CASE 15# UNVEIL THE VEIL
"Manusia itu akan menyembunyikan keburukan demi nama baiknya, sesederhana apapun itu."
– Arcblood Phoenicis –
🚔🚔🚔
Jika saja Kazuma mengerti apa yang anak kecil itu coba katakan, bisa dipastikan kami tidak akan seperti orang kebingungan. Fuchu bukanlah kota yang sempit, meskipun tak seramai pusat kota, tapi tetap saja mencari seorang anak kecil dan wanita dewasa tidak akan mudah. Belum lagi hari sudah semakin larut, bisa saja mereka sudah pulang dan kami tidak mengetahui tempat tinggalnya. Akemi-san sudah bergabung dengan kami dengan membawa satu orang petugas polisi tambahan. Kami berpencar, aku dengan si anak bodoh ini tentu saja.
"Kau tidak perlu menatapku sinis seperti itu, Hokuto. Wajar kalau aku tidak tahu," protes Kazuma yang sejak tadi mengekor seperti seorang balita.
"Harusnya kau mempelajari hal-hal sepele seperti itu. Bagaimana kalau itu terjadi padamu atau Chitose?"
Kazuma terdiam, mungkin otaknya sedang memikirkan cara paling cepat untuk memberitahu orang lain bahwa ia sedang bahaya.
"Tentu saja aku akan berteriak," jawabnya kemudian.
"Ya, itu sangat Kazuma sekali."
Anak itu meringis, setelahnya kami sibuk bertanya kepada orang-orang mengenai keberadaan anak ini. Kemungkinan-kemungkinan yang aku pikirkan adalah bahwa anak ini merupakan korban kekerasan atau lebih parahnya penculikan dan terlalu takut untuk melarikan diri. Sudah pukul sembilan lebih ketika kami memutuskan untuk berhenti dan kembali ke koban tanpa membuahkan hasil. Akemi-san belum memberi kabar, pun dengan kantor kepolisian Fuchu. Aku tahu bukti yang kami berikan sangatlah sedikit dan sangat jauh dari kata konkrit. Kazuma hanya melihat anak itu sekilas, jadi banyak keraguan yang mengiringi pencarian kami.
"Kau yakin anak itu dalam bahaya, Hokuto?" Kazuma berbicara setelah lelahnya pergi.
"Dia memberikan isyarat itu, tapi sejujurnya aku mulai ragu."
Kazuma menoleh dengan menyatukan kedua alisnya. "Setelah kita kelelahan seperti ini kau bilang kau ragu? Lebih baik aku pulang dan menikmati makan malam, bahkan perutku sudah tidak lapar."
"Kalau begitu kenapa kau butuh makan malam?"
"Bicara denganmu membuatku lelah, Hokuto. Sudahlah, setelah Akemi-san datang ayo kembali ke akademi," pungkas Kazuma.
Aku mengeluarkan ponsel dan mengakses internet dengan niat ingin membuka artikel yang memuat anak atau orang hilang. Mencari peruntungan mengenai anak tersebut, atau setidaknya suatu bukti untuk mengusir keraguan. Halaman pertama tidak menghasilkan apa-apa, pun dengan dua tiga halaman berikutnya. Hingga saat aku menggulir layar yang menampilkan laman keempat, sebuah foto buram menarik perhatian.
"Kazuma."
"Hm?"
Aku menyodorkan ponsel ke arahnya. "Lihatlah," kataku.
Satu detik dua detik, raut wajah Kazuma kemudian berubah. Kedua matanya melotot seolah sedang melihat berita mengejutkan. "Anak itu?!" serunya. "Kita harus melapor, Hokuto. Sekarang!" Anak itu bangkit dengan membawa serta ponselku.
"Bodoh! Hubungi saja Akemi-san, dan kirim foto itu ke surelnya atau surel kantor."
Ucapanku berhasil menghentikannya, kemudian dengan kikuk Kazuma kembali duduk. "Maaf."
Menggeleng, aku merebutnya dan lekas mengirimkan file tersebut ke surel kantor kepolisian Fuchu sementara Kazuma menghubungi Akemi-san. Samar-samar aku mendengar Akemi-san memberi instruksi kami untuk kembali saja ke akademi dan mengatakan jika masalah ini akan ditangani oleh tim penyelidik dengan segera. Sekali lagi, mereka mencoba untuk tidak melibatkan kami dan itu membuatku kembali merasa diremehkan.
