CASE 16# UNVEIL THE VEIL
"Hati manusia adalah rahasia terbesar di dalam sebuah kehidupan."
-Arcblood Phoenicis-
🚔🚔🚔
"Dasar bodoh! Sudah berapa kali aku bilang padamu untuk tidak mengayuh secepat itu kemarin, kan? Bagaimana kita menjelaskannya pada Akemi-san, hah?"
Hokuto lagi, lagi, dan lagi menceramahiku sambil terus mendumal tiada henti. Setiap kali berhenti mengoceh selama 15 menit, mulut pedasnya itu akan kembali berbicara. Aku menghela napas lalu menolehkan kepala padanya yang kini semakin kencang mengayuh sepeda.
"Sepeda itu sudah tua, Hoku-chan. Kau sendiri lihat bagaimana aku sudah susah payah memperbaikinya! Bukan sepenuhnya salahku jika begitu!"
"Tetap saja! Jika kau mendengarkanku sekali saja kemarin, aku tidak usah memboncengmu seperti ini sekarang. Cih."
Bibirku refleks bergerak meniru bagaimana Hokuto mengomel tanpa suara. Mengejeknya yang seolah merasa paling benar, kadang aku tidak menyukai sifatnya yang seperti ini.
Semua bermula ketika kemarin selepas pulang dari restoran tonkatsu, aku mengajak Hokuto untuk berlomba sampai ke koban dengan syarat yang lebih dulu sampai di sana akan mendapat setengah jatah makan siang dan malam dari yang kalah. Hokuto jelas menolak, tentu saja. Dipikirannya pasti hanya ada alasan-alasan yang mengataiku seperti anak kecil, bodoh, dan kekanakkan, tapi setelah berulang kali mengusiknya akhirnya dia mau berhenti dan mengambil ancang-ancang untuk meladeniku saat itu.
Dua sepeda kami lantas meluncur di jalanan lengang bebas tanpa hambatan. Kakiku semangat mengayuh pedal tanpa menoleh ke belakang dan memperdulikan teriakan Hokuto yang menyuruhku segera berhenti padahal kami baru saja mulai. Namun, rupanya perkataan anak itu bukan tanpa sebuah alasan. Pedal yang kuinjak secara mengejutkan tidak bisa kukayuh dan rem yang semula masih bekerja dengan normal, sialnya secara tiba-tiba tidak bisa berfungsi. Laju sepedaku yang terlampau cepat tidak memungkinkan bagi kedua kakiku turun ke aspal untuk menahan kecepatan sepeda.
"HO-HOKU-CHAN! TOLONG AKU!"
Beruntung, pasangan kakek dan nenek yang tengah menyeberang tidak tertabrak karena aku spontan membelokkan sepeda ke arah trotoar dan menghantam pohon besar yang ditanam di sana. Seharusnya kau tahu bagaimana nasib sepeda tua nan malang itu seperti apa sekarang.
"Apa? Kau baru saja menyadari betapa konyol tingkahmu kemarin, hah? Pikirkan saja bagaimana kita memberitahu Akemi-san saat nanti dia sudah kembali."
"Aku tahu, aku tahu! Fokus saja pada jalanan di depanmu atau aku akan melompat turun sekarang juga dan membuat kita terjatuh!"
Sepersekian detik ucapanku baru terhenti, Hokuto mengerem tanpa aba-aba. Membuatku nyaris mencium aspal jika saja tangan anak itu tidak menarik kerah belakangku dengan cepat.
"Sekali lagi kau mengomel, aku benar-benar akan membuatmu terjungkal mencium aspal panas," ketusnya.
Sepeda melaju kembali tanpa ada perdebatan lagi. Posisiku masih menghadap ke arah belakang dengan Hokuto yang menjalankan sepeda dan satu buah keranjang besar di depan berisikan selebaran yang belum selesai kami antar kemarin.
"Na, apa kau tahu apa yang akan kita lakukan selanjutnya untuk menyelidiki kasus perampokan dan penculikan tiga tahun lalu itu?" tanyaku akhirnya setelah teringat kembali dengan misi utama kami. Hokuto tidak menjawab selama beberapa saat kemudian memelankan laju sepeda.
"Tidak ada petunjuk atau file yang bisa kita temukan di ruang kantor akademi. Kurasa, kasus itu memang disimpan di kantor pusat dan diletakkan di tempat khusus agar tidak ada yang bisa mengambilnya."
"Memang siapa yang mau mengambil berkas atau file seperti itu?"
