"Lemah bukan berarti kalah. Kuat bukan berarti hebat. Berusaha saja, daripada diam tidak menghasilkan apa-apa."
-Arcblood Phoenicis-
🚔🚔🚔
Tidak ada yang bisa kulakukan selain menaruh dendam pada bajingan itu. Nyaris aku terlambat masuk ke kelas ini karena terus berlari mencari yang berujung nihil. Wanita itu juga menghilang entah ke mana saat aku pergi ke koban terdekat. Setidaknya petugas polisi di sana sudah mendapat laporan pencurian darinya. Argh! Bagaimana aku bisa keramas dengan sampoku saat tiba di akademi?
Suara instruktur di depan yang menjelaskan tentang pencurian semakin membuat wajahku menekuk dalam. Terlebih pemicu utama dari semua kejadian ini kini tengah duduk di depanku. Kutegaskan sekali lagi, dia duduk di depanku. Menghalangi wajah Aoyama-san yang sedang menjelaskan.
"Oi," kataku sambil menyentuh punggungnya. Dasar! dia bahkan tidak menoleh sedikit pun.
"Kau yang di stasiun kemarin, kan? Cih, rupanya kau di sini juga. Menunduklah! Aku tidak bisa melihat ke depan!"
"Kawamura Kazuma!"
"Iya!"
Aku benar-benar tidak akan memanggilmu lagi Yoshino Hokuto!
•••
Akhirnya perutku terisi penuh. Tidak kusangka makanan di kantin akademi kepolisian bisa seenak ini. Aku harus merekomendasikan ramen dan udon sebagai menu makan malam besok.
Langkahku melambat saat melihat kerumunan siswa di depan papan pengumuman. Eh? Apa ada sesuatu yang terjadi? Atau informasi tentang barangku ditemukan terpajang di sana?! Aku menembus barisan dengan terburu-buru dan antusias membaca pembagian asrama. Ada namaku di kamar 217 bersama- tunggu dulu. Pembagian asrama? Dengan Yoshino Hokuto?
Hela napas terdengar jelas tepat saat aku menoleh.
"Kau lagi?"
Yoshino menatapku tanpa ekspresi. Matanya jarang sekali berkedip ketika dia lebih memilih menatap papan pengumuman itu lagi tanpa minat. Dia juga selalu menghindari kontak mata saat aku menatapnya. Aku ingin bertanya, tapi gurat wajahnya menunjukkan dengan jelas bahwa dia terganggu dengan kehadiran ... bukan. Selain dia tidak suka aku berdiri di sampingnya, aku merasa ada hal lain yang mengganggunya.
"Ja ... yoroshiku!"
Entahlah. Aku hanya merasa kalau Yoshino ingin mengatakan sesuatu. Namun yang terjadi dia hanya menatap uluran tanganku yang mengambang di udara kemudian melengos pergi ke kamar lebih dulu. Aku benci mengakuinya, tapi sebagian kecil dari diriku malah ingin membantunya. Ah! Biarlah! Asal dia tidak berbuat macam-macam dan menggangguku, kurasa dia akan baik-baik saja.
•••
Aneh. Ini sangat aneh. Lebih aneh lagi karena aku berlari menggunakan kaos training milik Yoshino dan celana seragam saat belajar di kelas sambil mengelilingi lapangan. Entah sudah berapa kali aku berteriak kencang agar semangatku terbakar untuk segera menyelesaikan hukuman ini.
Aku tidak tahu apa yang anak itu pikirkan, tapi sikapnya yang tidak terduga karena berani meminjamkan seragam olahraganya memaksa otakku berpikir dengan keras. Baru sesaat yang lalu wajahnya seperti mengatakan "enyah kau dari sini". Sekarang entah ke mana sikap apatisnya yang menyebalkan itu, tapi aku sedikit merasa senang karena dia mau berbicara lebih dulu padaku.
"Oi, Yoshino!" teriakku saat dia malah diam melihat entah apa. Padahal waktu yang tersisa tinggal sedikit lagi. Ck, apa yang dia lakukan?!
"Kau lihat-sial!"
Aku melotot lalu berteriak heboh saat tubuh kurus itu tersandung kakinya sendiri, berguling-guling seperti ulat di tanah tepat beberapa meter di belakangku. Sesuai dugaan, Yoshino terkilir sampai warna kulit kakinya berubah menjadi seperti ubi ungu. Tidak semua, hanya bulatan di atas mata kaki saja. Yoshino bukan ubi jadi jadian.
