CASE 4# THE UNDERCOVER SIN
"Tanpa sadar, kadang kau sendirilah yang memberikan penjahat itu sebuah kesempatan."
-Arcblood Phoenicis-
🚔🚔🚔
Tanganku masih terasa linu walaupun tidak sesakit saat berhadapan dengan Tanabe kemarin malam. Beban pikiran itu mendadak keluar dan membuatku lengah padanya yang memanfaatkan momentum dengan menggoreskan luka cukup dalam pada lenganku. Untung saja kasus itu berakhir dengan baik karena Hokuto menyudutkannya. Oh, kau harus melihat betapa menyeramkan wajah anak itu. Aku bahkan baru mendengar dia berbicara panjang dengan ekspresi dingin yang begitu menusuk. Lain kali aku harus berguru padanya, tapi biarkan kami menghadapi dua polisi di depan ini lebih dulu.
1 jam yang lalu kami diperintahkan untuk menghadap Sakamoto-san dan Aoyama-san di ruangannya. Aku memang terlihat baik-baik saja bahkan tersenyum di depan Hokuto sambil mengatakan bahwa kita tidak akan dikeluarkan dari akademi kemarin, tapi berhadapan langsung seperti ini membuatku seketika ingin mempelajari jutsu menghilang saja.
Aku juga manusia yang masih punya rasa takut tahu!
"Kalian tahu apa konsekuensi apabila melanggar peraturan di akademi ini, kan?" ucap Sakamoto-san sambil menatap kami.
"Ya, Pak!"
"Bertindak ceroboh dengan membahayakan nyawa diri sendiri dan orang lain, bolos saat jam pelajaran, menentang perintah instruktur, menurut kalian hukuman apa yang pantas kami berikan atas kesalahan-kesalahan fatal itu?"
Membayangkan aku akan dikeluarkan dan pulang ke rumah hari ini benar-benar membuat kesal. Hokuto di sebelahku juga terdiam, mungkin memikirkan hal serupa. Kenapa mereka senang sekali bertanya? Apa susahnya langsung mengatakan hukuman apa yang akan kami dapatkan? Merepotkan!
"Kami akan menerima konsekuensi apa pun yang pantas untuk kami dapatkan. Namun, kami tidak akan menyesal karena telah melakukannya," kataku yakin. Biar saja sekalian kena damprat daripada terus disudutkan seperti ini.
Sakamoto-san tersenyum, Aoyama-san melotot seperti hendak menerkamku. Macan saja tidak seseram itu saat menatapku di kebun binatang dulu.
"Tindakan kalian dalam menghentikan pelaku memang benar, tapi tidak dengan prosedur dan rencana sembrono seperti itu. Beruntung dia tidak memiliki keberanian lebih untuk membunuh atau lebih buruk melukai warga sekitar." Sakamoto-san menghela napas kemudian melanjutkan perkataannya yang membuat kami membeku sesaat.
"Baiklah, sepertinya aku bisa bernegosiasi dengan kepala sekolah."
"Jin-san!" sergah Aoyama-san.
"Aku tidak membela keduanya, tapi melihat kasus ini selesai lebih cepat daripada tindakan dari pihak kepolisian sendiri bukankah tidak terlalu buruk? Kurasa pihak mereka juga akan berpikiran sama sepertiku. Lagipula kau tahu di mana Tanabe karena Yoshino yang memberitahu posisi pencuri itu bukan, Ri-kun?"
Aoyama-san terdiam sambil membuang pandangannya ke luar jendela.
Sakamoto-san kembali menatap kami saat nyaris saja aku melompat karena terlalu senang.
"Kami memang sudah lama mengincar orang itu, tapi karena pencabutan tuntutan yang terus berulang, tidak ada yang bisa dilakukan lagi."
"Bukti dalam setiap kasus, baik pidana atau perdata merupakan hal sentral yang menjadi acuan dakwaan. Tanpa bukti ... mereka tidak bisa melaporkan tindak kejahatan yang terjadi dan beresiko terkena pasal penuduhan tanpa bukti oleh Junichi-san," papar Hokuto secara tiba-tiba.
Sakamoto-san mengangguk-angguk lalu berdiri dari kursinya. "Benar. Tidak sedikit dari para penjual yang mengadukan keresahan karena terus dirugikan. Ketiadaan saksi dan barang bukti yang kuat membuat mereka memilih tutup mulut dan melupakannya."
