CASE 5# THE UNDERCOVER SIN
"Terlambat dalam melakukan sesuatu kadang lebih berguna daripada hanya diam dan berakhir dengan sebuah penyesalan."
- Arcblood Phoenicis -
🚔🚔🚔
Berkat hukuman yang diberikan oleh Aoyama kepadaku dan Kazuma, sekujur lengan kananku masih terasa kebas dan berat. Bahkan telapak tangan masih menyisakan rasa kaku tidak nyaman. Beruntung berkat bantuan Kamiya yang diam-diam memberikan makan malam kepada kami, aku dan Kazuma bisa menyelesaikan hukuman itu tepat waktu tanpa merasakan kelaparan yang berarti. Namun, bayanganku untuk mendekam di ranjang hingga jam makan siang pagi ini harus sirna karena antusias Kazuma yang ingin berkunjung ke Shibuya-entah untuk apa. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menurut dan berakhir di dekat peron untuk menunggu bocah itu membeli tiket.
Aku masih memikirkan teori tentang cyber crime yang terpaksa harus kami kupas semalam. Informasi dari Kamiya sangat membantu kami untuk semakin membuka mata lebih lebar mengenai kejahatan tersebut. Aku masih menggaris bawahi orang-orang yang melakukan kejahatan melalui sosial media, yang berlindung di balik gawai, dan tidak sedikit yang lolos dari jerat hukum karena kelihaian mereka dalam mengakses dan mengolah informasi. Menurutku mereka itu terlalu payah dan sebenarnya adalah seorang penakut.
"Berikan itu padaku."
Suara seorang gadis secara samar terdengar di sela pengumuman jika kereta yang akan membawa kami ke Shibuya akan datang. Aku menyipit, gadis itu berusaha merebut sebuah ponsel dari tangan seorang pemuda yang terus menjauhkan tangannya dari jangkauan. Raut wajah gadis itu terlihat takut, di sisi lain, matanya bergerak liar seperti seseorang yang ingin mencari bantuan. Karena instingku mengira jika gadis itu membutuhkan bantuan, aku mendekat. Si pemuda tampak terkejut saat aku berdiri diam di dekatnya.
"Kumohon berikan itu kepadaku," ujar gadis itu lagi.
Aku melirik Kazuma terlebih dulu, anak itu masih meneguk minuman kaleng beberapa meter di kiri kami. Sepertinya tidak akan peka, jadi aku memutuskan untuk berdeham dan membuat kedua remaja itu menoleh serempak.
"Anda bisa dianggap penjahat oleh orang lain karena tidak memberikan ponsel itu kepadanya," kataku.
"Anda tidak berhak mengurusi hal yang akan saya lakukan, lakukan urusan Anda sendiri. Ayo, pergi!"
Gadis itu berkelit dan menarik tanganku. "Tolong aku. Dia sudah merekamku!"
"Hah?"
Ketika aku melirik ke arah pemuda itu, dia melarikan diri. Ponsel itu terbawa olehnya dan aku harus mendapatkannya jika benar-benar ada video tosatsu di sana. Anak itu berkelit dengan mudah di antara para penumpang yang mulai mengantre di peron, sedangkan aku harus beberapa kali menabrak mereka dan mendapat protes. Dia melewati Kazuma yang tampak akan berjalan ke arahku.
"KAZUMA!"
Dia berhenti dan menatapku kebingungan, tapi yang aku lakukan hanya menunjuk si pemuda yang sudah semakin jauh.
"Orang itu! Cepat tangkap orang itu!"
"S-siapa? Pencuri lagi?"
"Kau terlalu lama!"
Aku mengabaikan keterlambatan Kazuma dalam memproses informasi dan memilih untuk kembali mengejar pemuda itu. Kereta ke Shibuya akan tiba satu menit lagi dan aku harus menangkapnya sebelum dia masuk ke gerbong. Kazuma sendiri sudah menyusulku, dia menggenggam erat kaleng kosong di tangan kanannya.
"Hei, Hokuto! Apakah remaja laki-laki yang memakai kacamata itu yang harus kita tangkap?"
Begitu aku mengangguk, Kazuma spontan melemparkan kaleng kosong ke arah seseorang dengan jarak yang lumayan jauh. Bunyi kelontang dari kaleng yang membentur lantai mencuri perhatian beberapa orang, beberapa dari mereka menyingkir karena menghindari seorang pemuda yang tersungkur. Kazuma bergerak lebih dulu daripada aku dan langsung mengunci pergerakan pemuda itu tanpa peduli jika kami sudah mengusik kerapian di stasiun.
"Apa-apaan ini?!"
Dia berteriak, kupikir Kazuma menindihnya terlalu kuat sehingga raut kesakitan terlihat jelas di wajahnya. Rasa lega saat pemuda itu berhasil tertangkap seketika merosot karena kami salah sasaran. Keadaan terlanjur panik, mataku bergerak liar mencari keberadaan penjahat yang sebenarnya. Tanpa pikir panjang dan mengabaikan susunan kata-kata permintaan maaf kepada pemuda di bawah lutut Kazuma, aku menarik rekanku itu untuk berdiri.
"Kau salah orang!"
"Hah?! Kau-"
"Tidak ada waktu," sergahku. "Maafkan kami!" Lalu buru-buru membungkuk dalam.
Kazuma sempat menggaruk tengkuk lalu berkata, "tolong telepon polisi, kami membutuhkan bantuanmu. Terima kasih." Setelahnya dia menyusulku.
Kondisi Stasiun Fuchu pagi ini sangat ramai karena bertepatan juga dengan akhir pekan. Kami harus pandai berkelit di antara orang-orang jika ingin menghindari saling tabrak, meski begitu ini sangat menyulitkan. Pemuda itu sudah membaur dengan keramaian, tapi aku masih ingat dengan jelas ciri-cirinya. Dia memakai jaket hitam, topi hitam, celana biru kusam, serta menggendong tas abu-abu dari bahan parasut. Tidak terlalu tinggi, sejajar denganku dan Kazuma. Cara berlarinya sedikit pincang entah karena luka atau cacat yang mendera kaki kanannya. Perkiraanku anak itu bersembunyi karena untuk berkelit dengan kaki normal saja begitu susah mengingat keadaan sekitar yang ramai.