Baiklah, lupakan. Aku lantas menggendongnya yang sempat ber-"hah" hanya untuk memastikan apa aku serius dengan penawaranku. Kakiku terus berlari menapaki lintasan kering dan berdebu ini. Pohon-pohon yang menjulang tinggi di balik jeruji kawat juga membuatku berulang kali tidak sengaja melihat burung-burung kecil hinggap dari satu pohon ke pohon lainnya. Sangat menarik. Namun, Yoshino sepertinya merasakan hal lain. Aku tertawa kecil dalam hati saat dia mengeratkan tangannya berulang kali dan berjengit entah kenapa.
"Na, kau takut dipulangkan, ya?"
"Sudahlah, fokus pada langkahmu. Aku tidak ingin lebih celaka daripada ini."
Aku hampir tertawa jika saja suara penanda waktu telah habis tidak berbunyi. Oh ayolah! Aku tidak mau berlari mengelilingi lapangan ini lagi. Aku ingin mandi!
"Eratkan peganganmu, Yoshino! Aku akan berlari dengan kekuatan penuh!" ucapku yang langsung melesat cepat.
Siswa lain terlihat sudah berbaris rapi saat aku hampir mencapai garis akhir tanpa mengurangi kecepatan. Persetan dengan rasa malu dan sakit jika terjatuh, aku terus berlari hingga akhirnya sampai dengan selamat. Setelah yakin aku akan dihukum lagi, Kurosawa-san tanpa diduga memaafkan kami. Aku segera berbaring di atas rumput ketika Kurosawa-san dan Matsuda-san pergi.
YOSHA!
"Kita berhasil, Yoshino!"
Untuk pertama kalinya aku melihat anak itu ikut tersenyum dan tertawa. Yoshino membantuku berdiri dan kami pergi ke ruang kesehatan sebelum mendapat masalah lagi.
•••
Makan malam tiba lagi! Yah ... walau menu masih sama seperti tadi pagi, tapi tidak masalah. Asal perutku kenyang dan bisa tidur nyenyak malam ini.
"Ittadakimasu!"
Aku merasa bahagia sekarang ....
"Hei, coba kau makan sayuran itu. Koki di akademi ini benar-benar hebat! Kurasa, aku bisa makan dua kali lebih banyak selama di sini. Ayo cobalah!" kataku sambil menoleh pada Yoshino yang melamun.
Sejak keluar dari ruang kesehatan, Yoshino memang banyak diam dan melamun. Apa dia baru menyesal karena meminjamkan baju olahraganya padaku?
"Sayur itu tidak akan menari di atas piring untuk menarik selera makan-"
"Kawamura."
Aku mengerjap saat dia tiba-tiba menoleh padaku. "Apa?"
"Tidak jadi."
Aku mengedikkan bahu lalu bersiap menyuap nasi kembali ke dalam mulut.
"Kawamura."
"Apa?" tanyaku tidak jadi menyuap nasi.
"Ah, tidak, tidak."
Dia memancingku untuk menghajarnya atau apa? Terserah, aku kembali bersiap menyuap nasi beserta sayur lezat itu ke dalam mulut.
"Kawamura."
"Sekali lagi kau mengatakan tidak saat aku berkata apa, makananmu menjadi hak milikku sepenuhnya, Yoshino!" teriakku yang memancing perhatian seluruh penghuni kantin. Aku mendengkus kesal saat dia hanya mengerjap lalu berdeham kemudian menyantap makanannya tanpa wajah berdosa.
"Apa kau melihat seorang pria yang berjalan mondar-mandir di balik pagar kawat saat kita berlari tadi?" tanyanya sedikit berbisik. Aku melahap sayurku yang sudah menangis sejak tadi karena terus diberi harapan palsu.
"Mana kutahu, memangnya aku memperhatikan setiap orang saat berlari?"
"Sebagian pencuri setidaknya melakukan pengintaian lebih dulu sebelum melakukan aksinya. Jika orang itu hanya lewat, tidak mungkin selama kita berputar dua kali dia mondar-mandir di sana, bukan?"
Gerakanku terhenti. Jika diingat lagi, Yoshino memang sempat berusaha memanggilku untuk mengatakan sesuatu. "Jadi, maksudmu kau melihat seorang yang mencurigakan?" tanyaku penasaran.
