Chapter 9 - Archae dan Badai Salju Berasap

"Apa menurutmu aku orang tak berperasaan?"

Badai tetap membesar seiring waktu. Luka bakar di tubuh Anky dan Achio makin banyak. Anehnya, lawan Anky justru baik-baik saja. Dia mendekat, keluarkan karambit tanpa mata pisau dari balik sabuk pinggang.

"Kau tentu siapa aku, kan?" Selagi bertanya dengan nada rendah, dia menyipit penuh hasrat membunuh. "Anky...."

"Kau Archae dengan serangan elang putih," jawab Anky segera menarik sebatang cahaya ketika menggapai sinarnya di depan mata. "Aku hanya tau itu dari mulut yang mulia Rosa."

"Ya.... Dan aku akan tunjukkan, bagaimana seorang manusia ketika tak punya perasaan." Tiba-tiba hujan salju berasap makin ganas hingga uapnya membentuk kabut yang tutupi keberadaan Archae. Ini saatnya Anky waspada pada sekitar. Semilir angin menerpa pundak telanjang Anky, tapi ia langsung ciptakan kapak dari cahaya yang diambil tadi kemudian ayunkan ke belakang. Terjadi bentrokan mata pisau antara kapak cahaya milik Anky dengan karambit es kepunyaan Archae.

Tidak, hanya bilah es tajam yang pecah ketika kapak Anky menancap permukaan salju. Gawat, Anky mulai panik. Karena spontan, Anky malah ciptakan kapak yang cukup berat untuknya. Namun, rasa cemas akan keselamatan Achio mendominasi pikirannya, lantas Anky menangkis serangan musuh sebisanya. Satu per satu serpihan es berasap menusuk sekujur tubuh meski Anky melakukannya secepat mungkin. Bila matanya menangkap wujud Archae yang menyerang dengan karambit es, ia tetap dapatkan luka gores meski Anky coba balas lewat mengubah senjata cahaya.

"Satu menit." Suara Archae menggema di sekitar arena. "Daya tahan yang tidak buruk."

"Orang jahat...." Sedangkan Achio terus gumamkan kalimat tersebut. Pelukannya makin erat.

"Maka dari itu, jangan remehkan aku." Hujan serpihan es berasap makin deras melukai mereka dan Anky tetap hancurkan serangan bertubi-tubi dengan kapak yang gagangnya mulai memanjang. Melihat ada peluang untuk istirahat, Anky mulai berpindah tempat dan hantam bumi gunakan senjatanya. Seketika, kabut es terhempas jauh hingga sinar matahari sanggup menyinarinya. Bahkan Archae pun menghindar dari lingkaran sinar sang pusat tata surya itu.

"Memanfaatkan cahaya matahari untuk tingkatkan ketajaman senjatamu? Kau serius?" Dengan nada meremehkan, Archae ulurkan tangan ke atas di sela bangkit berdiri. "Apa kau tidak berpikir dua kali?"

Anky langsung mendelik kala salju berasap perlahan menjadi lidah api membara. Lelehan es bertukar jadi uap yang menutupi matahari. Kini, tak ada lagi perlindungan bagi Anky dan Achio. Hutan ini sepenuhnya hujan salju api yang akibatkan luka bakar fatal. Archae takkan beri celah untuk lawannya. Dia melesat mengayunkan karambit pada Anky. Nasib baik gadis centaur itu cepat mengubah kapak jadi perisai dan pedang. Sepanjang Anky amati gerak-gerik lawan, Archae lebih banyak menghilang dalam pandangan usai menyerang. Ia mengerti sekarang. Anky pun akan banyak menyerang dengan perisai, bukan pedang.

"Menyerah saja, Anky," kata Archae ketika menerjang Achio dengan tangan kosong. "Kau dan gadis penakut itu sudah terluka parah karena hujan buatanku."

Begitu Anky berhasil hempas Archae pakai perisai, ia pun sadar. Sekali lihat tangannya melepuh pamerkan daging merah, rasa nyeri langsung buat Anky tumbang. Takkan ada harapan lagi untuk menang, pikir Anky merasa letih.

"Begitulah yang seharusnya kau laku----" Archae hendak lempari Anky dengan bola es berlumuran api, ia mendelik terkesima. Tubuh Anky mendadak bercahaya. Bulir emas dengan sinar benderang mengitari mereka. Perlahan, luka dua gadis itu lenyap bahkan Anky tak merasa lelah lagi.