"Lalu kenapa kalian tidak berbuat atau membantu mereka untuk mendapat keadilan? Bukankah polisi bertugas untuk mengayomi warga negaranya?" tanyaku yang begitu saja terlontar dari mulut.
"Jangan pernah meragukan polisi, Nak. Untuk apa mendaftar jika kalian sendiri meragukan identitas yang sedang kalian tempuh dan dapatkan dengan susah payah di sini? Kami juga melihat, mencatat, dan mengumpulkan informasi secara cepat dengan rapi. Kami punya prosedur dan rencana sendiri yang lekas akan kalian pelajari. Nah, Ri-kun, aku rasa kau tahu hukuman apa yang paling tepat untuk diberikan pada mereka," lanjut Sakamoto-san kemudian keluar dari ruangan setelah menepuk sekali bahu kami. Perasaanku sedikit campur aduk, tapi demi melihat senyum Hokuto saat melirikku, kedua sudut bibirku ikut tertarik ke atas.
Setidaknya kami tidak jadi berkemas hari ini. Mengetahui kami masih diberi kesempatan saja membuat semangatku berkobar lagi.
YOSHA! Ayo makan dengan tenang hari in-
"Rangkum materi mengenai cyber crime, kerjakan soal yang saya berikan, dan tulis ucapan permintaan maaf kalian sebanyak 100 lembar! Kumpulkan malam ini jam 7 malam di ruangan saya! Apa kalian mengerti?"
"Siap, Pak!"
Tugas sialan!
🚔🚔🚔
Aku tidak tahu jika merangkum materi sebanyak ini bisa membuat kepala seseorang terkena migrain. 15 lembar sudah terisi penuh oleh tulisan tinta milikku yang entah terbaca atau tidak, tapi buku tebal di hadapanku bahkan masih belum terbuka setengahnya.
Yang benar saja!
"Oh, ayolah! Kenapa Aoyama-san memberi kita hukuman seperti ini? Kenapa tidak menjaga koban atau berpatroli di luar akademi? Itu jauh lebih berguna daripada menghabiskan waktu dengan menghabiskan kertas dan tinta!" teriakku frustasi kemudian membenturkan kening ke meja.
"Tiga kali kau mengatakan hal yang sama, Kazuma. Kerjakan saja tanpa banyak mengeluh," balas Hokuto yang kini mulai mengerjakan soal.
"Na, Hoku-chan."
"Hm."
"Kenapa kau ingin menjadi polisi?" tanyaku sambil memiringkan wajah, menatapnya.
Anak itu berhenti menulis. Dia melirikku sekilas lalu kembali menggoreskan tinta di kertas. "Karena aku ingin jadi polisi."
"Hah? Jawaban macam apa itu," gumamku kemudian memaksakan diri untuk menyalin materi kembali. Perutku berbunyi, karena itu aku melakukannya.
"Kau sendiri? Kenapa ingin menjadi polisi?"
Aku tersenyum tipis, tidak kusangka dia bertanya balik. "Hanya ingin melempar para bajingan ke balik jeruji besi dan melindungi banyak orang."
Lengang cukup lama di antara kami. Menurutku alasan apapun yang dipegang oleh setiap siswa memiliki arti penting yang sama dengan kehidupan yang sedang mereka jalani. Jika tidak seperti itu, mana mungkin mereka mau repot-repot masuk ke sini, kan? Walau Hokuto hanya menjawab seperti bocah SD kelas satu, tapi aku yakin dia memiliki alasan kuat yang lain. Raut wajahnya yang mendadak kaku itu bisa kutebak dengan mudah.
"Baiklah, pertanyaan lain baru saja hinggap di kepalaku. Kapan kita akan makan? Apa sebelum hukuman ini berakhir cacing di perut kita akan terus berkonser ria?"
Hokuto menghela napas. "Materi cyber crime tidak mudah dikupas tuntas selama satu atau dua jam saja. Kau tahu kalau kejahatan di sosial media ini sangat luas dan penting untuk kita catat. Jadi berhenti bicara dan kerjakan saja sebelum aku mencingcangmu karena aku juga sedang lapar sekarang! Mengerti?!" ancam Hokuto sambil melotot dengan pulpen yang tersodor di depan mataku.
Aku terburu-buru mengambil kertas baru dan kembali fokus pada tulisan. Dia lebih menyeramkan dari Aoyama-san!
