Chapter 16 - Mencari Tyran
Majulah, Achio....
Pemandangan yang Achio lihat langsung menjadi putih tanpa batas. Tentu ia kaget bukan main. Namun, ia bingung. Haruskah ia turuti suara itu? Mungkin tak ada salahnya mengikuti suara fanilier tersebut. Setiap kaki telanjangnya berpijak, terlukiskan tanah gersang penuh gumpalan darah dan abu. Achio sempat terperanjat melihat keanehan di atas pijakannya.
"Berjuang untuk nona Tyran!"
Seruan. Teriakan. Erangan. Desingan mata pisau yang beradu. Kuda yang berlari. Semua menyatu. Semua menyerang pendengaran Achio sampai mengacaukan pikirannya.
Teruslah maju.
Teruslah maju. Baiklah. Susah payah ia gerakkan kakinya. Satu pijakan lagi menggambarkan lantai marmer dengan cipratan darah dan mayat di mana-mana.
"Kembalikan adikku. SEKARANG!"
"Kau boleh ambil dia setelah membunuhku."
Apa? Siapa orang yang Tyran bunuh? Achio tak merasakan suara itu lagi, lekas mendongak. Namun, ia melihat Tyran berdiri menginjak dada seseorang yang bersandar di kursi raja, baru saja menancapkan senjata tajam pada tangannya yang terentang. Tangan gadis berambut merah itu menghitam dan membengkak hingga tercipta tangan monster.
Paling penting dari semua ini, Achio merasa tubuhnya bergerak sendiri.
"Aku sudah menduga...." Napas perempuan yang dadanya terinjak itu terasa berat. "Kalau kau-"
"KAK TYRAN!" Ia terjatuh dan meneteskan banyak air mata.
"Kau tak apa?" Begitu mendongak, Tyran dengan mimik cemas membantunya berdiri. Kesadaran Achio tak lagi dalam diri Ronto yang tumbuh remaja. Gadis berambut pirang itu tak merespon barang sedikit.
"Aku tahu kau terpukul, Ronto," kata Tyran segera menyentuh kedua pipi sang adik, meminta untuk tatap matanya sekarang. "Tapi kita harus bangkit. Kita tak bisa terus menangisi ibu dan ayah."
Aku tak mencemaskan mereka....
"Dia mencemaskan kakaknya." Seseorang menggenggam tangan Achio dengan erat. Ada wanita paruh baya berambut merah api berdiri memandang kilas balik yang entah milik siapa. Dia menoleh kemudian tersenyum lembut padanya. "Perhatikan cara mereka bertatapan."
Meski Achio menelengkan kepalanya kebingungan, ia tetap turuti. Sekilas Ronto dan Tyran terlihat biasa saja dalam beradu tatap, tapi sekarang ia melihatnya. Iris mata Tyran masih berselimut dendam, sedangkan iris mata Ronto berkaca-kaca ketakutan.
"Iya...." Ronto lekas mendekap Tyran erat-erat. "Maka dari itu, kita harus tetap bersama."
Tetap bersama? Namun, yang Achio tahu justru perseteruan Ronto dan Tyran. Tyran menginginkan sesuatu dari sang adik sampai Ronto memilih menyegel dirinya bersama separuh kekuatannya. Separuhnya lagi ada dalam dirinya.
"Kami sebagai arwah selalu menyaksikan kehidupan mereka." Kedua tangan Achio telah digenggam erat oleh dua orang, salah satunya ialah pria berambut pirang dengan pakaian selayaknya raja. Dia menoleh pada Achio kemudian cakap, "Tutup matamu dan biarkan kami menuntunmu."
Lagi-lagi Achio menurut. Ia tutup mata dengan lembut. Biarkan tubuhnya semakin ringan berkat tuntunan mereka. Suara Ronto dan Tyran menghilang. Ia mulai merasakan hawa di ruang tak terbatas ini. Sensasi dingin menusuk kulit membuat Achio menerka-nerka: tempat apa yang ia kunjungi bersama mereka berdua?
Tak ada angin, Achio merasakan mulutnya dibekap. Beruntung ia pertanyakan diri dengan berbekal kejadian barusan. Apa kesadaran Achio kembali merasuki memori Ronto? Kemudian, tubuhnya diseret paksa dan kakinya terantuk lantai.
"Penasihat kaisar sangat pintar dengan membiarkan Tyran hadir ke pesta beliau," kata si suara laki-laki cempreng. Mata gadis itu lekas terbuka lebar. Seorang pria kekar mengunci lehernya dari belakang sambil membekap mulutnya. Rupanya laki-laki cempreng tadi tengah duduk santai di tepi ranjang.