Tidak ada yang bisa kami lakukan kecuali menjalankan perintah. Shiraitodai sudah jauh lebih lengang dari sebelumnya. Angin sejuk bertiup di musim panas yang akan berakhir beberapa pekan lagi. Aku membiarkan Kazuma memimpin jalan tanpa niat mengajaknya berbicara, dan sepertinya anak itu juga sedang malas mengeluarkan suara.
Begitu kami tiba di dekat akademi, sorot merah dan biru dari lampu mobil patroli bergerak menjauh. Harapan kami tinggi melambung dengan kecemasan saat menginginkan anak itu selamat atau bukanlah korban penculikan seperti prasangkaku. Beruntung setibanya kami di akademi, tidak ada pertanyaan yang dilontarkan untuk kami. Hanya pandangan penuh tanya dari beberapa orang yang kami jumpai. Seolah mereka sudah berlatih untuk tidak menyerbu kami dengan sesi wawancara dadakan soal kabar malam ini. Oh, tentu saja, pasti para penyelidik itu merahasiakannya dari orang-orang ini.
"Kau baik-baik saja?"
Pertanyaan pertama yang kudengar setelah menginjakkan kaki di kamar asrama, itupun suara Kazuma. Aku mengangguk singkat sembari mengambil pakaian ganti untuk mandi setelah ini.
"Kau tahu, Hokuto. Kadang dirimu yang selalu berkomentar pedas dan sok pintar lebih menyenangkan daripada yang tiba-tiba menjadi pendiam seperti ini." Kazuma berkomentar.
Aku meliriknya yang kini sedang duduk di ranjang milikku dengan mengayunkan kedua kakinya ke depan dan belakang. "Angkat bokongmu dari sana! Kau kotor dan belum mandi dari pagi!"
"Tidak, aku lelah."
Reflek aku menarik handuk milik Kazuma dan melemparkannya hingga tepat mengenai wajah anak itu. "Semua orang juga lelah, bodoh. Berhentilah menjadi anak manja!"
"Dasar remaja labil," gumam Kazuma yang beruntungnya masih bisa kudengar.
"Kau bilang apa?"
"Tidak ada."
"Aku tidak tuli, Kazuma."
Kazuma berhenti di ambang pintu, dia meringis setelah mengalungkan handuk ke lehernya. "Kurasa otakmu perlu didinginkan, Hoku-chan."
Kemudian anak itu pergi, kudengar dia menyapa seseorang di lorong sebelum sunyinya malam di akademi datang menghampiri kamar asrama kami. Ya, sepertinya Kazuma benar. Otakku perlu didinginkan malam ini.
🚔🚔🚔
Rutinitas menyambut kami. Setelah mengikuti olahraga pagi bersama yang lain dan mendapatkan sedikit pengarahan serta motivasi dari Kurosawa-san, aku dan Kazuma berangkat ke Shiraitodai. Tersisa 28 hari lagi, dan ya ... itu terhitung masih cukup lama dari kata selesai. Di depan koban, Akemi-san serta seorang polisi yang tidak kuketahui namanya tampak berbincang lalu lekas menghentikan kegiatan mereka saat kami datang.
"Akan kuhubungi nanti," kata polisi itu sebelum membungkuk sejenak kepada kami lalu pergi.
"Ada apa, Akemi-san?" Kazuma bersuara.
Akemi-san menggiring kami memasuki koban lalu menyuruh kami duduk. Kali ini sudah ada dua kursi di balik meja konter. Di atas meja ada beberapa kue basah dan botol minuman yang masih tersegel.
"Penyelidik dari kasus yang kalian temukan."
"Jadi–"
Akemi-san mengulas senyum. "Anak itu memang benar merupakan korban penculikan. Kasusnya saat ini sedang ditangani oleh Kepolisian Prefektur Shiga," jelas Akemi-san memotong ucapan Kazuma.
"Lalu bagaimana anak itu sampai ke sini?" Aku menyahut meskipun sudah mempunyai satu dugaan kuat untuk menjawab pertanyaanku sendiri.
