CASE 21# THE FINAL LINE

"Di dalam hidup kau tidak akan pernah menemukan akhir kecuali kematian itu sendiri."

– Arcblood Phoenicis –

🚔🚔🚔

Kakiku mengetuk lantai, sedangkan di dalam kepalaku sebuah pertanyaan berputar-putar membentuk arus membingungkan. Pertanyaan yang beranak dan belum sempat terjawab terus saja muncul di sana. Rasanya aku ingin mengobrak-abrik isi kepala, menata ulang semuanya. Belum lagi aku tadi melihat Kazuma pergi dengan Aoyama, satu yang pasti mereka sekarang bergerak bersama dalam memecahkan kasus itu. Mau tidak mau, pergerakan mereka membuatku penasaran setengah mati. Mungkinkah Kazuma sudah melangkah jauh melebihi titik di mana kami berhenti?

Aku berulang kali meminta Sakamoto untuk mengajukan pembukaan kembali kasus tersebut, tapi orang itu tidak mau mendengarkan. Jadi siapa sekarang yang tidak berguna di sini?

Kertas ujian dengan nilai sempurna di hadapanku hanya berupa lembaran tanpa arti saja sekarang. Orang-orang di dalam kelas berbincang satu sama lain dan membuatku jengah. Penjelasan mengenai evaluasi yang dilakukan oleh Matsuda-san di depan sana seperti angin lalu di telingaku. 

Pikiranku berlarian di antara Pemilu ke-48 dan pemilik anting. Aku sudah menyelidiki latar belakang Takara Keiko, dia memang berasal dari salah satu keluarga terpandang di Jepang. Mempunyai darah keturunan Tiongkok meskipun kedua orang tuanya berkebangsaan Jepang. Dia anak kedua di keluarga Takara, adik dari seorang pemilik perusahaan gas dan batu bara. Wanita 42 tahun itu menjabat sebagai Kepala Manager di salah satu stasiun televisi untuk sekarang. Tidak sering berlalu lalang di layar kaca, tetapi beberapa koran bisnis acap kali memuat nama dan pengaruhnya. 

Sementara Iseri Junko, wanita itu kini menduduki salah satu kursi parlemen di pemerintahan untuk Distrik ke-18 Tokyo. Sebaliknya, beberapa kali wajah yang menurutku sangat tidak ramah itu menghiasi berita politik malam di televisi. Dari artikel terbaru mengenai Iseri Junko, dia akan mengajukan dirinya kembali sebagai anggota dewan untuk posisi yang sama dengan sekarang. Aku belum menelusuri jejaknya lebih lanjut, pikiranku kalut dan tidurku menjadi tidak teratur. 

Terlalu banyak melamun sepertinya membuatku lupa waktu. Begitu Matsuda-san berpamitan untuk meninggalkan ruang kelas, aku bergegas keluar dan mengabaikan ajakan Kamiya untuk makan siang. Rencanaku sekarang adalah memaksa Sakamoto Jin untuk mendesak jajaran atas demi membuka kembali kasus tersebut setelah menjelajah laman internet di ruang komputer khusus siswa. 

Ruangan itu sedikit ramai siang ini dan aku memilih komputer yang berada di sudut ruangan dengan akses curi pandang oleh orang lain terbatas. Prosesor berdengung lirih sebelum layar berkedip menyala. Beruntung jaringan internet di sini lebih lancar dari kinerja beberapa aparat dalam menanggulangi kejahatan. 

Aku mengetik nama Iseri Junko dan berbagai artikel berita segera terpampang di layar. Acara kampanye pemilu akan menjadi fokusku untuk sekarang. Berbagai foto dimuat dalam satu buah artikel berjudul; "Peluang Besar Iseri Junko Dalam Pemungutan Suara." sedang kudalami.

Figurnya semampai bagi wanita dewasa yang mendekati usia 40 tahun dengan wajah karismatik–yang sama sekali terlihat tidak natural. Pakaiannya selalu modis, tapi terkesan monoton. Lalu ada satu foto terakhir yang menyita perhatianku. Wanita itu berdiri di podium kecil, di depan sebuah toko waralaba, sedang berkampanye. Warna marun busananya memberikan kesan angkuh, tetapi bukan itu yang menjadi daya tariknya. Melainkan seorang laki-laki dewasa yang berdiri tidak jauh dari Iseri. Jika kuperhatikan lebih dekat, dia adalah seseorang yang sempat diwawancarai ketika pemeriksaan saksi terkait kasus kematian Amane, hanya dia tampak lebih tua dan tertekan di kelilingi oleh massa seperti itu.

"Apa hubungan laki-laki ini dengan Iseri Junko? Bukankah mantan suami Hayashida-san adalah seorang kontraktor?"

