CASE 20# ACROSS THE LINE

"Jangan tersinggung jika dianggap dan dikatakan bodoh. Mereka yang menganggapmu seperti itu akan jauh lebih terlihat bodoh jika kau berhasil menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya."

-Arcblood Phoenicis-

🚔🚔🚔

Apa aku memang terlalu terburu-buru dalam mengambil langkah dengan memberitahu Aoyama-san perihal semua bukti-bukti itu? Aoyama-san sendiri yang jelas mengatakan jika dia terlibat atau mungkin itu hanya jawaban palsu untuk meyakinkanku sehingga dia bisa menggali informasi dariku dan berbuat sesuatu yang tidak kutahu?

Sialan! Memikirkannya saja membuat kepalaku nyaris meledak. Aku dan Hokuto lagi-lagi bertengkar di saat yang tidak tepat. Lagipula anak itu jadi jauh lebih menyebalkan sekarang. Dia tidak pernah mengizinkan siapapun mengusiknya jika sudah serius. Tingkah Hokuto juga semakin membuatku terus merasa jengkel setiap kali dia selesai bertemu dan mengobrol dengan para inspektur. Aku tahu otaknya lebih pintar dan maju dariku, tapi bukan berarti aku tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menonton. Tidak bisakah dia percaya padaku sekali atau minimal sedikit saja? 

Aku mengusap wajah kasar lalu pergi menuju lapangan akademi. Berlari dua sampai tiga putaran mungkin lebih baik daripada terus memanggang otak di dalam kamar. Setidaknya masih ada waktu sebelum pelajaran selanjutnya dimulai. Mengenai Hokuto, aku sudah tidak peduli. Dia sendiri yang memulai perang dingin ini, dan aku menerima dengan senang hati. Cih, akan kutunjukkan padanya jika siswa paling bodoh dan ceroboh ini juga bisa berguna.

Lapangan masih terlihat sepi saat aku memasuki putaran ke dua, hanya ada beberapa siswa yang sedang membersihkan halaman dan rerumputan yang sudah memanjang. Mungkin hukuman yang didapatkan karena melanggar aturan. Sisanya, tidak ada orang lain lagi.

Napasku mulai terasa berat memasuki putaran ketiga. Meski tidak ada waktu seperti latihan saat itu, tetap saja sama melelahkannya. Aku baru berhenti tepat setelah putaran keempat. Tubuhku ambruk di tanah dengan kaki yang diselonjorkan. Tubuhku berkeringat, tapi setidaknya perasaanku menjadi lebih baik. 

Langit mulai memancarkan bias kemerahan berpadu oranye seperti warna jeruk. Angin turut mendukung hadir mengibaskan rambutku yang basah oleh keringat. Aku hendak berbaring, sampai sesuatu malah menghantam bagian belakang kepalaku cukup kencang. 

"ITTAI!"

"Bajumu akan kotor dan penuh dengan debu. Apalagi saat berkeringat seperti itu."

Kepalaku tertoleh pada satu inspektur yang kini jongkok di belakangku dengan sebotol air mineral dingin di tangannya. Dia tersenyum tipis setelah meletakkannya di depanku lalu duduk begitu saja. 

"Apa yang Anda lakukan di sini, Aoyama-san?" tanyaku tidak jadi berbaring. 

"Apa aku harus melapor padamu jika ingin berpatroli di akademi, hah?" jawabnya sambil melihat beberapa siswa akademi yang beralih membersihkan pinggiran lapangan. 

Aku mengangkat kedua bahu kemudian mengangkat botol mineral dingin yang tadi diletakkan. "Apa ini untuk saya?" 

"Bukan. Untuk para siswa itu."

Alisku terangkat. Sejak kapan inspektur satu ini peduli pada siswanya? Yang dia tahu selama ini hanya marah, mengomel, mencibir, dan menghukum siapapun yang melanggar aturan, bukan? 

"Kalau kau haus, minum saja, tapi jangan salahkan aku jika mereka mengamuk padamu," katanya kemudian. 

"Saya tidak sebodoh itu, Aoyama-san. Anda hanya membawa satu botol, sementara siswa itu ada enam jumlahnya. Mana mungkin satu botol air mineral ini akan dibagi rata pada mereka semua?"

"Kalau iya? Itu memang hukuman mereka. Siapapun yang minum air dengan botol terpisah dan diketahui oleh inspektur, instruktur, ataupun siswa akademi lain sebelum waktu hukuman habis, hukuman mereka akan ditambah dua kali lipat."

Aku menelan ludah. Lupakan soal perkataanku tentang kepeduliannya. Aoyama-san tetap seorang inspektur yang keji. Beruntung hukumanku tidak separah itu saat dulu. Apa yang mereka perbuat sampai Aoyama-san begitu murka dengan memberikan hukuman seperti itu?

"Kau tidak perlu tahu pelanggaran apa yang sudah mereka perbuat, Kawamura."

Dia jauh lebih menyeramkan daripada seorang paranormal.

"Apa Anda membaca pikiran saya, Aoyama-san?"

"Siapapun yang melihatmu tahu apa yang sedang kau pikirkan sekarang, tapi setidaknya kau tahu jika mereka sedang menjalani hukuman karena melanggar aturan meski tidak yakin apa penyebab pastinya, bukan?"

Aku melipat kedua kakiku lalu ikut menatap siswa-siswa itu yang tampaknya mulai kelelahan. 

"Ya … bisa saja mereka sukarela atau memang sengaja ditugaskan seperti itu. Walau perkiraan awal saya mereka memang menjalani hukuman, tapi bisa saja saya salah karena hanya melihatnya tanpa bertanya langsung."

Aoyama-san tersenyum tipis, membuatku semakin dibuat heran dan semakin heran lagi saat dia justru langsung menoleh dan menatapku dengan serius. 

"Berhenti menyelidiki kasus Hayashida, Kawamura."

"Hah?"

"Kasus ini bukan sebuah sayembara atau ajang unjuk kebolehan bagi siapapun yang bisa menyelesaikannya. Kau tidak akan bisa, begitupun dengan Yoshino."

Lagi dan lagi. Aku amat membenci dengan tatapan meremehkan itu. Apa sekarang Aoyama-san juga tidak percaya padaku?