Akemi-san menatapku, kemudian mengembuskan napas. "Wanita itu, Yoshino. Penyelidik sedang memastikan keakuratan alibinya, tapi aku yakin dia hanya memutarkan fakta yang ada."
"Maksudnya memberi keterangan palsu?"
"Sangat mudah untuk melakukannya, Kawamura. Tentunya jika kau ingin menghindari jeruji besi. Hanya, kami para penyelidik sudah dilatih untuk tidak mudah termakan omongan terduga pelaku," katanya.
Kazuma mengangguk paham, aku sendiri mencoba menarik ulur benang kasus yang mulai terurai di dalam kepalaku. "Wanita itu melarikan diri dari Shiga dan berakhir di sini, sedangkan anak itu terlalu takut untuk melarikan diri karena dia berada di tempat yang asing. Dengan alibi jika dia merupakan bibi dari anak tersebut, dia mencoba mengelabui polisi. Apa benar seperti itu?"
"Tepat! Kurasa kau bisa menjadi penganalisa kasus yang andal, Yoshino."
"Terima kasih, tapi aku hanya seorang siswa akademi sekarang. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menerima pendidikan dan menjalani hukuman. Karena meskipun tebakan atau asumsiku tepat, para petinggi tidak akan menganggapnya sebagai masukan. Bukan begitu, Kazuma?"
"Ya." Kazuma mengangguk, wajahnya berupaya menjadi serius. "Tidak ada yang bisa kami lakukan," lanjutnya.
"Omong-omong sindiranmu jelas sekali," bisik Kazuma padaku.
Aku hanya mengedik. Menurutku, untuk apa menyindir secara halus jika bisa mengutarakan kekesalanmu dalam bahasa yang sopan.
"Kau siswa akademi yang cerdas, Yoshino. Tidak heran jika mereka kesulitan mengaturmu dan Kawamura hingga harus dilarikan ke sini. Bukan begitu?" ucap Akemi-san sambil tersenyum yang anehnya mengundang cekikikan dari Kazuma. Apa ada sesuatu yang lucu dari ucapan polisi itu?
"Tidak apa jika kau memiliki anggapan seperti itu, tapi ada beberapa hal yang perlu kau ketahui juga, Nak. Tidak semua polisi atau petinggi akademi bersikap tidak acuh pada semua hal yang bersangkutan dengan pekerjaan mereka, terlebih jika ada hal buruk terjadi secara tiba-tiba. Mereka terkadang bisa menjadi seorang pendengar yang baik, mencatat dalam kepalanya diam-diam kemudian memulai aksi tanpa bersuara. Kau tidak pernah tahu bagaimana kinerja setiap orang, bukan?"
Aku mengangguk. "Ya, tapi tetap saja kami tidak memiliki wewenang seperti yang dikatakan oleh mereka."
"Apa menurutmu wewenang mereka untuk tidak mengeluarkan siswa yang berulang kali membuat masalah besar seperti kalian adalah hal yang biasa terjadi di sebuah akademi kepolisian?"
Aku dan Kazuma saling pandang selama beberapa saat, kemudian menatap kembali Akemi-san yang sudah mengulas senyum simpul sambil mengangguk-angguk. "Baiklah, sudah cukup kita berbicara. Sekarang bantu aku melipat surat edaran untuk warga. Aku akan mengambilkan amplop cokelat terlebih dahulu."
Akemi-san lekas pergi menuju ruangan kecil tempat biasa menyimpan berbagai file lama. Meninggalkanku dalam kebingungan sejenak atas perkataan yang baru saja dilontarkannya.
Apa maksudnya?
"Apa surat edaran ini lebih dikhususkan untuk orangtua yang memiliki anak dibawah umur?" ucap Kazuma begitu saja saat melihat selembaran yang bertumpuk di meja entah sejak kapan.
"Ya. Pihak kepolisian mengambil inisiatif untuk mengajak para orangtua agar selalu menemani anak-anak mereka termasuk saat mengantar dan menjemput sekolah. Surat edaran yang akan disebar ini dirasa cukup efektif untuk setidaknya memberikan rasa awas pada orangtua yang masih memiliki anak di bawah umur agar tidak ada lagi aksi penculikan lainnya."