Kemudian aku keluar dari laman tersebut, lalu mengetikkan kata kunci pernikahan Iseri Junko di kolom pencarian. Hasilnya membuat kedua mataku otomatis melebar. Lelaki itu adalah mantan suami Hayashida-san dan Iseri Junko adalah istri pertamanya. Itu artinya, wanita yang dimaksud Hayashida-san–yang berniat mengambil alih hak asuh Amane serta Ryota adalah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Jepang.

Keparat! Benar-benar keparat!

Aku memijat pelipis, jika kemungkinan yang melintas di otakku adalah kebenarannya, maka menyelesaikan kasus ini sama dengan mengakhiri karir lebih cepat. 

Bocah sialan bernama Kazuma, aku benar-benar membutuhkan si bodoh itu untuk memastikan kepemilikan anting–tunggu!

Jantungku berdebar lebih cepat dari sebelumnya, sakit kepalaku bertambah ketika sebuah foto yang baru saja aku perbesar menampilkan sosok Iseri Junko yang mengenakan anting itu. Tanpa berpikir apapun lagi, aku keluar dari laman tersebut setelah menghapus semua riwayat pencariannya dan langsung bergegas menuju ke kotak telepon di lantai satu. Persetan dengan membujuk Sakamoto, kasus ini harus benar-benar diselesaikan dengan atau tanpa bantuan polisi tidak becus seperti mereka.

Beruntung napasku yang tersengal setelah berlari di tangga tidak sia-sia karena ada satu bilik telepon yang kosong. Menekan nomor ponsel Kazuma dan harus menunggu beberapa kali nada sambung sebelum suara bocah itu terdengar layaknya orang yang baru saja memenangkan lotere satu juta yen.

"Apa yang–"

"Aku menemukannya!"

"Apa?"

"Anting itu! Aku tahu siapa pemiliknya!"

"Uwoh! Aku juga! Aku juga! Dia itu–"

Ucapannya terputus setelah aku mendengar suara pintu mobil yang dibuka paksa, anak itu sedang berkendara dengan Aoyama?

"A-apa yang kau–"

"Kazuma? Oi, Kazuma! Apa kau mendengarku? Apa yang terjadi?"

Tidak ada jawaban dan hanya suara gemerasak menandakan jika ponsel Kazuma terjatuh.

"Sial!"

Berpikir, Hokuto, berpikir. 

Setelah hening beberapa saat, bunyi gemerasak kembali terdengar. Mungkinkah anak itu kembali?

"Kazu–"

"Kawamura?"

Itu suara Aoyama. "Aoyama-san! Aoyama-san, dengarkan saya!"

"Yoshino? Mengapa kau menelepon–"

"Oh, berhentilah mencari alasan saya menelepon Kazuma untuk sekarang! Saya tidak tahu asumsi saya benar atau tidak, tapi ada seseorang yang menculik Kazuma. Orang itu datang saat panggilan kami masih tersambung. Aoyama-san, tolong temukan dia!"

"Tapi–"

"Sekali ini saja percaya–Ah! Sial! Saya mengerti, tunggu sebentar." Aku berbalik untuk meminta waktu kepada petugas jaga yang sudah mengetuk pintu bilik dan memaksaku untuk keluar dikarenakan batas waktu. "Aoyama-san, tolong dengar, kami sudah tahu siapa dalang dari kasus itu. Jika Anda tidak menyelamatkan Kazuma, saya khawatir anak itu akan berada di peti mati besok!"

"Yoshino, jaga bicaramu!"

Manusia di depan pintu bilik terus menggedor dan itu membuat tanganku benar-benar bergetar hebat. "Saya akan mencarinya jika Anda tidak mau! Selamat siang!"

Sambungan terputus dan dengan bersungut-sungut aku membuka pintu. Wanita tua berkacamata itu bersedekap, tapi aku melengos tanpa kata untuk mencari keberadaan Sakamoto. Dia harus diseret paksa atau aku sendiri yang akan merebut senjatanya dan mencari keberadaan Kazuma.

🚔🚔🚔

Mungkin Dewi Keberuntungan sedang mendukungku, pasalnya begitu aku hendak menuju kantor Sakamoto di sini, polisi itu datang dari arah berlawanan dengan telepon genggam yang menempel di telinganya. Saat dia bertemu tatap denganku, Sakamoto buru-buru memutus panggilan teleponnya. Raut wajahnya tampak serius, seperti sedang tertekan. 

"Yoshino, bukankah kau ada kelas siang ini?"

"Sakamoto-san, saya tidak peduli nyali Anda untuk membuka kasus itu setipis apa, tapi saya mohon untuk meninjau kembali kasus tersebut."