Entah karena amarah Hokuto atau memang ada gangguan, lampu di kelas tiba-tiba saja padam. Cuaca di luar memang cerah dan cukup membantu dalam penerangan, tapi karena posisi kelas yang berada di ujung dan terhalang oleh dinding lain di bangunan seberang, cahaya yang tersorot menjadi sedikit meremang. Angin juga berembus kencang secara tiba-tiba, membuat gorden di sebelahku tersibak.
"Aneh, kemarin-kemarin semua lampu masih menyala terang," gumamku sambil berdiri dari kursi. Khawatir benda asing dari luar akan masuk, aku memutuskan menutup seluruh jendela dan gorden. Kakiku hendak melangkah menuju pintu untuk mengecek kelas lain, tapi cengkeraman Hokuto membuatku terhenti.
"Diam di sini dan terus menulis saja."
"Aku hanya ingin memeriksa kelas lain sebentar, mungkin saja masih bisa diperbaiki sendi-"
"Ku-kubilang diam di sini! Kau ingin makan, kan? Cepat selesaikan atau Aoyama-san akan memergokimu dan menambah hukuman kita lagi!"
Aku tersenyum penuh arti. Raut wajah itu seketika mengingatkanku pada Chitose yang tidak sengaja terkurung di kamar mandi akibat ulahnya sendiri.
"Hoku-chan, apa kau takut?" ejekku.
Anak itu kembali melotot yang membuatku terbahak sejenak.
"Wajahmu yang mengatakannya sendiri, tahu! Kau masih takut dengan hantu?"
"Aku tidak takut. Sudahlah! Lakukan apa pun yang kau mau, asal jangan melibatkanku jika kau dihukum lebih berat lagi."
Aku mengangguk-angguk sambil tertawa dalam hati. "Baiklah, tapi jangan berteriak memanggilku jika ada sesuatu yang mendatangimu di kelas ini."
Tepat ketika aku hendak menggeser pintu, teriakan Hokuto membuatku berbalik dan melihatnya berjongkok di bawah meja sambil menutup telinga. Aku ingin tertawa jika saja dia tidak menunjuk-nunjuk ke arah luar. Rautnya yang begitu ketakutan mau tidak mau membuat tubuhku ikut merunduk dan bersikap awas. Jangan bercanda, yang benar saja ada hantu yang sedang mengawasi kami?
Aku menaruh telunjuk di bibir saat Hokuto hendak berbicara. Pencuri kemarin tidak mungkin lolos dari penjara dan membalas dendam pada kami jika itu bukan hantu, kan? Tanganku sudah melayang untuk meninju siapapun di luar sana tepat ketika pintu dibuka.
"Berhenti! Berhenti! Ini aku! Kamiya!"
"Kau? Sedang apa kau di luar sini?" tanyaku yang nyaris menjatuhkan nampan yang tengah dibawanya.
"Aku dengar dari Takechi kalau kalian dihukum untuk merangkum materi dan harus dikumpulkan malam ini. Kantin memang tidak akan pernah kehabisan makanan, tapi akan lebih baik jika kalian makan selagi hangat," ucapnya yang langsung menarik atensiku pada uap kepul sup miso di atas nampan yang Kamiya bawa. Perutku kembali berbunyi. Sungguh, aku akan membalas budi padamu nanti Kamiya-san.
"Tapi semua ini tidak didapat secara gratis. Kau harus memberitahuku semua kejadian yang terjadi kemarin. Bagaimana?" ucapnya dengan senyum miring yang menyebalkan. Aku tarik perkataanku kembali.
"Cepat masuk sebelum ada yang melihat," potong Hokuto. Kamiya melompat masuk setelah menyerahkan nampan itu padaku.
"Nah, apa kita bisa mulai ceritanya?"
🚔🚔🚔
Suapan terakhir menjadi tanda bahwa cerita penangkapan kemarin ikut berakhir. Selama aku bercerita, Kamiya hanya mendengarkan sambil sesekali mengangguk-angguk pelan. Hokuto ikut menambahkan jika aku terlalu lama menjawab karena harus menghabiskan sisa nasi yang sudah dingin.
"Kenapa kau bertanya tentang kasus itu?" tanyaku setelah bersendawa cukup besar. Perutku sudah menyimpan cadangan makanan yang cukup sampai nanti malam.
"Menjadikannya sogokan baru yang lebih berguna."
"Hah?" ucapku kompak dengan Hokuto.
Kamiya hanya mengedik lalu mengambil selembar kertas rangkuman di depannya seraya berkata, "Ah, rupanya tentang cyber crime. Aktivitas kejahatan di dunia maya dengan memanfaatkan jaringan komputer sebagai alat dan jaringan internet sebagai medianya. Materi yang cukup menarik."