"Apa kasus penculikan pada anak sering terjadi di kota ini?" lanjut Kazuma. Sepertinya anak itu cukup tertarik pada kasus ini. Mungkin saja.
Akemi-san diam sejenak sesaat setelah meletakkan satu tas kertas berisikan puluhan amplop cokelat. Dia menghela napas lalu menarik sebuah kardus bermuatan kertas-kertas yang tidak kuketahui bacaan atau tulisan siapa yang tertulis di sana. Polisi itu kemudian duduk di atasnya dengan posisi yang sedikit lebih rendah dari aku dan Kazuma.
"Tiga tahun yang lalu ada kasus yang cukup menghebohkan Fuchu. Apa kalian pernah tahu sebuah berita mengenai perampokan yang menewaskan satu anak perempuan?"
Samar-samar aku mengingat kasus tersebut. Kasus yang sempat menjadi berita nasional selama hampir dua pekan.
"Hayashida Amane berusia 10 tahun ditemukan tewas dirumahnya pada dini hari. Apakah berita itu?"
Akemi-san mengangguk. "Ya, kabarnya sampai sekarang kasus itu belum membuahkan hasil."
"Maksudnya tersangka perampokan dan pembunuhannya belum ditangkap?" Kazuma bertanya.
"Karena kurangnya bukti dan keluarga korban yang sangat tidak kooperatif, setahuku kasus tersebut sempat dimasukkan ke dalam kasus istimewa. Lalu setelah dua tahun kasusnya bergulir dan tidak ada perkembangan signifikan, penyelidik khusus memutuskan untuk mengklasifikasi kasus itu ke dalam jajaran cold cases."
"Dan sampai sekarang belum diselesaikan?"
Akemi-san mengangguk lagi untuk menanggapi Kazuma. Anak itu berdecak, mengundang tatapan menyelidik Akemi-san. "Oi, aku harap kalian tidak mengulik kasus ini. Dan ayo, cepat bagikan lembaran itu. Jangan bermalas-malasan."
Perintah Akemi-san menjadi keputusan akhir tentang apa yang akan kami lakukan sekarang. Dia memerintahkan aku dan Kazuma menyebarkan selembaran menggunakan sepeda. Kami akan berkeliling Fuchu di hari yang sangat terik. Bahkan aku bisa mencium aroma rambutku yang terbakar matahari.
Pukul 11 di hari Jumat, Shiraitodai lengang. Belum jam makan siang ataupun pulang sekolah. Hanya ada beberapa orang yang beraktifitas, kebanyakan ibu-ibu yang baru berangkat atau pulang berbelanja. Kami berhenti di beberapa titik yang menjadi tempat berkumpul warga untuk membagikan selembaran. Hanya saja, beberapa wanita sempat mencuri-curi pandang ke arah kami.
"Aku tahu kita ini keren, tapi pandangan mereka membuatku tidak bisa fokus." Kazuma menggerutu di sampingku setelah meneguk air mineral.
Kami sedang beristirahat di bangku pinggir jalan.
"Percaya diri sekali kau."
"Hei, aku mendengar dengan jelas kalau mereka bilang aku ini tampan."
Aku beranjak, terlalu malas menanggapi Kazuma. Pekerjaan masih panjang dan matahari semakin terik, bahkan aku bisa merasakan keringat meluncur turun di tulang punggungku.
Sepeda kami meluncur ke arah Tamareienminamisando Ave yang terbilang cukup lengang. Liburan musim panas memang membuat orang-orang pergi dari kota besar menuju ke daerah-daerah dengan pemandangan yang bagus. Mendadak aku rindu deru ombak di pantai dan gerusan air yang menyeret pasir di bawah kaki. Rasanya waktu-waktu seperti itu cukup berharga jika melihat kesibukan yang tengah kulakukan. Padahal ini hanyalah ajang menjalani hukuman dan bukan pekerjaan nyata, tapi tetap saja, kegiatan kami bisa dikategorikan menjadi sebuah kesibukan.
Setelah hampir dua jam bersepeda dan membagikan selembaran, aku dan Kazuma berhenti di sebuah kedai untuk makan siang. Kami memesan dua porsi katsudon di restoran tonkatsu.
