Chapter 8 - Pertarungan Iblis
Lautan batu obsidian runcing muncul menusuk Cera tanpa memberikan celah untuk bebaskan diri. Dia tak bergerak sama sekali. Ketajaman dan ketahanan batu tersebut bisa saja membunuh musuh secara perlahan menurut Aquilla. Tentu memanfaatkan sihir menciptakan laut obsidian butuh kekuatan banyak, maka tak heran Ste terengah-engah ketika mempertahankan serangannya.
"Kau tak boleh bergerak, Ste," kata Aquilla setengah memekik. Raut wajahnya sangat cemas, tampak ia berusaha menggapai punggung Ste. "Kau masih belum pulih."
"Aku akan menggunakan kekuatan yang kau berikan dengan baik." Ste langsung menyahutnya tanpa menoleh. "Ketimbang cemaskan aku, sebaiknya kau menjauh dari sini."
"Aku takkan pergi sebelum Cera mati." Aquilla mencoba bangkit dibantu pedang. "Au akan berada di samping----"
"Cera takkan mati semudah itu," potongnya menambah jumlah dan ketajaman batu obsidian pada Cera. "Sihirku tak sepadan dengan kekuatan alami dia. Jadi kumohon pergilah lindungi Achio."
"Tidak, sihirmu mempan padanya. Lihat...." Ucapan Aquilla terhenti usai cahaya oranye menyinari wajah mereka. Batu obsidian yang menancap di sekujur tubuh Cera perlahan meleleh dan sedikit demi sedikit pergerakannya mulai bebas. Mau sebanyak apapun benda runcing ia ciptakan, tetap meleleh bila Cera sudah keluarkan kekuatan apinya.
"Sekarang kau percaya?" Konsekuensi yang harus Ste tanggung untuk keluarkan banyak sihir ialah luka yang mencuat seperti akan muncul sesuatu di sana. Tentu daya tahan tubuh Ste semakin melemah bila dipaksakan. "Tolong, tutupi lukaku yang lain supaya aku bisa kumpulkan kekuatanku. Lalu pergilah sejauh mungkin dari sini."
Aquilla tak mengucapka sepatah dua kata, bahkan terdiam sebelum bertanya, "Apakah sempat mengobatimu selagi Cera sudah bebas pakai kekuatannya?"
"Aku akan menahannya sebisa mungkin." Semakin lama ia pakai sihirnya, Ste makin kehilangan keseimbangan. Beruntung Aquilla sigap menangkapnya dan segera tutupi luka yang terbuka di beberapa anggota tubuh Ste. Sesekali ia melirik Cera. Wanita monster itu kian bebas dari kurungan obsidian runcing yang menyiksanya. Lelehan batu hitam tersebut meleleh dan bercahaya.
"Aku sudah merasa lebih baik." Langsung saja Ste menyapu angin ke depan dan sekejap ombak obsidian menerjang musuh. "Pergilah."
Aquilla membeliak. "Aku sudah bilang kan----"
"DIA MENGINCARMU!"
Tepat Ste berteriak, Cera muncul di belakang Aquilla sambil acungkan tombak yang terbuat dari lelehan batu ciptaan Ste. Ujungnya yang runcing siap menembus kepala Aquilla. Ste langsung menarik Aquilla ke belakang di sela ayunkan tangan ke arah Cera. Serpihan batu hitam di lantai arena pun terbang dan melesat menghinggapi tubuh Cera. Serpihan tajam tersebut punya noda darah milik Aquilla sehingga pemulihannya jauh lebih lambat karena kesakitan.
"Cepatlah pergi selagi Cera menderita."
Mau tak mau, Aquilla harus kabur. Walau jalannya pincang akibat kehabisan tenaga dan terluka paraah. Walau ia tak rela meninggalkan Ste yang jelas telah berada di puncak batas kemampuannya. Aquilla berhasil keluar dari bangunan mengerikan tersebut. Pandangannya enggan melirik ke belakang. Itu membuat keinginannya melindungi Ste semakin kuat, yang berarti sama saja memberi beban padanya. Ia harus kabur. Aquilla harus menyusul Rosa bersama Achio dan Anky.
Sedangkan di lain sisi, serangan demi serangan mereka keluarkan. Cipratan lahar Cera dan serpihan tajam dari batu obsidian ciptaan Ste membuatnya sama-sama terluka parah. Namun, Ste ambruk duluan. Tanpa pikir panjang, lirikan Cera sangat cepat langsung melesat keluar dari arena pertarungan. Dia pasti mengincar Aquilla.
PASTI!
"AQUILLA!"
****
DUAR!
