CASE 12# CONFESSION
"Tidak selamanya kita melihat semua hal dengan cara yang sama. Jadi hargai selagi ada dan bisa sebelum Tuhan mengambilnya kembali."
-Arblood Phoenicis-
🚔🚔🚔
Hokuto terus menarikku melewati lalu lalang orang yang tampak bersenang-senang menikmati festival. Mulut anak itu tidak bisa berhenti mengoceh tentang pemecahan sandi yang baru saja dia pahami. Namun, dalam situasi seperti ini mana mungkin otakku bisa mencerna apa yang ingin dia sampaikan. Jangankan paham, suara anak itu saja tidak bisa kudengar dengan jelas karena teredam dengan bising percakapan orang-orang yang bersinggungan dengan kami. Aku memutuskan berhenti dan menarik bahunya untuk menoleh padaku.
"Aku tidak bisa mendengar apa yang kau katakan dari tadi. Bisakah kau jelaskan secara perlahan padaku?"
Anak itu menghela napas pelan lalu berjalan ke arah bangku yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku dan lekas menunjukkan sebuah foto.
"Aku menemukan petunjuk baru saat tadi mengecek barang milik Hanae. Sandi yang sama dengan sandi-sandi sebelumnya yang kita temukan. Apa kau masih ingat dengan coretan yang kubuat di kamar kemarin? Aku baru memahami bagaimana pola yang pelaku coba tunjukkan."
Aku mengangguk lalu menatap layar ponsel dengan saksama. Jemari Hokuto kemudian memperbesar layar lalu menggeser setiap gambar angka serta huruf secara bergantian.
"Pelaku selalu meninggalkan angka dan huruf dengan jumlah yang sama sehingga terlihat seperti berpasangan. Coba kau hitung ada berapa kata dalam kalimat ini serta angka yang berderet di sebelahnya."
Aku mengambil alih ponsel Hokuto dan menurutinya. "Ada 6 angka dan 6 kata. Lalu apa?" tanyaku lagi mulai penasaran.
"Ambil satu huruf paling depan pada setiap kata dan cocokkan dengan angka di sebelahnya. Sandi yang paling umum kita jumpai di dunia kriminal."
Kepalaku kembali menoleh ke layar. Mencoba menyusunnya lagi. "Sa dengan 0, Ju dengan 2, Je dengan 1, Pa dengan 1, Te dengan 2, dan I dengan 0. Tunggu-"
Hokuto mengangguk, sepertinya anak itu tahu jika aku mulai paham dengan penjelasan yang dia berikan. "Jika melihat dari sandi sebelumnya, selalu ada satu huruf alfabet yang berpasangan dengan satu angka. Karena itu kalau kita mau mengurutkannya maka akan jadi seperti ini."
2 0 0 7 2 0 2 1 1 2 0
W S A N K S J J P T I
Aku mengusap wajah kasar setelah Hokuto mencoba menuliskan keseluruhan kode itu pada catatan di ponsel miliknya. Ck! Kenapa pelaku itu sangat suka bermain tebak-tebakan seperti ini? Apa dia pikir semua ini adalah permainan anak-anak yang mudah untuk dilakukan? Cih, merepotkan!
"Aku yakin sekali jika huruf-huruf tidak beraturan ini akan membentuk suatu kalimat atau mungkin nama dari si pelaku itu sendiri. Hanya tinggal satu masalah lagi yang harus kita selesaikan."
"Pesan itu! Pesan itu bisa jadi adalah kunci utama untuk kita menyusun semua ini, kan?" tanyaku pada Hokuto yang dijawab anggukan olehnya.
"Aku ingin jumlahnya semakin banyak, tapi ternyata aku tidak bisa menemukannya. Apa itu semacam petunjuk sebuah tempat di mana pelaku ingin membunuh korban selanjutnya?" tanyaku lagi.
Hokuto hanya diam, dia tetap fokus pada layar tanpa menoleh padaku.
Kakiku terus mengentak tanah semakin cepat saat keheningan mulai menyergap. Ayo pikirkan hal lain, Kazuma. Cobalah berpikir lebih keras lagi. Jika memang kemampuan menganalisaku tidak berguna, aku mungkin bisa mengaitkan serentetan kejadian yang telah kami lalui. Pembunuhan Moriuchi Uruha terjadi pada bulan Juni, sementara pembunuhan Furukawa Gouki dan Hanae Tsuna berada di bulan Juli. Mataku memejam sesaat kemudian terbuka dengan cepat lantas menoleh pada Hokuto.