"Sialan, dia sadar. Apa yang kudu kita lakukan?"
"Hmm, kita tak boleh membunuhnya kan? Cukup biarkan dia hidup di penjara sampai Tyran mengikuti rencana kaisar."
Ronto langsung menjerit di balik bekapan pria kekar. Awalnya terdengar tak jelas, tapi Achio mulai mendengar ucapannya yang sebenar.
Ronto berkata, "Jangan! Jangan buat Tyran panik! Jangan apa-apakan dia!"
"Berisik sekali," ucap laki-laki di hadapan Ronto. Sambil beranjak dari ranjang, dia keluarkan sebilah belati yang mengilap berlumur cairan. "Diam atau aku akan----"
"Argh!" Ronto menginjak kakinya sekuat tenaga, setidaknya bisa longgarkan bekapan mulut guna menggigitnya. Mumpung bebas, Ronto lekas berlari sebelum nyeri di leher merampas kesadarannya.
"R-ronto?" Achio mencoba memanggil walau mustahil. Semuanya hitam. Seketika nyalinya menciut. Ia panik. Apakah Achio terjebak dalam kehampaan? Spontan ia berlari tanpa arah tujuan. Meski begitu, perlahan Achio mendengar suara ... orang-orang bersorak dan bunyi ledakan.
"Ronto! Buka matamu!" Achio segera berteriak lagi dengan harapan Ronto mendengarnya. Entah dia dengar atau tidak, Achio bisa melihat sekitar lewat sudut pandang Ronto.
"Di mana ini?" Kala Ronto hendak bangun, ia sadar tangannya diborgol rantai. Ronto panik bahkan saat cahaya ledakan menyinarinya lewat sepetak lubang kotak. Tanpa berpikir panjang, ia tarik borgol rantai sekuat tenaga. Ronto tak peduli keringat membanjiri seluruh tubuh bahkan darah yang mengalir di pergelangan tangannya sekalipun. Ia hanya ingin bebas, terlebih ketika terdengar derap langkah seseorang sedang kemari.
Semakin ia kerahkan tenaga, seberkas cahaya putih memutus rantai yang membatasi gerakannya. Ronto bebas dengan rantai dari borgol menggantung di tangannya, tepat mereka datang bukakan pintu. Ronto lekas mencambuk mereka hingga tumbang. Lantai penjara kotor akan cipratan darah.
"DI MANA KAU SEMBUNYIKAN RONTO?"
Suara seseorang menyita perhatian Ronto. Achio menduga itu teriakan Tyran, terlihat bagaimana reaksi Ronto yang langsung berlari mendekati sumber suara. Pandangannya sempat menangkap keadaan di luar sana. Kilat dan gemuruh memperburuk sebuah daerah selaku medan perang tersebut. Bukan tanah lagi yang ia lihat, melainkan genangan mayat dan darah. Banyak senjata menusuk bumi.
"Tidak mungkin." Suara Ronto bergetar. "Tidak mungkin dia melakukan segila ini."
"APA YANG KAU INGINKAN DARI KELUARGAKU?"
Jarak di antara mereka mulai memendek. Jantung Ronto berdebar tanpa sebab bahkan air mata pun hadir membasahi pipi.
"APA TAK CUKUP MEREKA MATI DI TANGANMU, HAH?"
Tubuh Ronto ikut gemetar. Tampaknya pintu besar yang terbuka lebar di depan sana adalah tempat Tyran menjerit. Ia cukup masuk dan melerai mereka, kan?
"Kembalikan adikku. SEKARANG!"
Ronto baru berhenti dan enggan dekati sang kakak begitu melihat tindakannya. Tyran dengan seragam putih penuh darah berdiri menginjak dada sang lawan, seperti yang Achio lihat tadi. Dia mengunci kedua tangan musuh menggunakan pedang. Tyran terengah-engah memandang lawan. Tatapan Ronto berfokus pada tangan Tyran yang menghitam dan membengkak seperti tangan monster.
"Kau boleh ambil dia setelah membunuhku."
Tepat wanita yang terbaring pasrah itu bercakap, tangan Tyran langsung terangkat pamerkan kuku runcingnya. Apalagi lawan Tyran hanya mampu tersenyum sinis dan tertawa.
"Aku sudah menduga...."
Apa? Achio ingin tahu apa tujuan sebenar dia mengajak Tyran berperang lewat menculik Ronto.
