CASE 14# PUNISHMENT
"Bukankah aku hanya tidak boleh menyerah?"
-Arcblood Phoenicis-
🚔🚔🚔
Tidak ada yang lebih menyebalkan daripada berkeliling di cuaca terik ditambah dengan seragam polisi yang lumayan membuatku sesak. Aku berjanji akan mengganggu tidur anak itu setelah kembali ke akademi karena mendorongku hingga terjatuh hanya demi sebuah kursi. Apa dia pikir bokongku tidak merasa sakit, hah? Semoga saja ada banyak orang yang mengadu ke koban hari ini karena keluhan dan kasus berbagai macam rupa jenisnya. Biar saja dia repot dan kewalahan sendiri. Aku akan tertawa paling kencang jika melihat wajah kelelahannya selepas berpatroli.
"Jangan melamun! Ada anak-anak yang akan menyeberang!"
Aku tersentak dan refleks menarik rem hingga menimbulkan suara decitan yang terdengar sedikit ngilu. Beberapa anak kecil berusia sekitar 4-5 tahun terlihat berbaris sambil mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi lalu menyeberang dengan langkah cepat. "Terima kasih, Pak Polisi!" teriak salah satu anak di seberang jalan kemudian membungkuk dan segera berlari, menyusul temannya yang lain.
Tanganku terangkat, melambai ke arah anak itu walau dia tidak sempat melihatnya. "Fokuslah pada jalanan, Kawamura. Nasib baik aku memberitahumu, jika saja kau menabrak beberapa anak itu, aku bisa saja mengadukannya pada Kepala Kantor," ucap Akemi-san yang langsung tersenyum lalu mengayuh sepedanya kembali.
Dia terlihat jauh lebih menyebalkan dari yang kukira. Aku segera menyusul lalu mensejajari laju sepedanya. "Sudah berapa lama Anda menjadi seorang polisi, Akemi-san? Apa kegiatan berpatroli ini rutin dilakukan?" tanyaku.
"Belum lama. Tahun ini sudah masuk 5 tahun. Kenapa kau bertanya?"
"Ah, tidak. Hanya penasaran saja."
Sebenarnya ada beberapa hal yang masih ingin kutanyakan, tapi bangunan berupa jembatan penyeberangan jalan sedikit mengganggu penglihatanku. Karat pada pegangan besi yang berwarna kecoklatan mulai menggerogoti seluruh bagian yang seharusnya berwarna putih, ditambah ada beberapa pita kuning yang melintang di bagian paling atas serta bawah dan tulisan tangan yang mengatakan jika jembatan itu tidak bisa digunakan untuk sementara waktu. Kombinasi warna hijau yang telah kusam pun semakin menambah horor rupa jembatan itu. Apa mungkin ada sesuatu yang sempat terjadi di sana?
"Na, aksi heroik apa yang kalian lakukan sampai harus ditugaskan ke sini?" tanya polisi itu tiba-tiba yang langsung membuat kepalaku menoleh padanya.
"Kami berhasil memecahkan sandi yang dibuat oleh pelaku pembunuhan dan mengungkap siapa identitas dia yang sebenarnya," jawabku singkat. Tidak ingin menjelaskan lebih jauh lagi karena hawa panas di sekitarku mulai menguap kembali.
"Baru kali ini aku bertemu dengan siswa seperti kau dan temanmu yang berani ikut campur dalam urusan kepolisian. Ajaibnya para petinggi sekolah masih mempertahankan kalian sampai saat ini. Ah, bahkan kudengar sampai ada salah satu instruktur yang memutuskan untuk cuti. Kalian pasti sangat terkenal di akademi, bukan begitu?"
Aku hanya membalasnya dengan tawa hambar lalu mendahului Akemi-san. Polisi ini sudah tahu terlalu banyak tapi kenapa malah berbicara seperti itu di depanku? Apa dia sengaja melakukannya? Cih, lebih baik aku terus mengayuh dengan cepat daripada meladeninya.
Tunggu, tapi aku tidak tahu harus pergi ke arah mana selanjutnya.