"Hokuto."
"Kazuma."
Aku mengerjap saat rupanya anak itu juga memanggilku. "Ada apa?" tanyanya mendahuluiku.
"Apa kau ingat jika aku pernah bilang bahwa Moriuchi dibunuh pada tanggal 20 Juni lalu kau menemukan angka 20 juga? Furukawa dibunuh pada tanggal 7 Juli dan secara mengejutkan kau juga menemukan angka 7. Lalu sekarang di tanggal 20 Juli, bukankah kau juga menemukan angka yang sama lagi? Dan jika dilihat dari susunan ini, artinya...."
Baik aku dan Hokuto sama-sama membulatkan mata ketika bersitatap. Sial! Bagaimana bisa kami tidak menyadari hal sekecil ini? 20-07-2021. Deretan angka yang sama dengan hari Festival Sumomo berlangsung. 20 Juli tahun 2021.
Pembunuhan selanjutnya akan terjadi hari ini!
Tubuhku menegap dan segera berlari menjauh, di cuaca panas seperti ini punggungku terasa seperti tertiup angin musim dingin. Usagi harus cepat ditemukan sebelum terlambat. Berulang kali aku mengumpat dan berusaha mengabaikan teriakan Hokuto di belakang, berulang kali pula pikiran buruk terus merangsek tidak sabaran di kepala.
Sial! Sial! Sial!
"Kazuma!"
Aku berhenti tepat ketika Hokuto berdiri di depanku dengan napas yang tidak beraturan. "Jangan gegabah. Mungkin saja pelaku ingin bermain-main dengan kita sekarang. Apa kau juga tidak menyadari setiap perbuatan yang dia lakukan selalu terjadi ketika kita mulai bergerak?"
"Kita sudah terlanjur untuk ikut campur, Hokuto. Apa kau pikir manusia bisa sesuka hati hidup kembali ketika mereka sudah mati? Jika kita terlambat lagi, Usagi bisa terbunuh!"
Bukannya menanggapi dan ikut bersamaku untuk mencari gadis itu, Hokuto malah diam sembari mengalihkan pandangan ke tanah dengan alis mengerut, terlihat sedang berpikir sambil menggumamkan sesuatu.
"Huruf alfabet hanya 26, jika aku menambahkan dua dari huruf W maka huruf Y yang akan aku dapat ...," ucapnya lirih.
"Ck, aku tidak punya waktu untuk terus melihatmu diam," ketusku kemudian hendak melangkah lagi. Namun, anak itu dengan cepat mencekal lenganku.
"Tunggu! Aku tahu bagaimana memecahkan sandi ini."
Hokuto menyeretku kembali secara paksa ke tempat yang lebih sepi kemudian mengeluarkan ponselnya. Layar catatan berisikan deretan huruf dan angka itu kembali terlihat.
"Huruf-huruf dan angka ini saling berkaitan. Cara untuk mengetahuinya adalah dengan menghitung menggunakan deret alfabet."
Keningku mengernyit. Semakin tidak paham apa yang sebenarnya Hokuto coba jelaskan. "Aku sama sekali tidak mengerti."
"Baiklah, lihat." Aku mengikuti ke mana arah telunjuk Hokuto. "Huruf W berpasangan dengan angka 2, sekarang coba kau tambahkan 2 huruf setelah W."
Mataku melirik ke atas sebentar sambil menyanyikan lagu alfabet yang dulu pernah Chitose nyanyikan saat kecil. "Huruf Y," kataku.
"Lalu huruf S berpasangan dengan angka 0. Karena 0, artinya alfabet S tidak berubah. Sekarang tambahkan lagi huruf dan angka selanjutnya."
"Tetap A karena berpasangan dengan 0. Lalu selanjutnya huruf N dengan angka 7, artinya yang akan keluar huruf U. YSAU? Apa itu?" tanyaku bingung. "Ah! Kita benar-benar tidak punya waktu untuk ini. Bagaimana jika nanti setelah kita menyelamatkan Usagi, aku janji akan membantumu memecahkannya?"