"Apa kau penasaran dengan kasus yang dimaksud Akemi-san?"
Kazuma tiba-tiba bertanya kepadaku di sela-sela waktu menunggu pesanan kami datang.
"Meskipun kita penasaran tidak ada hal yang bisa kita lakukan. Kau cukup tahu kalau sekarang pergerakan kita terbatas."
"Benar. Ck! Padahal aku sudah rindu memecahkan sebuah masalah."
"Kita tidak sedang memainkan peran Sherlock Holmes, Kazuma."
"Jujur saja sebenarnya kau juga ingin terlibat lagi dalam sebuah kasus, bukan?"
Kazuma benar-benar berisik dan menyebalkan dengan senyum miring itu. Aku mengabaikan ocehannya yang berlanjut dengan meminum segelas air yang sudah lebih dulu diantarkan.
"Ck, setidaknya jawab perkataan– ITTAI! OI!"
"Diam dan duduk saja dengan tenang. Telingaku pengang terus mendengar suaramu."
"Hai! Hai! 2 katsudon hangat sudah siap! Kalian ribut sekali dari tadi, apa karena sudah terlalu lapar?" ucap pemilik kedai sambil tersenyum ramah.
Mataku melirik ke arah Kazuma yang seakan lupa jika aku telah memukul kepalanya tadi. Dia sudah mengatupkan kedua tangan di depan dada sambil memejamkan mata kemudian berseru, "Ittadakimasu!" Dan melahapnya dengan cepat. Melihat tingkahnya hanya mengundang gelengan kepalaku dan juga tawa kecil dari pemilik kedai.
"Melihat kalian berdua mengingatkanku pada dua polisi yang juga selalu mampir kemari. Mereka persis seperti kalian. Hahaha."
Aku menatap pria itu sambil terus mengunyah. "Siapa dua polisi itu, Paman?"
"Aku tidak terlalu ingat siapa namanya–ah, kalian bisa lihat foto yang kutempel di sebelah sini. Kebetulan saat itu kedai milikku sedang mengadakan promo besar-besaran, dan setiap pelanggan yang datang selalu kami ajak foto bersama."
Mataku menyipit saat mencoba mengenali wajah dua polisi yang dimaksud. Posisi kami kebetulan tidak terlalu jauh dari dinding berhiaskan puluhan foto-foto lama dari semua pelanggan. Kazuma bahkan sudah mendekatkan wajahnya pada tembok seperti pria tua yang rabun.
"Eh? Bukankah ini Aoyama-san dan Sakamoto-san? Lihat, Hoku-chan!"
Aku membenarkan apa yang anak itu katakan. Di foto baris ke lima dari kanan, aku bisa melihat dua inspektur itu tengah tersenyum ke arah kamera. Dua foto lain di sebelahnya menunjukkan ekspresi bahagia dengan cengiran lebar yang bahkan belum pernah kulihat sebelumnya di wajah keduanya. Mereka terlihat berbeda.
"Apa sekarang mereka juga sering datang kemari?" Giliran Kazuma yang bertanya. Namun, gelengan kepala paman pemilik kedai itu membuat keningku mengernyit seketika.
"Sejak tiga tahun lalu mereka tidak lagi sering makan di tempatku. Paling hanya salah satu diantaranya, itupun tidak sampai lama dan selalu terburu-buru," jawabnya sambil menghela napas.
Seolah mengerti apa yang kupikirkan, Kazuma melirikku dengan tatapan yang mengatakan, kita harus bertanya lebih lanjut.
"Apa ada yang terjadi di tiga tahun lalu, Paman? Mungkin sebuah kejadian atau kasus yang mereka coba tangani?" pancing Kazuma sebelum sempat aku memotong niatnya itu.
Paman pemilik kedai terlihat mengusap dagu sambil memejamkan mata, sepertinya mencoba mengingat. Walau aku sudah ingin sekali memukul Kazuma karena rasa penasarannya seperti ibu-ibu tukang gosip, tak urung rasa itu juga timbul menahan niatku untuk menyudahi obrolan ini. Sialan! Aku jadi terbawa sifat Kazuma karena terus bersama dengan anak itu.