"Tidak bisa–"

Aku mengusai rambut. "Saya tahu siapa otak pembunuhan dan penculikannya!"

Jika tadi wajah Sakamoto tampak tertekan, kali ini dia terkejut. Kedua pupilnya mengecil di samping matanya yang melebar. "Ikutlah denganku, sekarang!"

Dia berbalik, mungkin akan membawaku ke kantor kepolisian Fuchu untuk meminta keterangan lebih lanjut. "Kazuma!"

"Apa?"

"Dia diculik, Sakamoto-san. Bisakah Anda membantu saya mencarinya? Atau … atau setidaknya Anda mengerahkan seseorang untuk mencari keberadaannya."

Kami berjalan cepat menyusuri lorong. "Aku sudah tahu mengenai hal itu, Riku baru saja menghubungiku. Jika kau berhenti menggerutu, aku akan mengajakmu untuk mencarinya. Kau mengerti?!"

"Ya, mengerti!"

Kami mengendarai sedan hitam ke arah kantor kepolisian Fuchu dan tiba di sana beberapa menit kemudian. Sakamoto berjalan cepat, memasuki sebuah ruangan setelah menyuruhku untuk menunggunya di luar pintu. Setelah melihat papan gantung di atas kepalaku, aku tahu itu adalah ruangan Kepala Detektif Divisi 2. Namun, aku tidak melihat jika ada kekacauan yang timbul di kantor polisi ini. Beberapa bahkan bersenda gurau dengan sesama rekan kerja. Berbeda denganku yang seperti baru saja mengejar seorang pembunuh bayaran–yang melarikan diri di depan mata.

Beberapa menit menunggu, Sakamoto keluar lengkap dengan sebuah dokumen yang terselip di lengan atasnya. Dia sibuk berbicara melalui earpiece dengan seseorang, memberi perintah untuk menuju ke Koremasa sesegera mungkin. Dia juga memberikan isyarat kepadaku agar mengikutinya. Lekas setelah itu, kami berkendara ke Timur. 

"Seseorang mendapatkan jejak pelaku, ada kemungkinan besar Kawamura dibawa ke gudang kosong di daerah Koremasa. Aku belum tahu pasti tempat itu kondusif atau tidak, tapi kau harus punya perbekalan senjata."

"Eh?" Aku mengernyit. "Senjata?"

Polisi itu menunjuk kursi penumpang di belakang. "Di dalam tas itu ada dua senjata api milikku, pakailah salah satu dengan grip panel berwarna emas."

Menarik tas itu ke pangkuan, aku mengambil revolver yang dimaksud. Ini sangat ringan, tetapi aku tidak berharap akan menarik pelatuknya untuk melukai orang lain dalam waktu dekat. Jadi aku buru-buru menyimpannya di kantong jas seragam. 

"Sekarang katakan padaku, apa yang kau tahu soal pelaku pembunuhan Amane-chan, Yoshino?"

"Jika segala aspek yang saya hubungkan benar, maka otak di balik kejadian itu adalah Iseri Junko. Hanya saja dia tidak bertindak sendiri di sini, ada campur tangan oleh pihak-pihak tertentu sehingga kasus tersebut dapat ditutup dengan mudahnya. Jika saya boleh bertanya, ketika Aoyama-san memimpin kasus ini, apakah tidak ada hal mencurigakan yang dia lakukan?"

Aku memperhatikan Sakamoto dan jalan yang kami lewati secara bergantian. Dia diam beberapa saat, membiarkan bunyi statis dari handy talky yang berdiri di dashboard menjadi satu-satunya suara di dalam mobil. 

"Seperti mobil yang kau kemudikan, dia hanya bisa mematuhi perintah pengemudinya."

"Kenapa dia tidak memaksa petinggi untuk melanjutkan kasusnya, Sakamoto-san? Saya pikir dedikasi dalam sebuah pekerjaan itu dibutuhkan."

Sakamoto melirikku sejenak lalu kembali fokus ke jalanan. "Dia sempat bersikeras sebelum ada suatu hal yang membuatnya menyerah."

Aku bertanya-tanya apakah itu. Namun, sebelum aku sempat membuka mulut untuk membahas Aoyama, Sakamoto menerima panggilan masuk di ponselnya. Jika itu panggilan dari tim yang berada di lapangan, mengapa tidak menggunakan benda bergemerasak di depan kami?

"Baiklah, laporan diterima. Kami sedang menuju ke lokasi," katanya lalu menoleh kepadaku. "Mereka sudah mengepung wilayah itu. Jika kita ke sana tepat waktu, maka pelakunya bisa ditangkap dan Kawamura akan selamat. Omong-omong, mengapa dia diculik?"