Yoshino kembali mengerutkan alisnya. Dia menggeleng dua kali lalu menyantap nasinya lagi. "Aku tidak akan membuat sebuah praduga jika tadi ketika aku sedang di ruang kesehatan, aku melihatnya lagi."
"Untuk apa dia berjalan di sana sepanjang hari? Berolahraga di cuaca terik seperti ini? Kau ada-ada saja." Aku kembali menatap piring, sayurku tampak semakin layu dan mengenaskan di sana.
"Ck! Ruang kesehatan berada di gedung sebelah Utara, tidak menghadap langsung ke lapangan. Aku tidak mengatakan jika dia berjalan di sana lagi, tapi kali ini ...," jeda Yoshino, dia melirik kanan kirinya-mungkin memastikan apakah ada yang mendengar atau tidak sejauh ini.
"Dia berdiri di depan sebuah rumah di seberang Asahi-cho," lanjutnya.
"Lalu apa yang membuatmu curiga, Yoshino?" Obrolan ini semakin menarik, persetan dengan tangisan sayur di piringku. Punya Yoshino lebih parah saat aku meliriknya tadi.
Yoshino mengalihkan pandangan ke depan, seperti menerawang atau sekadar meyakinkan asumsinya sendiri. "Kemungkinan besar seorang pencuri."
"PENCU-"
"Berisik!" Yoshino memukul belakang kepalaku dengan spontan.
Teriakanku nyaris saja membuat orang lain curiga. Sebenarnya aku sudah melihat gelagat ingin tahu dari wajah-wajah itu, tapi menyimpan rahasia besar di tempat umum adalah hal keren seperti di film-film polisi.
Namun, pukulan menyakitkan tadi sepertinya membuatku jadi terpikirkan sesuatu. Kalau memang Yoshino melihat seorang pencuri, apakah dia orang yang sama yang mencuri tasku? Awas saja jika benar, akan kupastikan dia berada di balik jeruji besi setelah mendapat tinju dariku.
"Hei, bagaimana jika besok kita kembali ke sana lagi untuk melihatnya?" ucapku antusias.
"Itu tidak mungkin," katanya.
"Hah?! Kenapa tidak mungkin? Kau sendiri yang bilang kalau-"
"Kurosawa-san akan mengurung kita di kamar seharian karena bolos, bodoh. Aku tidak mau terlibat masalah lagi denganmu selain hari ini."
Benar juga. Wajah galak Kurosawa-san sudah bisa kubayangkan dalam sekejap. Ah, tapi siapa peduli?
"Hei, kita tidak akan dihukum jika tidak ada yang melihatnya, kan?"
•••
Aku benar-benar tidak terlalu menyimak penjelasan Aoyama-san mengenai The Penal Code of Japan yang berisi tentang pasal-pasal tindak pidana hukuman terhadap kasus pembunuhan. Yang aku tahu hanyalah, semua orang jahat itu berhak mendapatkan hukuman setimpal untuk menebus dosa mereka. Terutama untuk seorang pembunuh, meski aku tahu jika di dunia ini ada yang namanya pembunuhan tidak disengaja, selain itu pelakunya berhak mendapatkan hukuman. Aku tidak tahu mengapa rasanya otakku tidak terlalu bisa diajak bekerja sama untuk merangkum materi yang disampaikan. Salahkan saja Aoyama-san yang menyampaikannya dengan kata-kata rumit padahal dia tahu akan sulit diterima oleh orang pandai sepertiku. Yang itu tadi hanyalah kalimat satir jika kau ingin tahu.
Aku tahu aku ini tidak terlalu pintar atau pandai, tapi ... oh, ayolah, kepandaian seseorang tidak semata-mata diukur menggunakan seberapa cepatnya dia menyerap materi, bukan? Tampang yang sering orang sebut urakan ini juga pandai dalam menyusun strategi asal kau tahu, meski mereka bilang aku sering mengacaukannya. Lupakan yang itu tadi, intinya, aku sedang sibuk memikirkan skenario melarikan diri kami dari kegiatan olahraga sore hari ini. Ada sedikit rasa bersalah karena aku sudah mengajak manusia kolot bernama Yoshino untuk melakukannya, akan tetapi, aku bisa dengan mudah menebak jika anak itu juga penasaran. Kira-kira seperti apa rupa orang jahat itu, hah? Apakah dia yang mencuri-"
"Kawamura!"
