CASE 1# LATE ARREST

"Orang-orang jahat kadang sudah lebih dulu melewati betapa jahatnya kehidupan."

-Arcblood Phoenicis-

🚔🚔🚔

FUCHU, TOKYO PREFECTURE, JAPAN

METROPOLITAN POLICE ACADEMY

Ada perbedaan yang signifikan antara Kobayashi dengan Fuchu. Dari sudut pandang dan segi mana pun kehidupan di dua kota ini sangat berbeda. Menjadi orang asing, itulah yang tengah aku rasakan. Berdiri di antara orang-orang yang memegang teguh mimpi mereka merupakan hal yang belum pernah menyambangi otakku. Aku mengira jika masa depanku hanya akan berputar di Kobayashi atau paling jauh mungkin pusat Miyazaki. Nyatanya, aku harus hidup di cengkeraman mimpi yang sudah diciptakan oleh ayah sejak aku lahir.

Wajah-wajah penuh keyakinan itu sangat kontras denganku. Entah, mungkin orang lain yang melihat akan menilai bahwa aku setengah hati berada di tempat ini. Akademi Kepolisian Metropolitan adalah tempat yang dituju oleh orang-orang dengan mimpi bisa menjadi pelindung dan penegak keadilan di antara masyarakat.

Apakah ini yang sebenarnya ingin kulakukan?

Menepis keraguan yang mulai datang, atensiku sepenuhnya mengarah ke layar proyektor di depan sana. Ruang kelas bercahaya redup ini akan menjadi tempat kami mendapatkan pelatihan teori mengenai seluk beluk kepolisian dan berbagai kasus yang sudah atau tengah diselidiki. Seperti di layar yang kini menampilkan statistik kejahatan di Jepang. Pada tahun 1989 otoritas Jepang memecahkan 75,9% kasus perampokan dan 95,9% pembunuhan. Aku sempat membaca sebuah artikel yang memuat statistik kejahatan dari tahun 2002 hingga 2013. Tingkat kejahatan di Jepang menurun selama 11 tahun berturut-turut. Jumlah pembunuhan serta percobaan pembunuhan juga turun ke level terendah pasca perang. Pada tahun 2017 sendiri, otoritas Jepang mencatat terjadinya 915.042 kasus kejahatan.

"Untuk sekarang, yang menjadi konsentrasi kepolisian Jepang adalah kejahatan modernisasi." Suara Aoyama Riku-san terdengar setelah tayangan itu berhenti pada tampilan sebuah rumah yang dikelilingi pita kuning.

Instruktur kami bergerak ke tengah, sorot cahaya LCD proyektor menerpa wajahnya yang tampak serius. "Ada yang tahu kejahatan kerah putih?"

Rupanya tidak ada pergerakan selain tanganku yang terangkat ke udara. Aoyama menunjukku dengan tongkat yang dibawanya. "Ah, aku tahu kau, Yoshino Hokuto. Kemampuan analisamu yang tinggi berhasil membuatmu masuk ke tempat ini. Apakah pengetahuanmu bisa diandalkan?"

Aku menatap lurus ke matanya tanpa menunjukkan ekspresi berarti. "Hazel Croal menemukan istilah itu untuk menyebut kejahatan yang melibatkan penyalahgunaan jabatan. Kejahatan kerah putih sering terjadi di pemerintahan, baik secara struktural yang melibatkan kelompok maupun perorangan. Kejahatan ini tergolong sulit untuk dilacak karena dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kuasa untuk mengatur sebuah hukum dan keputusan vital. Kejahatan ini-"

"Baiklah-baiklah." Aoyama menghentikanku dan kembali ke mejanya. Di samping itu aku mendengar bisikan-bisikan memuji, tapi aku tidak peduli. Gunakan waktu luangmu untuk membaca berbagai informasi maka kau tidak akan terlihat bodoh di mata orang lain.

"Di negara manapun, kejahatan ini sudah sangat biasa didengar, dilihat, dan dialami. Karena terjadi di lingkungan tertutup, skandalnya sangat sulit untuk diendus." Aoyama mengganti tampilan di layar dengan foto seorang anggota parlemen Jepang yang ditangkap beberapa bulan lalu karena skandal pencucian uang rakyat untuk proses pemilihan umum yang memenangkan dirinya. "Salah satu contoh yang masih hangat diperbincangkan," katanya sambil menunjuk layar dengan laser bercahaya merah.