Hokuto bergeming meskipun kakinya memutuskan untuk melangkah meninggalkanku.
"Na ... na ... na! Bagaimana?"
"Urusai na!"
"Ck! Lagipula di mana gadis itu?! Kau dan Usagi-san sama-sama membuatku bingung!"
Anak ini benar-benar mengabaikanku sebelum langkah kami berhenti akibat keramaian di depan sana. Beberapa orang tampak berlari menjauh dari suatu tempat. Wajah mereka terlihat ketakutan, bahkan beberapa anak kecil menangis di gendongan orang tua mereka. Aku terpaksa menghentikan seorang pria, mungkin seumuran dengan Aoyama-san, dia terlihat sedikit jengkel.
"Permisi, ada apa di depan sana?"
"Seorang wanita mengamuk, dia seperti orang gila! Menyeramkan sekali. Biarkan aku pergi!"
Belum sempat aku bertanya lebih lanjut, pria itu sudah menepis tanganku dan menyusul temannya yang sudah berada jauh di depan. Mengapa hari ini orang-orang menyebalkan sekali?!
Saat aku menoleh ke belakang, Hokuto menatap nyalang ke depan. Apa dia sedang kerasukan karena tiba-tiba auranya berubah seperti itu?
"Ho-Hokuto?"
"Aku tahu siapa pelakunya. Dia-"
"TIDAK! MATI SAJA KALIAN SEMUA! MANUSIA ITU MAKHLUK HINA!"
"Usagi-san! Lebih baik kau simpan informasi penting itu sampai kita selesai dengan urusan ini, ayo!"
Aku mengabaikan Hokuto dan menerobos orang-orang yang berlari berlawanan arah denganku. Beberapa orang dewasa dan penjaga taman masih berkumpul di satu titik. Aku membelah kerumunan itu, tapi seorang pria paruh baya menarik jaketku.
"Berbahaya! Kau bisa terbunuh!"
"Maaf, tapi saya mengenalnya," sergahku.
Tarikan orang itu melonggar, pada akhirnya dia melepaskanku. "Berhati-hatilah!"
"Tentu!"
Aku mengangkat kedua tangan saat Usagi menghunuskan pisau lipat ke arahku. Dari mana anak itu mendapatkan pisau? Sial, Kazuma. Itu bukan hal penting untuk sekarang. Aku memaksa otakku untuk berpikir cepat, mengakibatkan rasa nyeri yang berdenyut menyerang.
"U-Usagi-san, bisakah kita membicarakan ini baik-baik?"
"TIDAK! AKU INGIN DIA MATI!"
"Aku ... aku akan menemukan pembunuhnya, aku janji. Bisakah kau memberikan pisau itu kepadaku?"
"Kazuma! Berbahaya!"
Aku menoleh dan mendapati Hokuto sudah berada tepat di sampingku. Anak itu tidak bersiaga sepertiku, tapi napasnya terengah.
"Berhentilah, Usagi-san. Jangan bertindak terlalu jauh," ujar Hokuto.
Aku mengernyit, ucapannya membuat kepalaku semakin berdenyut sakit. "Kau bicara apa?"
Hokuto menoleh dan tertawa saat bersitatap denganku, kemudian kembali menatap Usagi. "Lihatlah, kau berhasil mendapatkan simpati darinya. Berhentilah, dan serahkan pisau itu kepadaku."
Kejadian selanjutnya benar-benar tidak bisa kami cegah. Usagi menjerit kesakitan saat ujung pisau itu menggores pergelangan tangannya, tetes demi tetes darah membasahi tanah di bawah kakinya. Beberapa orang ingin mendekat, tapi Hokuto menahannya. Kali ini aku benar-benar tidak tahu apa yang dipikirkan Hokuto, Usagi bisa mati!
"Hentikan, Usagi-san!"
Tubuh itu roboh, dia menghentikan tangisnya dan menatapku dengan mata yang begitu sayu. "Ka-Kawamura-san ... tolong."
Entah kenapa seluruh tubuhku seketika memanas. Jariku mengepal tanpa sadar, pemandangan seperti ini pernah kulihat sebelumnya. Persis tanpa kurang sedikit pun. Kakiku spontan kembali melangkah mendekat, tapi lagi-lagi Hokuto menahanku sambil menarik mundur tubuhku untuk menjauh.