Obrolan kami mengenai kasus Amane benar-benar teralihkan. Aku ingin kembali membahasnya, tapi baiklah, aku akan menanggapi pertanyaan Sakamoto.

"Dia tahu keterlibatan Iseri Junko dan bisa saya pastikan jika pelaku penyekapan Kazuma tidak jauh-jauh dari kaki tangan wanita itu."

"Apakah kau mencurigai seseorang?"

"Ya," balasku cepat.

Sakamoto menginjak pedal rem secara kasar ketika mobil harus berhenti di bawah lampu merah. "Siapa yang kau curigai, Nak?"

Aku menatap lurus ke arah matanya. "Sebaiknya saya tidak gegabah dalam memberitahu Anda, Sakamoto-san," jedaku. "Sampai kasus ini benar-benar dibuka kembali."

Dia tidak membalas, hanya menghela napas panjang lalu kembali melajukan mobil. Tidak ada percakapan lebih lanjut mengenai kasus tersebut. Setelah lima belas menit berkendara, mobil kami berhenti di depan sebuah bangunan tua yang memanjang. Sepertinya merupakan bekas pabrik pengolahan pupuk karena aku menghidu bau pestisida yang lumayan kuat begitu turun. Sejauh mataku memandang, tidak ada polisi yang berjaga di sekitar lokasi. Ketika aku ingin bertanya kepada Sakamoto, dia mengangkat tangan dan meletakkan jari telunjuknya di depan mulut, menyuruhku diam. 

“Ya, kami sudah berada di lokasi,” ujar Sakamoto melalui earpiece

Setelah mengatakan itu, seorang laki-laki yang memakai setelan jas dan memegang revolver muncul dari samping bangunan. Dia mengangguk ketika bersitatap dengan Sakamoto lalu bersama-sama membuka pintu yang berkarat di sana-sini. Aku merogoh saku jas, mencengkeram erat senjata api pinjaman sebagai bentuk dari sikap waspada. Sakamoto menyuruhku berjalan di depannya, mengikuti seseorang yang sudah lebih dulu memasuki bangunan itu. Bau pestisida semakin tercium, bersaing dengan bau besi berkarat. Pangkal hidungku terasa begitu berat, seperti terserang flu mendadak.

Kami berada pada keheningan total, membuat langkah kaki di lantai terdengar dua kali lebih keras. Napasku terdengar lebih jelas dari biasanya, bahkan debar jantungku seperti pindah ke telinga. Kami menaiki tangga besi menuju ke lantai dua. Lampu halogen di lorong berkedip ketika dinyalakan, udara lembab menyapa kami bertiga. Berapa lama tempat ini tidak digunakan? Jika bukan untuk menyelamatkan Kazuma, aku tidak akan menginjakkan kaki di tempat seperti ini. Namun, jika mengingat kedepannya aku harus berjibaku dengan tempat kejadian perkara atau bekas pembunuhan, bisa kupastikan mereka akan lebih buruk dari ini.

“Saya rasa dia menyekap Kawamura di sana,” ucap polisi di depanku–yang belum kuketahui namanya. 

Sakamoto mengangguk ketika aku menoleh untuk melihat responnya. Setelah tiba tepat di depan pintu, dia berhenti dan tanpa aba-aba menendang pintu tua itu hingga bunyi debam yang ditimbulkan bergema di segala penjuru ruangan. Sakamoto merangsek masuk dan mengamankan lokasi, saat aku muncul di belakangnya, kedua mataku membulat sempurna. Di tengah-tengah ruangan kosong itu, Kazuma terikat di sebuah kursi dan tidak sadarkan diri. Namun, sosok penculiknya tidak terlihat di manapun. 

“Sakamoto-san, apakah ini aman?” Aku bertanya sepelan mungkin.

Tidak adanya jawaban dari Sakamoto membuatku mengerutkan kening, ketika aku mengulurkan tangan dengan niat menyentuh bahunya, tiba-tiba saja ada yang menyengat leherku dan tidak membutuhkan waktu lama bagi tubuhku untuk ambruk ke tanah. Aku tahu itu adalah senjata kejut bermuatan listrik dan sebelum kesadaranku benar-benar menghilang, seseorang menyeretku lalu berkata, “Buat ini berakhir dan kita aman.”

🚔🚔🚔

Aku tidak tahu berapa lama tidak sadarkan diri, tetapi leherku terasa sangat kaku. Hening melingkupi telingaku dan ketika aku membuka mata, Kazuma menatapku nyalang. 

Tidak ada ekspresi di wajahnya, hanya ekspresi yang dia tunjukkan ketika sedang menghadapi hal serius di depannya. Aku mengangkat kedua alis, tapi sebuah permukaan benda yang dingin menempel di kepalaku. 