"Akemi-san, apakah kita terus lurus- eh?"
Tepat setelah menghentikan sepeda dan berbalik, Akemi-san rupanya juga berhenti beberapa meter di belakang sambil memperhatikan ke arah tempat parkir sebuah Family Mart yang saat itu lumayan terisi penuh oleh mobil. Melihat sikapnya yang demikian, aku akhirnya ikut menoleh dan melihat apa yang menarik dari tempat itu. Tidak ada apapun, semuanya normal seperti biasa. Kenapa Akemi-san berhenti di sana?
Aku memutuskan untuk memutar balik sepeda dan menghampirinya yang menoleh padaku sambil tersenyum. "Apa kau ingin makan siang?" tanyanya tiba-tiba.
Keningku mengernyit, jika ditawarkan hal seperti itu mana mungkin aku menolaknya, tapi bukankah kita baru saja mulai berpatroli? "Apa tidak apa-apa kita membeli makanan di jam segini? Hokuto juga masih ada di-"
"Belikan saja sekalian sekarang. Aku akan menunggu di ujung jalan sana, tolong bawakan makanan yang enak ya."
"Eh? T-tunggu! Akemi-san!" Polisi itu tetap melaju meninggalkanku. Dasar pria tua, selalu sesuka hati meminta ini dan itu.
Aku mendengkus lalu menurut pada akhirnya, memakirkan sepeda di tempat sebagaimana mestinya lantas melangkah masuk. Namun, sebelum benar-benar berbelanja, perhatianku sedikit tertarik pada satu gadis berseragam SMU yang terbalut jaket berwarna putih terlihat kebingungan mencari sesuatu, atau mungkin seseorang? Karena tidak kunjung pergi, tanpa sadar tubuhku bergerak mendekat padanya yang berjalan tergesa menuju sebuah mobil berwarna abu yang terparkir tidak jauh dari tempat sepeda milikku.
"Permisi, apakah kau sedang mencari seseorang?" tanyaku yang sukses membuatnya berjengit, terkejut.
Gadis itu menatapku dari atas sampai bawah sambil terlihat menahan napas sesaat, entahlah, mungkin karena cuaca hari ini yang juga terik oleh matahari, kening miliknya terus bercucuran oleh keringat. Matanya tidak fokus pada wajahku melainkan bergerak ke sana kemari seperti meminta bantuan. Satu hal yang langsung kutahu setelah mengamati ekspresi miliknya adalah, dia ketakutan.
"Tidak perlu takut, aku akan membantumu jika kau kesulitan. Katakan saja."
"A-aku ... aku ..."
Tangannya terus memegangi perut dengan erat. "Apa kau sedang sakit? Aku bisa mengantarmu ke koban terdekat untuk beristirahat menggunakan sepeda. Ada temanku di sana yang akan menjagamu."
Gadis itu langsung mendongak dan tersenyum sambil mengangguk-angguk. Dia menyetujuinya begitu saja. "Terima kasih ... sebenarnya aku tersesat dan tidak tahu harus ke mana setelah temanku meninggalkanku begitu saja. Namaku Inari, panggil saja seperti itu."
"Memang dari mana asalmu?"
"A-apa koban itu jauh dari sini?"
Aku menggeleng kemudian memutuskan untuk diam sambil terus menuntunnya menuju sepeda. Inari di belakangku juga tidak mengatakan apa-apa lagi selain gumam lirih yang tidak bisa kudengar.
"Setelah sampai di sana kau mungkin akan diberi beberapa pertanyaan sebagai laporan. Katakan yang sejujurnya dan jangan-"
"Memang siapa yang mau pergi ke sana? Dasar polisi bodoh!"
Trak!
"AAA!"
Sudah kuduga ada yang tidak beres dengan gadis ini. Memangnya aku tidak tahu kalau dia menyembunyikan sesuatu di dalam kantong jaket itu setelah melihat gelagat anehnya yang terus memegang perut, hah?
"Le-lepaskan! Tanganku sakit!"