"Kita harus menunggu Aoyama-san dan yang lainnya datang. Jangan bertindak tanpa arahan dari mereka, Kazuma!"
Sorot mataku berubah, amarah yang kurasakan mendorong hal itu terjadi. "Apa kau ingin melihat seseorang mati di depan kita lagi, Hokuto? Apa kau tidak punya rasa empati sedikit saja pada orang yang sedang sekarat sekarang, hah?! Kita sama saja dengan pembunuh sialan itu jika membiarkan Usagi mati hari ini!"
Hokuto kembali mengatupkan mulutnya saat hendak mengucapkan sesuatu padaku. Ada keraguan yang tampak jelas pada gurat wajahnya.
"Tolong jangan terbawa emosi lagi, Kazuma. Aoyama-san dan Sakamoto-san lebih mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan. Ishimori-san juga sedang dalam perjalanan ke sini. Kita hanya perlu mengawasi-"
Perkataan Hokuto terpotong oleh suara tawa kecil dari Usagi. Semua orang kembali bersiaga dan mundur perlahan. Tawa itu semakin membesar saat tiba-tiba Usagi bangun dan menatap nyalang ke arah kami.
"Manusia benar-benar menjijikkan. Seseorang yang bahkan nyaris mati hanya menjadi bahan tontonan? KEPARAT! KALIAN TIDAK PANTAS HIDUP DI DUNIA INI!"
Dor!
"Jangan bergerak! Anda tidak bisa lagi kabur atau melukai pengunjung yang ada di sini!"
Suara letusan senjata api sebagai tanda peringatan kembali membuat gaduh sesaat. Aoyama-san dengan cepat ikut merapat untuk mendekati Usagi yang terdiam bersama dua polisi yang ikut di belakangnya.
"Jatuhkan pisau itu, Usagi-san. Kami berjanji tidak akan melukaimu," bujuk Aoyama-san.
Bukannya mereda, situasi malah semakin runyam ketika gadis itu tertawa sambil mengangkat pisaunya dan kembali berteriak parau saat darah mengucur tepat di lengan kanannya. Dia menyayatnya kembali secara kasar sebanyak tiga kali hingga cairan kental berwarna merah itu tercecer ke mana-mana kemudian tidak berselang lama merintih kesakitan sambil meminta tolong.
"Saat ini emosi Usagi-san sangat tidak stabil. Akan sangat berbahaya jika kita mendekat. Dia bisa saja melukai dirinya lebih parah lagi."
Persetan dengan ocehan Hokuto, aku menyentak tangannya yang menahanku kemudian menerobos masuk barisan keamanan dan berdiri beberapa meter tepat di depan Usagi. Baju putih dengan corak bunga merah muda yang dikenakannya benar-benar kotor oleh noda darah. Napasnya terus berembus tidak beraturan. Wajahnya mulai terlihat pucat dengan tatapan sendu saat menatapku. Tubuhku membungkuk perlahan, mencoba terlihat tenang walau kepalaku amat terasa sakit.
"Aku akan menolongmu seperti janjiku pada Fumi-chan. Karena itu tolong hentikan ini semua. Kau harus pulang ke rumah dan menemuinya, bukan? Dia pasti sedang menunggumu sekarang."
"Ka-kawamura-san ... apa aku akan dimaafkan? A-apa aku bisa hidup dengan normal lagi?"
Aku mengangguk dengan cepat. Seulas senyum terpatri di wajahku untuk lebih meyakinkannya. "Tentu saja. Kami akan menangkap pembunuh itu untukmu. Kau bisa mempercayaiku."
Kepala Usagi tertunduk, dia meremas baju kotornya dan terisak pelan. Membiarkan pisau lipat tergeletak di sebelah kakinya begitu saja. Memanfaatkan momentum, tanganku bergerak perlahan untuk mengambil senjata tajam itu, berniat menjauhkannya. Namun, aku tidak mengira jika dia akan menyadari pergerakanku dengan cepat. Usagi mencekal lenganku erat. Dia berhasil berkelit dengan mendorong tubuhku, meski tenaganya tidak seberapa, keseimbanganku yang goyah membuatku nyaris terjungkal. Usagi bergerak mundur, masih menghunuskan pisaunya ke arahku.
"DASAR PEMBOHONG!"