Ledakan itu terdengar oleh Achio dan para pasukan di bawah pimpinan Rosa yang sedang pergi menuju puncak gunung Koxi. Semua melirik asal suara yang sama sekali tak menunjukkan wujud ledaknya. Hanya asap kecil yang bisa saja tersapu angin kuat. Lagi pula, suhu dingin dan badai salju tetap menjadi pusat perhatian semua orang. Dari seribu prajurit, kini tersisa seperempat. Padahal baru tiba di kaki gunung.
"Tetap bergerak!" Rosa berseru sambi acungkan pedang kecil ke depan. Pedang tersebut memiliki bilah pisau setipis jarum. "Jangan biarkan badai salju menghambat jalan kita!"
"Baik!" Namun seiring berjalannya waktu, satu per satu prajurit tumbang hingga tertimbun salju. Anky saja tak bisa mengandalkan kehangatan dari pelukan Achio di belakang. Lapisan merah transparan berupa pelindung ciptaan Rosa juga seperti tak ada guna. Achio terus menatap sumber ledakan tadi, membuat rasa penasaran Anky bergejolak.
"Apa kau cemaskan Aquilla?" tanyanya setengah berbisik. Achio mengangguk sambil mengeratkan pelukannya. Gadis bermata biru itu sandarkan kepala di punggung Anky. Sikap Achio mampu terbitkan senyum di bibir Anky walau terkesan paksa. "Aquilla pasti baik-baik saja."
Achio tetap menggumam polos.
"Kalau kita bisa yakinkan dia untuk membantu, kita akan pergi secepatnya ke tempat Aquilla berada," sambung Anky dengan sebelah tangan mengelus punggung tangan Achio yang melingkari pinggangnya.
"Kalian pergilah temui dia." Spontan Anky melirik Rosa. Wanita itu sudah putar balik kudanya. "Aku akan pergi selamatkan Aquilla."
"Tapi, bagaimana dengan dia?" tanya Anky bermuka panik. "Anda sendiri bilang kalau dia----"
"Dia pasti akan mengerti maksud kedatangan kalian." Rosa menyela dengan tatapan dingin sebelum berpaling menatap langit. "Aquilla sendirian di sana. Meski ada Ste dan Cera yang membantu membunuhnya, Tyran, sekalipun Aquilla petarung sihir yang berbahaya, Tyran pasti bisa mengalahkannya."
"Rosa...." Anky tertegun. Persetan badai salju semakin kuat menerpanya. Dia benar. Sejauh yang ia ingat, kemampuan Aquilla setara dengan dirinya semasa jaya. Mungkin kemampuan bertarungnya berkurang. Aquilla membutuhkan uluran tangan Rosa.
"Aquilla dalam bahaya besar, kalau kau mau tahu firasatku." Selepas Rosa berkata demikian, mereka saling diam. Lantas Anky menatap sang ratu, iris matanya pancarkan keyakinan seluas samudera.
"Jaga dirimu baik-baik." Anky berucap tepat setelah Rosa memacu kuda. Punggung dan jubah merahnya perlahan menghilang dari pandangan Anky. Tersadar suhunya makin dingin karena kristal es, Anky berlari secepat kuda liar menerjang badai. Terus terang di sisi lain, hujan salju terus menembak bagian belakang tubuh Rosa. Tetapi, ia mampu ciptakan api untuk lelehkan serutan es sekaligus hangatkan badan.
"Tunggu aku, Aquilla," katanya lirih. Nada geram menyertai suaranya. "Kau pasti kewalahan mengatasi musuh seperti Tyran."
****
Sebentar lagi Anky dan Achio tiba di puncak gunung Koxi. Sayang sekali para prajurit yang Rosa utus telah tumbang seluruhnya. Mati kedinginan, kekurangan air, tak bisa hangatkan badan sendiri. Anky jadi kepikiran nasib Achio yang terus memeluknya tanpa sehelai kain tebal di tubuhnya. Maka, Anky coba menepi di bawah pohon besar begitu merasa telah berada di hutan putih. Ia menggantung aksesoris gelang batu bara ke dahan pohon dan ledakan kecil muncul bak kembang api usai panah cahaya melesat padanya. Ledakan tersebut sangat panas, berguna untuk hangatkan area perlindungannya. Anky baringkan gadis itu kemudian periksa hal-hal umum seperti denyut jantung dan suhu badan.