Kedua bahu anak itu terangkat. Aku kembali menundukkan kepala, fokus ke jalanan yang dilalui oleh roda sepeda. Tekad serta tujuanku untuk menyelidiki kasus ini sebenarnya masih sangat buram. Aku hanya merasa tidak ingin gagal dan menyia-nyiakan kesempatan lagi setelah tidak dapat menyelamatkan anak malang yang meminta bantuan itu. Polisi masih mengusut secara tuntas dan mengejar pelaku yang kini malah menghilang entah ke mana. Berharap saja penyidik kali ini bisa lebih cepat bertindak tanpa harus menunggu jatuh korban lagi.
"Apa kita harus membelikan Aoyama-san serta Sakamoto-san makan siang dan mengajak mereka untuk duduk bersama?"
"Sama saja artinya kau sedang menyuap mereka untuk mau berbicara, Ka-kun."
Aku meringis, betul juga. Pasalnya kedua inspektur itu adalah satu-satunya petunjuk kami untuk saat ini, walau mungkin akan butuh waktu yang sangat lama untuk tahu apa yang terjadi di antara keduanya dengan kasus misterius itu. Aku mengerang kencang sejenak. Rasanya melelahkan, tapi lagi-lagi ambisiku mampu mengalahkan rasa penat yang mendera.
Sepeda berhenti di salah satu rumah yang terlihat sepi penghuni. Kakiku lekas menapak aspal dan mengambil satu amplop di keranjang kemudian beranjak ke depan pintu berpelitur cokelat muda itu.
Satu kali ketuk, dua kali ketuk, tiga kali ketuk, masih tidak ada jawaban. Pada akhirnya aku meletakkan selebaran itu di bawah pintu lantas berkata, "Permisi, ada selebaran yang harus Anda terima. Kami harap Anda mau membacanya. Terima kasih!"
"Kenapa kau meletakkannya di sana?" tanya Hokuto setelah aku mendekat kembali padanya.
"Tidak ada yang menyahut, jadi kuletakkan saja di depan pintu. Memangnya aku harus masuk dan meletakkannya di laci pemilik rumah? Orang bisa mengira yang tidak-"
"Baiklah, baiklah. Bertanya padamu hanya menghabiskan waktu. Cepat naik, masih ada beberapa lembar yang belum kita bagikan."
Tadinya aku memang berniat demikian setelah memukul kepala anak ini, tapi sesuatu yang terasa janggal menarik atensiku pada sebuah gang di seberang jalan, tempat di mana seorang pria baru saja keluar dari sana sedang menggandeng seorang anak kecil yang terus menunduk dan berjalan terseok.
"Oi, apa yang kau lakukan? Cepat naik!"
"Bagaimana caranya agar seseorang bisa melihat ke arah kita tanpa perlu memanggilnya?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari dua orang itu yang mulai menjauh.
"Hah? Apa yang-"
"Katakan saja!"
"Mana kutahu! Memangnya siapa yang ingin kau panggil?"
Aku mengabaikan pertanyaan Hokuto dan segera berlari kecil mengikuti keduanya. Kecurigaanku semakin bertambah saat pria itu mengubah posisi berjalan mereka dengan dirinya yang berdiri di bahu jalan, seolah menutupi tubuh si anak dari tatapan lalu lalang pejalan kaki yang lain. Baiklah Kazuma, ayo lakukan hal memalukan sekali lagi.
"AKU SANGAT INGIN MAKAN BENTO!"
Teriakanku memancing seluruh pandang orang-orang yang lewat dengan tatapan aneh dan bingung, tapi aku tidak peduli. Netraku terus menyasar pria itu yang malah semakin mempercepat langkah. Tidak mau kalah, aku juga ikut berlari kecil menyeimbangi kecepatannya.
"BENTO BOX SEPERTINYA COCOK DI MAKAN DI SIANG HARI! BUKANKAH BEGITU?"
"Kazuma! Apa yang kau lakukan, bodoh?!"
Tepat sesuai dugaan. Anak kecil itu berhenti lalu menoleh ke arahku. "Paman polisi! Tolong aku!"
Tanpa tedeng aling-aling kakiku dengan cepat mengejar pria itu yang langsung menggendong si anak dan membawanya lari. Hokuto yang mungkin baru saja menyadari apa yang terjadi segera menyusulku dengan sepeda-tidak, dia melewatiku begitu saja tanpa rasa berdosa dan meninggalkanku jauh di belakang.
"OI! AKU BUTUH TUMPANGAN!"