“Apakah mimpimu indah, Nak?”

Suara Sakamoto menjadi suara pertama yang terdengar di tengah kesunyian. Lalu dia berpindah posisi dengan tangan yang masih terulur untuk menodongkan revolver tepat di pelipisku. 

“Sakamoto-san?” Aku mencicit, sialnya tenggorokanku kering jadi suara yang keluar seperti rengekan seorang bocah.

“Jadi kau yang menerima uang itu?”

Kazuma menginterupsi, dia bahkan tidak lagi menggunakan bahasa yang sopan. Di sampingku, Sakamoto tertawa.

“Sejak kapan kau menyadarinya? Apa yang dilakukan Riku sampai kau mengetahui hal itu, Kawamura?”

“Dia tidak melakukan apapun selain mentraktirku makan. Dia tidak berhak disalahkan sejak awal, satu-satunya kesalahan Aoyama-san adalah membiarkan kau bertindak sesuka hati.”

Aku benar-benar diam karena tidak tahu apa yang mereka bahas. Yang ada di kepalaku hanyalah, sebanyak apa fakta yang Kazuma ketahui sekarang dan tentu saja moncong senjata api yang sewaktu-waktu bisa memuntahkan amunisinya. 

“Jika kau menggunakan otakmu dengan benar, Kawamura, kau tidak akan sebodoh itu. Tapi kukira temanmu yang terkenal jenius di akademi tidak sebodoh ini,” ledek Sakamoto sambil mendorong ujung revolver itu di kepalaku. "Lihatlah, untuk apa kalian repot-repot menyusahkan diri demi kasus yang sudah lama terlupakan itu, hah? Apa yang kalian dapat? Harta karun yang tak terkira jumlahnya? Jangan bodoh, Nak. Lakukan saja apa yang harus seorang siswa akademi lakukan, jangan ikut campur urusan orang dewasa."

Sakamoto lalu menoleh kepadaku, dia membungkuk, menyejajarkan wajahnya. "Lalu kau, ambisimu itu mengerikan. Kau tidak bisa memaksakan segala sesuatunya sesuai kemauanmu. Otak jenius, terpandai di angkatan, tetapi bodoh dalam urusan mempercayai seseorang. Kau seperti robot, Nak, karena mereka hanya menjalankan perintah dan tidak punya otak untuk berpikir. Lihatlah, temanmu itu," ujarnya sembari menunjuk Kazuma. "Otak kosongnya lebih bermanfaat untuk mencari informasi daripada ambisimu yang setinggi langit. Apa kau tahu hal besar yang sudah kulakukan? Jawabannya adalah–"

“Dia tidak tahu mengenai hal yang kau lakukan, keparat. Dia hanya berambisi untuk memecahkan kasus itu. Untuk apa kau membawanya ke sini? Kau hanya cukup menghabisiku–”

“Oi!”

Kazuma menatapku sinis sebagai tanda untuk menyuruhku diam. "Aku yang tahu semuanya di sini, Hokuto tidak tahu jika kau yang menutup kasus itu dengan alasan bahwa barang buktinya tidak eviden sama sekali. Bahwa demi uang kau mengesampingkan keadilan untuk seorang bocah!"

"Kawamura, Kawamura. Jika aku jadi kau, aku tidak akan melangkah lebih jauh dan membalikkan punggung untuk keselamatan diriku sendiri. Oh, mungkin juga keselamatan seorang teman. Tapi lihatlah, dengan bodohnya kau tanpa sadar menuntun seseorang untuk mati konyol di sini."

Kazuma terdiam, dia seperti hantu dalam remang-remang setelah mendengar ucapan Sakamoto. Anak itu sepertinya tenggelam dalam pikirannya dan ini tidak bisa dibiarkan. Aku mencoba mencerna semuanya. Iseri Junko, keterlibatan Sakamoto Jin, uang … jika aku menggabungkannya menjadi satu maka hasilnya adalah–

"Iseri Junko menyogokmu dengan sejumlah uang untuk menutup kasus ini? Lalu dengan segala manipulasi yang kau lakukan, kau membuat seolah-olah Aoyama Riku-lah yang tidak becus dalam memimpin penyelidikan. Katakan padaku, Sakamoto-san, seberapa bodohnya kau mau membantu wanita yang sudah membunuh seorang anak itu?" Aku menoleh ke arahnya dan membuat moncong senjata pindah tepat di antara kedua alisku. Dari sudut mata, aku melihat Kazuma tersadar dari lamunannya.

"Kau berbicara seolah-olah aku dan Kazuma adalah dua anak kecil bodoh yang sedang bermain-main. Tapi kau salah atau hanya menolak sebuah kebenaran jika kami bahkan lebih berguna daripada dirimu."