"Ya, Pak!"
Aoyama-san menghela napas, wajah yang menurutku tidak ada galak-galaknya itu dia buat semenyeramkan mungkin. Namun, sorot mata seriusnya membuatku urung tertawa dan memilih untuk menelan ludah, ini bukan pertanda baik.
"Apa kau tahu isi pasal 201 KUHP?"
Ternyata ini lebih dari buruk hingga membuatku otomatis menggeleng karena tidak tahu jawabannya. Lalu Yoshino mengacungkan tangan kanannya untuk menggantikanku menjawab pertanyaan dari Aoyama-san yang langsung memberinya izin berbicara.
"Mengatur tentang persiapan, yaitu seseorang yang membuat persiapan untuk tujuan melakukan kejahatan yang ditentukan di dalam dua pasal terdahulu, diancam dengan pidana penjara kerja paksa selama tidak lebih dari dua tahun; ditentukan bahwa pidananya dapat dikurangi sesuai dengan keadaan-keadaan."
"Terima kasih, Yoshino. Ada baiknya kau memberikan pelajaran tambahan untuk teman satu kamar asramamu itu," kata Aoyama-san menyindirku.
Pembahasan di depan berganti ke gambar-gambar pelaku pembunuhan massal yang pernah terjadi di Jepang. Melalui sebuah situs di internet, koran mingguan, dan berita di televisi aku tahu beberapa orang yang fotonya terpampang jelas di layar proyektor itu. Aku sempat mempelajari salah satu di antaranya, mengenai motif yang membuat pelaku melakukan aksinya. Mamoru Takuma, pembunuh berantai yang lahir di Osaka. Berkat aksinya yang bertajuk Osaka School Massacre pada Juni 2001 di sekolah X, dia berhasil masuk ke jajaran pembunuh berantai paling terkenal di Jepang. Pria itu tidak mempunyai motif apa pun layaknya dendam atau kebencian, dia mengidap MacDonalds Triad dan sempat dirawat di rumah sakit jiwa pada tahun 2001 dan berhasil kabur lalu mengamuk dengan membunuh 8 anak Sekolah Dasar X dan melukai beberapa siswa serta guru di sana.
Gara-gara aksi gilanya itu, rasa was-was dan takut selalu menghantuiku setiap pulang sekolah. Aku bahkan pernah berlari seperti orang kerasukan sampai sebelah sepatuku tertinggal entah di mana hanya karena seseorang menepuk bahuku dari belakang.
Meski demikian, gangguan kejiwaan yang dideritanya tidak menyelamatkan Mamoru dari hukuman mati. Pada tahun 2004 dia dihukum gantung untuk menebus dosa yang dilakukannya.
"Di beberapa kasus, ada pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja. Seperti misalnya, seseorang ditemukan meninggal di sebuah rumah dan ternyata orang tersebut bukan merupakan korban, melainkan seorang pencuri yang meninggal karena terbunuh saat si pemilik rumah melakukan aksi pembelaan diri. Itu adalah tindakan benar yang sayangnya pihak korban tetap akan mendapatkan hukuman dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu."
Aku mengernyit lalu sekonyong-konyong mengangkat tangan. "Seandainya korban tidak melawan, dia tidak akan mungkin selamat, bukan? Lalu mengapa dia tetap dijatuhi hukuman? Bukankah Anda sendiri yang bilang jika korban melakukan tindakan yang benar?"
"Sampai kapanpun pembunuhan bukanlah hal yang patut dibenarkan, entah itu merupakan pembunuhan sengaja, semi sengaja, maupun tidak sengaja. Menghilangkan nyawa seseorang akan selalu ada hukuman yang menantikannya, Kawamura."
"Itu sama saja menghukum seseorang yang tidak bersalah," kataku.
Mendengar itu, Yoshino lantas menoleh ke belakang dengan alis mengerut. Aku menaikkan kedua alis, dia membuka mulut untuk berbicara, tetapi mengurungkan niat dan memilih untuk kembali memunggungiku. Apa yang salah dari kata-kataku?
"Sayangnya, bukan wewenangku untuk mengubah peraturan hukum yang sudah berlaku di negeri ini. Sebagai warga negara yang baik dan terutama kalian ini calon perwira yang bertugas untuk menegakkan keadilan, kita harus-"
Tok ... tok ... tok.
"Masuk."