Kulit Achio memucat, lantas Anky balut badannya pakai kain tebal berbulu yang menutupi tubuh kuda Anky. Beruntung panas dari gelang baru itu tahan lama. Sembari menunggu Achio lepas dari kedinginan, Anky berniat cari makanan. Kata Rosa, dulu di hutan putih banyak buah-buahan yang rasanya manis dan mengenyangkan perut. Namun baru juga selangkah, tangan Anky ditarik Achio. Sebutir salju berasap jatuh ke permukaan. Bukannya menyatu dengan tumpukan salju, butir tersebut malah melelehkannya sampai seluas telapak kaki serigala.
"Jangan pergi...." Achio merengek dengan nada lirih dan serak. Tanpa diberitahu pun, Anky sudah bergidik ngeri bila bulir salju berasap mengenainya. Sekarang ia menegang. Kalau benda tersebut sudah datang, kemungkinan besar mereka akan tewas. Ini tak baik. Anky harus putar otak dengan cepat supaya mereka sampai di puncak sebelum kejadian mengerikan menimpanya.
"Achio, kau bisa bergerak?" Anky terpaksa bertanya demikian.
Achio mengangguk dan segera naik ke badan kuda Anky. Jubah yang semula hanya membaluti badannya kini bersamanya seperti ibu menggendong anak. Meski ia merasa ngeri membayangkan bagaimana bulir salju berasap menggerogotinya, Anky tetap harus siap. Ia ciptakan sebuah panah cahaya seperti menyapu bilah pedang, kemudian mengarahkannya ke depan sebagai penghangat. Harap-harap berguna. Namun, baru beberapa langkah, badai malah makin menggila. Anky harus mencengkeram jubahnya erat-erat sampai minta Achio untuk selalu memeluknya dengan kuat bahkan panahnya hilang seketika. Hujan salju berasap jatuh meninggalkan luka bakar pada kulit Anky. Tak mau Achio cemas, Anky tak boleh menjerit kesakitan.
"Boleh juga nyalimu, centaurus."
Suara menggelegar seorang wanita sesaat membangkitkan ingatan Anky. Suara itu terdengar familier. Sayang sekali ia kesusahan mengingat, lantas Anky bertanya dengan lantang, "Tunjukkan wujudmu! Kami kemari hanya ingin menemui seseorang yang dipercaya Rosa!"
"Seseorang yang dipercaya Rosa?" Suara tadi justru tertawa jahat. "Aku bahkan tak mempercayai siapapun. Jadi pergilah sebelum kalian mati konyol di sini."
Apa jangan-jangan ... suara wanita itu ialah orang yang Rosa maksudkan? Kalau memang benar, Anky lebih memilih bertahan. Sebisa mungkin gadis berbadan kuda itu menciptakan panah cahaya, tapi selalu lenyap terkena bulir salju berasap.
"Percuma kau gunakan kemampuanmu yang tidak berguna itu, Anky. Kau. Takkan. Mampu. Mengalahkanku." Suaranya makin merendah dan menggeram bak macan.
Ini memang dia! Anky jadi teringat apa yang mesti ia lakukan. Lantas, ia berkata pada Achio, "Peluk aku seerat mungkin. Kali ini, aku akan bergerak sedikit liar."
Achio langsung turuti. Seiringan Anky membidik pohon di hadapannya dengan busur bercahaya emas, semburat oranye menguar di sekelilingnya. Makin terang warnanya, salju di tanah hingga yang menyelimuti pepohonan ikut meleleh sekalipun hujan salju berasap masih turun deras.
"Baiklah, aku akui kemampuan elemenmu cukup hebat----"
"Hmmm, benarkah?" Senyum miring terbit di bibir Anky, gadis centaur itu bergerak secepat panahnya melesat menembus pohon tadi. Mata Anky sepenuhnya bercahaya emas kini bertatap muka dengan sosok bertopeng iblis yang mengenakan tudung mirip kepala serigala. Sosok itu duduk di atas tumpukan batu, sedang mengelus seekor burung hantu putih.
"Kena kau." Anky berkata dengan tombak cahaya yang siap menusuk kepalanya sampai menancap tanah. Namun, kecepatan Anky dalam ayunkan tombak kalah oleh menghilangkan orang tadi.
"Sial." Anky mendesis jengkel. Kenapa dia secepat itu? Padahal ia sudah berlatih keras supaya menyaingi kecepatan bertarung Rosa. Tidak, ia pikir Rosa sudah termasuk petarung tergesit.
"Orang jahat...." Bahkan Achio ikut mendesis. Gadis berambut ikal itu menatap penuh amarah pada sosok yang Anky temui. Dia lepaskan topeng kemudian melemparkannya begitu saja. Sorot mata peraknya yang tajam seakan memperburuk suhu di gunung Koxi.
"Apa menurutmu aku orang tak berperasaan?" []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top