Kami menyusuri peron untuk jalur Nambu yang akan mengarahkan ke Noborito hingga Kawasaki, sesuai tujuanku dan Kazuma sebelumnya. Kenapa aku mengarah ke sana? Pemuda dan gadis itu mengantre di peron yang sama denganku, jadi asumsiku berpikiran jika mereka juga akan pergi melewati jalur Nambu.
"Apa kau tahu dia bersembunyi di mana?"
Aku berhenti, menoleh pada Kazuma. "Kita belum mengecek toilet tapi aku khawatir dia akan berbalik arah untuk keluar atau naik kereta jalur Musashino."
"Kemungkinan terburuk dia sudah keluar dari stasiun ini," timpal Kazuma. "Baiklah, kau cari ke dalam toilet aku akan keluar lagi. Kita bertemu di dekat pintu masuk."
Dia lekas meninggalkanku dan menghilang di antara orang-orang. Di kejauhan aku melihat gadis tadi dan dua petugas keamanan stasiun datang mendekat. Aku mengabaikan mereka lebih dulu dan langsung masuk ke area toilet laki-laki. Ada beberapa bilik yang pintunya tertutup, membuatku harus memutar otak untuk mengetahui apakah orang itu ada di dalam sana atau tidak.
Hingga dua petugas keamanan tadi datang dan membisikkan nama Satoru Takahiro yang merupakan pelaku tersebut. Aku disuruh mundur karena memang sudah tidak mempunyai wewenang untuk mendobrak kamar mandi atau melakukan penggeledahan lebih lanjut.
"Satoru Takahiro-san, bisakah Anda keluar?"
Tidak ada jawaban, toilet itu masih sunyi. Satu persatu bilik mulai terbuka dan tanda-tanda keberadaan Satoru belum terlihat. Aku mulai sangsi dan langsung mengambil ponsel untuk menghubungi Kazuma. Namun rupanya, anak itu menghubungiku lebih dulu.
"Aku butuh kau datang ke dekat peron jalur Nambu 4, dia berada di seberang! Sepertinya akan masuk ke kereta Musashi-Kosugi!"
Aku bergegas keluar dari toilet setelah Kazuma memutuskan panggilan ponselnya, dua petugas keamanan tadi masih memeriksa area tersebut. Di luar aku berpapasan dengan gadis itu, dia tampak lelah menunggu.
"Tunggulah di sini!" ujarku kemudian pergi.
Mendongak, waktu kedatangan kereta kurang dari dua menit di layar pengumuman. Sementara jarakku ke sana lebih jauh daripada Kazuma yang berada tepat di seberangnya, tapi tidak mungkin jika Kazuma harus menyeberangi rel untuk menangkap orang itu. Aku memutar otak di tengah-tengah aksi menghindari ajang menabrak orang. Setelah hampir kehabisan napas, aku melihatnya. Dia berdiri, menunduk untuk menyembunyikan wajah. Pergerakan yang tiba-tiba akan membuatnya lari kembali, jadi aku memutuskan untuk berjalan secara perlahan dan membaur dengan penumpang lain. Meski beberapa kekacauan yang sudah terjadi mengurangi ketenangan di tempat ini, asingnya Tokyo masih bisa kurasakan. Orang-orang itu tidak peduli jika ada seorang penjahat yang sedang berkeliaran dan membaur di antara mereka, jadi satu sisi aku beruntung bisa membaur dengan sedikit aman untuk menangkapnya nanti.
Dia berada di depan seorang kakek yang membawa sebuah tongkat penyangga 4 kaki dan seorang gadis remaja yang kupikir adalah cucunya. Aku mendekat karena tidak ada lagi penumpang yang mengantre di belakang mereka.
"Permisi," kataku kepada gadis itu.
Saat dia menoleh, sang kakek juga menoleh. Aku membungkuk sejenak lalu berdeham. "Aku mempunyai urusan dengan orang ini," ujarku dengan menunjuk pemuda itu. "Maaf mengganggu antrean kalian."
Baiknya, mereka mengerti dan mempersilakanku untuk memutus antrean. Tanpa tedeng aling-aling, aku menarik tas pemuda itu hingga dia tersungkur ke belakang. Tentunya mendapat reaksi terkejut yang sangat kentara dari siapa saja yang berada di sekitar kami-termasuk kedua kakek dan cucu tadi.
Begitu Satoru hendak bangkit, si kakek tanpa kuduga mengangkat tongkatnya dan berhasil membuat anak itu jatuh kembali. Aku menariknya dengan susah payah ke tempat yang sedikit lengang dan menyudutkannya di dinding peron.
"Merepotkan!" Dia mengerang dan menatapku nyalang.
Aku berjongkok, menekan dadanya lebih rapat. "Berhentilah, kau sudah ditangkap!"
Dia tertawa meledek. "Kau ini siapa, hah? Polisi? Atau cuma anak SMA yang pura-pura jadi pahlawan kesiangan? Lihat sekelilingmu, apakah ada yang bertepuk tangan? Kau sudah melanggar hukum dengan melakukan penyerangan tiba-tiba terhadapku!"
Aku menampik tangannya yang hendak menerjang kaosku. "Aku hanya warga biasa yang sialnya melihat sebuah aksi kejahatan."
"Hei, hei. Jika kau melepaskanku, aku akan memberimu video itu secara cuma-cuma. Jadi lepaskan aku!"
Mendecih, aku mencengkeram kerah bajunya hingga Satoru terbatuk. "Sampah sepertimu hanya memenuhi Jepang."
"Apa kau bilang?!"
"Kau tidak tuli."
Dia berbelit, kali ini tenaganya lebih besar dan aku tidak siap menerima serangannya. Satoru tiba-tiba saja menerjang dan menghadiahiku sebuah tinju hingga aku terjungkal. Rasanya pangkal hidungku kebas dan kepalaku mendadak berat.
"Enyahlah, sialan!"