Matsuda-san menginterupsi kegiatan kami dengan masuk ke kelas sembari membawa sebuah map cokelat. Dari raut wajah polisi wanita itu, aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Matsuda-san membisikkan sesuatu kepada Aoyama-san dan itu membuat pelajaran dihentikan mendadak. Keduanya kemudian keluar dari kelas dengan buru-buru, meninggalkan kami yang mulai membuat keributan karena penasaran.
Aku mencolek punggung Yoshino, perlu waktu untuk dia menoleh.
"Aku sudah mendapatkan ide untuk-"
Dia memotong kalimatku dengan menggumamkan kalimat yang tidak terlalu jelas.
"Hah?"
Yoshino menoleh, kedua alisnya bertaut dan sorot mata seriusnya membuatku kembali meneguk ludah.
"Kita sudah terlambat."
"Terlambat? Apa sudah waktunya jam makan siang?"
"Rencana penyelidikan kita akan berakhir sia-sia, Kawamura."
Aku mengernyit, kebingungan. "Maksudmu, penyelidikan terhadap seorang laki-laki tua yang kau lihat kemarin?"
"Kenapa aku bisa bertemu dan membicarakan hal ini pada orang sepertimu," ucap Yoshino sambil hendak berbalik badan sebelum aku menarik bahunya kembali untuk menghadapku.
"Dengar. Jangan hiraukan otakku yang tidak punya banyak tempat untuk menjabarkan hal-hal rumit seperti pikiranmu. Jika penyelidikan itu yang kau maksud, bukankah kita sama sekali belum melakukannya? Aku baru saja terpikirkan kita akan kabur dengan cara-"
"Percuma. Orang itu sudah beraksi."
"Jangan bercanda."
Secara spontan aku berdiri dan berderap keluar kelas. Ini tidak bisa dibiarkan, bisa-bisanya orang itu melakukan aksinya sebelum kami sempat melakukan penyelidikan! Tidak, tidak, kami harus bergerak cepat seperti seorang ninja. Ya, dalam kemisteriusan, cepat, tangkas, dan tentunya keren.
Aku mendengar Yoshino mengatakan kepada teman kami yang lain jika kami keracunan makanan hingga mengalami sakit perut yang hebat. Rupanya bocah itu sudah pandai berbohong, ya. Baiklah, tidak apa-apa Yoshino berubah menjadi murid nakal demi kebaikan. Tidak tahu kenapa aku merasa bangga. Lorong di akademi terlihat sepi, entah ke mana perginya para staff yang biasanya berlalu lalang seperti setrika di depan kelas kami. Tanpa tedeng aling-aling aku membuka pintu kamar asrama dan menaikkan jendela kamar kami, tapi Yoshino menarik tanganku.
"Apa yang akan kau lakukan?!"
"Lebih baik kita segera menangkap pencurinya langsung, Yoshino!"
"Tapi aku tidak yakin jika orang itu pelakunya," balas Yoshino. Anak itu mulai ragu. Padahal tangan dia selalu teracung paling tinggi di dalam kelas.
Aku berdecak, lalu menaikkan satu kaki ke jendela. "Sekarang atau kau akan menyesal karena tidak bisa melihat dia babak belur di tanganku!"
"Tunggu! Tunggu!"
Aku mendarat dengan sempurna di halaman belakang asrama kami dan melongok ke atas untuk melihat Yoshino yang masih merenung di balik jendela. "Dasar penakut! Ini hanya setinggi 2 meter, kau tidak akan patah tulang. Paling kakimu hanya bertambah ungu."
Yoshino kembali masuk dan kupikir dia membatalkan rencana kami, tapi rupanya anak itu membawa tas ransel di punggungnya dan melompat. Dia mendarat tak semulus diriku, karena harus terjungkal mencium tanah dan memekik seperti gadis SMA penakut. Halah, tampang saja dingin dan sok kalem, kelakuan tak jauh berbeda dengan gadis masa puber.
"Aku akan membunuhmu, Kawamura."
"Maka aku akan menghentikanmu lebih dulu, Yoshino. Ayo! Kau tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan bolos ini, kan?"
Sebelum melompati dinding pembatas setinggi satu setengah meter, aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Setelah ini, apa yang akan kita lakukan jika sebuah hal buruk sudah terlanjur terjadi? Apakah kami akan menyesal? Karena seperti yang Yoshino katakan, misi sembarangan kami ini hanya akan berakhir sia-sia. Namun, pada akhirnya kita tidak tahu jika tidak mencobanya, bukan? Aku tidak ingin menyesal untuk yang kedua kalinya.