Namun dalam pandangan Archae, ada Ronto yang memeluk Anky. Wanita berambut emas itu mendekap dengan senyum lembut dan mata terpejam. Apakah dia ... ada di dalam diri Achio? Seiring berjalannya waktu, sihir elemennya lenyap. Ketegangan dalam tubuh Archae melemah.

Dia buka mata untuk menatap Archae. Kemudian mulutnya mengucapkan sesuatu tanpa suara.

Aku bukan musuhmu.

SRAT!

Saat itu pula, kesadaran Archae pun kembali. Luka gores yang panjang dan dalam di lengan Archae, lantas ia tutupi pakai tangan guna redakan nyeri. Tampak Anky dan Achio sudah pulih sepenuhnya. Tak ada lagi hujan salju. Beberapa titik permukaan di hutan munculkan rerumputan dan bunga iris biru. Warna pada bunga itu ... mirip dengan mata Achio ketika menatapnya dengan polos. Lirikan berikutnya, Anky siap menembak Archae dengan panahnya.

"Sepertinya kau tidak beruntung hari ini," kata Anky tersenyum penuh kemenangan. "Dan biar kutebak, kau sudah melihat Ronto dalam badan Achio."

Skakmat! Archae tak punya kata-kata untuk menyangkal. Namun, ia tak pernah kalah. Ia tak mau kalah. Maka dengan kemarahan yang memuncak, ia menjerit hingga datangkan badai salju berasap lagi. Tingkat kerusakannya kali ini jauh mengerikan dibanding sebelumnya. Emosi yang meluap-luap membuat Archae gampang lelah dan akhirnya bersandar di salah satu pohon terbakar.

"Badai salju lagi." Anky mengeluh di sela lesatkan anak panah. Archae memukul batang pohon sambil menjerit, tapi dalam sekejap api padam dan gagang karambit berubah jadi katana es, langsung membelah serangan Anky dengan cepat.

"Kalau merasa yakin ada Ronto bersama kalian," Archae kibaskan katana dengan kasar dan secara ajaib lidah api menghiasi mata pisaunya, "COBALAH BUNUH AKU DENGAN TEKNIKKU, ITUPUN JIKA KAU BISA MENGUASAINYA!"

Anky hendak memanah sang lawan lagi, tapi kecepatan Archae mendekat dan ayunkan katana mampu mengalahkannya. Terlebih, badai salju semakin ganas membuat cara bertarung Archae menggila. Dia menghilang, lalu muncul di titik buka Anky. Archae sungguh menebas lawan dengan brutal. Bahkan Achio jatuh dari tunggangan Anky. Tanpa memberi celah, Archae melompat mundur untuk tancapkan katana. Ombak api menyelimuti seluruh permukaan bersalju hingga membakar sebagian tubuh mereka. Tak sampai situ, Archae ayunkan katana ke atas guna ciptakan api di bekas tebasan yang mengarah pada Achio. Nasib baik Anky tepat waktu menahan ombak api dengan perisai cahaya walau akhirnya pecah.

"Aku sudah beritahu petunjuk untuk membunuhku," kata Archae berjalan santai. Panasnya api dan dinginnya butiran es tak seakan tak terjadi dalam hidup Archae. Ia menunjuk wajah Anky dengan katana berlumuran api. "Kenapa kau tak melakukannya?"

Anky tak menjawab. Ia terlalu sibuk mencemaskan Achio yang kembali memeluknya ketimbang taklukkan tatapan dingin Archae.

"Bangkitlah, jangan sampai perjuanganku ini sia-sia karena kau mati."

"Bukan aku yang mau jadi kuat." Anky lekas tengok Achio yang mematung dengan sorot mata kosong. "Tapi Achio mau separuh kekuatanmu untuk habisi Tyran."

"Tyran? Kalau begitu, syaratnya tetap sama." Dan Archae pun siap ayunkan katana dengan wajah tanpa ekspresi. "Kau harus bunuh aku."

DUAR!

Refleks Anky dan Archae melirik asal suara tersebut. Ada kilat merah kehitaman menembus langit. Sesaat, Archae mendesis murka.

"Jangan bercanda...."

****

Bukan hanya Archae dan Anky yang melihat, tapi juga Aquilla. Gadis bermata merah itu terpojok oleh kegilaan Cera dalam bertarung. Beberapa titik atap bangunan ini alami kerusakan sehingga ia bisa lihat langit perlahan mendung. Tentu, mimik panik terbit di muka Aquilla.