Sakamoto mengeratkan pegangannya pada senjata, jari telunjuknya berkedut di atas pelatuk. Tanpa dia tahu, aku menahan napas sejak beberapa detik yang lalu.

"Sakamoto-san, apa yang harus aku lakukan agar kau membiarkannya hidup? Membunuhku?!" Kazuma berseru. "Kau tahu bahwa aku sekarang bisa menjadi saksi kunci jika kasus ini kembali dibuka, bukan?"

Rahang Sakamoto mengeras, dia berjalan ke arah Kazuma dengan menodongkan revolver ke arahnya. "Jika itu maumu, bocah."

Beruntung usaha diam-diamku dalam melepas simpul tali berhasil. Tanpa berpikir panjang aku merogoh saku jas dan mengambil senjata api. 

"Sakamoto-san!"

Napasku tersengal dan sebaik mungkin aku menahan tanganku agar tidak bergetar hebat ketika mengacungkan senjata ke arah polisi itu. Perlahan aku mengikis jarak bersamaan dengan Sakamoto yang berbalik. Saat dia menyadari bahwa aku menodongkan revolver, dia mengangkat kedua tangannya.

"Jatuhkan senjatamu!"

Aku sempat melirik Kazuma yang melotot sempurna, wajahnya memucat–mungkin tidak menyangka jika aku memiliki senjata api. Di depanku, Sakamoto perlahan menurunkan tangannya. Ketika aku berharap bisa menghirup napas dengan lega, serangan mendadak tidak bisa kuhindari. Sakamoto memukul tanganku, membuatku menjatuhkan senjata itu. Dia menarik seragamku, berniat untuk mengunci gerakan, hanya saja aku berhasil menghindarinya. 

Dengan pelatihan judo yang kuterima, aku berkelit untuk melepas jas seragam yang kukenakan. Aku menendang bagian belakang lutut kanannya hingga Sakamoto berlutut di tanah. Kesempatan ini kumanfaatkan untuk menarik tangannya ke punggung dan memukul tengkuk kepalanya. Sakamoto jatuh tersungkur tidak sadarkan diri. Semudah itukah menjatuhkan seorang detektif profiler?

Aku mendecih, melangkahi tubuhnya dan berjalan menuju Kazuma yang baru saja meneguk ludah dengan mata melototnya. Jika  ditanya masih marah padanya atau tidak, maka aku dengan lantang akan menjawab iya. Sikap impulsif dan seenaknya sendiri itu harus diluruskan setelah semua ini berakhir.

"Kau menyelamatkanku?" Dia berbicara pelan, seolah takut jika ada yang akan mendengarkan.

Aku tidak menjawab dan berusaha membuka tali simpul yang mengikatnya. Ini adalah jenis simpul yang lebih susah untuk dilepas dibandingkan dengan simpul yang mengikatku tadi. Setelah butuh beberapa menit, akhirnya tali itu terlepas. Kazuma melepas sendiri ikatan di kakinya, lalu tiba-tiba saja memelukku dengan begitu erat.

"Kau bocah gila dan bodoh dan egois, kenapa mau menyelamatkanku, hah?!"

Aku hanya terkekeh di bahunya karena benar-benar tidak tahu harus membalas apa. Namun, kelegaan kami tidak berlangsung lama karena ternyata Sakamoto tidak benar-benar pingsan. 

"Lakukan sekarang!" perintahnya cepat pada seseorang melalui earpiece di telinganya.

Kemudian dia bergerak cepat untuk meraih revolver yang bodohnya tidak kusingkirkan. Dalam sekali pelatuk itu tertekan, letusan tembakan terdengar menggema. Aku tidak tahu apa yang menggerakkan tubuhku, tapi secara reflek aku mendorong Kazuma menjauh.

Aku melangkah mundur dan mendesis karena rasa sakit tiba-tiba menyergap bahuku, tepat pada tulang belikat. Ini terasa panas dan sesuatu yang ganjil bersarang di dalamnya. Aku mengerjap saat seorang menopang punggungku, itu Kazuma. Suara paniknya bersaing dengan dengung yang semakin keras di telinga. Aku menunduk, dan tersentak tanpa sadar saat mendapati kemeja putih yang kukenakan berlumuran cairan berwarna merah pekat.

"Hokuto!" teriak Kazuma. "Duduklah dan tetap buka matamu!" 

Aku tidak tahu apa yang kulakukan, aku hanya menurut ketika Kazuma menuntunku untuk duduk dan menyandarkan punggungku ke dinding. Sialan, ini lebih menyakitkan daripada menerima sebuah tinjuan di pipi. 