"Cepat katakan darimana asalmu dan untuk apa kau membawa benda itu? Kau ingin melukaiku, bukan?"
Inari terus memberontak sekuat tenaga. Nasib baik sedari awal aku selalu waspada dan mencuri pandang ke arah cermin mobil yang kami lewati untuk mengawasi gadis ini. Tepat saat aku menoleh, sebuah stun gun sudah terarah tepat ke perutku sebelum akhirnya aku mengelak dengan berputar ke samping kemudian menyentak keras lengan Inari dan menguncinya ke belakang. Sayang tidak ada borgol yang bisa kupakai, sepertinya tertinggal di koban atau terjatuh saat Hokuto mendorongku saat itu.
"Kubilang lepaskan! Apa kau tidak bisa lebih lembut pada seorang gadis, hah?!"
"Kau berlebihan. Aku tidak mencengkram tanganmu dengan kencang. Payah."
"A-apa kau bilang?! LEPASKAN AKU LEPASKAN!"
Rasanya seperti berhadapan dengan Chitose. Dia terus melompat-lompat, memberontak bahkan nyaris menendang kepemilikanku, berusaha lari bahkan membujukku jika dia akan sukarela menyerahkan diri setelah aku melepaskannya. Cih, apa dia pikir aku akan percaya padanya setelah apa yang dia perbuat? Selain itu, di mana Akemi-san sekarang? Polisi itu seharusnya tahu apa yang sedang terjadi. Dia bahkan seolah menjadikanku umpan untuk menangkap gadis gila ini.
"Yo, Kawamura! Tidak kusangka kau berhasil menangkapnya."
Aku menoleh dengan cepat, hendak protes. Namun, kalimatku tertahan saat melihat dua orang polisi lain di belakangnya membawa seseorang dengan rambut gimbal nyaris menutup seluruh wajah dengan pakaian kumal, bau tak sedap langsung mengitari penciumanku saat keempatnya mendekat. Apa dia tidak pernah tahu apa itu mandi?!
Mobil polisi dari tikungan di ujung jalan mampu kulihat bersamaan dengan gaung sirine yang terdengar semakin keras. Tatapanku beralih pada Akemi-san yang hanya berdiri, menunggu kendaraan itu sampai tepat di depan kami. Inari turut diam bahkan berkelit hingga aku kerepotan menahan pergerakannya yang seolah bersembunyi di belakang tubuhku agar tidak diketahui oleh orang asing berambut gimbal itu. Gelagatnya persis dengan apa yang kulihat pertama kali saat bertanya padanya.
"Bawa masuk kedua orang ini. Sakamoto-san sudah menunggu di kantor pusat," perintah Akemi-san.
"J-jangan bawa aku bersamanya. T-tolong."
"Cepat bawa masuk gadis itu, Kawamura."
Aku bingung. Satu sisi Inari terus menarik bajuku dan memohon agar tidak berada satu mobil dengan orang itu. Dia sungguh ketakutan, tangannya bergetar, tidak ada lagi berontak atau niat melarikan diri. Aku menghela napas pelan. Dasar perempuan, sulit sekali menebak isi pikirannya.
"Akemi-san, jika tidak keberatan, apakah Anda bisa mengirimkan satu mobil polisi lagi? Gadis ini sepertinya tidak ingin satu mobil dengan orang itu."
Akemi-san mengangkat alis lantas tersenyum. Dia mengangguk lalu terlihat berbicara dengan salah seorang polisi yang ada di dalam mobil. Aku turut mendekat, ingin tahu apa yang mereka bicarakan.
"Aku akan menghabisimu, Inari. Aku akan menghabisimu, Inari."
Samar, suara itu terus terdengar dari bangku belakang. Mataku melirik orang itu yang kini menatap dengan tajam di balik rambutnya yang berantakan menjuntai menutup sebagian wajah. Mobil polisi bergerak tidak lama kemudian, meninggalkanku dengan puluhan pertanyaan.
"Lepaskan saja, Kawamura," ujar Akemi-san yang spontan membuatku protes.