Lagi, kali ini rahangku terasa ngilu karena tinjuan dari Satoru. Aku mendengar beberapa orang berteriak, hingga tiba-tiba saja tubuh Satoru yang tangannya sudah siap melayangkan tinju untukku lagi terdorong keras ke arah kiri.
"Jangan berpesta tanpaku, sialan!"
Kazuma rupanya. Aku meliriknya di sela-sela rasa pusing yang mendera, yang membuatku merasa sangat payah karena tidak bisa berkelahi lebih lama. Beberapa orang membantuku untuk menepi dan bersandar di dinding peron, sedangkan petugas keamanan yang datang melerai Kazuma yang berkelahi dengan Satoru. Kejadian ini membuat keberangkatan kereta menuju Musashi-Kosugi tertunda, orang-orang memusatkan perhatian kepada kami. Ada juga yang merekam keributan dan itu sudah cukup untuk membawa pemikiran bahwa tidak ada lagi akhir pekan untukku dan Kazuma yang menanti kami di kemudian hari.
"Hoku-chan, kau terlihat menyedihkan," ujar Kazuma yang entah sejak kapan sudah berjongkok di depanku.
Aku mendecih, mengurut pangkal hidung. "Diamlah, mendapatkan tinjuan ternyata sangat menyakitkan."
"Tenang saja, aku sudah membuat tulang hidungnya patah dan satu rusuknya retak. Kau bisa berterima kasih kepadaku nanti."
"Lebih parah dari punyaku rupanya. Terima kasih," balasku.
Dia membantuku berdiri lalu memapahku. "Mereka meminta kita memberikan keterangan agar kejadian ini tidak berimbas ke keadaan yang lebih gawat."
Aku menurut dan mengikuti Kazuma beserta kedua petugas tersebut ke pos keamanan stasiun. Di sana gadis tadi menunggu dan langsung mendekat ke arah kami begitu melihat sosok Satoru sudah berhasil diringkus.
"Te-terima kasih."
"Tidak apa-apa, ini tugas kami untuk memberikan bantuan. Maaf sedikit lama, dia merepotkan," jawab Kazuma.
Gadis itu lalu menghampiriku yang terduduk di kursi dengan menyodorkan satu botol mineral dan sapu tangan. "Maafkan aku," katanya. "Kau harus terluka seperti ini."
Aku menggeleng. "Apakah kau mengenalnya?"
Dia mengangguk lalu melirik ke dalam ruangan tempat Satoru sedang berdebat sesuatu dengan Kazuma. "Dia adalah kenalanku. Takahiro-san baru kukenal satu bulan terakhir, aku mengira dia adalah orang baik karena memang saat aku berkenalan dengannya dia sangat baik terhadapku."
"Lalu bagaimana semua ini bisa terjadi?"
Menghela napas, gadis itu tampak sedikit enggan untuk bercerita. Saat aku hendak menghentikannya, dia menolak dan mengangguk tanda baik-baik saja. "Sebelumnya, namaku Yamabe Saki. Kami membuat janji temu di sini dan berencana untuk pergi ke Shibuya hingga nanti sore. Takahiro-san tiba-tiba saja meminjam ponselku untuk menghubungi seorang temannya. Aku tidak menaruh curiga sama sekali, hingga saat aku berdiri di depannya, aku mendengar suara kamera yang berbunyi. Dia tidak tahu jika ponselku tidak dalam mode senyap, jadi aku langsung tahu.
Aku meminta ponsel itu, tapi dia menolak dan mengancam akan menyebarkannya ke sosial media jika aku tidak menuruti kata-katanya. Dia bisa berubah menjadi orang yang sangat menyeramkan."
Aku mencerna semua kata-katanya meski kepalaku semakin berdenyut. Baiklah, ini adalah masalah tosatsu yang sebenarnya dan terdengar menarik untuk dikupas lebih dalam. "Apa yang dia inginkan?"
Yamabe menunduk, kedua tangannya meremas rok. Sebuah gestur yang membuatku langsung menghentikan kalimat apapun yang akan dia lontarkan. "Lupakan pertanyaanku. Kau baik-baik saja sekarang, video dan foto itu tidak akan tersebar. Percayalah."
Dia mengangguk dan mengulas senyum tipis. Setelahnya, seorang petugas memanggil gadis ini masuk lalu aku melihat Kazuma keluar dengan kedua alis menyatu.
"Kau kenapa?"
Dia duduk di sebelahku, mengerang. "Aku ingin sekali meremukkan tulang rusuknya lagi agar bocah sialan itu menyesal sekarang juga."
"Apa yang terjadi?"
Kazuma melirikku tajam. "Nanti aku bercerita. Sekarang aku ingin makan yang pedas-pedas, kepalaku ingin meledak. Aku yang akan membayar," katanya lalu bangkit.
"Apa mereka tidak memerlukan penjelasan dariku, Kazuma?" Aku masih bergeming, memandang ke dalam ruang keamanan.
Kazuma menepuk bahuku lalu menggeleng. "Aku tidak mengizinkan mereka memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada orang yang babak belur."
"Sialan!"
"Sudahlah, Hoku-chan! Ayo makan!"
🚔🚔🚔
"Kau tahu apa alasan Satoru sialan itu ketika mereka menanyakan alibinya tadi?"
Kazuma mulai berbicara setelah meneguk minuman berkadar alkohol super rendah miliknya. Posisi kami masih berada di sebuah kedai ramen yang baru saja buka dan kebetulan masih sepi pengunjung. Aku menggeleng untuk menanggapinya.
"Dia bilang dia melakukannya untuk uang. Video dan foto milik gadis itu akan dijual ke seorang kenalannya di Shibuya. Setelah itu, dia akan memanfaatkan Yamabe-chan untuk hal yang sama lagi agar dia tetap bisa mendapatkan uang. Kau tahu, semacam pemerasan dan paksaan dengan ancaman. Jika bukan gara-gara kau yang mengetahui kejadian itu, bisa dipastikan Yamabe-chan akan mengalami masalah besar sekarang."