"Saya tidak akan berhenti. Apalagi setelah diberitahu jika Anda juga terlibat dalam kasus cold case ini. Kenapa tiba-tiba Anda berubah pikiran, Aoyama-san? Apa mungkin Anda takut saya berbuat macam-macam yang akan merugikan nama akademi kepolisian begitu juga dengan reputasi Anda?"

Aoyama-san melempar pandangannya ke depan. Wajahnya tampak bimbang, jemarinya bergerak tidak nyaman, jelas ada sesuatu yang hendak dia sampaikan, tapi gengsi dan pertahanannya masih membelenggu. Sikapnya yang berubah-ubah seperti ini semakin memancing rasa penasaranku. 

"Saya tidak tahu kenapa Anda sebegitu tidak percayanya dengan siswa akademi yang bahkan sudah membantu banyak polisi dalam menangani kasus. Baik saya maupun Hokuto selalu tidak sengaja terlibat meski kami sama sekali tidak menginginkannya jika Anda ingin tahu. Namun, semakin saya masuk ke dalamnya secara langsung dan bertemu dengan berbagai pelaku kejahatan, saya bisa tahu sekaligus merasakan bagaimana kisah dan perasaan yang tertanam di dalam diri  mereka. Bukankah tugas seorang polisi selain menangani kasus adalah memahami bagaimana pelaku bisa berbuat kejahatan? Saya yakin Anda jauh lebih memahami hal itu."

Aoyama-san melirikku sekilas kemudian menghela napas tipis, meski aku tahu dia setuju dengan ucapanku barusan. 

"Saya memang masih menjadi siswa akademi, tapi saya juga tidak mau hanya diam jika ada sesuatu yang salah yang melibatkan diri saya. Sekalipun Anda akan mengeluarkan saya dari akademi karena tidak ingin berhenti dalam menyelidiki kasus ini, saya tidak keberatan sama sekali. Asalkan dengan satu syarat," aku menatap serius inspektur itu, "saya ikut dilibatkan hingga kasus ini selesai."

Hening. Jeda beberapa detik hingga akhirnya inspektur polisi itu mengangguk. "Baiklah, kau sendiri yang mengatakannya langsung, Kawamura. Aku tidak akan menghalangi lagi langkahmu kali ini."

Mataku membulat. Bingung. Apakah harus senang karena akhirnya seseorang mempercayaiku atau harus menyesal karena terlanjur mengucapkan hal bodoh tentang pengeluaran dari akademi. Astaga Kazuma mulutmu benar-benar butuh dibungkam agar tidak melulu berbicara sembarangan!

"M-maksud saya barusan hanya pengandaian, Pak. Anu, apakah saya boleh menarik kata-kata saya? Ah tidak, tidak, biar saja, saya masih bisa mengulang tahun dengan mendaftar ulang, kan?"

Aoyama-san tertawa kecil. Demi Dewa manapun, pemandangan langka seperti ini membuatku terpaku sejenak. Apakah seorang inspektur yang terkenal keji baru saja tertawa? Astaga, aku harus memberitahu Hokuto setelah ini!

Oh, sial. 

Aku lupa kami sedang bertengkar. 

"Kenapa kau sangat ingin menjadi seorang polisi? Tugas yang amat melelahkan bahkan merepotkan bagi sebagian orang."

Kepalaku mendongak, kakiku kembali diselonjorkan. "Janji. Sebelum saya mati, bagaimanapun caranya saya harus bisa menepati janji itu."

Hening kembali. Aoyama-san turut melihat ke langit. Kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Sejujurnya aku ingin bertanya lebih banyak pada Aoyama-san yang tampaknya sedang dalam mode malaikat hari ini, tapi suasana di lapangan yang entah sejak kapan menjadi jauh lebih menenangkan mengurungkan niatku. 

"Tidak semua dari mereka melanggar peraturan."

Kepalaku spontan menoleh. "Eh?"

"Hanya dua dari mereka yang mendapat hukuman." 

Sekarang aku menoleh ke arah enam siswa yang kini sedang duduk-duduk santai sambil mengobrol dan tertawa ringan. Bertumpuk-tumpuk karung berisi sampah dan rumput liar serta dedaunan kering berada di samping mereka. 

"Maksud Anda, empat yang lain sukarela membantu?" tanyaku memastikan yang dibalas anggukan oleh Aoyama-san.

"Seperti kau dan Yoshino, mereka juga membuatku kerepotan karena selalu bersama. Dugaan awalmu terhadap mereka salah."

Aoyama-san kembali menunjukkan raut seriusnya. Dia diam sejenak, seperti tengah memikirkan sesuatu kemudian menatap keenam siswa itu lagi. 

"Na, Kawamura. Tidak semua yang terlihat dengan mata kita adalah kenyataannya.  Begitupula dengan setiap kasus yang ditangani oleh pihak kepolisian. Tidak semua dari kami sungguh-sungguh melakukannya demi para korban dan kebenaran."

Keningku mengerut. Apa maksudnya?

"Aku memang mengizinkanmu untuk terlibat penuh dalam kasus ini, tapi bukan berarti kau bisa bebas melakukan apapun tanpa berpikir dan abai pada situasi di sekitar. Dalam penyelidikan, semua orang bisa menjadi tersangka sekalipun dia adalah orang yang amat kau percaya."

Kepalaku masih mengangguk. Mencoba memahami setiap perkataan yang diucapkan olehnya meski harus membutuhkan waktu. 

"Dunia kepolisian tidak sepenuhnya hebat dan bersih seperti apa kata orang-orang. Jika kau masih ingin terlibat bersamaku dalam kasus ini, berjanjilah kalau kau tidak akan protes atau bertanya macam-macam sampai aku yang menjelaskannya sendiri padamu. Apa kau mengerti, Kawamura?"

"Bagaimana saya bisa yakin dan percaya bahwa semua ucapan Anda itu benar, Aoyama-san?"

Baiklah. Aku tidak ingin terjebak dalam lubang yang sama. Semua orang tidak bisa dipercaya, begitu kira-kira makna dari perkataan yang dia sampaikan padaku, dan aku baru saja menerapkannya mulai dari sekarang. 

