berpikir tentang jadi apa aku ke depannya nanti, apakah bisa menjadi orang yang bisa diandalkan?

Melamunkan hal itu membuatku menggeleng, aku sungguh bosan setengah mati di ruangan monoton ini. Esok hari terasa begitu lama datang, sepertinya jam dinding itu rusak. Aku menghela napas, meraih koran yang tergeletak tak tersentuh di ujung brankar. Yomiuri Shimbun adalah koran nasional Jepang yang diterbitkan di kantor pusat Tokyo, Osaka, dan Fukuoka. Kebetulan aniki membawa edisi pagi yang memuat berita hari sebelumnya hingga kemarin malam. Halaman pertama hanya berisi tentang orang-orang di pemerintahan lalu tentang olahraga. Aku tidak terlalu tertarik dengan berita semacam itu kecuali jika mereka-mereka ini terlibat skandal besar.

Ya, itu menarik untuk diulas atau cukup bisa membuatku penasaran karena skandal-skandal yang melibatkan nama orang-orang besar atau atlet olahraga terkenal merupakan berita hangat, begitu renyah seperti katsu baru matang. Belum lagi, tentang artis lokal yang herannya selalu memenuhi koran-koran harian dengan berita mereka dan masalahnya. Aku heran, apakah hidup mereka tidak melelahkan sehingga terus-terusan mencari masalah? Ataukah hanya sang pencari berita saja yang kurang kerjaan sehingga terus menggoreng berita kacangan?

Sejauh aku membaca, tidak ada yang menarik. Hingga aku tiba di bagian kriminal, banyak sekali sub judul di dalam halaman itu. Bahkan berita tentang penangkapan Ueda bersaudara masih terpampang di sana. Mereka tidak menuliskan namaku dan nama Kazuma, hanya sebatas; berkat bantuan dua pemuda, kelompok Ueda-gumi berhasil diringkus Kepolisian Metropolitan. Sisanya hanya kejahatan kecil-kecilan, seperti pencurian sepeda atau barang-barang tertentu.

Namun, di samping itu semua. Ada satu judul yang sengaja diletakkan di tengah-tengah dengan cetakan tebal. Aku mengerutkan kening saat membaca tajuk yang meraungkan;

JASAD SEORANG PRIA DITEMUKAN BERSIMBAH DARAH DI RUMAHNYA. PELAKU DIYAKINI ADALAH KERABAT DEKAT KORBAN.

Dari sekian banyak berita, yang satu ini membuatku tanpa sadar meremas ujung koran hingga lusuh. Alamat yang tertera di isi berita tersebut terletak tidak begitu jauh dari akademi. Menurut kronologi yang tertulis, mayat itu ditemukan kemarin malam oleh sang istri dengan luka di kepala akibat pukulan benda tumpul serta luka sayat di leher yang membuatnya tewas. Tidak ada jejak yang tertinggal menandakan jika pembunuhan itu dilakukan oleh seorang profesional. Berita ini belum ditulis secara lengkap mengingat kasusnya masih sangat baru.

Di tengah-tengah kesibukan otakku, pintu ruang rawatku bergeser dan Kazuma muncul dengan kakinya yang sedikit pincang. Anak itu tampaknya sedang dalam suasana hati yang buruk, mungkin dia lelah berdebat dengan Aoyama dan Kurosawa-san. Hanya itu bukanlah hal yang penting untuk sekarang. Aku mengulurkan koran itu pada Kazuma, dia mengangkat kedua alis dan membaca judul berita yang kutunjuk.

"Hoku-chan, dengar-"

"Setelah sidang selesai."

"Apa? Apa yang akan kau lakukan?"

Aku berdiri dan berjalan ke arah jendela. Memikirkan baik-baik apakah ide gila di dalam otakku kali ini aman untuk dilakukan.

"Menyelidikinya."

"Tidak, tidak!" Kazuma melempar koran itu ke ranjang. "Kita masih menjadi orang penyakitan, mana mungkin aku menuruti ide gilamu itu!"

Aku berbalik, bersedekap dan memandang koran yang tergeletak. "Bodoh. Aku hanya ingin tahu sejauh apa polisi menyelesaikan kasus menarik ini, Kazuma. Kita akan-baiklah, jika kau tidak mau, aku akan menyelidikinya secara diam-diam menggunakan internet."

"Dasar keras kepala!"

"Kau mau atau tidak?"

Kazuma mendecih lalu melirik koran itu kemudian mengambilnya lagi. Dia mungkin sedang membaca keseluruhan beritanya, setelah selesai anak itu mendongak dengan kening yang mengerut dalam.

"Dari mana kita akan memulainya?"

🚔🚔🚔

WE BACK AGAIN!

Halo halo...
Maaf minggu lalu ATL tidak ada update terbaru pasalnya baik aku maupun Jihan sedang sama-sama sibuk.

Dan hari ini yang masih anget, selamat membaca. Jangan lupa vote dan komen, syukur-syukur masukin reading list. Hehe.

Kami tunggu krisar yang membangun dari kalian, ya.

Salam Crew!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top