Tidak lagi.
***
Aku tidak tahu apakah sampai tepat waktu atau tidak, tapi yang pasti Aoyama-san sudah bersiap dengan moncong pistolnya di depan sebuah rumah tingkat dua dengan cat dinding berwarna cream. Banyaknya mobil yang terparkir di halaman rumah sekitarnya mempermudah posisiku untuk mengintai dari jarak yang cukup dekat. Entah kenapa degup jantungku semakin berisik saat pintu berhasil didobrak ditambah tepukan pada lengan oleh Yoshino secara tiba-tiba.
"Kenapa kau terlihat gugup? Jangan bilang kau tidak punya rencana akan melakukan apa setelah ini, Kawamura."
Aku membuang pandang lalu mengusap wajah. Yoshino benar, bahkan isi kepalaku sangat penuh daritadi entah apa penyebabnya. Kepalaku menggeleng. Berhenti berpikir ke mana-mana, Kazuma. Prioritasku sekarang adalah mengetahui dan menyelamatkan-
Dor!
Baik aku maupun Yoshino terdiam dan saling pandang. Kami spontan berlari mendekat, tapi dengan tetap mengendap-endap. Suara gaduh bisa kudengar dari dalam. Satu orang polisi yang belum pernah kulihat sebelumnya berlari keluar menuju ke arah belakang dengan terburu-buru. Apa yang terjadi?
"Kita harus masuk. Ayo!"
"Apa kau sudah tidak waras?!" bisik Yoshino sambil menarik kerah belakangku hingga jatuh terduduk lagi.
"Tujuan kita hanya menyelidiki, bukan menangani kasus ini. Masih untung kita berhasil bolos tanpa diketahui oleh siapa pun! Sekarang kau mau menerobos masuk dan membuat kita dihukum lebih berat, hah? Setidaknya gunakan otakmu sedikit, Kawamura."
"Mulutmu terlalu pedas jika dibandingkan dengan gekikara ramen yang pernah kumakan, Yoshino," ucapku sebal. Walau begitu, perkataannya tidak salah. Aku terlalu gegabah. Namun, entah kenapa rasanya semakin sesak jika ditahan. Aku bahkan tidak bisa fokus sejak berhasil melompat keluar dari akademi.
Apa karena aku belum makan? Atau tidurku yang kurang panjang? Apa aku masih memikirkan sampo dan dompetku yang sekarang entah berada di mana? Lebih buruk, apakah aku akan terus memakai kaos training milik Yoshino?
"Aku ikut menyesal karena tidak bisa menyelamatkannya. Segera hubungi kantor pusat. Pelaku berhasil melarikan diri."
Aku membeku saat melihat sebelah tangan berlumuran darah terulur di pintu masuk. Dadaku terasa nyeri, aku bahkan mencium aroma anyir yang menguar entah dari mana. Sialan! Kenapa aku mengingatnya lagi!?
"Kawamura!"
Aku berjengit lalu menoleh pada Yoshino yang menatapku keheranan. "Aku sudah memanggilmu berulang kali daritadi. Aoyama-san sudah pergi. Apa kau ingin tetap melanjutkan penyelidikan?" tanyanya.
Aku mengangguk singkat lalu tersenyum samar. "Aku dengar pelaku berhasil melarikan diri. Tugas kita sekarang adalah memburu pelakunya, bukan?" tanyaku sambil memaksa menatap ke dalam rumah itu lagi.
Yoshino terdiam cukup lama sampai aku harus berbalik dan menatapnya. "Kenapa?"
"Apa kau baik-baik saja?"
Aku berkedip lantas tertawa sumbang sambil menepuk-nepuk bahunya. "Tentu saja! Aku hanya lapar dan memikirkan menu makan apa yang akan kita dapatkan nanti. Kau-"
Ucapanku terhenti saat melihat seseorang mengendap-endap di belakang mobil yang sebelumnya menjadi tempat persembunyianku. Tas besar berada dalam genggamannya dengan gerak-gerik yang mencurigakan. Entah karena dia merasa aku memperhatikannya, pandangan kami langsung bertemu. Orang itu terlihat ketakutan lalu berlari kencang meninggalkan lokasi, persis seperti bajingan yang membawa tasku di stasiun. Tanpa menunggu lama atau memastikan keraguan Yoshino sebelumnya, aku ikut berlari dengan cepat mengejar sosok pria itu. Namun baru setengah jalan, aku menepuk jidat kemudian kembali ke hadapan Yoshino.