"Kau bisa mengetahuinya sendiri setelah ini. Bersikaplah seperti biasanya. Aku tidak akan segan mengajukan pengeluaran atas namamu seandainya ada kekacauan besar yang kau perbuat. Camkan itu baik-baik, Kawamura."

Wajah galaknya kembali seperti semula, hanya tatapan itu sedikit berbeda. Aku bisa merasakan ada tekad dan semangat baru di sana. Meski aku sendiri masih tidak mengerti kenapa dia mengizinkanku untuk ikut terlibat secara langsung padahal selama ini keberadaanku selalu ditentang bahkan mungkin hanya sebagai pengganggu baginya.

Aku tidak boleh lengah. Aoyama-san juga masih menjadi salah satu dari puluhan daftar orang yang harus aku waspadai. Paling tidak untuk sekarang, aku memiliki teman baru yang mempercayaiku dalam melakukan penyelidikan.

🚔🚔🚔

Pagi datang begitu saja. Rutinitasku sebagai siswa akademi sama seperti biasa, bedanya kali ini Hokuto akan meninggalkanku di kamar asrama terlebih dulu, bahkan semalam anak itu tidur lebih awal. Dia benar-benar melancarkan perang dingin di antara kami, menganggapku kasat mata. Yah, sepertinya aku sudah bisa bersaing dengan hantu penunggu akademi.

Setelah melakukan olahraga ringan, rasa lapar menyeretku ke kantin dengan segera. Mataku berkeliling mencari keberadaan manusia berwajah sedatar papan tulis secara otomatis dan rupanya anak itu sudah duduk tenang di meja paling ujung dengan nampan yang berisi sedikit sekali makanan. Namun, dari gestur itu aku tahu bahwa teritorial Hokuto tidak bisa diusik atau dia akan mengamuk.

"Kazuma-san!"

Lambaian tangan Takechi Kaisei menyuruhku untuk duduk di meja kami yang biasa. Aku melirik sekilas ke nampan miliknya yang hanya terisi makanan rendah lemak. Jadi dari mana tubuh besar bocah ini berasal? Mengapa aku yang suka menimbun makanan di dalam perut hanya bisa setinggi bahu Kaisei? Ke mana semua makanan itu pergi? Hei cacing, apakah kau begitu rakus sampai tidak menyisakan sedikitpun untuk pertumbuhan tubuhku? Baiklah, baiklah, lupakan saja keluhanku mengenai tinggi badan. 

"Apa yang terjadi?" Kamiya bertanya dengan mata yang terfokus pada makanan di depannya.

"Hah?"

"Yoshino dan kau, bodoh. Kalian bertengkar?"

Aku meringis. "Begitukah?"

Kamiya menggeleng seraya menghela napas, dia menunjuk Hokuto dengan ibu jari lalu berganti menunjukku. "Akademi ini terasa seperti akhir bulan Desember karena kalian berdua."

"Maksudnya?" Aku dan Takechi bertanya bersamaan.

"Berbicara dengan bocah memang susah, ya."

"Oi!"

"Berhentilah perang dingin, kalian berdua. Oh astaga, memahami hal yang bahkan diketahui oleh keponakanku yang berusia 10 tahun saja kau tidak bisa."

Aku mengernyit. Apa hubungannya perang dingin antara aku dan Hokuto dengan akhir bulan Desember? Otakku rasanya mendadak lamban sekali untuk diajak berpikir, jadi ada baiknya aku menyantap makanan terlebih dahulu. Onsen tamago tampak menggiurkan, lalu nasi dengan nato, dan karaage yang masih hangat serta acar yang menyegarkan. Semuanya lengkap dengan segelas susu kedelai dingin.

Sempurna!

Menjelang akhir pekan seperti ini hanya ada pelajaran fisik setelah briefing dengan kepala akademi di lapangan dan sedikit evaluasi dengan para instruktur di kelas. Lagi-lagi pindahnya Hokuto dari kursi di depanku menjadi buah bibir di dalam kelas. Anak itu benar-benar menyusahkan! Aku jadi lelah terus mendapat pertanyaan yang sama dan tatapan menyelidik dari seluruh siswa di kelas. 

"Apa Kawamura sedang bertengkar dengan Yoshino? Mereka berdua sama sekali tidak terlihat berbicara satu sama lain dari pagi."

"Mungkin saja. Lagipula sepertinya keputusan yang tepat Yoshino menjauh dari bocah itu. Kelas jauh lebih tenang, kan?"

"Tapi rasanya jadi aneh. Yoshino bahkan jauh lebih pendiam sekarang. Kau lihat bagaimana dia langsung duduk dan membaca buku tanpa menoleh sedikitpun ke belakang?"

"Hanya Kawamura yang bisa mengajaknya berbicara lebih lama, percayalah."

"Tentu saja. Kita lihat nanti saat tes kelulusan, apa Kawamura bisa lulus dengan sempurna tanpa didampingi oleh Yoshino."

"Ck, tapi tetap saja aku jadi tidak bisa bertanya atau melihat catatan materi yang disampaikan Kurosawa-san padanya. Dia kan anak yang paling rajin. Coba kau tanyakan padanya."

"Hei, apa perlu kubawakan pengeras suara dan mic agar suara kalian terdengar menggelora hingga ke depan gerbang akademi, hah?" Ketiga siswa yang membelakangiku sontak terkejut dan hanya mengangguk sekilas kemudian bubar dari kerumunan. 

Memangnya aku terlihat seperti seseorang yang tuli? Sialan! Perasaanku jadi lebih buruk setelah mendengar perkataan mereka barusan. Namun, punggung tegap yang ada di barisan depan tanpa ada tanda-tanda akan berputar mengarah padaku itu tak urung menarik perhatianku kembali. 

Aku juga bisa berdiri sendiri dengan kakiku tanpa harus dibantu olehnya. Sejak awal, pertemuanku dengan Hokuto memang hanyalah sebuah kebetulan. Aku yang terlalu bodoh menganggap dia berbeda dari yang lain. Faktanya pun sifat kami sangat bertolak belakang. Sekalipun dia ingin mengakhiri pertemanan kami, aku tidak akan sungkan untuk menolaknya. 