"Dia tidak akan lari. Ishimori sebentar lagi akan sampai."
Meski awalnya ragu, akhirnya aku melepas cengkeramanku. Inari lantas jongkok dan membenamkan wajah pada kedua lututnya. Aku membiarkannya dengan melenggang pergi mendekat ke arah Akemi-san, menuntut jawab atas apa yang telah terjadi.
"Anda pasti sudah tahu apa yang terjadi dengan memerintah saya untuk membeli makanan, bukan? Apa Anda sudah tahu jika mereka berdua akan berbuat kejahatan?"
Polisi itu merunduk, mengamati stun gun yang masih tergeletak di tanah. "Pencurian mobil dengan modus menanyakan alamat baru-baru ini mulai terjadi di beberapa distrik dan kota besar. Yang menjadi incaran mereka adalah tempat parkir sepi dan sedikit penghuni. Bukankah kita beruntung menemukan salah satunya saat berpatroli?"
Senyum yang Akemi-san tunjukkan selalu membuatku tidak nyaman saat melihatnya. Dia menatap ke arah Inari yang masih dalam posisi sama. "Gadis itu memang membawa stun gun, tapi bukan untuk melukai korbannya atau melukaimu karena hendak melarikan diri."
"Hah? Aku bahkan nyaris tersetrum jika saja tidak menghindar. Kalau bukan untuk melancarkan aksinya lantas kenapa dia membawa alat berbahaya itu? Orang dengan rambut gimbal itu juga adalah rekan dari Inari, bukan?"
Bukannya menjawab, Akemi-san malah melambai pelan pada seseorang di belakangku. Ishimori-san dan beberapa polisi lain sudah datang rupanya. Polisi wanita itu mendekat, menatap sekitar dengan panik lalu mengembuskan napas lega saat melihat Inari.
"Terima kasih banyak, Akemi-san. Setelah melihat foto yang Anda kirimkan, kami berusaha mencocokkannya dengan data seorang siswi yang hilang minggu lalu saat pulang sekolah. Ciri-ciri yang ditunjukkan sama persis dan kami langsung bergegas kemari. Rupanya dia diculik dan diperlakukan dengan paksa untuk menjadi perantara seseorang dalam tindak pencurian mobil."
Tunggu. Penculikan?
"Jangan berterima kasih padaku, tapi berterima kasihlah pada anak muda ini. Dia yang menyadarinya lebih dulu. Bukan begitu, Kawamura?" Aku hanya menggaruk tengkuk saat Akemi-san menepuk-nepuk bahuku. Mungkin lebih tepatnya, aku tidak sengaja berada di dalam situasi yang tidak seharusnya kucampuri.
"Sisanya serahkan pada kami. Anda bisa melakukan patroli kembali tanpa perlu khawatir."
Ishimori membungkuk kemudian membawa Inari ke dalam mobil dan pergi menjauh. Tepukan kedua kali dari Akemi-san menyadarkanku kembali dari lamunan sesaat.
"Apa kau masih ingin berpatroli?"
Aku hanya mengangguk samar lalu menuntun sepeda ke jalanan besar. Pikiranku bercabang ke mana-mana, tapi sepertinya Akemi-san tampak tenang dan baik-baik saja.
"Kenapa Anda tidak memberitahu saya lebih dulu mengenai Inari, Akemi-san? Jika alasannya adalah agar dia tidak curiga, kenapa bukan Anda yang melakukannya sendiri? Bukankah Anda lebih berpengalaman daripada saya?"
Polisi itu berhenti, dia berbalik, tidak ada senyuman seperti biasanya. Dia menatap lurus ke arah wajahku lalu berjalan kembali tanpa merasa perlu menjawab. Baiklah, mungkin aku bisa menanyakannya lagi nanti. Hokuto harus tahu cerita ini, dia pasti akan menyesal karena lebih memilih kursi itu daripada berpatroli. Aku penasaran bagaimana reaksinya nanti.
"Kawamura."
Aku mendongak sesaat setelah duduk di jok sepeda kembali. "Ya?" jawabku.