Sesuai motif dasar pelaku kejahatan tosatsu dan cyber crime yang dijabarkan Kamiya semalam, semua itu murni demi uang. Entah melalui paksaan yang terjadi kepada si pelaku atau murni kehendak dirinya sendiri untuk mencari kepuasan, yang jelas tipe kejahatan seperti itu sebagian besar memang demi menghasilkan materi saja. Sebenarnya kurang apalagi industri pornografi di negara ini sehingga kejahatan tidak bermutu seperti itu masih terjadi? Aku tidak berniat untuk membenarkan dilegalkannya hal tersebut oleh pemerintah, tapi setidaknya para pelaku tosatsu tidak perlu susah payah untuk melakukan kejahatan seperti itu. Dia tinggal datang ke tempat prostitusi, menyewa lusinan perempuan, dan selesai. Tanpa harus menjadikan seorang gadis atau wanita baik-baik sebagai korban.
"Mereka benar-benar tidak berguna." Aku menyeletuk setelah bersusah payah meredakan rasa pedas dari ramen yang kusantap.
"Ah, aku jadi teringat perkataan Takechi semalam."
"Dia bilang apa?"
Kazuma mendorong mangkuknya yang sudah kosong dan menggenggam gelasnya. "Kau ingat gadis yang dicopet bersamaan denganku tempo hari lalu? Rupanya gadis itu adalah sepupu Takechi. Semalam dia mengatakan jika gadis itu sedang mengalami perundungan yang mengarah ke pelecehan seksual di akun SNS miliknya sendiri."
"Kasus cyber yang lain, ya."
Dia mengangguk. "Aku hanya menyuruh Takechi untuk tetap mengawasi akun milik sepupunya itu dan segera bertindak kalau-kalau ada kejadian fatal lain."
"Apa Takechi atau sepupunya itu tahu siapa pelakunya? Jika mereka tahu, maka akan lebih mudah bagi polisi untuk menangkapnya."
"Kurasa dia belum tahu siapa pelakunya. Akan kutanyakan nanti," jawab Kazuma. "Omong-omong, apakah kau masih ingin pergi ke Shibuya?"
"Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan di sana?"
"Karena kita bermain kejar-kejaran tadi, waktu yang tersisa sepertinya tidak akan cukup jika harus mengunjungi semua tempat di list yang sudah kutulis. Mungkin melihat-lihat bagaimana keadaan pusat Tokyo saja. Lagipula aku lama tidak berkunjung ke sana."
"Omong-omong, boleh aku bertanya suatu hal padamu?"
Kazuma mengangguk dengan masih memasang senyuman lebar seperti manusia tanpa beban. "Kau seperti seseorang yang ingin bertanya masalah asmara, Hokuto. Bertanyalah, aku temanmu."
"Jika kau hidup untuk memenuhi ekspektasi keluargamu saja, apakah itu sebuah kesalahan?"
"Ternyata lebih serius dari yang kukira," balas Kazuma sembari menggaruk tengkuknya.
Dia mendongak sejenak lalu kembali fokus ke jalan agar tidak menabrak pejalan kaki lainnya. Aku tahu percakapan ini seharusnya tidak terjadi di tempat umum, tapi percayalah, distraksi dari kebisingan di sekitar tidak terlalu menuntutku untuk memberikan reaksi berlebihan-seandainya percakapan ini semakin serius.
"Ekspektasi seperti apa yang kau maksud di sini? Seperti kau harus menjadi manusia untuk dimanusiakan? Atau sekadar memenuhi mimpi orang lain yang tidak pernah bisa mereka wujudkan?"
Dari mana anak ini tahu?
"Kutebak kau berada di posisi itu. Iya, kan?" Kazuma lalu tertawa hambar. Dia memutuskan untuk berhenti dan menepuk bahuku agar kami jalan beriringan. Aku tampak seperti adiknya jika seperti ini.
"Aku tidak tahu apakah semua yang sedang kita lakukan ini sepadan dengan mimpi itu atau tidak, beberapa dari mereka kadang tidak melihat bagaimana perjuangan kita selain hasil akhirnya."
"Kau benar, Hokuto. Ada yang pernah bilang padaku, sesulit apapun hidup yang kita jalani, kita harus tetap menikmatinya, hidup di dalamnya, dan yang terpenting tetap menjadi diri sendiri. Karena sebelum orang lain menikmati, kita sendirilah yang lebih dulu akan menuai hasilnya. Entah baik atau buruk, itu tergantung usaha kita. Besar kecilnya hasil yang didapatkan bukankah lebih baik daripada tidak menghasilkan apa-apa? Orang hanya bisa menilai dan mengoceh ini itu karena mereka tidak pernah menjalani hidup yang sama satu sama lain. Paling tidak kita jadi tahu bagaimana rasanya berjuang, bukan?"
Aku memikirkan ucapan itu tanpa niat membantah. Kupikir menjadi seorang Kazuma sangatlah beruntung karena dia dikelilingi oleh orang-orang yang mau memberinya pelajaran hidup. Aku tidak ingin membandingkan keluargaku dengan keluarganya, karena bagaimana pun latar belakang kami berbeda dan itu tidak akan ada gunanya.
"Pasti dia adalah orang yang berharga untukmu, ya?" Aku iseng bertanya tapi respon Kazuma di luar dugaan, dia menunduk untuk menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu tersenyum samar begitu mendongak.
"Sudah hampir terlambat, ayo."
Setelah itu tidak ada percakapan di antara kami. Aku memutuskan untuk mengikuti Kazuma ke Shibuya. Jujur, aku tidak pernah pergi ke pusat Tokyo seperti Shibuya, Shinjuku, atau manapun itu. Mungkin kau bisa menganggapku sebagai manusia pedesaan yang super kolot dan tidak tahu cara hidup di dunia modern ini. Aku tidak peduli dengan kehidupan mewah dan hiruk pikuk di luar Kobayashi. Terlalu melelahkan, jemu, dan menyeramkan untuk diikuti. Aku tidak cocok dengan kehidupan seperti itu, aku hanya ingin ketenangan dan rasa damai. Setidaknya untuk kedamaian jiwaku sendiri, aku tidak salah, kan?