Jam berlangsung cepat. Kami berpindah ke gedung latihan judo serta kendo. Namun, jadwal minggu ini adalah judo, jadi ini kesempatanku untuk mengeluarkan segala kekesalan saat bertarung nanti. Tenang saja, aku tidak akan membuat wajah tampanku lebam-lebam. Latihan yang sering kulakukan di rumah secara membabi buta hingga membuat Chitose terbirit-birit untuk pertama kalinya saat melihatku berlatih akan kumanfaatkan dengan baik di kesempatan kali ini.

Setelah pemanasan ringan, pelajaran inti dimulai.

"Mengingat beberapa bulan lagi waktu kelulusan, kalian akan bertarung hari ini."

Kasak-kusuk terdengar setelah kata itu terlontar, tapi dehaman instruktur membuat kami terdiam. Raut wajahnya serius, aku bahkan sampai harus menggeser pantat karena mendadak duduk tidak nyaman. 

"Randori adalah puncak dari latihan kalian selama ini. Tujuan dari Randori adalah kemenangan, bukan pamer keindahan teknik atau kekuatan fisik. Seseorang harus mengandalkan dirinya sendiri dalam pertarungan. Tidak memanfaatkan ketidakberanian lawan, kita menunggu dia menyerang untuk menunjukkan bahwa kita tidak bisa diserang. Persiapkan diri kalian! Dua orang yang saya tunjuk berdiri dan atur posisi!"

Instruktur mengedarkan pandangannya, mencari sasaran. Aku menyatukan alis, semoga bukan–

"Kawamura!"

Demi Dewa!

Aku menegakkan punggung dengan jantung yang mendadak berdetak sangat kencang. Bagaimana tidak? Namaku dipanggil tanpa aba-aba saat instruktur bahkan berbicara seperti orang yang membacakan dongeng. 

"Ambil tempatmu!"

"Baik, Pak!"

Aku berdiri, berada di tengah-tengah arena pertarungan. Instruktur berjalan melingkar, mencari sesiapa yang kiranya akan bertarung denganku. Ketika kepalaku sibuk memikirkan beberapa teknik yang akan kugunakan nanti, langkah kaki mendekat dan berhenti tepat di depanku.

Sial!

Anak itu menatapku nyalang, wajah yang biasanya congkak kini berubah menjadi dingin dan tidak berperasaan. Ini tidak baik, bukan? Meskipun Hokuto tidak terlalu pandai bertarung, tapi suasana hatinya ditambah rasa kesalnya padaku pasti akan dimanfaatkan dengan baik oleh anak itu nantinya. Haruskah aku mundur saja dari latihan ini?

Ah, tidak, tidak! Di mana akan aku letakkan wajah garangku nanti jika aku mundur? 

"Kenapa tegang sekali, Kawamura?"

Hokuto bergumam, tapi aku mendengarnya dengan jelas. Instruktur yang berada di antara kami yang berhadapan sempat mengernyitkan kening tanda bingung. Percayalah, aku bahkan ingin melakukan walk out sekarang juga.

"Yah, aku hanya takut harga dirimu yang tinggi itu jatuh beberapa menit lagi, Yoshino."

"Berharap saja, bodoh!"

Oh, baiklah, anak ini menantangku rupanya. Akan kubuat kau jadi bubur ayam setelah ini, Yoshino. Instruktur berdeham, kami melakukan salam dan mundur beberapa langkah untuk mengatur posisi bertarung.

"Mulai!"

Dua menit waktu yang diberikan kumanfaatkan dengan melakukan serangan ringan pada Hokuto. Anak itu berhasil menghindar dan membalas dengan baik. Dia juga beberapa kali nyaris menjatuhkanku, bahkan memasang senyuman sinis dan pandangan meledek karena aku beberapa kali terlihat lengah. 

Apakah dia ingin melampiaskan semua kekesalannya padaku?

Hokuto bergerak maju secara tiba-tiba dan itu membuatku terkejut sehingga sapuannya tidak bisa kuhindari. Sejak kapan bocah ini tahu teknik deashi harai*?! Tidak bisa membiarkan Hokuto mendapatkan yuko** atau waza-ari*** lebih banyak lagi, aku bergegas bangkit. Ekspresi congkaknya membuat amarahku mendadak naik. Dengan melakukan beberapa teknik penyerangan, akhirnya aku berhasil mendapatkan poin saat membanting tubuh Hokuto ke tatami. Dia sedikit meringis kesakitan dan giliranku yang tersenyum sinis sekarang.

Rasakan!

Waktu terus berjalan, aku tidak tahu selisih poin yang kami dapatkan karena meladeni bocah kepalang emosi dan marah-marah di depanku ini sangatlah merepotkan. Bahkan aku seperti tidak diberikan kesempatan untuk bernapas olehnya. Sungguh, anak itu seperti orang kesetanan. Apa bantingan tubuh yang kulakukan sebelumnya memacu emosinya lagi?

Konsentrasi, Kaz–

"Sial!"

Tubuhku sekonyong-konyong terpelanting membentur tatami dan kata gatame**** yang dilakukan Hokuto mengakhiri pertarungan kami, dia juga mendapatkan nilai tertinggi berkat aksinya itu. Aku tahu pendaratan tubuhku tidak tepat dan sialnya itu membuat bahuku menderita. Hitungan dari angka sepuluh dimulai dan yang aku lakukan hanya mengedip melihat langit-langit tempat latihan sembari menahan nyeri yang terus berdenyut. Napas Hokuto menderu di samping telingaku, anak itu sepertinya masih dikuasai amarah.

"3 … 2 … 1!"

Pertama, mari kita ambil napas untuk meredakan rasa ngilu yang tiba-tiba lebih terasa saat Hokuto melepaskan kunciannya. Dia berdiri, sepenuhnya mengabaikanku yang masih terbaring di atas tatami. 

"Kawamura, apa yang kau lakukan?!"

Seseorang berteriak, memaksaku bangkit. Brengsek, ini sakit sekali!

"Apa kau baik-baik saja, Kazuma-san? Yang terakhir itu sepertinya menyakitkan." Takechi menepuk punggungku, sepertinya anak ini tahu ada yang tidak beres denganku.

"Ya, lumayan … omong-omong, Takechi, apa kau bisa berhenti menepuk-nepuk punggungku? Aku akan sangat berterima kasih kalau kau mau melakukannya."