"Aku akan memotong akses jalannya! Kau teruslah mengejar! Aku mengandalkanmu, Ka-kun!"
Sialan! Awas saja kau nanti Hokuto.
Meski begitu, kecepatan pria itu masih bisa kuraih mengingat dirinya yang membawa si anak. Namun, kelincahannya dalam berkelit dan menghindar seolah bisa membaca pergerakan tanganku yang mencoba meraih bajunya dari belakang benar-benar tidak biasa. Dia bahkan sempat melempar sesuatu yang dibawanya dan sukses menghantam wajahku dengan keras.
Perasaan lega saat tahu Hokuto berhasil memotong jalan pria sialan itu harus luntur saat dia malah berusaha menahan si anak menggunakan lengannya tepat di bagian leher. Posisi kami memang menguntungkan karena bisa berada di depan serta belakang yang memudahkan untuk menyergap. Namun, apa yang pria itu lakukan membuatku dan Hokuto harus berpikir dua kali untuk mendekat.
"Dengar, kami hanya ingin meminta keterangan tanpa ada keributan. Anak itu sempat berteriak meminta tolong, apa yang kau lakukan padanya?" tanya Hokuto berusaha memancingnya berbicara.
"Seharusnya aku yang bertanya! Kenapa kalian berdua mengejar seorang ayah yang sedang membawa anaknya, hah?!"
"Mana mungkin seorang ayah menahan anaknya dengan posisi seperti itu? Kau mau membunuhnya, hah?" kataku mulai geram. Tidak salah lagi, ciri-ciri anak itu sama dengan anak yang kulihat kemarin malam. Ke mana si wanita yang mengaku sebagai bibinya?
"Bukan urusanmu! Cepat pergi! Polisi macam apa yang menuduh secara sembarangan seperti ini? Aku akan melaporkan kalian pada pihak berwajib!"
Aku mengangguk pada anak kecil itu yang rupanya diam-diam terus memperhatikanku. Kepalaku mendongak, menatap Hokuto lantas mengangguk kembali memberi isyarat. Nasib baik dia mengerti apa yang kumaksud. Mulutku bergerak menyebutkan angka satu sampai tiga tanpa suara hingga akhirnya si anak berhasil menggigit tangan besar itu yang membuat si pria mengerang kesakitan lalu segera melepasnya.
Aku dan Hokuto dengan gesit mendekat untuk meringkusnya, tapi sayang dia berhasil kabur lebih dulu. Baru hendak mengejar, gaung sirine polisi terdengar kencang mendekat. Baik aku maupun Hokuto menoleh saat dua mobil berhenti tepat di depanku dan dua sosok yang sempat kami bicarakan muncul begitu saja.
"Cepat kejar pria itu dan perketat keamanan di sekitar!"
"Baik!"
Aoyama-san sempat melirik kami tanpa berbicara lantas berlari menjauh. "Sebaiknya kalian kembali. Kami yang akan menangani orang itu selanjutnya," ucap Sakamoto-san yang langsung menyusul Aoyama-san.
"Bagaimana mereka bisa tahu kita ada di sini?"
"Sepertinya ada yang memanggil 110 saat melihat kita mencegah pria tadi," jawab Hokuto. Aku berdecak sambil melihat ke arah terakhir kali si keparat sialan itu melarikan diri. Hokuto menepuk bahuku sambil mengangguk, tanda kami harus menyudahi aksi ini. Terpaksa aku menurut lalu mengekor dari belakang menuju sepeda terparkir.
"Tunggu, paman polisi!"
Kami serempak menoleh dan langsung mendapat pelukan hangat dari seorang anak yang hampir saja menghilang kembali. Dia mendongak sambil tersenyum sangat lebar, matanya terlihat sembab dan sedikit bengkak akibat menangis, kurasa.
"Terima kasih karena sudah menolongku! Aku sangat takut tadi, tapi setelah mendengar teriakan paman, aku tidak takut lagi! Paman keren!"
Aku membalasnya dengan tawa kecil sambil mengacak-ngacak rambut anak itu. "Nah, apa kau masih ingin bento box?" tanyaku yang dijawab anggukan darinya.
"Siapa namamu?" tanya Hokuto.
"Tatsuya Shiro!"
"Shiro-chan, ayo, kita harus pergi sekarang," ucap salah seorang petugas polisi wanita yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Ano, apakah saya boleh tahu siapa yang memanggil polisi untuk datang kemari? Karena sepertinya ada seseorang yang melakukan hal itu."
"Saya yang melakukannya."