"Kazuma!"
Hokuto sigap menahan Usagi saat nyaris menusukku. Sakamoto-san ikut menahan gadis itu yang mulai mengerang dan memberontak sementara Aoyama-san lekas menarikku menjauh.
"LEPASKAN! KALIAN TIDAK PERNAH TAHU APA YANG SUDAH KULALUI SELAMA INI!"
"Cepat bawa dia menjauh dari sini!" teriak Aoyama-san.
Hanya tinggal sedikit lagi Usagi berhasil diamankan, tangan gadis itu berhasil lolos, sikunya menghantam hidung dan mata Sakamoto-san sehingga cengkeramannya terlepas. Usagi menarik diri dengan kuat lalu mendorong Hokuto hingga anak itu menabrak bagian sisi mobil polisi dan mengambil pistol yang tersemat di ikat pinggangnya. Dia menjauh dari para petugas sambil menodongkan moncong senjata api itu ke arah kepalanya.
"Jangan mendekat! Aku akan membunuh diriku sendiri jika kalian berani menangkapku lagi!" teriaknya dengan tubuh sempoyongan. "Kalian tidak pernah bisa mengerti dan tahu penderitaan apa yang sudah kulalui selama ini dengan para bajingan dan keparat itu! Kalian tidak tahu!"
Aku tidak tahu situasi macam apa ini sebenarnya. Sejak Hokuto berkata aneh dan seolah-olah tengah menyembunyikan sesuatu, pikiranku mulai merambah ke mana-mana.
Kenapa Usagi melukai dirinya sendiri secara terang-terangan? Apa si pelaku mengancamnya untuk melakukan hal itu? Kendati demikian, setidaknya pistol milik Hokuto yang serupa denganku untuk berpatroli tidak memiliki peluru, tapi tetap saja luka gores itu harus segera ditangani dengan cepat.
Aku kembali berdiri dan mendekat walau Aoyama-san tetap menahan pergerakanku untuk tidak berbuat macam-macam.
"Kami tahu apa yang membuatmu sampai berbuat hal seperti ini, Usagi-san. Pamanmu, teman baikmu, sudah tewas karena ulah pembunuh itu! Kau tidak harus menuruti apa perkataannya jika memang dia menyuruhmu melakukan ini semua! Aku berjanji akan menghabisinya tepat di depan wajahmu setelah ini!" kataku menggebu-gebu.
Gadis itu menoleh dengan gerakan lambat lantas berjalan ke arahku, membuat Aoyama-san dan beberapa orang di sekitar terpaksa menjauh.
"Benar. Pria bajingan dan sampah seperti pamanku adalah penyebab kenapa aku berani melakukan hal ini, Kawamura-san. Pria jelmaan iblis yang hanya tahu menyiksa dan melecehkan keponakannya itu pantas mati. Dia pantas mati."
Perkataan Usagi sanggup membuat tubuhku seketika menjadi kaku. Perasaan tidak nyaman mulai merangkak naik, mengisi sela-sela amarah sekaligus iba yang entah dari mana datangnya. Apa maksudnya?
"Kau, temanmu, dan juga para polisi itu hanya tahu bertanya dan bertanya saja! Apa yang sebenarnya kalian kerjakan selama ini, hah?! Bukankah tugas kalian adalah menyelidiki sebuah kasus? Lalu bagaimana bisa kalian buta pada kenyataan yang jelas-jelas telah kalian lihat sendiri di depan mata?!"
Air mata itu terus keluar dengan sorot kebencian yang sama dengan milikku beberapa tahun silam. Aku tidak suka situasi membingungkan ini. Apa ... apa yang kami lewatkan? Apa yang aku dan Hokuto tidak sadari?
"Sebaiknya kita pergi dari sini, Kawamura. Ishimori sudah memanggil bantuan dan petugas lainnya untuk segera datang. Ayo!" bisik Aoyama-san.
"Tidak. Saya masih tidak mengerti dengan apa yang coba Usagi-san sampaikan. Biarkan saya di sini sebentar lagi saja," pintaku yang ditolak keras oleh Aoyama-san.
"Kau akan tahu semuanya setelah ini. Aku akan memberitahumu."