"O-oh, maaf! Apa terlalu kencang?" jawabnya sambil meringis kemudian mengangkat tangan. Aku hanya mengangguk singkat sebagai balasan.

"Sebaiknya kau segera melapor pada pelatih kalau bahumu tidak kunjung membaik, Kazuma-san. Aku bisa membantumu kalau–"

"Sudahlah, aku baik-baik saja. Aku hanya terkejut tadi, hanya segini tidak ada apa-apanya untukku." 

Takechi hanya menghela napas sambil menggelengkan kepalanya begitu melihat ekspresiku. Kami berjalan beriringan keluar dari ruang pelatihan sambil mengobrol ringan.

Latihan akhirnya selesai. Setelah mandi, makan malam, dan lain sebagainya, aku harap aku bisa langsung memejamkan mata malam ini. Begitu kamar asrama terbuka, Hokuto tidak ada di sana. Baguslah, menghadapi temperamen setipis tisu remaja tipikal Hokuto sangat melelahkan juga rupanya. 

Berpikir tentang kasus yang harus kami pecahkan, aku mempunyai rencana tersendiri. Aoyama-san bukanlah orang yang mudah untuk memberikan informasi, lalu titik terang pemilik anting itu juga belum kuketahui. Kira-kira sudah sejauh mana Hokuto melakukan penyelidikannya sendiri? 

Dipikir-pikir langkah kami kali ini sedikit egois. Bukti yang kami simpan seharusnya kami serahkan kepada penyidik, bukan malah kami anggap seperti teka-teki mainan. Aku mengerang dan mengacak rambut hingga poni berantakan, tapi bahuku tidak bisa diajak bercanda untuk sekarang. Itu berdenyut menyakitkan. Sepertinya aku tidak boleh terlalu banyak bergerak untuk sementara waktu. 

Sebelum rasanya ingin mengobrak-abrik isi asrama ini memuncak, pintu kamar terbuka dan sosok Hokuto tanpa mengatakan apapun langsung melemparkan buntalan kain ke arahku. Beruntung reflekku masih cukup bagus untuk manusia yang tengah mengalami cedera.

"Apa-apaan kau ini?!"

Dia tidak membalas dan menaiki ranjangnya lalu tidur menghadap ke dinding. Persetan dengan ketidakjelasan Hokuto, tapi sensasi dingin dari kain kompres yang melapisi es di dalamnya sedikit melegakan bahuku. Haruskah aku mengucapkan terima kasih? Tidak! Tidak! Tinggikan harga dirimu, Kazuma! 

"Dasar tidak jelas," gumamku.

"Aku mendengarmu, brengsek."

"Baguslah, kukira kau juga mendadak tuli di sekitarku."

"Terserah."

Hokuto bergerak di ranjangnya hanya untuk menutupi kepalanya dengan selimut. Bocah ini menyebalkan sekali. Coba posisi kami dibalik, aku tidak akan sepeduli itu kepadanya. Kadang-kadang manusia berhati dingin itu harus diberikan pelajaran yang serupa dengan sifatnya.

🚔🚔🚔

Hari-hari berlalu tanpa satu pun kemajuan. Ujian dan tes menjelang kelulusan silih berganti, mendistraksiku dari memikirkan anting serta perang dingin dengan Hokuto Yoshino. Anak itu juga tampak biasa saja dalam menjalani hari-harinya. Tidak memungkiri kalau aku masih memperhatikan Hokuto karena aku juga ingin tahu perkembangan sandi yang tengah coba dia pecahkan. 

"Kawamura," panggil suara Aoyama-san ketika aku hendak melangkah ke arah kantin untuk sarapan. 

Polisi itu mengenakan pakaiannya yang biasa dan cukup membosankan. Oh, jangan katakan itu padanya atau dia akan mengubahku menjadi kue dango nanti.

"Siap, Pak!" Aku memberikan hormat yang hanya dibalas anggukan singkat olehnya. "Apakah ada yang bisa saya lakukan?"

"Ikut denganku."

"Tapi saya ada evaluasi ujian tentang cyber–"

"Tidak ada bantahan, Kawamura!"

Jika sudah begini apa boleh buat. Aku mengangguk dan bergegas mengikuti Aoyama-san ke lobby, rupanya mobil yang biasanya dia gunakan untuk berpatroli sudah menunggu di sana. 

"Aoyama-san …."

"Kau akan tahu tujuan kita setelah kita sampai di sana. Tidak ada pertanyaan lebih lanjut atau aku akan menurunkanmu di antah berantah."

"Ba-baiklah," jawabku setengah menggumam.

Mengapa para manusia di sekitarku menjadi aneh akhir-akhir ini? Kuharap aku masih menjadi manusia yang normal dan selalu tampan seperti biasanya. Dengan mengangguk untuk meyakinkan diri, yang kulakukan selanjutnya adalah berdiam diri sembari menatap keluar jendela mobil yang melaju. 

Rasanya sudah lama aku tidak melewati jalur-jalur utama di Fuchu setelah hukuman menjaga koban berakhir beberapa bulan lalu. Melihat anak-anak kecil berjalan menuju ke sekolah membuatku teringat Chitose. Apa kabar bocah itu sekarang? Bagaimana pula dengan kedua orang tuaku? 

"Apa yang sedang kau pikirkan?" 

"Eh?"

Aku menoleh saat Aoyama-san berdeham lalu dia menghela napas. "Apakah kau sedang banyak pikiran?"

"Oh, oh! Ya, tentu saja. Saya tidak pernah memikirkan lebih banyak hal sebelum saya masuk ke akademi ini." Aku menjawabnya dengan anggukan kepala yang kelewat antusias, tapi setelah menyadari bahwa kerutan di dahi Aoyama-san semakin dalam serta alisnya yang menyatu di tengah, aku buru-buru tertawa dengan canggung. Kau salah memilih jawaban, bodoh!

"Saya hanya bergurau, Pak. Saya baik-baik saja, hanya sedikit memikirkan adik saya di Osaka ketika melihat anak-anak itu berangkat ke sekolah." Pandanganku jatuh pada sekelompok anak sekolah dasar–mungkin tahun keenam–tengah menyeberangi zebra cross di depan mobil kami.

"Bagaimana dengan dia?"