"Dengar, segera kembali ke akademi dan awasi Aoyama-san. Aku tahu kau sangat pintar dan lihai dalam menggali dan mendapatkan informasi. Urusan pencuri itu, biar aku yang tangani. Oke? Dah!"
Yoshino lagi-lagi menarik kerah baju belakangku saat sudah selangkah menjauh. Apa dia pikir leherku terbuat dari baja yang tidak bisa merasakan sakit?! Kedua kalinya aku hampir muntah karena tercekik. Dia sungguh ingin membunuhku atau apa?
"Setidaknya berikan alasan saat Kurosawa-san bertanya kau ada di mana! Apa yang harus aku katakan?"
"Katakan saja aku sedang menangkap pencuri! Kuserahkan sisanya padamu, Hoku-chan!"
Baiklah ... aku tidak akan gagal lagi kali ini!
🚔🚔🚔
"OI! BERHENTI!" teriakku setelah berlari cukup jauh dari akademi.
Pria itu memang lebih lambat dariku, tapi kemampuannya dalam menghindar patut kuakui. Sialnya dia terus melaju menuju permukiman yang lebih ramai bahkan nekat menerobos jalan raya yang penuh oleh laju mobil dari sisi kiri dan kanan, membuat bising sesaat oleh bunyi klakson yang sekarang bersahutan memekakkan telinga. Langkahku tersendat, situasi jalanan menjadi sedikit kacau. Pencuri itu sempat menoleh lalu berlari kembali dan berbelok di tikungan.
"TOLONG BERHENTI!" teriakku kembali setelah berhasil menghindari beberapa amukan pengguna jalan.
Nasib buruk sepertinya senang menimpaku hari ini. Seorang wanita paruh baya tidak sengaja tertabrak olehku hingga menjatuhkan barang belanjaan di keranjang sepedanya tepat saat aku berbelok ke kanan. Aku buru-buru membantunya dan meminta maaf berulang kali sambil berjanji akan mengganti rugi. Wanita itu hanya mendengkus kasar kemudian berlalu begitu saja dengan terburu-buru. Oh ayolah! Aku hanya ingin membantu. Apa tampangku seperti preman jalanan yang hobi memalak orang?
Kepalaku menoleh ke depan lagi dan baru sadar jika pria itu sudah tidak ada. Tidak, aku masih bisa mencarinya. Semangatku kembali menggebu lalu melanjutkan langkah di jalan yang lebih sempit dan sepi ini. Hanya dinding-dinding rumah dengan warna cat yang sama dan beberapa tempat parkir mobil yang terlihat. Sampai pertigaan jalan membuatku menemukan jalan buntu. Aku tidak sepintar Yoshino yang tahu segalanya seperti mesin pencari berjalan, tapi instingku mengatakan jika dia pergi ke arah aku berlari sekarang. Sebuah toko baju yang kuketahui bernama Workman Fuchū-Shiraitodai store, membantuku menemukan titik terang.
Aku berlari masuk dan menatap sekitar lalu segera berjalan ke mesin kasir. "Maaf, apa kau melihat seorang pria yang membawa tas masuk ke sini? Dia mengenakan baju berwarna biru."
Gadis yang mungkin berusia 19 tahun itu mendongak lalu mengerutkan alisnya. "Toko kami menerima banyak sekali pengunjung hari ini, jadi sulit bagiku untuk tahu siapa orang yang kau maksud."
"Cctv! Apa cctv di depan toko ini berfungsi?" tanyaku langsung yang membuatnya terkejut.
"T-tentu saja. Apa ada yang bisa kubantu?"
Aku hendak berbicara, tapi meminta rekaman cctv secara tiba-tiba seperti ini bukankah sama saja aku melakukan tindakan ilegal? Melihat raut wajahnya saja dia sudah ketakutan sekarang. Ck, wajahku tidak seburuk itu tahu.
"Tidak, terima kasih. Aku akan segera kembali lagi ke sini. Apa aku bisa meminta bantuan padamu? Jika kau menemukan seorang pria berbaju biru yang membawa tas di pelukkannya dengan tingkah yang mencurigakan, tolong segera hubungi polisi, ya?" ucapku sambil tersenyum kemudian berlalu. Tidak ada waktu untuk diam, aku harus memberitahukan hal ini pada Aoyama-san.