Seorang wanita paruh baya muncul di balik punggung polisi wanita itu dengan senyum simpul sambil mengangguk sekali pada kami. "Melihat kalian berlari dengan tergesa setelah menyimpan selebaran di depan pintu, aku langsung menghubungi polisi. Syukurlah jika dugaanku benar bahwa ada orang jahat yang tengah kalian kejar."
Aku berdiri kembali sambil bersitatap dengan Hokuto. Wanita paruh baya itu lantas berbincang dengan petugas polisi lain yang langsung mengajaknya untuk pergi. Namun, sebelum mengiyakan ajakannya, dia berbalik dan menatapku serta Hokuto cukup lama sambil tersenyum.
"Apa kalian akan berpatroli lagi besok?"
Aku mengerjap. "Mungkin iya. Kami hanya menunggu perintah untuk melakukan tugas selanjutnya."
"Ah, begitu rupanya. Namaku Hayashida Amane, senang bertemu dengan kalian berdua. Saya pamit lebih dulu. Selamat siang."
Dia membungkuk padaku lantas berjalan beriringan dengan petugas polisi. Shiro juga lekas dibawa masuk ke dalam mobil setelah mendapat perintah untuk yang kedua kali. Hanya tersisa kami berdua dan satu mobil polisi yang masih berada di dekat pohon rindang. Sejenak aku mengira wanita itu berharap bisa bertemu dengan kami lagi besok. Entahlah, aku hanya menebak saja.
"Kita harus kembali. Sepertinya Akemi-san sudah tahu perihal kejadian ini," lontar Hokuto begitu saja.
"Bagaimana kau tahu?"
"Karena aku pintar dan kau bodoh. Sudahlah, kurasa kau juga tahu apa yang akan kita lakukan setelah sampai di koban. Bukankah momen seperti ini yang kau tunggu-tunggu, Ka-kun?"
Hokuto tersenyum penuh arti. Aku mengangguk lalu bergegas naik ke atas sepeda. Kali ini tidak ada perdebatan lagi. Otak kami seolah tersambung untuk merencanakan sesuatu yang mungkin menjadi awal mula titik terang untuk menyingkap misteri pada kasus ini.
🚔🚔🚔
Sesampainya di koban, Akemi-san rupanya sudah duduk tenang sambil menulis sesuatu di atas meja. Ada tambahan satu kursi lain yang terletak di sisi kanan dan kiri dan saling berhadapan, sehingga tempat ini memiliki 3 kursi sekarang. Aku melangkah lebih dulu untuk duduk disusul dengan Hokuto.
"Ah, kalian sudah kembali rupanya. Apa semua selebaran sudah disebar?" tanya Akemi-san saat baru menyadari kehadiran kami.
"Belum. Hanya tersisa sedikit lagi karena ...." Aku menatap Hokuto, memintanya untuk menjelaskan, tapi dia malah tidak menunjukkan ekspresi sedikitpun selain tatapan memicing tajam.
"Ya? Karena apa?" tanya Akemi-san sambil melanjutkan menulis.
"Apa Anda tidak tahu apa yang sudah kami lewati hari ini?" tanyaku. Reaksi yang sudah kubayangkan sangat berbanding terbalik dengan apa yang terjadi sekarang. Aku tidak menduga jika polisi di sampingku yang malah bertanya. Bukankah dia juga seharusnya tahu apa yang terjadi?
Aku menendang kaki Hokuto di bawah meja yang membuatnya seketika melotot.
"Apa yang harus kita lakukan untuk memancingnya berbicara tentang kasus Shiro-chan?" tanyaku tanpa suara. Akemi-san masih terfokus pada kertas di hadapannya, seharusnya dia tidak menyadari atau mendengar apa yang kukatakan.
"Katakan saja langsung," balasnya tanpa suara juga.
Aku berdecak pelan lalu menatap Akemi-san lagi. "Ada seorang anak yang diculik dan kejadiannya tepat berada di depan kami. Karena itu tugas yang Anda berikan belum selesai dikerjakan."
"Begitu? Apa penculiknya sudah ditangkap?" Polisi itu mendongak menatapku secara tiba-tiba.
"Sa-saya rasa su-sudah."
Akemi-san tertawa setelah melihat ekspresiku. Dia menggelengkan kepalanya kemudian meletakkan pulpen di atas kertas berhiaskan tulisan tangan miliknya. "Aku tahu kalian sudah berasumsi jika aku mengetahui semua hal yang terjadi hari ini. Bukan begitu?"