"Tidak tahu terlalu banyak, mama saya bilang dia berusaha melakukan yang terbaik dan bagi saya itu sudah cukup."

Aoyama-san hanya mengangguk dan mobil mulai berjalan lagi, kali ini membelok ke jalur yang kukenali. Ini adalah jalan yang sering kulalui saat aku menjalani hukuman di koban dulu. 

"Aoyama-san, apakah kita akan berkunjung ke restoran tonkatsu itu? Anda sedang lapar?"

Polisi itu tidak menjawab, tapi kendaraan kami berhenti di depan restoran yang sepertinya baru saja buka. Paman pemilik restoran terlihat sedang menulis papan iklan di teras depan saat kami berjalan menghampirinya.

"Selamat pagi, Sobaru-san."

"Selamat pagi, Paman."

Dia berbalik dan membungkuk sejenak untuk membalas sapaan kami. "Oh, selamat pagi, Aoyama-san." Lalu dia menoleh padaku dengan wajah terlihat seperti sedang mengingat sesuatu. "Oh! Aku ingat dirimu, Nak! Ayo, ayo, masuklah kalian berdua. Putraku sedang menyiapkan menu spesial kami pagi ini."

Ya, aku bisa melihatnya sedang sibuk di balik konter dapur restoran. Dia sempat melambaikan tangan kepada kami. Aroma khas dari restoran memenuhi rongga hidungku, wangi sekali sehingga membuat perutku keroncongan. Aku tidak akan malu untuk mengakui bahwa aku memang tengah kelaparan. Mesin kopi sederhana dan tampak lebih tua dariku itu berbunyi ting sesaat setelah aku dan Aoyama-san duduk di kursi kayu tinggi. 

"Omong-omong, Kawamura-kun, tidak ke sini bersama temanmu itu?"

Aku mendongak lalu meringis canggung. "Eh, dia tidak bisa diganggu jika masa-masa ujian seperti ini."

"Bilang saja kau dan Yoshino bertengkar," bisik Aoyama-san yang sepertinya juga turut didengar oleh Sobaru-san karena laki-laki setengah baya itu berdeham kemudian mengangguk paham.

"Ya, anak muda selalu dengan masalah mereka sendiri. Namun, Nak, jangan sampai hal sepele menghancurkan persahabatan yang sudah kalian bangun. Aku tahu kau bisa mengandalkan dia dan sebaliknya, tapi kepercayaan masing-masing dari kalian masih setipis kain sutera. Bahkan udon di sini masih lebih tebal teksturnya," guraunya diselingi tawa. "Ah, itu hanya guyonan orang tua. Jangan diambil hati."

Sobaru-san menepuk bahuku lalu menghilang untuk bergabung dengan putranya. Aku mulai memikirkan kata-kata panjang itu. Saling mengandalkan satu sama lain terdengar sangat menjanjikan. Mungkin aku memang bisa mengandalkan Hokuto karena kapasitas otaknya yang menakjubkan itu, tapi apakah dia ingin mengandalkanku yang sangat impulsif ini? Apalagi dia selalu mengatakan aku ceroboh, bodoh, atau apalah itu. Menyebalkan sekali jika harus berteman dengan manusia perfeksionis, tapi harus kuakui tanpa pemikiran tajam dan cerdik Hokuto, aku tidak akan sampai di titik ini. Haruskah aku mengucapkan terima kasih?

"Jadi, apa yang membawamu ke sini sepagi ini?"

Nyaris aku terjatuh dari kursi ketika Sobaru-san mendadak muncul di balik konter tepat di depanku. Aoyama-san yang sejak tadi terdiam menghela napas berat.

"Beri aku secangkir kopi."

"Kau tahu bukan itu maksudku, kan? Tapi baiklah aku akan memberimu kopi." Sobaru-san beralih menatapku. "Dan kau, Nak?"

"Apakah Anda punya genmaicha di sini?"

"Tentu!"

"Baiklah, saya ingin itu. Terima kasih."

Sembari menunggu pesanan, aku memutar otak untuk menanyakan sesuatu perihal kasus itu kepada Aoyama-san yang tampak sedikit gelisah. 

"Apakah tujuan Anda membawa saya ke sini untuk mencari informasi mengenai kasus itu, Pak? Karena saya tahu jika putra Paman Sobaru menyimpan dan mengetahui banyak hal tentang kejadian tiga tahun silam tersebut."

Polisi itu menoleh kepadaku dengan wajah tanpa ekspresi, tetapi tetap terlihat tegang di mataku. "Sejauh mana kau menyelidiki anting itu?"

Mengalihkan pembicaraan lagi, eh?

Aku memastikan terlebih dahulu jika tidak ada orang yang berada di jarak dengar pembicaraan kami.

"Anting itu dimiliki oleh seseorang dari hasil lelang di Oxfordshire 2016 lalu. Saya belum mengetahui secara pasti pemiliknya sekarang, tapi ini pasti ada hubungannya dengan pemilu ke-48."

"Apa maksudmu?"

"Hokuto berhasil membaca sandi yang pernah saya bicarakan dengan Anda. Pemilu ke-48 tersebut menyimpan banyak hal. Dia sudah meringkas semuanya sebelum … ya, sebelum kami bertengkar. Anak itu menyimpulkan dua orang yang layak untuk dicurigai sebagai pemilik dari anting ini."

Aku menjeda kalimatku, sedangkan Aoyama-san menaikkan sebelah alisnya. Setelah berdeham dan lagi-lagi mengecek keadaan sekitar, aku menutupi mulut dengan satu tangan.

"Iseri Junko-san dan Takara Keiko-san," bisikku.

Keterkejutan tampak muncul di raut wajah Aoyama-san, dari situ aku tahu jika penyidik belum melangkah sampai ke sana kecuali ada yang menutupi kebenaran poin itu sendiri.

"Apa yang membuat kalian berasumsi seperti itu?"

Aku hendak membuka mulut untuk menjawab, tapi kopi dan genmaicha pesanan kami datang menginterupsi. Ditambah aroma menenangkan dari teh beras merah yang digerus dan sebagai tambahan dari teh hijau di depanku ini, rasanya aku ingin menikmati hari-hari tanpa memikirkan kasus sialan itu.

"Menu sarapan kami seperti biasanya, ada yang ingin kalian pesan?"