"Selalu mengetahui apa yang terjadi di lingkungan sekitar kita memang bukan kewajiban atau tugas utama seorang polisi, tapi menyadari lebih dulu bagaimana orang-orang bereaksi atau bertindak, memahami bagaimana situasi yang sedang terjadi, kadang membantumu untuk menjadi lebih peka. Mungkin saja ada seseorang yang memang membutuhkan bantuan tanpa perlu kau tanyakan lebih dulu, bukan?"
Akemi-san tersenyum. Dia mengajakku kembali untuk mengayuh sepeda dengan cepat karena matahari terus merangkak naik. Kepalaku mengangguk, setidaknya aku memahami sedikit apa maksud kalimat polisi itu.
"Tunggu saya, Akemi-san!"
🚔🚔🚔
Petang mulai datang bertepatan dengan tubuhku yang langsung ambruk di selasar depan koban. Terus mengayuh sepanjang hari, berhenti berulang kali setiap ada yang meminta bantuan, mendengarkan Akemi-san yang terus berbicara macam-macam hal, aku sudah tidak sanggup walau harus berjalan membeli makanan.
"Na, Hoku-chan. Apa kau punya makanan? Aku lelah dan lapar!"
Tidak ada sahutan dari dalam, hanya tawa kecil dari Akemi-san yang terdengar sebentar sebelum akhirnya polisi itu berangkat kembali karena mendapat panggilan entah dari siapa. Dia hanya berpesan untuk tetap berada di koban sampai dia kembali.
"Oi! Apa kau mendengarku?!" Dengan sangat terpaksa aku memutar tubuh dan melihatnya yang tengah berdiri di depan sebuah kabinet dengan takzim. Pandangannya bahkan tidak beralih sedikitpun untuk melihat sahabat satunya ini tengah dilanda kelaparan.
"Hoku-chan, apa aku harus berteriak histeris agar kau mau melihat ke arahku?"
"Aku juga belum makan. Lalu apa masalahnya?"
"Karena itu ayo pergi membeli makan! Bukankah seharian ini kau tidak melakukan apa-apa selain menyusun kertas-kertas itu?"
Tak!
Hokuto menutup sebuah buku yang tidak kuketahui jenisnya apa dengan kencang. Dia menoleh perlahan seperti boneka kayu tua menyeramkan yang hampir patah lehernya. Setelahnya anak itu mengembuskan napas pelan lalu duduk di kursi dan meminum sebotol air mineral yang tersisa setengah. Menenggaknya hingga habis tak bersisa.
"Aku baru menyelesaikan tugas yang Akemi-san berikan. Selain itu beberapa warga juga meminta bantuanku di sela-sela kegiatan. Apa kau pikir hanya kau yang kelelahan?"
Aku mendecih lalu menatap ke arah jalanan kembali. Diam sejenak sembari menutup mata, merasakan angin yang berembus pelan serta mendengar suara samar deru mobil yang berlalu lalang di depan. Rasa lelah yang telah kuperbuat seakan hilang saat aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan melalui mulut.
"Yosh! Aku akan pergi membeli makan. Apa kau ingin juga? Tidak mau? Baiklah. Aku pergi!"
"Hei!"
Aku tergelak sejenak saat akhirnya Hokuto pergi menyusulku, kami beriringan meninggalkan koban sebentar. Mungkin bukan sebuah masalah besar mengingat letak bangunan Family Mart hanya berada di seberang. Jumlah minimarket di daerah ini memang terbilang banyak dan hampir menyebar di setiap perempatan jalan. Jadi tidak heran jika selalu dipenuhi oleh banyak orang utamanya mahasiswa dan siswa saat mencari makanan pemuas lapar dengan harga yang ramah di kantong. Namun, kadang aku juga lupa jika semakin banyak orang yang datang, maka akan semakin habis pula stok makanan yang tersedia di sana.
"Apa mereka sungguh kehabisan stok bento box?" eluhku pada Hokuto yang juga terlihat kecewa saat melihat rak yang biasanya penuh oleh bento berisi lauk unagi, kare, salmon, tamagoyaki, sekarang kosong tak bersisa sama sekali.