"Kalau kau----"
"KAK TYRAN!" Ronto hendak berlari, tapi Tyran terlanjur menyadarinya. Sekilas, Achio melihat sosok Tyran tampak sama seperti yang ia hadapi bersama Aquilla. Mata merah. Memiliki tanduk. Namun, Tyran yang ia lihat tak menunjukkan ekspresi apapun.
"Ronto...."
Hanya dalam sekali kibas, angin kuat menyapu Ronto jauh-jauh sampai runtuhkan dinding istana. Ia terjun dari ketinggian bersama puing-puing bangunan dan ... rasa syok berat, dengan tangan terentang ke atas. Samar-samar cahaya putih menyinari tangannya.
"Apa yang dia incar dari keluargaku?" Ronto berkata demikian sebelum kesadarannya menghilang.
Achio berada di ruang tak terbatas lagi, tapi warnanya hitam. Serangan panik menyerangnya. Achio ketakutan hingga duduk menutup telinga. Ia berharap masih melihat sudut pandang Ronto.
"Mau sampai kapan kamu begitu terus?"
Achio spontan membuka mata lebar-lebar. Iris mata birunya menciut bahkan bercahaya. Ia tak lagi di ruang serba putih atau hitam. Gadis itu duduk di tengah hamparan bunga di hadapan seseorang. Kaki telanjangnya begitu putih. Begitu Achio mendongak, barulah ia berdiri dan menatap sosok di depannya lama-lama.
Dia seorang gadis, sangat mirip dengan Achio. Hanya warna rambut dan matanya yang membedakan mereka. Rambut Achio berwarna hitam dan bermata biru, sedangkan dia berwarna emas. Ah, ekspresinya. Mimik orang itu terkesan dingin. Lihat saja caranya menatap Achio dengan tajam. Ia tanpa sadar mengulurkan tangan pada perempuan berambut pirang itu.
"Berhenti berpikir bodoh," katanya menepis tangan Achio dengan kasar. "Bagaimana kau bisa di sini? Bukannya kau sedang melawan Tyra----"
"Kakakmu." Achio memotong ucapannya. Mata gadis berambut hitam "Kenapa Ronto berpisah dengan Tyran?"
Ronto tertegun sesaat, tapi matanya lekas menyipit murka. "Kau sudah tahu dari ingatanku, bukan?"
Namun, Achio bergeming tak menunjukkan reaksi apapun. Ia justru celingak-celinguk mengamati hamparan bunga dan langit putih tak berujung. Semilir angin menerpa rambut dan pakaian mereka. Sikap Achio tidak berubah, tapi Ronto mulai bergerak gelisah. Bibir merah jambunya terus mendesis bahkan tanpa sadar sering meremas salah satu lengannya. Sekali lagi Ronto perhatikan Achio, gadis mata biru itu tetap diam bak patung.
"Kau ... sungguh ingin tahu kejadian itu?" tanya Ronto dengan hati-hati. "Kejadian setelah aku dan Tyran berpisah?"
Tak disangka Achio merespon lewat anggukan. Ronto pun mengerjap terkejut. Achio perhatikan, Ronto kembali memasang wajah bimbang. Lalu, dia memandangnya amat lama sebelum ambil langkah kecil mendekatinya.
"Aku tak tahu kenapa kau tertarik pada masa lalu kami," kata Ronto terlihat makin serius menatap Achio. "Dan perlu kau tahu bahwa semua prajurit yang melindungiku ... mereka tak tahu apa-apa soal permasalahan aku dengan Tyran."
Setiap langkah Ronto yang memperpendek jarak dengan Achio mengundang abu bekas bakar. Tanah pun gersang membunuh ribuan tumbuhan bunga bahkan banyak genangan air dan puing-puing. Pada akhirnya, mereka berhadapan cukup dekat. Ronto mendorong kepala Achio supaya dahi mereka saling menempel. Mata mereka tak beradu.
"Sejauh ini, hanya kau yang tahu masa lalu kami." Suara Ronto melemah, kemudian memejamkan mata. "Selepas berpisah dengan Tyran, aku hidup sebatang kara hingga suatu hari...."
"Aku akan membunuh Tyran dengan tanganku sendiri."
Mata bulat Achio refleks berkedip. Ia melihat dunia sangat hitam. Tak ada secercah cahaya di sini, mendukung sebuah kastil tua di kejauhan sana. Di luar kendali Achio, ia melirik pedang yang tergenggam erat.
"Tyran ... harus mati supaya cahaya muncul kembali."
Sejak saat itu, Achio sadar telah kembali pada raga Ronto pada dimensi masa lalu. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top