Kini putra Sobaru-san yang melayani kami. Aku melihat buku menu dan daging wagyu goreng lengkap dengan nasi serta sup miso menggugah selera makanku. Aku menunjuknya ketika Aoyama-san berceletuk bahwa dia yang akan membayar makanan kami kali ini. Mimpi apa aku semalam? Kesempatan ini tidak boleh di sia-siakan bukan? 

"Ah, aku ingin memesan makanan lain la–"

"Cukup, kami pesan itu saja. Terima kasih."

Aoyama-san menatapku sengit yang dibalas cengiran kikuk milikku. 

Setelah putra Sobaru-san yang baru kuketahui bernama Akamine Sobaru meninggalkan kami, aku kembali fokus untuk melanjutkan obrolan yang sempat tertunda tadi.

"Mama mengatakan jika pemilik anting ini bukanlah wanita sembarangan. Dia berasal dari keluarga terpandang di Jepang. Namun, kami tidak tahu pasti latar belakang kedua wanita tersebut. Saya juga tidak tahu sampai mana teori Hokuto sekarang. Saya yakin dia sudah menemukan banyak informasi."

Aoyama-san mengangguk, meletakkan kepalan tangannya di bawah dagu dan memasang wajah berpikir keras. 

"Iseri Junko terpilih menjadi anggota dewan perwakilan rakyat Jepang untuk wilayah Fuchu dan masih menjabat hingga sekarang, bukan? Sementara Takara Keiko sekarang menjabat sebagai Chief Manager di salah satu stasiun televisi. Mereka berdua mempunyai pengaruh besar di masyarakat."

"Apa Anda sudah menyelidiki bagan keluarga mereka?"

Aoyama-san menggeleng, tapi sorot mata antusiasnya seperti mengatakan jika aku memberinya sebuah ide cemerlang. "Kekurangan bukti yang kami hadapi waktu itu sangatlah mengganggu penyelidikan. Ada seseorang yang mempunyai andil besar dalam mengelabui para penyidik dengan mengacaukan informasi. Hal yang sekiranya mengarah ke pelaku sebenarnya dari kasus pembunuhan itu secara aneh bersih, tidak menyisakan sedikitpun petunjuk. Selain pelaku perampokan yang memang tidak punya andil pada kematian Amane, para saksi seolah-olah sengaja menutupi siapa dalang di balik kasus ini."

"Jelas sekali jika dia adalah sosok yang berkuasa dan menjadikan orang-orang itu bonekanya. Namun, jika dipresentasikan dari kedua wanita itu, manakah yang menurut Aoyama-san paling mencurigakan?"

Polisi tersebut menoleh padaku dengan tatapan tajamnya. "Tunggu, kau pernah bilang padaku jika mantan suami Hayashida-san ternyata sudah mempunyai istri sebelum menikah dengannya, bukan?"

Aku membulatkan mata dan mengangguk. "Ya! Saya hampir lupa untuk menyelidiki siapa istri Kawashima Akagi sebelum menikah dengan Hayashida-san."

"Kawashima Akagi?" sahut Akamine-san tiba-tiba yang tentu saja membuatku terkejut. "Oh, maafkan aku. Kupikir bukan pembicaraan penting."

"Tunggu, Akamine-san!" sergahku. "Apakah kau mengenalnya?"

Dia melirik Aoyama-san dan kembali melihat ke arahku dengan tersenyum. "Apakah polisi ini menyuruhmu untuk mengorek informasi dariku, em–"

"Kazuma, panggil saya Kazuma."

"Ya, Kazuma-kun?" Dia terkekeh dan Aoyama-san berdecak. "Baiklah, baiklah. Biar aku mengingat sedikit tentang kejadian beberapa tahun silam itu. Tepat sebelum kasus ini ditutup, Kawashima Akagi datang ke tempat ini untuk menemui seseorang. Aku ingat dia adalah laki-laki, tapi aku tidak melihat wajahnya. Yang Akagi lakukan adalah mengeluarkan amplop cokelat besar dan cukup tebal lalu memberikannya kepada pria itu. Aku kira isinya sejumlah uang, entah untuk apa.

"Namun, yang terjadi selanjutnya adalah kasus itu secara mengejutkan ditutup. Padahal aku dan ayah sudah menanti-nantikan siapa pelaku pembunuhan Amane-chan. Jadi dari sini, kau bisa menyimpulkan apa yang dilakukan Akagi, kan? Dia sengaja menyuruh seseorang untuk menutup kasus ini."

Keningku mengerut semakin dalam. Astaga kenapa kasus ini sangat rumit?

"Apakah Anda tahu soal penerima uang ini, Akamine-san?"

Akamine-san tiba-tiba saja mengeluarkan ponselnya dan untuk beberapa saat menggulir layar sebelum menunjukkan video beresolusi sedang kepada kami berdua.

"Pria dengan setelan jas itu adalah Akagi. Sayangnya, hanya sebelah tangan yang terlihat dari si penerima amplop."

Aku meminjam ponsel Akamine-san dan beberapa kali menjeda video itu untuk melihat kemungkinan ciri-ciri dari tangan penerima amplop. Dia hanya memakai jam berwarna perak di pergelangan tangan kiri. Setelah itu Akagi kembali ke dalam restoran untuk menikmati makanannya.

"Tunggu, kenapa polisi tidak meringkus Akagi kalau begitu?" tanyaku secara spontan kepada Aoyama-san yang hendak menikmati makanannya. 

"Bisakah kau selesaikan sarapanmu terlebih dulu?"

"Anda ini selalu mengalihkan pembicaraan, biasanya orang yang seperti itu sedang mencoba untuk menutupi sesuatu."

Aku sekonyong-konyong mendengarnya tersedak dan terbatuk.

Ha! Aoyama-san, apa yang sebenarnya sedang Anda sembunyikan, hm?

🚔🚔🚔

Perutku sudah kenyang dan cacing-cacing di dalam sana sudah tidak meneriakkan protes mereka. Ini saatnya otakku kembali berpikir mengenai Kawashima Akagi, pria misterius, dan hal yang disembunyikan Aoyama-san. Gerak-gerik dan tingkah inspektur satu itu sangat mudah terbaca jika ada sesuatu yang mendistraksi dirinya. Kelemahannya yang satu itu mempermudah pengamatan yang selalu kulakukan secara diam-diam. 