Tatapanku beralih sepenuhnya. Polisi itu mengangguk disusul dengan Hokuto yang entah sejak kapan berdiri di sampingku. "Aoyama-san benar. Sandi itu, aku sudah tahu siapa pelaku di balik semua pembunuhan ini."
"Na, Kawamura-san."
Tubuhku berbalik setelah baru beberapa langkah menjauh. Para petugas keamanan terlihat semakin dekat dengan posisi Usagi yang masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada pergerakan atau hal nekat lagi yang dia lakukan selain tersenyum dengan tulus padaku. Senyum yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Aku memang seorang pendosa. Neraka bahkan sudah terbuka lebar, menungguku sekarang, tapi aku tidak akan pernah menyesal telah melakukan ini semua. Sebagian orang, mungkin menganggap aku sudah gila dan tidak berperasaan, tapi kau harus tahu satu hal."
Jemari Usagi berpindah ke arah pelatuk yang siap untuk ditarik.
"Tidak memiliki siapapun di sisimu saat sedang dalam situasi yang sulit adalah hal yang paling menyakitkan. Sekuat apapun dirimu, rasa sepi dan sakit yang tidak dapat dibagikan dan diobati oleh setidaknya seorang teman, membuatku selama ini tersiksa."
Usagi memundurkan tubuhnya, kembali ke tempat semula dengan senyuman yang masih sama.
"Terima kasih karena sudah membawakan kue Kasutera dan menemani Fumi walau hanya sebentar. Kutitipkan adikku padamu dan juga kasus ini untuk segera diselesaikan. Maafkan aku ... tolong sampaikan permohonan maafku padanya ... sekarang aku sudah bebas. Aku tidak akan merasakan sakit lagi, aku akan bebas."
T-tunggu!
"Sayounara."
Letusan senjata api memekik keras di tengah sinar cahaya oranye yang mulai menghias langit. Semua orang terdiam sesaat ketika tubuh Usagi ambruk. Suara sirine mobil polisi bergaung dari kejauhan bertepatan denganku yang terduduk lemas. Mataku memerah dan terasa panas. Teriakan dan kegaduhan yang baru tercipta setelah sadar dengan situasi yang terjadi seketika menghilang dalam telinga.
Usagi sudah tiada.
🚔🚔🚔
Semua berlalu dengan begitu cepat, bahkan otakku belum sepenuhnya bisa menerima. Aku menyaksikan-tidak, tapi semua orang menyaksikan Usagi meninggal dunia di depan mata mereka. Aku tidak bisa mengelak gejolak marah yang timbul, semua terasa tidak berguna. Termasuk diriku sendiri. Hokuto menyeretku pergi setelah dia selesai berdebat dengan Aoyama-san.
"Semua salahmu, Hokuto."
Kami berhenti di tempat yang sudah lengang. Hanya ada satu mobil polisi yang akan kami gunakan untuk pulang ke akademi, tapi aku merasa malas untuk kembali menginjakkan kakiku di sana nanti. Hokuto bersedekap, menatapku dengan ekspresi datar saat aku berhenti melangkah.
"Kau hanya tidak tahu kebenarannya, Kazuma," katanya lalu berbalik.
Kemarahan menguasai diriku. Tanganku membalik bahu anak itu sekuat tenaga lalu mencengkeram kerah bajunya dengan erat. "Kebenaran apa yang tidak kuketahui hingga Usagi harus terbunuh?! Apa kau memang sudah merencanakan hal ini dari awal, hah?"
Gerakan membuka pintu mobil yang Hokuto lakukan berhenti, dia masih menatapku tanpa ekspresi.
"Usagi Shiori adalah pelaku pembunuhan berantai yang selama ini kita cari."
"A-apa?"
"Sandi itu menjawab semuanya, Kazuma. Dia pelaku utama dari kematian yang menimpa Moriuchi Uruha, Furukawa Gouki, dan Hanae Tsuna, termasuk dirinya sendiri."
Cengkeramanku melonggar. Hokuto terlihat menghela napas panjang lalu melepaskan diri dan segera membuka pintu mobil. "Sebaiknya kita lanjutkan pembicaraan ini setelah sampai di akademi saja," katanya lagi. "Cepatlah naik."