Aku tahu kasus itu hingga bosan mendengarnya dan melihat wajah pria paruh baya tersebut di layar televisi. Pemilihan lokal di Prefektur Nagano sekitar 3 tahun yang lalu itu baru terendus di akhir masa jabatannya. Mungkin ini menunjukkan betapa sulitnya sebuah skandal pada kejahatan kerah putih yang dimaksud Aoyama, tapi aku yakin, pihak kepolisian sedikit mengalami rasa takut untuk menangkap orang-orang berpengaruh.

"Setidaknya kalian tahu salah satu kejahatan yang pelakunya bisa langsung ditangkap dan diadili." Aoyama menghela napasnya dan kini tayangan berganti ke kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat golongan menengah ke bawah.

Umum diketahui jika kejahatan ini lebih sering terjadi di lingkungan masyarakat. Entah karena faktor ekonomi atau tekanan sosial yang tinggi, mereka cenderung akan menyalahkan faktor-faktor itu ketika ditanya mengenai alibinya melakukan tindak kriminal. Di sana terdapat berbagai contoh kejahatan kecil hingga besar. Tentang modus pencurian dengan meletakkan serangga di depan rumah korbannya yang sempat marak terjadi beberapa tahun lalu, pencurian sepatu wanita untuk memenuhi hasrat seksual aneh seorang pria, lalu ada kakek yang berusia 74 tahun mengais kekayaan dengan mencuri selama 8 tahun terakhir, dan pencurian mobil mewah yang saat ini sering terjadi.

"Oi."

Aku merasakan seseorang menunjuk punggungku dari belakang. Suaranya terdengar familiar, tapi aku tidak ingat di mana pernah mendengar suaranya.

"Kau yang di stasiun kemarin, kan? Cih, rupanya kau di sini juga. Menunduklah! Aku tidak bisa melihat ke depan!"

Orang itu, ya.

Saat aku ingin menoleh, Aoyama berdeham dari depan. Orang di belakangku diam tapi perbuatannya lebih dulu diketahui oleh sang instruktur.

"Kawamura Kazuma!"

Terdengar kursi menggesek lantai saat anak itu berdiri setelah melantangkan suaranya. Wajah serius Aoyama terlihat begitu jelas saat lampu ruangan kembali menyala dan dia kembali berdiri di tengah. "Apa yang kau lakukan?"

"Menyapa seorang kenalan?"

"Hah?"

Mungkin Aoyama mendengar lontaran pertanyaan yang begitu saja keluar dari mulutku. Namun, dia tak bereaksi, hanya menatapku sekilas. "Siapa kenalanmu?"

Jeda sedikit panjang membuat instruktur kami terlihat kehilangan kesabaran. "Ah, Yoshino Hokuto, Pak!"

Bodoh!

"Apa benar itu, Yoshino?"

Aku menggeleng karena memang aku tidak mengenal anak itu. Dia dengan seenak hati menyebut nama orang lain agar terlibat masalah dengannya. Kawamura bergumam tidak jelas sebelum mendapatkan hukuman untuk melakukan squat jump sebanyak 20 kali di samping kursinya. Setelah itu keadaan kelas kembali damai hingga waktu makan siang tiba.

▪▪▪

Tidak ada yang kukenal di tempat ini. Semuanya membentuk kelompok untuk menghabiskan makan siang mereka. Hanya ada satu kursi panjang yang kosong, di depan dua orang pemuda yang berbeda postur. Aku terpaksa berjalan ke sana dan meminta izin kepada dua orang itu.

"Kau tahu, Kaisei. Orang yang sebelumnya dihukum itu bisa kupastikan tidak lulus jika ada tes sikap sempurna."

"Memangnya ada tes seperti itu?"

"Aku hanya menebak. Lagi pula dia terlihat urakan," katanya.

Yang dimaksud tiba-tiba datang dan menduduki sisa kursi kosong di sampingku. Porsi makannya dua kali lebih banyak daripada punya kami. Dia ini memalak penjaga kantin atau apa?

"Apakah kalian membicarakanku?" tanyanya tanpa merasa terganggu karena sudah dibicarakan.

Si pemuda yang tadi dipanggil Kaisei tertawa canggung dan mengucapkan kata maaf, sedangkan yang satu lagi hanya mengangguk dan melanjutkan makan siangnya. Aku sendiri hanya melirik sekilas si Kawamura melalui ekor mata. Tidak tertarik untuk mengajaknya berinteraksi atau anak itu akan menganggapku sebagai temannya. Seperti janjiku kepada ayah, menjauhi masalah sekecil apapun itu akan menjamin karierku ke depan.