"Hmm ... aku pernah mendengar sebuah kasus perampokan dan penculikan yang terjadi di Fuchu pada seorang anak kecil–Ah, benar! Salah satu di antara mereka yang menangani kasus itu dan sempat datang kemari tanpa memesan apapun. Setelah terus diam dan mencoba bertanya berulang kali akhirnya dia mau berbicara."
"Siapa yang datang ke sini saat itu?" tanyaku langsung.
Persetan dengan perkataanku beberapa menit lalu, aku sudah terlanjur ingin tahu apa yang terjadi. Bukan sebuah kebetulan Akemi-san dan paman pemilik kedai ini membicarakan kasus yang terjadi tiga tahun lalu di hari yang sama, bukan?
"Aku tidak melihatnya karena harus menghitung sisa bahan baku. Anakku yang bertemu dan berbincang dengannya saat itu."
Aku mendesah kecewa. Menatap nasi di mangkuk yang sepertinya sudah dingin. Mana mungkin Aoyama dan Sakamoto mau bercerita tentang kejadian tiga tahun lalu padaku atau Kazuma? Lagipula kami pasti akan dianggap aneh atau dicurigai karena secara tiba-tiba membahas kasus yang bahkan tidak jelas akhirnya seperti apa. Bertanya adalah pilihan terburuk mengingat posisi dan kondisi kami saat ini. Aku menggeleng kemudian kembali memakan katsudon walau rasa nikmat yang sempat kurasakan di suapan awal sudah menghilang.
Tidak ada percakapan lebih lanjut setelahnya sampai kami berdua pamit pada paman pemilik kedai yang meminta untuk datang lagi lain kali. Sebelum benar-benar naik ke sepeda, Kazuma menahan pegangan sepeda milikku tepat ketika aku mencoba mendorongnya.
"Hokuto, apa kau berniat ingin menyelidiki sebuah kasus lagi?" tanyanya yang sudah kutahu akan mengarah ke mana.
"Kita masih dihukum, Kazuma. Sudah berapa kali aku mengatakan hal it–"
"Aku tidak bertanya kita sedang dihukum atau tidak! Apa kau tidak merasa aneh mendengar cerita yang sama dari dua orang yang berbeda tentang kejadian tiga tahun lalu? Terlebih kasus penculikan anak yang baru saja kita temui pernah terjadi juga di tahun itu. Mungkin saja ada hubungan atau kaitannya, bukan?"
"Sudah cukup–"
"Anggap saja permintaanku padamu untuk menyelidiki kasus ini adalah yang terakhir kalinya. Alasan kita berada di sini dan keputusan petinggi sekolah yang masih mempertahankan kita walau sudah berulang kali membuat onar dan masalah bagi semua polisi, kurasa memang ada. Aku berjanji tidak akan mengganggu atau meminta macam-macam lagi padamu setelah kasus ini selesai."
Ekspresi itu pernah kulihat sebelumnya. Kazuma mengacungkan tinju di depanku dengan yakin. Dia tersenyum seolah misi kami kali ini sungguh untuk yang terakhir kali. Sekali lagi, aku tidak bisa menebak jalan pikiran Kazuma dan hal itu membuatku sedikit kesal, tapi aku juga sedikit tidak menyukai perkataannya barusan. Apa-apaan pernyataan bodohnya itu?
"Kita pasti lulus dan akan menjalankan misi bersama, bodoh."
Kazuma tersenyum semakin lebar saat aku menyambut kepalan tangan itu. Dia mengangguk lalu meninggalkanku lebih dulu dengan sepedanya. Baiklah, sekali lagi, cukup sekali lagi kami akan melewati garis batas aman. Akan kupastikan polisi dan petinggi akademi bisa mendengar suara dan melihat keyakinan kami. Misi kali ini, tidak boleh berakhir sia-sia.
🚔🚔🚔
Hi, tanpa bosan kami ingin meminta maaf karena keterlambatan jadwal update. Mengingat banyak sekali kesibukan yang harus kami jalani, belum lagi proses recovery yang mamaksa kami untuk tidak bisa berpikir rumit. Beberapa chapter lagi, Across The Line akan tamat. Terima kasih untuk kalian yang selalu menunggu cerita ini diperbarui. Selalu nantikan kejutan berikutnya!
Selamat membaca.
-Arcblood Phoenicis
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top