Kami memutuskan untuk berangkat ke Shibuya di sisa waktu kurang dari 5 jam hingga makan malam tiba. Kazuma bilang dia ingin berkeliling di sana untuk menyantap daging sapi Wagyu-yang aku tahu reputasi daging sapi tersebut terus mengalami perkembangan, bahkan di luar Jepang, harganya memerlukan diri kita untuk merogoh kocek lebih dalam. Dia juga ingin pergi ke Torikatsu Chicken untuk menutup perjalanan sore kami nanti. Kazuma adalah manusia yang isi otaknya dipenuhi makanan, satu fakta lain yang baru kuketahui.
Sementara aku, aku hanya penasaran dengan keramaian di Shibuya Crossing dari atas gedung Shibuya Scramble yang terkenal itu. Ingin melihat orang-orang "berenang" di penyeberangan tersebut. Setelah itu, aku tidak tahu ingin melakukan apa. Mungkin menjadi pengikut dan berakhir dengan lelah yang mendera.
Kereta yang membawa kami ke Shibuya kini berhenti di Stasiun Musashi-Mizonokuchi dan kami harus berjalan ke platform 4 untuk berpindah jalur Den-en-toshi agar tiba ke Stasiun Shibuya. Suasana menjadi lebih ramai, tapi ekor mataku menangkap pemandangan lain. Seorang gadis yang memakai seragam SMA terlihat menangis. Masalahnya, sejak kami menginjakkan kaki di gerbong, aku sudah melihatnya seperti orang yang diikuti masalah.
"Hoku-chan, kau baik-baik saja? Sejak tadi kau seperti manekin berjalan."
Aku mengerjap dan mengalihkan pandangan dari gadis itu. "Apa kau bisa menebak jalan pikiran manusia?"
Kazuma menoleh dengan kedua alis yang terangkat. Apakah pertanyaanku aneh?
"Sudah kuduga kau tidak baik-baik saja. Baiklah, ayo pu-"
"Ck! Lihat," sergahku dengan memukul bahunya agar menoleh ke arah gadis yang kini menangis sesenggukan di kursi penumpang.
Kazuma secara spontan menegakkan punggung, aku malah menariknya agar tidak mendekat. "Jangan berbuat yang tidak penting. Kau tidak mengenalnya dan dia tidak mengenal kita. Dia bisa melaporkanmu, bodoh."
"Oi, lalu kau ingin kita melakukan apa? Akrobat? Sirkus? Sulap? Atau melawak?"
Aku mengusap kening, berbicara dengan bocah ini perlu kesabaran lebih. "Diam saja dan awasi."
"Aku takut dia kerasukan Sadako atau setan sejenisnya," canda Kazuma yang membuatku meneguk ludah.
"Haha, kawaii na."
Pada akhirnya yang kami lakukan hanya mengawasi gadis itu dari kejauhan. Aku mengamati keadaan sekitar dan tidak ada yang terlihat ingin peduli dengannya. Bahkan seorang wanita setengah baya yang duduk di sampingnya seolah menganggapnya tidak ada di sana. Hanya seorang anak kecil perempuan yang beberapa kali mencoba memberitahu ibunya bahwa gadis itu sedang menangis. Sebuah kemurnian yang terabaikan, aku hanya bisa tertawa miris dalam hati.
Sekitar 18 menit kemudian kereta berhenti, kami tiba di Stasiun Shibuya. Penumpang berbondong-bondong keluar gerbong, termasuk aku dan Kazuma. Saat aku ingin melihat keadaan gadis tadi, sialnya dia sudah tidak ada-membaur dengan keramaian. Ah, mungkin memang bukan urusan kami dan tidak baik jika memikirkan orang asing yang tidak dikenal terlalu lama.
"Shibuya! Kami datang!"
Seruan Kazuma menarikku pada kenyataan. Keramaian dan segala hiruk pikuk cengkerama manusia kini tersuguh di depan kami. Dua anak muda yang berkelana setelah melakukan aksi penangkapan seorang penjahat kelas teri. Menarik tapi aku bergidik geli memikirkan kiasan tadi.
"Hora! Kau bisa bersenang-senang sepuasnya di sini, Hokuto! Lupakan tugas di akademi, galaknya Aoyama-san, dan nasi dingin di kantin. Ini akhir pekan, jadi nikmatilah!"
"Baiklah, baiklah."
Tiba-tiba saja Kazuma memukul punggungku dengan begitu keras. "ITTA!"
"Bersemangatlah sedikit! Kau terlihat menyedihkan dengan wajah tertekuk seperti itu!"
"Berisik, berhentilah mengoceh. Kau seperti bocah," timpalku lalu meninggalkan Kazuma, tapi mendadak aku tidak tahu arah. "Na, ke mana tujuan kita?"
Tawa meledek anak itu memecah di belakang sebelum dia mendahuluiku untuk berjalan membelah antrean manusia di bangunan stasiun. Seperti tujuan awal, Kazuma memaksaku untuk menyantap daging sapi Wagyu. Padahal perutku masih sangat kenyang akan ramen yang sebelumnya kami santap. Tentu saja aku memesan porsi kecil. Anak itu tidak usah kau tanyakan.
"Kau tahu mitos soal daging wagyu ini, Hokuto?"
"Jadi sekarang kau ingin mengajariku soal mitos tentang daging sapi?"
"Bodoh! Bukan seperti itu." Dia mengumpat. "Kita harus mengetahui satu atau dua informasi tentang makanan yang akan kita makan. Daging ini bukan sembarang daging sapi olahan yang bisa kau temukan di konbini 24 jam."
"Baiklah, mari kita dengarkan." Aku melahap satu daging yang menurutku memang sangat lembut ini.
Kazuma berdeham dan dari situ aku tahu penjelasannya akan panjang. "Kakekku bilang, anak sapi penghasil wagyu akan diberi makan secara khusus dan spesial. Mereka juga akan memakai jaket ketika musim dingin tiba-"
"Sapi memakai jaket? Memangnya ada pakaian sejenis itu untuk seekor sapi?" potongku sedikit heran.