"Tidak bagi kami yang sudah terlanjur mual melihat semua tulisannya."
Kamiya terkekeh. "Harusnya kalian bersemangat karena banyak sekali hal yang bisa kalian dapat. Kau tahu bagaimana seseorang bisa menjadi pelaku kejahatan ini? Alasan lucunya, mereka justru tertarik dengan bacaan seperti ini, mendalami, menggali informasi, kemudian menjalankan aksi dengan rapi. Sebaris informasi bahkan bisa menjadi alasan bagi seseorang untuk melakukan sesuatu. Yah ... setiap orang punya pemikiran masing-masing yang tidak bisa kita terka dengan mudah, bukan?"
Aku terdiam saat Kamiya menatapku. Dia tersenyum lantas beralih pada buku lain di depannya. "Kepolisian Jepang mencatat sebanyak 3.054 kasus serangan cyber dan penipuan online selama tahun 2020 sampai dengan Mei 2021. Sebanyak 827 kasus terjadi penipuan lewat internet, berpura-pura sebagai pihak tertentu lalu melakukan penipuan permintaan transfer uang dari korbannya. Belum lagi 431 kasus akses yang tidak sah dari para hacker sehingga banyak data dicuri di berbagai situs."
"Banyak pihak yang dirugikan bahkan nyaris gulung tikar karena maraknya kasus itu. Polisi juga berencana akan bekerjasama dengan para hacker dengan harapan dapat membantu mengumpulkan informasi lebih banyak tentang aksi kejahatan cyber yang sering terjadi. Misalnya penyebaran virus melalui kendali jarak jauh yang dilakukan dengan bantuan komputer," tambah Hokuto yang semakin membuatku menggaruk kepala.
Apa belum cukup dengan merangkum dan mengerjakan soal, sekarang kalian membahas masalah yang bahkan baru seperempat masuk ke dalam otakku?
"Salah satu kasus yang pernah menarik perhatian publik dalam kejahatan ini adalah tosatsu. Kalian pasti tahu betul apa itu, kan?" tanya Kamiya lagi.
"Aku tahu. Salah satu teman adikku bahkan pernah menjadi korbannya. Merekam secara diam-diam bagian tubuh wanita lalu mempostingnya di sosial media, hanya bangsat dan para bajingan yang melakukannya," jawabku kali ini. Tindakan ilegal dan tidak berotak seperti itu selalu bisa membuat amarahku tersulut.
Bagaimana korban menangis bahkan menjadi pemurung dan selalu dihantui rasa takut, aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Tok ... tok ... tok
"Kawamura, ada seseorang yang ingin menemuimu di pos jaga." Percakapan cukup rumit itu harus terhenti saat seseorang dengan wajah yang kukenal memanggilku di depan pintu. Aku mengangguk lalu segera pergi. Baiklah, lupakan semua kasus-kasus yang berseliweran di kepala sejenak.
Rasa penasaranku beralih pada siapa yang mau menemuiku? Terlalu sulit dipercaya jika Chitose yang datang sendiri ke sin-
"Kau! Gadis bersuara dewa!" teriakku spontan sambil menunjuk wajahnya tepat saat melihat wanita remaja yang beberapa hari lalu kutemui di stasiun.
"Hah? Panggilan macam apa itu? Kaisei-san, apa dia salah satu temanmu?" tanyanya. Takechi yang berada di sampingnya mengangguk.
"Kenapa kau bisa ada di sini?" tanyaku masih terkejut.
"Sepupuku ingin mengembalikan barangmu. Aku tidak tahu apa, tapi itu yang dia katakan." Tepat setelah Takechi mengatakannya, satu kantong hitam terlempar ke arahku yang lekas kutangkap sebelum jatuh.
"Jangan merepotkanku lagi dengan menitipkan barangmu padaku. Cih, katanya calon perwira polisi, menjaga barang sendiri saja tidak bisa. Aku akan pulang, jaga dirimu Kaisei-san."
Gadis itu pergi begitu saja, tapi aku tidak peduli. Dompetku, ponselku, seragamku, sampoku! Semuanya ada di dalam kantong ini. Akhirnya harta bendaku kembali dengan selamat.
"Maaf, ya. Hori tidak pernah bersikap kasar seperti itu. Dia mengalami hal buruk akhir-akhir ini," ucap Takechi sambil tersenyum tipis. Aku yang terlanjur penasaran tidak bisa menahan mulutku untuk bertanya.