"Itu kan...."

"Fokus, Aquilla!"

Seketika, kepanikan Aquilla buyar dan langsung mengelak tikaman pedang lava Cera tanpa persiapan kuda-kuda untuk serang balik. Beruntung Ste masih sanggup lawan. Dia melindungi Aquilla yang tersungkur dengan ayunkan pedang sabit obsidian ke arah Cera. Gadis bertanduk merah itu memang terluka di bagian dada menuju wajahnya, tapi Ste juga ikut kena dampak. Tangannya terpotong. Anggota tubuh yang terlepas itu jatuh dan pecah bersama pedang sabit menjadi serpihan batu hitam. Serpihan tersebut mengenai badan Cera.

"Ste, tanganmu!" Aquilla lekas bangkit dibantu pedang runcing. Wajah panik terlihat jelas di sana ketika hendak raba tangan buntung Ste.

"Jangan pedulikan kondisiku." Meski harus meringis kesakitan, tangan Ste tumbuh sebilah pisau obsidian murni dengan lilitan duri beracun. "Kita punya peluang untuk menyerangnya."

Mulut Ste lantas komat-kamit. Dengan satu cengkeraman angin ke belakang, kepingan tajam di tubuh Cera tumbuh jadi bercabang-cabang kristal hitam. Sekejap Cera tak bergerak. Benda tersebut mencuat di rongga mulut dan dada, bahkan matanya nyaris tak bercahaya karena pertumbuhan kristal. Memang berpeluang untuk serang balik. Maka Aquilla berlari hendak ayunkan pedangnya. Ia ingin penggal kepala Cera yang mendongak itu secepat mungkin. Namun, Cera cepat kumpulkan kesadaran dari Aquilla kira.

Cera langsung hempaskan Aquilla dengan bola magma yang sangat panas. Aquilla mampu berikan segaris luka di lehernya, begitupun Cera sanggup torehkan dampak fatal pada musuh. Gadis itu sampai jatuh guling-guling hingga tak larat bangun.

"Sembahlah kehebatan Tyran...." Bola magma kedua siap ia tembak untuk Ste, tapi biarawati itu jauh lebih cepat dalam bertarung. Serangannya pun makin liar dan tak dapat Cera elakkan. Pertarungan satu lawan satu. Ste dengan pedang obsidian yang menyatu di tangan buntung. Cera dengan cerulit yang teteskan cairan panas.

Dalam kondisi mengenaskan, mereka akan saling menikam titik vital.

"Berhenti."

Sosok bergaun merah turun menengahi mereka. Kepakan ujung pakaian yang panjangnya seperti sayap mampu dorong dua insan itu jauh-jauh. Aquilla sampai harus mencengkeram pedang yang tertancap ke tanah supaya tak ikut terseret. Lain hal wanita berpakaian khas China warna merah, dia bisa pijak bumi dengan anggun.

"R-rosa?" Cera mendelik tak percaya, lantas sang pemilik nama berbalik dan mendekatinya. Aksesoris kuku di jari Rosa tampak tajam dan bergemerincing bila ia ketuk.

"Berhenti berkelahi, Cera," kata Rosa dengan tatapan dingin. "Cukup berpihak lagi pada Ronto, aku akan melepas pengaruhmu dari Tyran."

"JANGAN HARAP!" Ia pukul tanah sekuat mungkin dan semburan vulkanik berhasil membangkitkannya. Amarah Cera semakin menjadi-jadi lewat caranya perbaiki tangan monster berlilitkan rantai panas dengan cepat. Ia langsung layangkan terkaman pada Rosa, tapi wanita itu mampu genggam tangan Cera dan segera tikam keningnya dengan dua jari. Sebuah tikaman yang buat Cera tak bergerak sesaat bila Rosa tak hempaskan dia dalam sekali dorongan di rahang bawah lawan. Seolah tak beri Cera kesempatan membalas, Rosa menginjak dadanya. Dua jari Rosa berlumuran darah, tapi ia amati sebelum berkata:

"Sayang sekali kau tak bisa melukaiku sedangkan aku bisa tanpa menyentuhmu lebih lama." Kemudian, ia menjilat darah tersebut tanpa rasa berdosa.

"ARGH! SAKIT!" []

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top