"Ini bu-bukan apa-apa, Kazuma. Kita … kita berhasil." Suaraku terdengar sangat menyedihkan.

Kazuma menekan lukaku dengan jas seragamnya. Wajahnya begitu pias dan itu membuatku ingin tertawa. "Ini tidak berhasil jika kau mati, Hokuto!"

Aku mengulas senyum lemah. "Aku lelah, sialan. Biarkan aku … is-istirahat."

"Tidak!" Dia berseru. "Sekarang tutup mulutmu!"

Aku berkedip pelan kemudian memandang atap usang yang dipenuhi jaring laba-laba lalu terbatuk. Rasa besi dan anyir memenuhi rongga mulut, membuatku mual. Aku menunduk lagi, mengatur napas yang mulai terasa susah untuk kulakukan. 

Tekanan pada lukaku melonggar, aku tidak tahu apa yang terjadi, hanya gerakan samar yang dilakukan Kazuma membuatku berkedip. Anak itu menatapku seolah melihat hantu. Ternyata di belakangnya, Sakamoto berdiri dengan ujung pistol yang menempel di kepala Kazuma. Mataku benar-benar berat, seolah memaksaku untuk memejam.

"Tetap buka matamu, bodoh!" Dia mendesis dan membuat suaranya terdengar jauh, padahal aku tahu anak itu tidak meninggalkan sisiku. 

"Berhentilah bermain-main," gumam Kazuma, aku tahu itu ditujukan untuk Sakamoto.

"Memangnya ini permainan anak-anak?" Sakamoto bertanya. "Kau pikir membangun karir di kepolisian itu semudah kau bernapas? Semudah kau membalikkan telapak tangan, hah? Bertahun-tahun posisiku harus berada di bawah bayang-bayang Riku Sialan itu. Apakah kalian tahu kesulitan yang aku hadapi sampai di titik ini? Jika aku tidak melakukan itu, Riku akan tetap berada di atas angin.

"Tapi kurasa percuma membeberkan semua itu kepada kalian. Ya … tampaknya memanipulasi kematian kalian berdua adalah tugasku setelah keluar dari sini nanti, anak-anak. Ada pesan terakhir?"

"Aku yang akan membunuhmu, sialan. Membusuklah kau di neraka!"

Melalui pandangan buram mataku, Kazuma menarik tangan Sakamoto dengan begitu cepat hingga suara tembakan kembali kudengar, membuatku memejamkan mata karena terkejut. Dengan tangan kiri gemetar hebat, aku menekan sendiri luka tembak di bahu. Di depan sana Kazuma mencoba melumpuhkan Sakamoto, tapi aku tahu pikiran anak itu tidak sepenuhnya fokus. Dia berulang kali melihat ke arahku, membuatnya dipukul jatuh. Gerakan Kazuma terbatas karena Sakamoto mengunci lehernya, dia mencekik Kazuma yang berusaha melepaskan dirinya.

Di sisi lain, aku mulai menghidu aroma bahan kimia yang terbakar dan seolah diberi peringatan, asap mulai memasuki ruangan tempat kami berada. Sial! Apakah tempat ini terbakar?!

Mataku bergerak liar dan tepat dekat kakiku, revolver milik Sakamoto tergeletak. Aku memungutnya, sempat mengerang karena rasa sakit yang mendera seperti membuat tulangku patah. Tubuhku sempoyongan dan rasanya darah mengalir deras meluruh di balik kemeja. Aku terbatuk darah lagi saat menyeret langkah untuk mendekat karena pandanganku tidak memungkinkan untuk melakukan tembakan. 

"Hen-hentikan atau kita … kita mati bersama!"

Sakamoto mendongak, melepaskan kunciannya pada leher Kazuma. Aku bisa melihat bocah itu terkapar lemas sebelum pandanganku mengarah sepenuhnya ke Sakamoto yang berjalan mendekat. Dia terbatuk, mengusap sudut bibirnya yang terluka, lalu tertawa sumbang.

"Menyedihkan!" katanya lalu disusul dengan menampik keras tangan kiriku hingga pistol itu terlempar entah ke mana.

Aku tidak sempat bereaksi saat Sakamoto mencengkeram leherku. Yang aku lakukan hanyalah berusaha melepaskan tangannya, tapi dia menghempaskanku ke lantai. Pandangan mataku bergoyang akibat kepalaku membentur lantai dengan begitu keras. Sakamoto belum selesai, dia berdiri tepat di sisi kanan tubuhku dan menginjak luka itu. Aku mengerang, meraung, berusaha membelit, tapi itu hanya menambah rasa sakitnya dan berakhir sia-sia. 