Pergelangan tangan kiriku terasa sakit secara tiba-tiba, lagi. Kebas, mati rasa, aku benci rasa ini. Kaleng yang tidak sengaja kutemui di pinggir jalan menjadi korban dari amarah yang tiba-tiba merasuk begitu saja. Bagaimana bisa para bajingan dan sampah masyarakat seperti mereka terus lolos dan berkeliaran dengan mudah di dunia ini?! Yang hanya tahu mencuri, memuaskan hasrat diri, atau membalaskan dendam lama yang tidak berguna. Sebenarnya apa isi otak mereka?!
Mereka tidak memikirkan bagaimana nasib dari orang-orang yang telah mereka renggut haknya. Bagaimana perasaan orang-orang yang mencintai dan menyayanginya, dan bagaimana perasaan seseorang yang merasa gagal dalam melindunginya. Memori itu muncul kembali, seolah memperingati dan menahanku untuk bertindak lebih jauh lagi.
Mataku terasa panas. Tidak, jangan jadi anak cengeng, Kazuma. Sekarang masih belum terlambat. Akan kubuat para manusia sialan itu berada di balik jeruji besi secepatnya. Karena itulah tujuanku masuk ke akademi kepolisian ini. Aku mengusap wajah lalu mengangguk dengan pasti. Langkahku kembali bergerak cepat menuju dinding pembatas asrama. Tidak sulit melompat dan masuk dengan mudah mengingat aku sering melakukan parkour di rumah.
Jendela kamar asramaku terbuka. Yoshino yang kebetulan berada di sana spontan berdiri dari kursinya lalu menghampiriku. "Maaf, aku tidak bisa menangkap pencuri itu, tapi mungkin rekaman cctv bisa membantu," kataku lesu.
"Maksudmu?"
"Kita harus memberitahu Aoyama-san ke mana pencuri itu pergi. Hanya dia yang bisa membantu. Aku tahu setelah ini mungkin kita akan dihukum lebih berat lagi, tapi aku tidak mau pencuri itu berkeliaran bebas tanpa diadili." Hening di antara kami. Hingga aku menunduk dan tidak sadar sudah mengepalkan tangan dengan erat.
"Ada satu korban yang tewas dalam kasus ini, Yoshino."
"Yoshino?"
Aku mendongak, menatapnya bingung. "Y-ya? Bukankah itu namamu?"
"Ah ... ya. Lupakan saja."
Ada apa dengannya? "Aku tidak akan mengubah keputusanku. Kau boleh membunuhku setelah pencuri itu tertangkap, Hoku-chan."
"Hoku-chan?"
"Kenapa kau terus mengulang-ulang namamu sendiri? Namamu Yoshino Hokuto, kan? Apa yang salah dengan ucapanku?"
Dia menatap tajam persis seperti saat kami pertama kali bertemu. Aku meneguk ludah lalu mengusap tengkuk sambil mencoba tersenyum. Kenapa dia terlihat begitu marah?
"H-hei, apa aku membuat kesalaha-"
"Setidaknya panggil namaku dengan benar, bodoh," ucapnya sambil keluar lebih dulu dari kamar.
Hah?
Yoshino berhenti, dia berbalik dan sedikit mengulas senyum yang di mataku terlihat aneh.
"Na, Ka-kun. Mandilah, aku tidak sudi satu kamar dengan manusia penuh keringat dan kotor sepertimu."
"Ka-kun?" Aku menunjuk diriku sendiri, sedangkan anak itu mendesah panjang lalu berbalik dan melanjutkan langkah.
"OI, HOKU-CHAN! APAKAH KITA SUDAH MENJADI TEMAN?"
Dia tidak menjawab melainkan hanya mengacungkan satu tangan beserta ibu jarinya ke udara sebelum menghilang di ujung lorong.
"TERIMA KASIH, HOKU-CHAN!"
Aku tahu jika sebuah usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Karena itu aku tidak mau berdiam diri seperti dulu lagi. Aku punya teman baru, dan semoga dia bisa membantuku yang masih sangat payah ini.
Yosh! Baiklah, Kazuma. Kau dan Hokuto pasti bisa menyelesaikannya dengan sempurna!
🚔🚔🚔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top