"Makanya dengarkan dulu ceritaku sampai selesai! Aku bahkan baru mulai, tapi kau sudah bertanya. Sapi-sapi pilihan itu berada di peternakan selama 7-10 bulan sebelum dilelang dan diletakkan di peternakan khusus untuk proses penggemukan. Mereka akan dibesarkan hingga mencapai bobot 700 kilogram, kau bayangkan, betapa besarnya mereka! Dan itu akan memakan waktu 3 tahun hingga binatang itu mempunyai kadar lemak hingga 50 persen. Tidak sampai di situ, mereka pun diberi diet ketat dengan makanan berupa rice straw-"
"Baiklah cukup materi mengenai sapi, Kazuma. Selesaikan makananmu dan ayo kita pergi dari sini, jangan membuang waktu."
"Ck! Kau sama sekali tidak seru."
"Ya, terima kasih."
Begitu Kazuma diam untuk melanjutkan makan, aku mendongak untuk menatap layar televisi yang secara bersamaan menayangkan berita langsung. Seorang reporter laki-laki tampak membelakangi sebuah gedung dan kerumunan manusia. Aku menyipitkan mata begitu kamera stasiun televisi itu menyorot ke arah atas dan memperbesar tangkapannya. Ketika objek yang menjadi titik sorot itu semakin jelas, hatiku mencelos. Seakan jatuh dari ketinggian hingga membuatku seperti lupa untuk bernapas.
"I-ini bohong, kan?"
"Hah?"
Telunjukku tanpa sadar bergetar saat mengarah ke layar televisi untuk memberitahu Kazuma. Anak itu bahkan sampai meletakkan sumpitnya dengan kasar dan bergegas menuruni kursi untuk berlari ke konter kasir guna membayar.
"Cepat, Hokuto!"
Kami seperti diburu oleh waktu untuk tiba ke lokasi yang bodohnya tidak kami pastikan terlebih dulu. Namun, jika terlambat ... ah! Tidak, tidak! Jangan melompat dulu, gadis bodoh!
Baik aku maupun Kazuma mencari gedung yang berada di layar televisi itu secara acak. Kami nyaris buta arah dan tidak menemukan petunjuk apapun sebelum suara sirine ambulans memecah jalanan Shibuya.
"Ke sana!"
Kami mengikuti ke arah perginya ambulan tersebut. Aku tidak tahu di daerah mana, yang jelas kami tidak melewati Shibuya Crossing atau gedung-gedung terkenal lain di pusat kota. Hingga suara sirine polisi maupun ambulan terdengar semakin jelas dan beberapa orang juga terlihat mengarahkan kamera ponsel mereka ke atas. Aku membungkuk sejenak untuk mengatur napas, dan saat aku mendongak teriakan-teriakan itu memberi tanda jika kami terlambat.
Aku mendesak masuk di antara kerumunan, tapi ditahan oleh seorang polisi untuk tidak memasuki area yang mulai berhias pita kuning. Petugas medis menutupi akses kami untuk melihat apa yang tengah terjadi terutama mengenai kondisi korban. Aku memang tidak melihat gadis itu terjatuh, tapi pekikan orang-orang tadi menandakan jika keadaannya sangat parah dan mereka semua terlambat menyelamatkannya. Andai saja aku lebih peka untuk sekadar bertanya apakah dia tengah dirundung masalah ketika kami bertemu di kereta tadi, mungkin saja ini tidak akan terjadi. Namun, tidak ada yang perlu disalahkan di sini selain apa atau siapa penyebab utama gadis itu mengakhiri hidupnya. Sisi lain, ada dorongan yang memintaku untuk menyelidikinya, tapi aku tidak tahu ingin memulainya dari bagian mana. Mungkin Kazuma mempunyai ide untuk-tunggu di mana anak itu?
"Oi!"
Dia tidak menoleh dan tetap menjauh dari tempat kejadian. Kedua tangannya terkepal dan anak itu mengabaikan protes orang-orang yang ditabraknya. Kazuma mengarah ke stasiun Shibuya, kupikir dia ingin kembali ke akademi.
"Kau mau ke mana?" tanyaku yang kini sudah menyusulnya.
"Pulang."
"Tapi ...." Ucapanku terhenti, menguap bersama teriknya Shibuya siang ini.
Biasanya Kazuma yang menarikku dalam setiap perkara yang terjadi, tapi kenapa dia malah menghindar? Aku terdiam sebentar, menatap punggung anak itu yang perlahan menghilang ditelan lalu lalang orang kemudian menoleh kembali ke kerumunan yang sudah terlihat seperti semut di depan sana. Mengingat bagaimana antusiasnya ke sini dan melihat bagaimana tindak tanduk anak itu sekarang, aku tahu sesuatu yang salah tengah terjadi kepadanya.
🚔🚔🚔
Selama perjalanan kembali ke akademi, Kazuma tidak terlalu banyak merespon pertanyaanku. Kami lebih banyak diam dalam kesibukan pikiran masing-masing. Dia sepertinya juga enggan membahas masalah tadi.
"Kau baik-baik saja?"
"Memang aku kenapa?"
Pertanyaan dijawab pertanyaan, jelas jawabannya adalah tidak. Pada akhirnya aku memutuskan untuk diam karena meminta orang lain bercerita bukan merupakan hal yang akan kulakukan di tempat pertama. Kami tiba di akademi dua jam sebelum waktu makan malam dan Kazuma langsung menghilang entah ke mana setelah berpamitan ingin pergi ke toilet terlebih dulu.
Lorong pada bangunan utama akademi begitu sepi karena memang hari ini adalah hari libur. Otakku masih sibuk memikirkan langkah pertama untuk memulai penyelidikan ini selain menyusuri laman internet. Beruntung, ruang komputer tidak terkunci dan tidak ada larangan bagi siswa di sini untuk memakai fasilitas internet-kecuali untuk hal-hal negatif tentu saja. Hanya ada seorang siswi di sana begitu aku datang dan dia tidak terpengaruh karena matanya menatap nyalang layar komputer. Sepertinya tengah menyelami sebuah hal yang sangat serius karena keningnya mengerut.
Pertama, aku mencari berita yang memuat kasus bunuh diri itu. Rupanya, kejadian nahas tersebut sudah menjadi tajuk berita utama di berbagai artikel.
Seorang siswi SMA X bunuh diri di Shibuya. Lagi-lagi kasus perundungan?