"Apa kau ingin beli Famichiki?"
Aku mengangguk semangat lalu melangkah mengikuti Hokuto.
"Maaf, tapi sudah habis. Kami masih mengolahnya dan pasti membutuhkan waktu yang cukup lama sampai matang."
Baik aku maupun Hokuto hanya bisa mengangguk pasrah dan lantas keluar dari minimarket dengan hanya mengantongi masing-masing 2 onigiri. Setidaknya kami tidak kalah cepat untuk mengambil makanan yang hanya tersisa 6 buah itu di rak.
"Aku berjanji akan mengambil dua piring penuh saat kembali nanti ke akademi. Onigiri saja belum cukup untuk memberi makan cacing di perutku," kataku bersungut-sungut.
"Paling tidak kau bisa memakan sesuatu hari ini. Berhenti mengeluh dan cepat makan saja."
Aku mendengus sebal lalu hendak duduk di selasar depan, membiarkan Hokuto melangkah ke dalam.
"Aoyama-san?" Kepalaku berputar setengah dan membulatkan mata saat polisi berwajah datar itu menatap bingung ke arah kami. Sedang apa dia di sini?
"Ah, apa Akemi-san sedang tidak ada?" tanyanya sembari berjalan keluar.
"Akemi-san sudah pergi untuk mengurus sesuatu di luar. Apa yang Anda lakukan di sini, Aoyama-san?" tanyaku tidak jadi duduk.
Aoyama-san menatapku kemudian pandangannya turun ke bawah, melihat satu kantong kresek putih berisi onigiri yang baru dibeli lalu beralih pada wajahku lagi. "Tidak ada urusannya dengan kalian. Aku akan datang lagi nanti."
Polisi itu pergi, dengan wajah menyebalkan yang ingin sekali kuhajar. Astaga, kukira aku tidak akan melihatnya lagi untuk sementara waktu jika dihukum di luar, nyatanya dia yang menghampiri tanpa diduga. Yah ... walaupun tujuan sebenarnya bukan untuk menemui kami.
"Aku tidak akan membiarkan tempat ini kosong lagi. Sebaiknya kita bergantian jaga jika ingin membeli makanan," ucap Hokuto yang kini menatapku.
"Kau benar, nasib baik Aoyama-san yang tadi masuk, kalau sampai pencuri, habislah kita."
"Seorang polisi sekalipun tidak bisa kita percaya seluruhnya, Kazuma. Kita tidak tahu apa yang ada di pikiran-"
"WOOH! ONIGIRI INI LEZAT! KAU HARUS CEPAT MENCOBANYA!"
Tidak peduli pada ocehan Hokuto mengenai apapun itu, yang menjadi kesibukanku sekarang adalah bagaimana caranya agar makanan lezat ini bisa terus masuk ke dalam perut. Tidak ada percakapan lagi setelahnya hingga malam menyambut keheningan suasana sekitar yang semakin sepi. Aku masih duduk di depan, mengabaikan Hokuto yang entah sedang melakukan apa di dalam. Diam nyatanya sedikit membuat energiku perlahan terkumpul kembali, walau hanya sebatas memandang jalanan dan langit yang sedikit bertabur bintang, ada rasa nyaman sejenak yang turut mengundang tenang dalam diriku.
"Na, Hoku-chan, duduklah di sini sebentar. Apa kau tidak pengap terus berada di dalam?"
Tidak ada sahutan, tapi derap langkah milik anak itu sanggup kudengar. Dia mengembuskan napas lalu duduk sembari ikut menatap ke atas. "Apa?" tanyanya.
"Apanya yang apa?"
"Kenapa kau menyuruhku duduk di sini?"
Aku mengerjap. "Memangnya kenapa?"
"Lupakan saja."
Hening. Kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kadang ada saatnya aku juga membenci keheningan. Kau tahu, seperti ada seseorang yang berbicara di dalam kepalamu. Memaksa membayangkan ini dan itu, menciptakan macam-macam kejadian dengan harapan suatu saat akan terjadi dan pada akhirnya terjebak dalam pikiran itu sendiri.