Hokuto mengangguk lebih dulu. "Tentu. Karena itu kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pelaku yang bersama anak kecil itu bukan seorang wanita yang Kazuma sempat temui. Apa mereka adalah rekan kerja?"
"Sepertinya kau tidak suka basa-basi, Yoshino. Untuk apa kalian ingin mengetahui hal ini? Tidak ada untungnya bagi kalian, bukan?"
"Karena kami adalah orang pertama yang mengetahui kejadian penculikan tersebut. Bukankah kami juga harus tahu bagaimana perkembangan dari kasus itu dan siapa pelaku sebenarnya? Benar kan, Hokuto?"
Hokuto mengangguk-angguk sementara Akemi-san menghela napas dan menyandarkan punggung pada kursi. "Yah, ada benarnya juga. Jadi, apa yang ingin kalian dengar lebih dulu dari seorang petugas polisi penjaga koban, Nak?" Akemi-san tersenyum.
"Kami akan mendengarkan secara runtut dan saksama apapun itu yang akan Anda ceritakan lebih dulu," jawab Hokuto tanpa ragu.
"Wanita yang ditemui oleh Kawamura di malam itu bernama lengkap Katsumi Maru. Berusia 24 tahun dan merupakan seorang kekasih dari pria yang baru saja kalian temui, Hitoshi Masao berusia 26 tahun. Kabar keduanya yang merebak sebagai pasangan kriminal penculik anak di akhir tahun lalu menjelang natal tiba menjadi sangat populer saat kepolisian dari Prefektur Shiga tidak menemukan titik terang mengenai keberadaan mereka. Sejujurnya aku tidak terlalu mengikuti kasus ini secara signifikan, tapi setelah adanya berita yang mewajibkan seluruh kepolisian di setiap prefektur untuk mengirimkan kabar serta laporan jika ada yang melihat keduanya, penculikan ini kembali diusut secara lebih mendalam. 7 bulan lamanya penyidik berusaha menebas buntu pada kasus ini, akhirnya kalian membuka jalan bagi mereka untuk bertindak."
Entah kenapa ada rasa bangga dalam diriku selama Akemi-san bercerita. Tidak, bukan karena diriku yang secara tidak sengaja menemukan pelaku yang sudah menjadi buronan para aparat sehingga mempermudah kinerja mereka memberantas kejahatan, melainkan rasa bangga karena berhasil membantu orang lain yang berada dalam kebingungan dan kebimbangan. Bukankah artinya diri kita berguna?
"Apakah Hitoshi-san sudah ditangkap?" Giliranku bertanya.
"Kabar baiknya dia dengan sukarela menyerahkan diri kepada polisi tepat sehari sebelum kalian melihat kekasihnya hari ini."
Baik aku dan Hokuto saling pandang dengan raut terkejut. Apa ada sesuatu yang terjadi dengan mereka 2 hari yang lalu? Atau memang semua ini adalah bagian dari rencana keduanya untuk mempersulit bagian kepolisian dalam membuat laporan?
"Apakah mereka terlibat konflik antara satu dengan lain? Maksud saya, rasanya terlalu riskan jika memang rencana mereka sedari awal hanyalah bersembunyi, terbukti dengan keberadaan keduanya yang tidak dapat terlacak oleh polisi selama setengah tahun dan anak itu masih dalam kondisi hidup sampai sekarang."
Aku mengangguk-angguk cepat mengiyakan perkataan Hokuto lalu menatap Akemi-san kembali yang lagi-lagi menghela napas. Sepertinya lelah meladeni kepala batu macam kami.
"Hitoshi memang menyerahkan diri, tapi tidak dengan informasi yang dia ketahui. Selama berada di ruang interogasi, wanita itu hanya diam tanpa minat berbicara. Menatap ke depan pun tidak. Namun, dari hasil pengamatan terhadap fisik pada bagian wajah dan lengan, ada kemungkinan tindak kekerasan yang terjadi di antara mereka. Dengan adanya Shiro sebagai korban yang selamat, mungkin dapat membantu pengadilan berjalan lebih cepat kali ini melalui keterangan darinya."
"Tapi apa motif sebetulnya mereka melakukan penculikan hingga harus mengurung seorang anak kecil selama itu?"