Mereka melanjutkan obrolan, mulai dari asal usul hingga hal-hal pribadi soal percintaan. Aku sendiri hanya mendengar, tidak tertarik untuk mengikuti obrolan ringan menyangkut hal-hal pribadi semacam itu. Untuk apa? Semakin akrab kita dengan banyak orang maka semakin banyak rahasia yang akan terbongkar, bukan? Sebuah pertemanan tidak akan bertahan lama. Aku tidak percaya dengan hal seperti itu, hal-hal yang mengikat selain pernikahan.

"Kau hebat, Yoshino-san."

Apa ada yang baru saja menyebut namaku?

Saat aku mendongak, pemuda bernama Kaisei yang duduk di depanku tersenyum. "Bahkan baru kali ini aku mendengar kejahatan kerah putih. Kau berbakat untuk menjadi seorang detektif," katanya melanjutkan.

"Terima kasih."

Saat aku dan Kaisei berbicara, Kawamura tidak menanggapi. Sepertinya aku memang terlihat semenyebalkan itu di matanya, tapi itu suatu keberuntungan karena aku tidak akan pernah mau berteman dengan orang seperti Kawamura.

Kegiatan makan siang itu selesai dan aku memutuskan untuk kembali ke ruang kelas. Beberapa orang berkumpul di depan papan pengumuman yang lekas saja kutahu jika itu merupakan pembagian asrama. Ada dua orang di setiap kamar dan nasib sial sepertinya sedang menghantuiku seperti arwah penasaran. Namaku berada tepat di bawah nama Kawamura Kazuma, di ruang nomor 217. Ini seperti mimpi buruk yang datang di tengah hari.

"Kau, lagi?"

Aku menoleh, Kawamura-yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahku, sudah menunjukkan raut wajah masam. Namun, wajah itu berubah menjadi cengiran khas ketika dia mengulurkan tangan kanannya.

"Ja ... yoroshiku!"

Aku menatap wajah anak ini. Tidak ada keseriusan sama sekali, dia pasti anak orang kaya yang tidak tahu apa itu masalah hidup. Selalu berbuat onar sesuka hati dan menyusahkan banyak orang. Orang seperti ini untuk apa ingin menjadi seorang perwira polisi? Aku mengabaikan tangannya dan melengos pergi. Sore nanti ada jadwal latihan fisik di lapangan. Dari info yang kudapatkan, kami dituntut harus mengitari lapangan sepak bola sebanyak 8 kali putaran dalam kurun waktu 12 menit. Kabarnya banyak yang gagal dan memilih untuk meninggalkan akademi ini karena tidak sanggup menerima pelatihannya yang terlalu keras.

Aku mendesah panjang saat menyusuri lorong asrama begitu materi yang membahas kasus pembunuhan disengaja maupun tidak berakhir. Kamar 217 berada di ujung lorong, lima kamar di setiap sisi dan 10 kamar di sepanjang lorong. Begitu masuk, udara pendingin ruangan sudah menyala dengan angin sejuk yang berembus. Pemandangan yang tersuguh di jendela adalah satu-satunya hal yang menarik di ruangan sempit ini. Meski kamarku sendiri di Kobayashi tidak terlalu luas, tapi tempat ini sangatlah monoton. Satu ranjang susun dua dengan bantal serta selimut, lampu kecil berwarna kuning yang hanya bisa menerangi kegiatan membaca buku, satu lemari kayu dengan nama kami yang sudah tertempel di sana, serta satu nakas di bawah stop contact. Sisanya tidak ada, hanya warna cat putih tulang yang terlihat pucat saat sore menjelang.

"Aku sudah berusaha meminta Aoyama-san untuk mengganti posisiku di sini, tapi rupanya memang tidak bisa. Jadi, maafkan aku."

Aku berbalik dan mendapati Kawamura berdiri dengan canggung di ambang pintu. "Jangan menyusahkanku."

"Ossu!" Dia membuang napas kuat dan kembali menunjukkan wajah sumringahnya kepadaku.

Aku tidak melakukan apapun setelah itu, hanya memandang burung-burung yang terbang berkelompok di kejauhan hingga pengeras suara di dalam ruangan kami berbunyi.

"Pakailah seragam olahraga kalian dan berkumpul di lapangan dalam waktu 30 menit! Tidak ada kata terlambat!"

"Celaka!"

Aku berbalik begitu mendengar erangan Kawamura, dia mengusap rambutnya kasar dan tampak gelisah.

"Kenapa?"

"Kau tahu tasku dicopet! Seragam olahragaku berada di sana. Ah, sial!"

"Begitu, ya," kataku.