"Di Miyazaki, kau bisa melihat bintang yang jauh lebih banyak di langit," ucap Hokuto tiba-tiba membuyarkan lamunanku sejenak.
"Begitu? Seberapa banyak?"
"Aku bukan manusia yang tidak memiliki kerjaan menghitung dengan pasti ada berapa jumlah benda itu di langit. Kau harus melihatnya sendiri jika ingin tahu."
Aku tertawa pelan. Apa dia sungguh menganggap serius pertanyaanku? "Setelah lulus, mungkin aku akan berkunjung sesekali ke sana. Kau harus menyiapkan makanan yang banyak jika aku datang."
"Memang siapa yang mau menampungmu?"
"Ap- oi, bukankah secara tidak langsung kau mengundangku untuk berkunjung ke rumahmu di Miyazaki?"
"Memangnya kau pikir satu-satunya rumah di sana hanya rumahku? Cari saja tempat lain. Kau hanya akan merepotkan keluargaku."
Sialan.
Tak urung Hokuto pada akhirnya ikut tertawa walau tidak bertahan lama. Yah ... meladeni temanku yang satu itu memang butuh kesabaran berlebih. Nasib baik tinjuku tidak refleks melayang menghantam wajahnya beberapa detik yang lalu. Suara bel sepeda serta roda yang berputar menggesek permukaan aspal serempak menolehkan kepala kami pada Akemi-san yang baru saja sampai. Dia turun dengan tergesa lalu tersenyum kepada kami.
"Maaf ya, kalian jadi harus menunggu lama. Yosh, pulanglah sekarang dan segera istirahat. Terima kasih karena sudah membantuku hari ini."
Terkesan mengusir sejujurnya, tapi demi membayangkan kasur dan bantal nyaman yang akan menyambutku di asrama nanti, tubuhku menurut untuk membungkuk kemudian berjalan menjauh dari koban.
"Ah, tunggu! Aku lupa memberikan kalian ini!"
Hokuto yang memang berada di belakangku memilih berinisiatif menghampiri lagi Akemi-san saat satu kantong kresek putih besar tersodor di depannya. Tunggu dulu, apa Akemi-san akan memberi kami tugas juga untuk diselesaikan di akademi? Membayangkannya saja aku tidak ingin.
"Apa Anda yang membelikan kami ini?"
"Seorang instruktur polisi yang memberikannya, kalian tidak perlu tahu siapa orang itu. Sudah sana cepat kembali, habiskan dan segera tidur. Aku tidak akan mentolerir seandainya kalian terlambat datang besok."
Hidungku mencium aroma sedap dan wangi dari kantong kresek yang Hokuto bawa saat mendekat. Sigap aku merebut kresek itu dan membukanya. Dua box bento berukuran sedang dengan isian lengkap tersaji di depan mataku yang langsung turun memanggil penabuh drum di perut.
"M-MAKANAN! Apa ini untukku?" tanyaku antusias. Hokuto hanya menggaruk kepala lalu berjalan mendahuluiku yang masih menatap penuh minat pada makanan itu.
"Entahlah, sebaiknya kita pulang saja dan camkan baik-baik kalau makanan itu bukan milikmu sepenuhnya."
"Terserah, ayo cepat kita kembali!"
Rasa tidak sabar yang bercampur dengan lapar membuatku mempercepat langkah. Ini sudah melebihi jam makan malam di kantin akademi, jadi terpujilah siapapun inspektur polisi itu.
"Mendapat makanan seperti ini saja baru kau tidak mengeluh," ujar Hokuto di sampingku.
Aku mengedik. "Melangkahlah lebih cepat agar kita bisa segera makan."
Aku bisa melihat Hokuto memutar kedua bola matanya malas. Melewati trotoar yang penuh dengan pejalan kaki menghambat langkah kami, apalagi aku harus menunggu Hokuto yang seringkali tertinggal di belakang. Dia ini mirip sekali dengan anak kecil, bersimpangan dengan orang seperti ini saja sudah kebingungan. Hah, ada-ada saja!