Bunuh diri, siswi SMA X tewas mengenaskan.
Aku membuka salah satu artikel tersebut. Foto seorang gadis berseragam SMA terpajang bersebelahan dengan tempat kejadian perkara. Matsuda Kanna, 16 tahun, siswi SMA X yang lahir di Chiba. Dia adalah anak yang manis dan terlihat sangat polos di foto itu.
Hal pertama yang kurasakan adalah kehilangan dan penyesalan. Bukan apa-apa, melihat seorang anak mengakhiri hidup rasanya ingin sekali memaki kejamnya dunia untuk mereka. Siapa pun tahu, berdasarkan data dari kementerian kesehatan dan kesejahteraan Jepang, jumlah kasus bunuh diri di negara ini mencapai angka 20.830 kejadian. Sementara data dari Kementerian Pendidikan Jepang, kasus bunuh diri anak-anak juga mencapai angka tertinggi selama 4 dekade terakhir.
Di artikel yang kini terbuka di layar komputer, jurnalis tidak memuat secara rinci alibi bunuh diri gadis itu pun dengan alasan kematiannya. Hanya ada sebuah pesan kematian yang sepertinya akan dipublikasikan melalui tayangan televisi seiring penyelidikan kasus itu nanti. Aku memutuskan untuk mencetak beberapa artikel yang sekiranya bisa kugunakan untuk mencari tahu informasi lebih rinci mengenai dirinya.
Menekur di depan layar komputer dan menyelami internet membuat siapa saja tidak sadar akan waktu. Tidak terasa aku sudah duduk di kursi hingga punggungku kaku dan mataku mulai memanas. Jarum jam menunjukkan kurang dari 15 menit hingga jam makan malam tiba. Setelah artikel yang kuinginkan sudah di tangan, aku keluar dari ruangan ini. Saat melewati lorong yang berisi kantor-kantor staff, ada satu ruangan yang sedang terisi. Mungkin Sakamoto sedang menganalisis profil-profil penjahat yang menjadi target kepolisian, aku tidak begitu peduli dan memilih untuk kembali ke kamar asrama.
Begitu aku masuk, Kazuma terlihat merenung di jendela. Anak itu tidak tertarik untuk mencari tahu saat lembaran artikel kuletakkan di meja.
"Ada yang ingin kubicarakan," ujarku untuk memancingnya berbicara.
Dia melirik artikel itu lalu menghela napas. "Bukan wewenang kita untuk mengungkapnya, Hokuto. Kita tidak bisa melakukan apa pun."
"Hah?"
"Kau ingin menyelidiki penyebab kematian anak ini, kan? Kuingatkan lagi, ini bukan urusan kita." Dia meraup kertas itu dan melemparkannya kembali ke meja.
"Sejak kapan kau ragu-ragu seperti ini?"
Kazuma berhenti di ambang pintu, aku bisa mendengarnya mendecih pelan di sana. "Lakukan apa pun yang kau mau. Sampai jumpa di kantin," katanya kemudian pergi.
Sejujurnya, Kazuma benar. Hal ini sangat jauh dari jangkauan kami yang masih merupakan seorang siswa akademi kepolisian. Ini semua di luar tanggung jawab kami, di luar wewenang kami, dan sama sekali bukan tugas kami. Namun, di satu sisi, aku hanya ingin lebih berguna sebagai seorang manusia. Bukan lagi untuk hidup di dalam ekspektasi orang tua, tapi untuk diriku sendiri.
Aku meraup lagi kertas-kertas itu, mengamati foto korban lalu menghela napas. Mandi mungkin akan membuang beban pikiran barang sedikit, tapi aku tidak yakin.
Kantin tidak terlalu ramai, banyak dari kami yang tidak terlalu ingin menikmati makan malam di sini setelah hari libur. Aku terpaksa karena memang sudah rencananya akan malam di kantin akademi. Di meja yang biasanya menjadi langgananku duduk, hanya Takechi dan Kamiya yang menempati.
"Yoshino-san," Takechi menyapa, sedangkan Kamiya hanya melambaikan tangan serta tersenyum.
"Apa kalian tidak melihat Kazuma?"
"Bukankah kalian seperti amplop surat dan perangko?"
Aku menatap sinis Kamiya yang mengedik, Takechi terkekeh di kursinya. "Aku tidak bertemu dengan anak itu setelah tadi berpapasan di lorong. Kawamura-san terlihat seperti orang tertekan, apakah terjadi sesuatu?"
"Apa kalian tahu berita bunuh diri seorang gadis di Shibuya siang ini?"
Mereka saling tatap lalu mengangguk begitu menatapku.
"Aku dan Kazuma berada di tempat kejadian, dan setelah itu Kazuma seperti orang yang dipenuhi beban."
"Kau serius?!" Kamiya menyergah, nyaris tersedak minuman. "Lalu bagaimana?"
Aku sengaja tidak langsung menjawab, tidak mungkin juga aku memberitahu mereka tentang niatku menyelidiki korban. Nasi kari kentang dan ayam yang mulanya terlihat lezat, sudah tidak terlalu nikmat di mataku.
"Yoshino-san?"
"Tidak ada yang bisa kami lakukan. Mungkin sekarang polisi sedang mengusut kasusnya."
Kamiya merogoh ponselnya dan mungkin saja sedang menyelami internet untuk mencari tahu perkembangan terkini dari kasus tersebut. Takechi melongokkan kepalanya untuk melihat layar gawai Kamiya, sedangkan aku mengunyah tanpa minat nasi di dalam mulut. Suasana kantin yang tadinya lengang, kini mulai terganggu saat suara gaduh menggema dari lorong yang mengarah ke kantin.
"Hentikan! Hentikan!"
"Apa sekarang kau menyesal, hah?!" Seseorang menggertak yang mana langsung aku tahu bahwa itu Kazuma.
"Dia itu!"
Baik aku, Takechi, Kamiya buru-buru menghampiri kegaduhan itu. Kazuma ditahan seorang polisi dan dia memberontak, di depannya ada seorang petugas lagi yang membungkuk. Situasi macam apa yang sedang terjadi ini?