Aku terdiam diri menatap seragam olahraga di tangan. Lalu tanpa pikir panjang aku menyerahkan kaosku kepadanya.

"Pakai saja."

"Tapi-"

Berdecak, aku bergegas mengganti celana dan beranjak meninggalkannya. Setelanku terlihat sangat aneh, memakai seragam akademi dan celana training. Kawamura sebaliknya, beruntung ukuran tubuh kami tidak jauh berbeda. Harusnya ini menjadi hari pertama yang lancar tanpa masalah, tapi rupanya aku sudah mencari masalah itu sendiri.

Dasar merepotkan!

Mereka semua memandang kami sembari berbisik. Penampilan kami tak luput dari perhatian Kurosawa Ryohei-san, instruktur untuk pelatihan fisik di akademi ini. Aku mendengar desas-desus jika dia adalah salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan banyak siswa.

"Kalian berdua!" Kurosawa-san memanggil kami. "Apa-apaan ini?"

Kawamura mendahuluiku menghadap Kurosawa-san. "Maafkan saya, Pak! Tas saya dicopet oleh seseorang di Stasiun Fuchuhomachi kemarin sore dan seragam saya berada di dalamnya. Yoshino hanya meminjamkan seragamnya kepada saya."

"Mengapa kau tidak melaporkannya ke polisi?"

"Saya kehilangan jejak karena-"

Kawamura tampak kebingungan. Aku tahu kemarin aku juga bersalah karena tidak membantunya.

"Saya tidak berhasil membantu Kawamura dalam menangkap pencopetnya, Pak."

Kurosawa-san mengalihkan perhatiannya kepadaku kemudian ke Matsuda-san yang menjadi asistennya sore ini. Polisi wanita itu berdeham dan maju selangkah dengan tatapan nyalangnya yang membuatku merasakan ada hukuman berat sedang direncanakannya untuk kami.

"Harusnya hari ini kalian hanya berlari mengitari lapangan sebanyak 8 kali, tapi karena kesalahan kalian fatal kalian harus berlari mengitari lapangan sebanyak 15 kali dalam kurun waktu 30 menit. Jika lebih, terpaksa kalian harus pulang ke kota asal masing-masing. Mengerti?!"

"Yoshino tidak bersalah-"

"Diam dan laksanakan!"

"Baik!"

Jam pengatur waktu telah disetel dan akan berbunyi jika waktu 30 menit yang diberikan berakhir nantinya. Kawamura berlari jauh di depanku. Aku harus mengakui bahwa aku payah dalam olahraga fisik seperti ini. Masih dua putaran dan aku sudah seperti orang kehabisan napas. Meski angin sore menyejukkan, tetap saja udara terasa susah memasuki rongga paru-paru.

"Yoshino, apa kau baik-baik saja?"

Aku menggeleng setelah mengatur napas dengan memegang lutut. "Kau pikir aku terlihat baik-baik saja, hah?"

"Maaf aku jadi menyusahkanmu."

"Apa yang kalian lakukan?!" Matsuda-san berteriak di kejauhan yang membuatku mau tidak mau kembali berlari.

"Wanita itu berisik sekali." Kawamura berdecak kemudian menepuk bahuku lalu mengangguk mantap.

Menghela napas panjang, aku berusaha menguatkan diri untuk berlari meninggalkan Kawamura yang sudah berlari kembali saat aku berhenti sejenak tadi. "Lupakan itu dan ayo cepat!"

Dia terkekeh di belakang. "Padahal kau sudah kepayahan seperti itu. Tapi ... baiklah! Ayo selesaikan dan segera mandi!"

Baru kali ini aku melintasi satu lapangan sepak bola karena mendapatkan hukuman ... bukan, bukan. Baru kali ini aku mendapatkan hukuman berat. Jika ayah tahu mungkin dia akan mengecapku sebagai anak yang tidak berguna dan payah. Mengapa aku tidak memikirkan itu ketika membantu Kawamura? Aku tersenyum tanpa sadar mengingat stereotip yang melekat padaku terpatahkan sejak tadi. Apa salahnya sekali-kali membangkang, Hokuto?

10 menit lagi dan aku sudah benar-benar seperti orang kehabisan napas. Mungkin sudah lebih dari 5 kali aku berhenti untuk mengais oksigen. Kawamura juga tampak penat, tetapi energi anak itu seperti terisi kembali setiap kali dia menyerukan kata penyemangat untuk dirinya sendiri. Pemandangan rumah-rumah di balik jeruji kawat tampak damai meski merupakan permukiman padat penduduk. Namun, perhatianku teralih pada seorang pria tua yang mondar-mandir di jalanan belakang pagar kawat lapangan ini. Meski kesannya tidak ada yang salah, tapi gerak-gerik dia sedikit membuatku menaruh perhatian. Aku ingin memanggil Kawamura, tapi anak itu sudah berjarak beberapa meter di depan.