"Bibi, aku lapar-"
"Diamlah, ini di tempat umum."
Saat sedang menunggu Hokuto yang kini hanya terlihat pucuk kepala dengan rambut cokelatnya di belakang sana, aku melihat seorang anak kecil yang tengah merengek pada seorang wanita usia 30-an. Wajahnya memelas, bahkan di bawah keremangan lampu aku masih bisa melihat bahwa kedua mata sayu itu berkaca-kaca.
"Oi, apa yang kau lakukan, Kazuma?"
Hokuto mengejutkanku, kemudian dia menoleh ke segala arah untuk mengetahui penyebab aku berhenti padahal dia sendirilah penyebabnya. Tentu saja aku tidak mengatakannya atau kami akan berdebat lagi padahal cacing di dalam perutku sudah protes lebih keras sejak tadi.
"Apa kau keberatan jika salah satu dari bento ini kita berikan kepada anak kecil itu?"
Hokuto mengikuti arah telunjukku, tapi kemudian dia melengos pergi begitu saja. "Apa yang-"
"Aku sudah kenyang, berikan saja punyaku."
Perlu sepersekian detik bagiku untuk bertindak, aku lekas memberikan jatah makan malam Hokuto kepada anak kecil yang awalnya menolak itu. Dia membungkuk dengan meletakkan satu tangannya di depan dada, yang mana membuatku mengernyit samar. Sebuah cara yang aneh untuk mengucapkan terima kasih dari seorang anak kecil, bukan?
Aku buru-buru mengejar Hokuto dan menghentikannya. Kedua alisnya bertaut, wajahnya yang lelah membuatku cukup untuk menggaruk tengkuk karena tidak enak hati mengganggunya.
"Ada apa?"
"Maaf sudah menghentikanmu, tapi apa kau tahu gerakan ini?"
Aku memperagakan gerakan anak kecil tadi, dia meletakkan tangan kanannya di depan dada dengan ibu jari yang terlipat sebelum keempat jarinya yang lain mengepal lalu membungkuk tidak terlalu dalam. Entah perasaanku saja atau raut wajah Hokuto berubah dan kedua matanya melebar? Perasaanku mulai tidak enak saat Hokuto berbalik arah begitu saja.
"Ho-Hokuto?"
"Di mana anak itu, Ka-kun?"
Aku mendahuluinya untuk kembali ke tempat anak kecil tadi, tapi sial, mereka sudah tidak ada di sana. Berujung kami yang mendapatkan tatapan aneh dan reaksi kebingungan dari orang-orang yang lewat.
"Sial, mereka sudah tidak ada di sini. Ada apa, hah?"
Aku menghentikan pergerakan Hokuto dengan menarik bahunya agar anak ini mau menghadap ke arahku. Raut kelelahan di wajahnya lenyap dan digantikan dengan ekspresi cemas, rahangnya pun mengeras. Ekspresi Hokuto yang seperti ini menuntun otakku berasumsi jika ada sesuatu yang buruk sedang terjadi.
"Anak itu, Kazuma! Di mana dia?!"
"Aku tidak tahu!" seruku, otakku masih belum bisa mencerna ini.
Hokuto mendengkus kasar. "Hubungi Akemi-san atau siapapun sekarang karena anak kecil itu sedang berada di dalam sebuah bahaya."
"Ha-"
"Cepat!"
APALAGI INI?!
🚔🚔🚔
AFTER ALL THIS TIME, WE'RE BACK!
Maaf untuk keterlambatan berminggu-minggu ini. Penyebabnya adalah ya ... banyak hal yang tidak bisa diceritakan di sini tapi yang jelas kami sedang mencoba mengumpulkan kembali semangat yang sempat tercerai berai.
Terima kasih untuk kalian yang selalu menunggu dan sekali lagi kami memohon maaf.
Selamat membaca,
-Arcblood Phoenicis
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top