"Perdagangan anak," ucap Akemi-san. "Kurasa kalian seharusnya sudah tahu tentang hal ini. Pelaku tidak meminta tebusan melainkan menghilang dan tidak dapat terlacak. Jika memang pembalasan dendam yang diinginkan, setidaknya ada beberapa sinyal yang semestinya mereka tunjukkan pada orang-orang terdekat korban. Seperti teror berupa foto atau video untuk setidaknya menambah kekhawatiran yang membuat keluarga atau kerabat korban merasa sedih dan putus asa. Bahkan bisa saja lebih buruk dari sekadar menyiksa."
"Aku harap bajingan seperti mereka tidak pernah hidup di dunia ini," gumamku kesal.
"Baik. Kurasa sudah cukup sesi tanya jawab hari ini. Masih ada pekerjaan yang harus kalian lakukan, bukan? Aku harus menyerahkan beberapa berkas ini pada inspektur kalian, jadi tolong jaga tempat ini dengan baik. Mengerti?"
Kursi berderak pelan menjauh dari meja. Ada rasa tidak puas saat Akemi-san begitu saja mengakhiri percakapan. Walau pada akhirnya kasus penculikan Shiro mampu terselesaikan, tapi masih ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan.
"Aoyama-san dan Sakamoto-san terlibat dalam kasus perampokan dan penculikan tiga tahun lalu. Apa saya benar?" ucapku sebelum polisi itu melangkah keluar. Langkahnya terhenti tanpa menoleh yang membuat degup jantungku memburu.
"Bagaimana aku tahu? Tanyakan saja pada keduanya."
"Paman pemilik restoran tonkatsu juga pernah bertemu dengan mereka dan mengatakan hal yang sama tentang kasus yang belum terpecahkan itu. Apakah hal semacam itu hanya sebuah kebetulan biasa? Akemi-san, Anda polisi yang sudah lama bersama dengan mereka jauh sebelum kami. Kami tahu status kami saat ini masih menjadi siswa akademi, tapi-"
"Kalau memang hanya sebuah kebetulan?" potong Akemi-san yang membuat Hokuto lantas terdiam. Polisi itu hanya menoleh pada kami sambil tersenyum lalu melanjutkan langkahnya dengan pasti.
Aku berdecak lalu membenturkan kening pada meja. Gagal lagi. Kenapa semua polisi sangat menyebalkan? Cih, secara tidak langsung aku sudah mengata-ngatai diriku sekarang.
"Kesempatan kita masih ada." Anak itu masih belum putus asa rupanya.
"Apa? Dengan menyuap keduanya menggunakan makanan?"
"Keberadaan kita bisa dikategorikan sebagai saksi dalam aksi kejahatan. Pihak kepolisian pasti akan memanggil kita ke kantor pusat cepat atau lambat untuk memperoleh keterangan. Berharap saja waktu itu akan segera datang dan kita bisa menyelinap diam-diam mencari file cold case itu."
Aku menegakkan tubuh sambil memukul meja secara spontan. "Kau benar! Yosha! Aku jadi lebih bersemangat sekarang!"
Anak itu hanya tersenyum singkat lantas kembali duduk sambil membereskan beberapa kertas yang berserakan di atas meja. "Sambil menunggu, sebaiknya kita menyusun rencana apa yang harus dilakukan ketika sudah sampai di Chiyoda. Jangan bertindak gegabah lagi, Kazuma!"
"Aku tidak pernah bertindak gegabah. Hanya insting untuk melakukan perlawanan saja," pungkasku.
Hokuto mencibir lalu berdiri dan membuang kertas yang tidak terpakai. "Baiklah, mari buat kesepakatan. Orang yang membuat masalah lebih dulu harus melakukan semua yang diperintahkan selama satu hari penuh. Bagaimana?"
"Hah! Jangan sampai kau sendiri yang menyesal, Hoku-chan."
"Kita lihat saja nanti, Ka-kun."
🚔🚔🚔
Sudah dua minggu kami bertugas di koban, menunggu keputusan soal kapan kami harus ke Chiyoda sebagai saksi dari kasus penculikan itu. Terhitung sudah lima belas hari sejak kasus itu kami ungkap, tapi tidak ada tanda-tanda jika kami akan diundang ke Chiyoda. Rencana-rencana yang sudah disusun dengan rapi perlahan memudar di pikiranku, oh! Apakah mereka tidak tahu jika otakku ini bukanlah brankas besi yang awet dalam menyimpan sesuatu?
Hokuto juga seperti orang yang kehilangan minat. Setelah pulang dari berpatroli menggunakan sepeda, anak itu duduk dengan lesu di teras sembari mengipasi dirinya sendiri dengan topi polisi. Aku berjalan keluar, menyusulnya duduk. Matahari di penghujung musim panas jauh lebih terik, dua minggu bertugas lapangan kulit putih menawanku sedikit menggelap.