"Oi, Yoshino!"

Aku menoleh, Kawamura berlari pelan sehingga jarak kami terkikis. "Kau lihat-sial!"

Tiba-tiba saja aku tersandung kakiku sendiri dan merasakan tubuhku berguling di tanah. Teriakan panik Kawamura terdengar bersamaan dengan teman-teman kami di kejauhan. Begitu aku membuka mata, sosok Kawamura sudah berjongkok dengan mata melotot tanda terkejut.

"Apa kau baik-baik saja? Ini berbahaya, cepat bangun!" ujarnya.

Aku mengerjap dan berusaha menguasai keadaan lalu mencoba berdiri-

"Itta!"

"Apa kakimu terluka? Biar aku lihat." Kawamura mencoba mendudukkanku kembali dan menarik pergelangan kakiku.

"Sakit, bodoh!"

Dia berdecak lalu menggaruk kepala. "Baiklah, ayo naik ke punggungku."

"Hah?"

"Aku tidak mau menyelesaikan ini sendirian atau kau akan mengulangi-"

"Baiklah! Baiklah!"

Kawamura menggendongku di punggungnya. Saat kami melintas di depan yang lain, aku merasa risih luar biasa. Anak ini kepayahan, larinya memelan dan napasnya terdengar berat. Yang aku tahu kami akan terlambat mengingat waktu hanya tersisa 1 menit sedangkan kami masih harus mengitari lapangan satu kali lagi. Apa ini akhir dari perjalanan kami untuk menjadi seorang perwira polisi?

"Na, kau takut dipulangkan, ya?"

"Sudahlah, fokus pada langkahmu. Aku tidak ingin lebih celaka daripada ini."

"Selain penakut kau juga tukang menuntut, ya. Menuntut segala sesuatunya untuk menjadi sempurna. Aku jadi teringat akan seseorang yang menyebalkan, seperti dirimu."

Aku tidak menanggapi dan lebih memilih untuk mengingat kembali hal yang membuatku kehilangan fokus beberapa saat tadi. Ah, seorang pria tua yang terlihat mencurigakan.

"Kawamura-"

Tit! Tit! Tit-

"Ah, tidak! Waktunya sudah habis!" Kawamura mengerang. Dia melirikku melalui ekor matanya. "Eratkan peganganmu, Yoshino! Aku akan berlari dengan kekuatan penuh!"

Setelah mengatakannya, Kawamura mulai berlari dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Seakan-akan anak ini tidak peduli jika dia akan pingsan atau kehabisan napas di garis akhir nanti. Kakinya bergerak seperti tanpa rem dan aku mulai merasakan ketakutan yang belum pernah kurasakan sebelumnya di hidupku. Di sisi lain, ini terasa sedikit menyenangkan karena kami harus berjuang demi sebuah impian.

"YATTA!"

Kurosawa-san menatap kami bergantian saat Kawamura menurunkanku perlahan. Apa aku harus berlari sekali lagi?

"Kalian terlam-"

"A-aku bisa menjelaskannya! Tapi tolong tunggu sebentar ... aku butuh bernapas!"

Kawamura membungkuk memegang lutut sambil terus mengatur napasnya yang menderu. Tidak lama dia berdiri tegap kembali lalu berkata, "Anda tahu Yoshino jatuh hingga membuat kakinya terkilir. Aku menggendongnya karena tidak ingin dia menyerahkan mimpinya untuk menjadi seorang perwira polisi. Maafkan kami!"

Aku ikut membungkuk saat Kawamura melakukannya. Wajahnya sangat merah seperti tomat yang dipetik oleh ibu di kebun rumahku. Apa aku seberat itu?

"Yoshino, segera pergi obati lukamu dan kau, Kawamura, bantu temanmu dan pastikan kalian masuk ke kamar lebih cepat!"

"Baik!"

Kurosawa-san dan Matsuda-san pergi meninggalkan kami disusul dengan siswa yang lain. Aku berjengit saat Kawamura justru ambruk lalu merentangkan tangan di atas tanah. Dia tertawa tanpa sebab yang anehnya mengundang senyum terbit di wajahku.

"Kita berhasil!"

🚔🚔🚔

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top