"Ada apa?"
Bodoh Kazuma! Siapa itu Hori dan kenapa dia bersikap tidak seperti biasanya memangnya apa urusanmu? Harta bendaku kembali dengan selamat tanpa lecet sedikitpun sudah lebih dari cukup. Wajah Takechi juga seketika muram setelah aku bertanya. Lihat, aku memang payah dalam segala hal.
"A-anggap saja pertanyaanku hanya angin lalu, haha. Kau tidak perlu menjawab-"
"Apa kau tahu tentang pelecehan seksual, Kawamura-san?"
Takechi menatapku. Tidak, wajah itu tidak lagi suram, aku bisa merasakan aura kemarahan sekaligus rasa iba di sekitarnya. Dia menatapku dalam beberapa saat lalu membuang pandangannya ke depan. "Dia tidak pernah mengatakan apa pun, tapi setelah beberapa hari aku menyelidiki akun sosial media milik Hori, aku baru mengetahui segalanya. Ada seorang tidak dikenal yang membully sekaligus melecehkan dia di akun instagramnya sendiri. Aku memang sudah mencoba menghapus seluruh komentar jahat dan postingan itu, tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Dia selalu bisa mengakses akun milik Hori sesuka hati dengan mudah tanpa bisa kuketahui."
Otakku memang sedikit lamban dalam memproses atau memahami sesuatu, termasuk alasan kenapa Takechi mau membeberkan informasi dan kasus yang cukup sensitif ini padaku yang bahkan bukan teman dekat atau keluarganya sendiri. Aku berjalan mendekat lalu menepuk-nepuk bahunya.
"Jika postingan itu bukan milik Hori, aku yakin pelakunya akan segera diketahui. Bangkai sekalipun yang disimpan atau dikubur beratus-ratus meter akan tercium keluar seiring berjalannya waktu. Kau calon polisi, bukan? Aku rasa kau cukup pintar untuk tahu apa tindakan selanjutnya untuk melindungi sepupumu."
Aku tersenyum lalu berjalan menjauh darinya yang malah terdiam. "Ah, satu lagi, aku yakin Hori bukan wanita yang lemah. Dia bahkan bisa memecahkan gendang telinga orang itu jika mau dengan suara nyaringnya." Aku berbalik lalu memamerkan gigi pada Takechi. "Tindakanmu sudah benar, terus semangati dan temani dia saat ini. Hori pasti akan senang."
"Terima kasih, Kawamura-san!"
Aku melambaikan tangan di udara tanpa berbalik setelah berjalan menjauh lagi. Apanya yang terima kasih? Aku bahkan tidak membantu apa pun. Yah ... setidaknya dia masih bisa menemaninya sebelum terlambat.
🚔🚔🚔
Akhir pekan!
Apa yang lebih membahagiakan daripada libur bagi seorang siswa yang sibuk menjalani rutinitas dan ujian serta mabuk materi setiap hari. Walau hanya diberi waktu 24 jam, setidaknya aku bisa menghirup udara bebas di luar akademi. Aku bahkan tidak bisa tidur memikirkan akan pergi ke mana besok. Terlalu banyak tempat yang ingin kukunjungi.
"Hoku-chan, apa kau mau ikut bersamaku besok? Kita bisa pergi mengelilingi Tokyo!" ucapku sambil menyembulkan kepala dari balik ranjang, menatap anak itu yang sekarang masih membuka mata, melamun di bawah.
"Tidak tahu," jawabnya lalu memejam dan memiringkan tubuh ke kanan. Aku mencebik lalu berucap kembali. "Hei, kita bisa membeli banyak makanan dan belanja barang apa saja di sana. Aku yang akan mentraktirmu! Bagaimana?"
"Jangan membujukku, Kazuma. Aku akan pergi ke tempat yang dekat-dekat dengan akademi saja. Lagipula ujian sudah di depan mata."
"Karena itu kita harus menghabiskan waktu berharga besok dengan sebaik-baiknya. Kau tidak mau menyesal karena terlalu fokus untuk dapat nilai bagus dan menyia-nyiakan kesempatan langka ini, kan? Ikutlah denganku ke Shibuya."
Jeda cukup lama hingga aku harus melempar bantalku ke wajahnya. Memangnya aku tidak tahu kalau dia sedang pura-pura tidur, hah?