"Tolong … hen-hentikan." Suara Kazuma yang terdengar parau dan lirih bersaing dengan teriak kesakitan yang berasal dari diriku sendiri.

"Kau akan mati setelahnya, Yoshino!"

Ketika dia beranjak, rasa sakit itu masih tertinggal. Aku menangis, pasti terlihat sangat mengenaskan. Mengerjap pelan, udara di sekitar kami semakin menyesakkan untuk dihirup. Ini bisa berarti akhir jika Kazuma tidak segera keluar dari sini. Namun, apa yang bisa kulakukan? Apakah menahan Sakamoto di sini dan mati bersama bisa dikategorikan kasus pembunuhan? Menyedihkan jika mengingat aku bahkan harus mati ketika belum lulus dari akademi polisi.

Aku terbatuk lagi saat mencoba duduk dan merangkak untuk menuju mereka berdua. Asap benar-benar pekat, membuat paru-paruku semakin sesak. Beberapa meter di depan, siluet keduanya masih bergerak. Hingga suara letusan senjata kembali terdengar dan kali ini dengung menulikan telingaku. 

"Ka-Kazuma?"

Tidak, dia belum mati, kan? Si bodoh sialan itu belum mati, kan?

Aku setengah mati mencoba berdiri hanya untuk tersungkur kembali. Oksigen benar-benar sudah menipis dan menyebabkan pernapasanku kian cepat. Dalam rentang waktu yang kukira semakin habis, seseorang membantuku bangkit. Dia terbatuk hebat, kesusahan untuk bernapas. 

"Jangan mati sebelum keluar dari sini, sialan."

"Ka-kun?"

"Ya, ini aku." Dia terbatuk lagi, langkahnya bahkan tidak terasa benar.

Aku meliriknya bersamaan dengan air mata yang tiba-tiba saja mengalir. Persetan jika setelah ini Kazuma meledekku, mengataiku cengeng, aku tidak peduli. Dia masih di sini, sahabatku masih hidup.

Kami tertatih dengan mengenaskan menuju pintu keluar darurat dan ketika kami menghirup udara segar, paru-paruku seperti kembali bekerja dengan normal. 

Kazuma menyingkir setelah sosok lain datang dan memerintahkan sesuatu kepadanya. Yang kulakukan hanyalah mendongak untuk melihat langit sore saat seseorang mencoba merebahkan tubuhku di brankar. Pikiranku kemudian melayang, penuh dengan pertanyaan apa yang akan terjadi jika aku memang mati hari ini?

Suara orang-orang itu bergemuruh, bercampur aduk dengan sirine kendaraan yang aku sendiri tidak tahu itu ambulans, pemadam kebakaran, atau mobil polisi. Kepalaku bertambah sakit dan mata ini terasa berat sekali. Mengapa aku tidak boleh terlelap? Rasanya melelahkan jika harus menahan sakit seperti ini. 

"Yoshino-san, Yoshino-san, bisakah kau mendengarku?"

Seseorang menyeretku kembali pada kenyataan dan rasa sakit. Aku hanya mengangguk tanpa daya. 

"Bagus, tetaplah sadar. Kau harus percaya padaku bahwa kau akan selamat."

Suaranya terdengar meyakinkan meskipun terputus-putus di telingaku. Tidak ada yang aku lakukan selain diam dan membiarkan mereka mengurus tubuhku. Ah, sial, aku benar-benar lelah. Bayang-bayang langit malam Kobayashi yang penuh bintang hilang timbul dalam penglihatanku, kukira aku mulai sinting di tengah-tengah rasa sakit. Mereka membawaku ke ambulans. Mesin mobil bergetar sejenak kemudian kendaraan ini melaju.

Aku setengah sadar ketika melihat wajah seseorang yang rupanya menemaniku di dalam ambulans. Di sana ada Aoyama, bibirnya membentuk kurva samar pada garis rahangnya yang kaku. Lalu seorang petugas medis memasangkan masker oksigen dengan reservoir, benda itu membantuku bernapas.

Namun, seiring berjalannya waktu, dengung dan rasa sakit membawaku dalam ketidaksadaran secara perlahan. Lalu suara-suara samar dari seseorang memanggil namaku sebelum kegelapan secara total merenggut kesadaranku dan membawaku ke dalam kedamaian yang terasa sangat tidak wajar. 

🚔🚔🚔

WELCOME TO THE FINAL LINE!

APA YANG KALIAN PIKIRKAN TENTANG CHAPTER ACROSS THE LINE KALI INI?

KAMI SANGAT MEMBUTUHKAN KRITIK DAN SARAN LALU KESAN PESAN SETELAH MEMBACA CERITA INI.

SAMPAI BERTEMU LAGI.

SALAM,

-ARCBLOOD PHOENICIS

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top