"Sepertinya tidak ada harapan lagi."
"Bikurishita!"
Hokuto secara refleks memukulku menggunakan topi polisi, sedikit ngilu karena ujungnya yang keras mengenai tulang bahuku. "Kau melamun?"
"Tidak."
Aku ikut duduk di sebelahnya sambil melenguh panjang. "Kau bilang kita akan segera dipanggil ke Chiyoda? Kapan hari itu tiba?"
"Aku tidak tahu."
Hokuto terlihat tidak ingin banyak bicara. Kurasa anak itu juga mulai lelah. Memang berharap pada sesuatu yang tidak pasti itu menyebalkan. Membuang-buang energi dan minat secara cuma-cuma. Baru beberapa menit kami saling terdiam, suara perut Hokuto membuatku sontak menoleh. Dia menunduk lalu berdecak pelan dan segera berdiri lagi sambil mengatakan, "Aku lapar."
"Apa kau ingin makan katsudon lagi? Mungkin anak dari paman pemilik restoran tonkatsu itu sudah ada dan kita bisa bertanya banyak hal padanya, bukan?"
Hokuto hanya mengangguk lalu mengulurkan tangannya padaku untuk membantu berdiri. Tanpa menunggu lama, sepeda sudah melaju cepat membelah jalanan.
Kurang lebih lima menit aku mengayuh, akhirnya kami sampai di depan restoran sederhana itu. Namun, seseorang yang tengah duduk di salah satu meja tidak jauh dari pintu masuk spontan membuatku menepuk bahu Hokuto.
"Apakah itu Aoyama-san?"
Hokuto ikut melihat ke arah yang kutunjuk setelah sebelumnya memasang wajah bingung. Anak itu mengangguk-angguk semangat dan malah ikut menepuk-nepuk bahuku dengan kencang. "Hei, sebaiknya kita manfaatkan kesempatan ini. Kau tidak lupa pada rencana yang sudah kita buat, kan?"
Aku ikut menganggukkan kepala dengan semangat. Hokuto melangkah lebih dulu ke arah meja persis di samping kanan Aoyama-san disusul diriku yang berada di sebelah kirinya sehingga posisi kami seperti mengapit dirinya. Polisi itu sempat melirik ke arah kami saat menenggak segelas air putih hingga habis tak bersisa.
"Lama tidak berjumpa Aoyama-san. Apa kabar di kepolisian baik-baik saja?" kataku mengawali pembicaraan sembari tersenyum ramah. Tentu saja, walaupun dia salah satu polisi berwajah datar yang paling menyebalkan, kesan baik ketika berbicara dengannya adalah hal penting yang harus dilakukan jika ingin mendapat sebuah informasi.
"Ya, baik."
Kenapa orang ini menyebalkan sekali?
Hokuto berdeham kemudian memesan dua katsudon pada seseorang-tunggu, di mana paman pemilik restoran yang kemarin mengobrol bersama?
"Terima kasih, mohon ditunggu pesanannya."
"Maaf! Apa pemilik restoran ini sedang keluar?" ucapku menghentikan langkahnya.
Pemuda yang mungkin usianya tidak terpaut jauh dariku menoleh lalu tersenyum. "Kebetulan Sunichi-san tidak masuk hari ini karena harus mengurus beberapa keperluan bersama dengan anaknya. Saya yang bertugas untuk hari ini hingga dua minggu ke depan."
Aku mengangguk lesu sambil menelan kecewa di saat momen yang seharusnya menjadi kesempatan emas untuk memperjelas situasi yang sudah lama kami nanti harus tertunda lagi untuk kesekian kali. Oh ayolah! Apa aku harus menunggu dua minggu lagi untuk mempertemukan mereka berdua? Itupun jika Aoyama-san secara kebetulan akan mampir ke sini lagi. Lebih bagus jika Sakamoto-san ikut bersamanya.
"Sepertinya kalian cukup sering datang ke sini?" ucapnya yang lebih terkesan bertanya.
"Tid-"
"Begitulah, bukankah Anda juga sering sekali datang ke sini sewaktu dulu?" potong Hokuto setelah menatapku sambil melotot dan tersenyum.
"Tidak sesering itu. Hanya saat sedang lapar dan Sakamoto yang memaksaku untuk ikut bersamanya kemari."
"Anda sepertinya berteman baik dan sangat dekat dengan Sakamoto-san. Bukankah terlihat seperti itu, Kazuma?"