"Shi-bu-ya. Shibuya! Kau ikut atau tidak?!"
"Ck, terserah! Jangan ganggu aku lagi!" gertaknya sambil menaikkan selimut hingga ujung kepala. Aku tersenyum puas lalu segera terlelap dengan cepat.
Mungkin, pukulan telak di jidatku berhasil membuka lebar mata yang terasa baru saja seperti memejam ini.
"Kau tertidur seperti mayat sampai aku harus memukul jidatmu. Sampai kapan kau akan tidur dan melewatkan kereta ke Shibuya, hah?"
Jangan tanya apa yang aku lakukan setelah Hokuto berucap seperti itu. Aku melompat dari atas ranjang dan segera berlari rusuh ke kamar mandi, menyerobot Kamiya yang sudah berada di ambang pintu. Sialan! Kenapa dia tidak membangunkanku?!
Kami berlari cukup cepat menuju Fuchūhommachi Station dan bersyukur karena tidak tertinggal kereta. "Untung saja! Terima kasih karena sudah membangunkanku." ucapku sambil menepuk-nepuk bahu Hokuto.
"Ini terakhir kalinya aku mengikuti kemauanmu, Kazuma."
Setelah cukup tenang dengan napasku yang tidak beraturan, mataku menatap jauh ke arah kerumunan orang yang berlalu-lalang. Ingatan itu secara tidak sengaja masuk ke dalam pikiranku. Aku tersenyum tipis lalu menyikut-nyikut Hokuto yang baru berdiri tegak kembali setelah mengatur napasnya.
"Hei, apa kau ingat pertemuan pertama kita? Tidak kusangka kita akan berdiri lagi di sini setelah kejadian itu. Kau tahu? Aku bahkan pernah berucap tidak sudi bertemu denganmu lagi karena sikapmu yang dingin itu, tapi ternyata takdir berkata lain, ya?"
Hokuto terdiam cukup lama kemudian menghela napasnya. "Ya, jika saja aku tidak bertemu denganmu mungkin aku tidak usah berlari-lari seperti dikejar maling hari ini."
"Makanya berterima kasihlah pada-"
Tak!
"Ittai! Oi! Kenapa kau memukul kepalaku?!" protesku saat Hokuto malah tersenyum manis tanpa wajah berdosa. Benar-benar titisan iblis.
"Cepat pesan tiket atau kita sungguh akan tertinggal kereta."
"Baiklah, tuan sok mengatur," sinisku kemudian berlalu. Lain kali dia harus merasakan bagaimana sakitnya dipukul di bagian belakang kepala. Awas saja.
Antrean yang tidak terlalu panjang sedikit menghiburku karena tidak perlu berdiri terlalu lama dengan banyak orang. Kali ini sudah kusimpan baik-baik ponsel dan dompet di dalam saku. Setelah memesan 2 tiket aku sengaja mengambil minuman kaleng di vending machine yang berjarak cukup jauh dari tempat loket. Aku sampai lupa untuk minum karena buru-buru saat makan pagi tadi.
Yosh, sekarang hanya tinggal menemui Hokuto. Kurang lebih sekitar 10 menit lagi kereta kami akan berangkat. Tegukan terakhir membuatku tersenyum puas. Sudah lama aku tidak minum soda sejak terakhir bersulang bersama keluargaku-tepatnya hanya adikku- di rumah akhir tahun lalu.
"KAZUMA!"
Aku mendongak dan menatap Hokuto yang berlari ke arahku kemudian berhenti sambil menunjuk-nunjuk ke depan. Kedua alisku terangkat, heran. Baru aku membuka mulut hendak bertanya, dia mendahuluiku dengan berkata, "Orang itu! Cepat tangkap orang itu!"
"S-siapa? Pencuri lagi?!"
"Kau terlalu lama!"
Belum sempat mendapat jawaban dan siapa yang harus kutangkap, dia seenak jidat berlari lagi mengejar entah siapa sambil berteriak. Tanpa pikir panjang aku bergegas menyusulnya sambil berulang kali bertanya, tapi Hokuto acuh bahkan berkelit dengan cepat untuk menjatuhkan seseorang di depannya.
"Hei, Hokuto! Apakah remaja laki-laki yang memakai kacamata itu yang harus kita tangkap?" Kali ini dia mengangguk.
Baiklah! Aku bersiap dengan kaleng yang sudah tergenggam erat di tangan.
"Menunduk!"
TAK!
"Dapat!"
🚔🚔🚔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top