Mari kita hubungkan satu persatu; tentu saja mulai dari hubungan Hayashida-san dengan Kawashima Akagi. Aku tidak tahu pasti tahun berapa mereka menikah, yang jelas mereka bercerai pada bulan Maret 2015. Tiga setengah tahun sebelum kejadian, Akagi bersama istrinya kalah di persidangan saat memperebutkan hak asuh kedua anak Hayashida Miya. Dalam jarak waktu tersebut, seseorang memenangkan sepasang anting pada acara lelang di Oxfordshire tahun 2016. Lalu pemilu ke-48 diadakan pada tahun 2017 dan Iseri Junko menjadi anggota dewan yang terpilih. 

Selang beberapa bulan, dari penuturan Hayashida-san, Kawashima Akagi berhenti mengunjungi kedua anaknya dan tepat pada bulan Februari 2018 kasus itu terjadi. Penyelidikan berlangsung selama 2 tahun, lalu kasus pembunuhan serta penculikan itu resmi ditutup pada tanggal 7 Agustus 2020 oleh pihak Kepolisian Fuchu–yang mana pada saat itu Aoyama-san menjadi ketua tim penyelidikan kasus ini bersama Sakamoto-san.

Tunggu! Tunggu sebentar!

Aku harus kembali ke pemilu tersebut. Mungkin mengecek foto-foto dari artikel berita akan memudahkan aku mencari pemilik anting-anting ini. Meski kemungkinannya amat kecil, tapi tidak ada salahnya mencoba. Ya, setelah mengeluarkan ponsel dan mengetik pemilu ke-48 di kolom pencarian banyak sekali hasil yang keluar. Namun, aku akan berfokus pada proses kampanye lalu pelantikan. 

Matsubara Naoto jelas tidak akan aku perhatikan karena dia laki-laki. Jadi aku minta maaf untuk itu. 

Satu persatu gambar yang termuat di artikel kuperhatikan sembari menunggu Aoyama-san kembali dari bisnis pribadinya di toilet. Menunggu di mobil membosankan setengah mati, beruntung udara tidak terlalu panas karena musim gugur tengah berlangsung.

Baiklah Kazuma, jangan melantur.

Aku menyipitkan mata ketika menemukan satu foto saat para kandidat itu berkampanye. Di sana seorang wanita dengan busana resmi berwarna biru kobalt berdiri di balik podium. Penampilan yang elegan dan berwibawa seperti mama, terlihat begitu mencolok di tengah-tengah sorotan flash kamera para pemburu berita. Namun, apa yang ia kenakan di telinganya membuat kedua mataku sukses melebar seolah ingin meloncat keluar setelah foto itu kuperbesar. 

"INI DI–"

Sialnya bersamaan dengan itu, tampilan layar ponselku berubah. Nomor asing terpampang di sana. 

"Moshi–"

"Aku menemukannya!"

"Hah?"

"Anting itu! Aku tahu siapa pemiliknya!"

"Wah! Aku juga! Aku juga! Dia itu–"

Aku menoleh cepat saat pintu mobil tiba-tiba terbuka dan sesuatu yang menyengat menusuk batang leherku begitu saja.

"A-apa yang kau–"

Sialnya, seseorang memukul tengkukku terlebih dulu dan membuat duniaku berputar. 

Oh, persetan! Apalagi ini?

"Kazuma? Oi, Kazuma! Apa kau mendengarku? Apa yang terjadi?"

Aku sadar jika ponselku terjatuh dari genggaman tangan ketika seseorang menarik dan tubuhku menjauh dari mobil Aoyama-san. Orang itu mengunci tubuhku yang setengah lumpuh akibat obat bius yang perlahan bereaksi dan dia juga menutupi kepalaku dengan kain hitam. 

Kepalaku berdenyut hebat, bersaing dengan nyeri pada bahuku yang kembali terasa akibat terkilir sebelum perlahan pandanganku memburam  dan berakhir menjadi kegelapan total.

🚔🚔🚔

NOTE :

* Deashi harai: Teknik Deashi Harai adalah menyapu kaki lawan sambil melangkah ke depan dan sebelum telapak kaki menyentuh tatami atau sebelum beban tubuh lawan terpusat pada kaki.

** Waza-ari : nilai tertinggi kedua setelah Ippon

*** Yuko : nilai terendah pada judo

**** kata gatame : kuncian bahu

🚔🚔🚔

HAI HALO HALOHAIHALO!! Gimana kabarnyaa??

PHOENICIS DI SINI (^_^)

Aku nggak tau mau bilang apa selain makasih banyak kepada kalian yang masih mau nungguin cerita ini lanjut hingga selesai . Karena jujur banyak banget situasi dan kondisi yang nggak mudah bagi kami untuk sekarang-sekarang ini sehingga jadwal publish sedikit lebih lama dari biasanya (⁠´⁠ ⁠.⁠ ⁠.̫⁠ ⁠.⁠ ⁠'⁠) Tapi komentar dan vote yang kalian tinggalkan sebagai jejak benar-benar jadi pemantik semangat dan sumber kekuatan kami buat tetap lanjutin ini sampai akhir. Love you gais (⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)⁠♡

Tenang aja, part selanjutnya adalah part terakhir dari Across The Line. Kira-kira berhasil lulus ga hayo?? Atau malah gajadi karena ada salah satu yang....... (⁠☉⁠。⁠☉⁠)⁠!

AHAYYY TUNGGU NEXT PART YAA! SEE YOUUU!

__________

IT'S ARC'S TURN!

PHOE AGAK ANTUSIAS SAMA PART INI YA? GAPAPA DIA LUCU TAPI.

INTINYA SAMA, TERIMA KASIH BANYAK UNTUK SEMUANYA YANG MASIH SETIA MENUNGGU CERITA INI SELESAI.

KAMI SELALU MENERIMA KRITIK, SARAN, DAN KOMENTAR KALIAN AGAR CERITA INI ATAU KARYA KAMI LEBIH BAIK LAGI KE DEPANNYA.

SAMPAI JUMPA DI CASE SELANJUTNYA!

Salam,

- Arcblood Phoenicis

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top