Aku mengerjap saat Hokuto dan Aoyama-san melihat ke arahku. Melihat kedua alis Hokuto yang terangkat dengan senyum yang semakin lebar aku lekas tersadar kemudian mengangguk semangat. "Ah iya! Kalian berdua selalu terlihat bersama-sama saat bertugas. Apa dulu juga kalian satu kamar saat masih menjadi siswa akademi polisi?"
Polisi itu mengangkat kedua bahu. "Tidak. Kami justru jarang berbicara satu sama lain."
Aoyama-san terlihat jelas membatasi diri saat bercerita tentang dirinya dan Sakamoto-san. Polisi itu hanya menjawab seperlunya kemudian diam seolah tahu jika kami menginginkan sesuatu darinya. Pikiran dan tingkat kewaspadaannya itu kadang membuatku kesal karena sulit memancingnya untuk ikut terbawa topik yang sedang kami bawa.
Ada jeda cukup lama hingga tiga porsi katsudon hangat sudah tersaji di depan kami. Aoyama-san hanya mengangguk lalu tersenyum tipis setelah menerima bagian miliknya kemudian mulai melahap katsudon dalam diam. Hokuto hanya sempat melirikku sekilas lalu menggelengkan kepala. Pada akhirnya tidak ada yang berani berbicara dan justru sibuk mengenyangkan perut masing-masing.
Banyak sekali pikiran-pikiran tidak berkepentingan berseliweran di dalam kepala. Sudah kubilang, kadang aku membenci situasi sepi dan sunyi. Menghela napas, aku mendorong mangkuk milikku ke depan yang sudah bersih lalu menoleh sepenuhnya pada Aoyama-san.
"Maaf jika mengganggu waktu makan Anda, tapi ada hal yang ingin kutanyakan."
"Katakan saja."
Sungguh, reaksinya malah membuat perutku jadi mulas. "Apakah kasus penculikan Tatsuya Shiro sudah selesai?"
Bukannya menjawab polisi itu malah berdiri dan pergi ke arah kasir untuk membayar. Aku sontak berdiri lalu berjalan ke arahnya sebelum dia benar-benar melangkahkan kaki keluar. Merepotkan!
"Aoyama-san, Anda belum menjawab pertanyaan saya," kataku sedikit menahan kesal.
Polisi itu berbalik setelah selesai melakukan pembayaran lalu menatapku. "Lusa, kalian akan dipanggil ke kantor pusat untuk dimintai keterangan lebih lanjut perihal kejadian penculikan yang kalian lihat dua minggu yang lalu. Kurasa kau cukup pintar untuk tahu apakah kasus itu sudah berakhir atau belum, Kawamura."
Aoyama-san menepuk bahuku lalu segera pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Aku menatap Hokuto yang juga terlihat senang dengan informasi yang baru saja didapatkan. Baiklah! Ada banyak sekali persiapan yang harus kami lakukan selanjutnya.
Ah, aku sampai lupa membayar karena terlalu senang. "Terima kasih atas makanannya, kami pasti akan datang lagi nanti," ucapku setelah menyodorkan uang dengan jumlah pas.
"Oh! Untuk pesanan kalian sudah dibayar oleh polisi sebelumnya. Jadi tidak perlu membayar lagi."
"Eh?"
Hah?
🚔🚔🚔
Hello, it's Phoenicis here ...
Moshi, moshi~
Apakah masih ada yang menunggu cerita ATL untuk publish?? 👀
Mudah-mudahan masih ada ya hehehe (人 •͈ᴗ•͈) Duh, duh, udah berapa minggu dari update terakhir, kita baru menongol lagi dengan scene dan kasus baru, ya? ( ⚈̥̥̥̥̥́⚈̥̥̥̥̥̀)
Semoga kalian masih betah untuk nunggu kelanjutan dari kisah Kazuma bersama Hokuto di part part terakhir menjelang kelulusan mereka menjadi seorang polisi yang masih diragukan (o'・_・)っ wkwkwwk
Cuma permohonan maaf dan terima kasih banyak dari kami untuk kalian yang selalu menunggu dan menantikan kejutan selanjutnya dari cerita ini. Kami pasti melakukan yang terbaik dan mengusahakan yang terbaik untuk terus konsisten sampai akhir juga.
Sampai jumpa di next scene bersama Hokuto\(^o^)/
See u guys!
✌️✌️
P.s Arcx cuma menyampaikan pesan 🍏 Sampai jumpa di chapter berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top