Takechi menarik Kazuma dan menahannya karena postur anak itu jauh lebih besar dari kami semua yang datang melihat.
"Kawamura-kun, kami benar-benar minta maaf. Kami tidak tahu jika semuanya akan berakhir seperti ini," ujar petugas yang tadi membungkuk.
Saat Kazuma akan membalas, Matsuda-san datang dan menyuruh kedua juniornya meninggalkan area itu. Polisi senior wanita yang menurutku sangat tegas setiap harinya tersebut, sedikit berbeda malam ini. Dia menghela napas panjang saat menatap Kazuma lalu menggeleng.
"Perbuatanmu layak untuk mendapatkan hukuman, Kawamura-san. Aku tidak bisa membantu kali ini," ucapnya sembari melihat wajah kami, "begitu pula dengan mereka."
Kazuma mendecih, dia berhasil melepaskan diri dari Takechi dan menghadap Matsuda-san. "Hukuman yang akan saya terima tidak akan sebanding dengan penyesalan mereka tentang kejadian itu. Saya harap Anda juga tidak menyesal," katanya kemudian pergi meninggalkan kami.
"Kawamura-san!"
Matsuda-san menyusul Kazuma, meninggalkan kami bertiga yang kini saling tatap kebingungan. Kejadian itu? Apakah ini ada hubungannya dengan kasus Matsuda Kanna? Jika iya, aku tidak bisa tinggal diam. Mungkin menemui salah satu dari senior kami akan membawaku untuk menemukan jawabannya.
Aku sempat mendengar Kamiya berseru frustrasi karena tingkah aneh kami semua ketika aku meninggalkan mereka berdua untuk mencari keberadaan kedua polisi tadi. Meski begitu, baguslah dia tidak menyusul karena dilanda rasa penasaran.
Mereka berdua terlihat sedang berdebat di depan pintu keluar. Aku tidak terlalu mendengar pembicaraan mereka karena terlalu pelan, yang jelas bukan masalah sepele jika dilihat dari gestur mereka.
"Ano," potongku.
"Aku tidak ingin membahasnya lagi." Salah satu dari mereka keluar dan menutup pintu di depan kami dengan sedikit kasar.
Setelah diam beberapa detik, petugas itu berdeham untuk meladeniku. "Aku tahu kau ingin bertanya mengenai kejadian yang Kawamura maksud. Kalian sudah terlibat terlalu banyak dengan masalah yang seharusnya bukan menjadi urusan kalian."
"Aku belum bertanya mengenai apa pun, tapi baiklah, mungkin kau bisa menjelaskan semuanya."
Dia mendengkus samar, menatapku dengan tatapan remeh. "Dasar junior keras kepala," keluhnya lalu berjalan mendahuluiku. "Ikut aku."
Aku mengekor, dia membawaku ke sebuah ruangan staff yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Ruangan ini terdiri dari meja-meja kerja perorangan, seperti untuk mengolah informasi dan data dari setiap kasus yang akan dipecahkan. Polisi ini meraup sebuah map cokelat di atas meja dan menyerahkannya kepadaku.
"Berita acara dari koban tempat Takahashi bertugas," ujarnya.
"Temanmu yang tadi?"
Setelah dia mengangguk, aku membukanya. Hanya ada satu lembar kertas di sana. Berisi tentang berita acara laporan atas nama Matsuda Kanna yang tercatat pada tanggal dua hari sebelumnya. Di kertas itu tertulis jika Matsuda Kanna mengalami kasus dugaan pelecehan seksual dengan tindakan perekaman dan pemotretan tak senonoh di tempat umum. Aku langsung tahu jika ini merupakan kasus tosatsu yang lain.
"Mengapa tidak diproses?"
"Kau tahu ada kejahatan yang lebih gawat untuk diproses."
"Hah?"
"Kau tidak akan paham sebelum menjadi polisi yang sesungguhnya, Yoshino."
Aku mengabaikan ucapannya itu dan menyipit saat membaca nama dari terduga pelaku.
"Polisi yang takut dengan seorang bocah. Apa-apaan?"
Dia merebut kertas itu dan menggantikannya dengan selembar foto. "Ueda Noya, 23 tahun. Hampir semua petugas koban di Fuchu tahu anak itu tidak akan mudah ditangkap, apalagi ini hanya kasus kecil."
"Kasus kecil kau bilang? Seorang anak SMA mati!"
"Oi! Kami lebih tahu dengan siapa kami berurusan! Ueda Noya tidak semudah menangkap penjahat kelas rendahan!"
Aku meremas lembaran foto itu. "Tapi tidak seharusnya kau mengabaikan aduan korban. Nyawa seseorang tidak sebanding dengan apapun di dunia ini."
"Bunuh diri sudah di luar kehendak kami."
"Gara-gara terabaikan, jelas iya itu gara-gara polisi."
"Jaga bicaramu!"
Aku mengacungkan foto itu tepat di depan wajahnya. "Jika aku bisa menangkap anak ini, bersujudlah di bawah kaki keluarga Matsuda Kanna!"
"Kau bercanda?"
Aku tak menjawab, lalu melenggang begitu saja dari ruangan itu.
"Oi, Yoshino! Ueda-gumi bukanlah lawan yang seimbang untukmu!"
Perkataan itu sempat membuatku berhenti melangkah, tapi ucapanku tidak bisa ditarik begitu saja. Persetan dengan mafia, yakuza, atau siapapun yang akan kuhadapi nanti. Dia yang menjadi targetku sekarang bukanlah seorang pria tua mesum keparat, melainkan seorang pemuda seumuran yang kurang ajar.
Hanya aku mendapatkan masalah di depan mata sekarang. Apakah Kazuma sudah berubah pikiran untuk menyelidikinya bersama denganku atau dia masih bersikap masa bodoh dengan kasus ini? Jawabannya adalah aku tidak tahu, sebab yang bersangkutan sudah mendengkur di atas ranjangnya begitu aku kembali ke kamar asrama.
Sekali lagi, berteman dengan Kawamura Kazuma seperti bermain teka-teki karena pikirannya adalah puzzle rumit yang tidak bisa ditebak.
🚔🚔🚔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top