Tidak ada respon yang kutunjukkan. Kakiku bahkan tidak sanggup melangkah lagi untuk kembali ke tempat itu. Kepalan tanganku melonggar, tidak ada lagi yang perlu kulakukan setelah ini. Terlalu rumit dan tidak ada gunanya jika harus berdebat dengan Hokuto.
Aku kalah, untuk kesekian kalinya.
"Cepatlah, Kazuma!"
"Aku tidak akan kembali ke sana."
"Jangan bercanda di saat seperti in-"
"Aku berhenti."
Ekspresi Hokuto berubah. Keterkejutan yang sempat tampak di wajahnya mengulas senyum tipis di bibirku. Aku berjalan melewatinya begitu saja. Membiarkan suara-suara makian itu kembali dan menguasai rasa sakit yang timbul semakin menyiksa di kepala. Di manapun aku berada, sepertinya tidak ada keberuntungan yang selalu membuntutiku.
Bodoh dan tidak berguna. Cih. Sejak kapan aku lupa dengan diriku yang satu itu.
"Jangan membuatku repot dan hentikan omong kosongmu!"
Tepat saat Hokuto menyentuh bahuku, tubuhku lantas berbalik dan langsung melayangkan tinju tepat di pipi kirinya. Gerakan tidak terduga itu memancing kesadaranku kembali dan lantas mundur saat melihat Hokuto tersungkur. Lebam keunguan langsung tampak dengan jelas di wajahnya.
"Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu. Pergilah, sampaikan saja salamku pada kedua polisi itu."
Hokuto mendecih, dia meludah darah saat berusaha untuk bangkit. "Jika kau berhenti, kau tidak lebih dari seorang pecundang."
Tinjuku mengepal. "Berhenti atau tidak itu bukan urusanmu. Pikirkan kesalahan yang kau buat, Hokuto."
"Kesalahan?"
"Peluru itu."
Hokuto terhuyung, kelihatannya berusaha untuk berdiri tegak. "Aku tidak tahu! Apa kau begitu bodoh sehingga percaya jika aku membawa senjata beramunisi?"
Aku mengembuskan napas panjang, berusaha menguasai diri untuk lebih tenang. "Di dalam hidup, banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Di antara mereka semua, itu bisa saja terjadi."
Pada akhirnya aku berbalik, menulikan telinga dari panggilan Hokuto. Langkahku pelan, seperti orang yang tengah putus asa-atau mungkin saja aku memang sedang berada di dalam fase itu. Kepalaku berkedut, bertanya-tanya. Apakah semua ini sudah berakhir, Kazuma? Apakah kau benar-benar akan berhenti? Aku mengusap rambut dengan kasar, meninggalkan bekas acak-acakan yang membuatku kelihatan tidak keren sama sekali. Aku teringat sosok kecil yang mempunyai ambisi besar untuk menjadi seorang pahlawan, sosok kecil yang sering membuat kekacauan dan berakhir menjalani hukuman dikurung di dalam kamar satu hari penuh. Ke mana perginya semua ambisi itu?
Langkahku berhenti di persimpangan, mengamati orang-orang yang berlalu lalang untuk menyeberang. Bisik-bisik mereka sudah seperti lebah yang berdengung di dalam kepalaku. Dalam satu helaan napas kasar, aku menatap lurus-lurus aspal yang seperti menguap di depan sana. Yosh! Jika tidak bisa menjadi polisi, aku akan-
"Kau akan mengecewakan Noguchi-san dan Chitose, Ka-kun!"
"Hah?"
Saat aku berbalik, sosok Hokuto yang bahunya naik turun mengatur napas sudah berdiri sempoyongan seperti orang mabuk. Dengan susah payah anak itu mengulurkan tinjunya, senyum miring tercetak di bibirnya. Rupanya tinjuku meninggalkan bekas darah yang sudah mengering di sudut bibir Hokuto.
"Mundurlah sebagai seorang laki-laki, Kazuma yang aku kenal bukanlah sosok pecundang yang mudah menyerah," katanya sambil mendekat.
"Tahu apa kau soal diriku?"
"Hanya orang yang tidak terlalu pandai karena di dalam otaknya hanya memikirkan makanan."
"Sialan," protesku. "Itu menyakitkan!"
Hokuto mengedik, dia mengulurkan tinjunya sekali lagi. Apa ucapan Hokuto benar? Apa aku akan mengecewakan Ryoma dan Chitose jika aku menyerah? Tanganku terangkat, hendak menyambut kepalan tinju itu, tapi gerakanku terhenti. Sebaiknya aku meneruskan langkah, banyak pasang mata yang mulai mengamati kami.
"Kazuma!"
Bodoh, Hokuto! Kenapa dia terus mengikutiku?
"Oi! Kau tidak tuli, kan?! Kazu-"
Tubuhku berhenti mendadak tepat di depan gang sepi sejauh beberapa meter dari persimpangan jalan. Anak ini cerewet sekali walau sudut bibirnya sudah terluka. Apa aku perlu menghajarnya sekali lagi?
"Sebaiknya kau pergi sebelum aku memukulmu lagi, Hokuto," kataku tanpa berniat menatapnya.
"Kau bahkan tidak melihatku saat berbicara. Kenapa? Apa kau masih takut dengan trauma yang bahkan tidak bisa kau atasi sendiri? Cih, kau bahkan lebih penakut dari orang sepertiku."
Tubuhku berbalik. Melihat sosoknya yang masih berdiri menatapku. "Na, kau benar-benar ingin kuhajar, ya?"
Bimbang. Mungkin fase itu yang sedang menghampiriku sekarang. Menyerah dan takut bukanlah sosok diriku, tapi bukankah setiap hal yang kulalui tidak pernah berjalan dengan lancar? Sejak dulu, kehadiranku memang tidak pernah membawa pertanda baik. Lari dari rasa sakit dan takut adalah satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk sejenak mengusir pikiran bahwa aku tidak dibutuhkan di dunia ini.
Memang seharusnya seperti itu, bukan?
Aku tersentak saat tepukan keras di bahu menyadarkanku. "Kalau orang yang kau hadapi sekarang adalah Ueda bersaudara, kau akan mati lebih dulu, Kazuma."
"Hah?"
Hokuto memukul keras kepalaku lalu mengerang frustasi sambil memijat keningnya. "Harus berapa kali aku memukul kepalamu agar otak bodoh itu bisa berfungsi?"
"NA-"
"Berhenti bertingkah menyebalkan. Kau ingin berhenti dari akademi dan kembali ke rumahmu atau beralih profesi menjadi seorang preman memang bukan urusanku, tapi apa kau tidak malu pada ayahmu? Kau bahkan menentang bawahan ayahmu saat itu demi menjadi seorang polisi. Bagaimana reaksinya saat tahu kau pulang tanpa membawa apapun?"
Kepalan tanganku kembali menguat. Aku lupa akan fakta sialan yang satu itu. Pria itu mungkin akan merasa dirinya telah menang dan leluasa mempersempit ruang gerakku.
"Noguchi-san dan Chitose-kun tidak akan menyukai dirimu yang sekarang. Kau yang memintaku lebih dulu untuk berteman, lalu apa sulitnya memberitahuku apa masalahmu?"
Jeda cukup panjang di antara kami sampai akhirnya Hokuto kembali mengulurkan tinju di depanku. Senyum miring itu lagi-lagi terlihat, seolah memanggil ambisiku untuk naik ke permukaan.
"Kau bukan seorang pecundang. Bukan begitu, Ka-kun?"
Sejenak aku melihat bayangan Ryoma yang tersenyum padaku di samping Hokuto. Benar. Masih ada hal yang harus kulakukan. Aku tidak ingin kembali dengan tangan kosong dan hanya berharap pada pria itu yang akan mengasihaniku setiap hari. Membayangkannya saja membuat emosiku seketika bergejolak. Enggan berlarut-larut dalam kebimbangan, aku membalas kepalan tangan Hokuto dengan mencengkeram tinju itu erat.
"Kau akan membayar mahal untuk perkataanmu yang menyakitkan tadi, Hoku-chan."
🚔🚔🚔
Kami menggabungkan Sandi Caesar dan Sandi Vinegere tanpa menggunakan sistem kata kunci. Jika ada kesalahan dalam mengolah Cipher Text sehingga menjadi Main Text, kami mohon maaf. Terima kasih.
Tertanda :
ARCBLOOD PHOENICIS
P.s
HAYO SIAPA YANG DUGAANNYA BENER?
Tulis jawaban kamu dan alasannya di kolom komentar, ya. Jangan lupa vote. Terima kasih 🤩
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top