Chapter 15 - Kerajaan Herbiopheia
Ia berdiri di tengah hamparan bunga sekarang. Padahal tempat ini tertutup dan di atasnya sebatas dinding kaca, tapi Achio merasakan angin membelai rambut dan pakaiannya. Gadis itu masih kebingungan, terlihat dari gerak-geriknya yang seakan hilang arah. Tempatnya sangat luas hingga tak menemukan pintu keluar.
"Ronto, jangan lari! Nanti jatuh!" Suara seseorang muncul bersama dengan gemerisik bunga dan tawa anak kecil.
"Coba tangkap aku kalau bisa, Kak!"
"Awas kau, akan kutangkap kau sekarang!"
Tadi dia menyebutkan nama Ronto, lalu sosok yang katanya 'Ronto' memanggil orang itu dengan sebutan 'kakak'. Siapa kakak yang dimaksud? Achio penasaran, lantas ikuti sumber suara tersebut. Dari kerasnya Ronto bicara, harusnya jarak di antara mereka tidak terlalu jauh.
"Mau ke mana kamu?"
"KAKAK!" Achio baru dapat lihat sosoknya. Seorang gadis kecil tampak bahagia dan tertawa riang kala diangkat kakak perempuannya, mungkin seusia Achio. Benaknya bertanya-tanya, apa anak kecil tersebut adalah Ronto? Atau perempuan remaja itu? Tetapi, rambut perempuan itu berwarna merah macam punya----
"Kak Tyran mau latihan pedang?"
Achio spontan membelalak kaget. Gadis remaja itu Tyran? Achio mau saja percaya tapi, benarkah Tyran dulu secantik itu? Bahkan rasanya dia menyaingi paras wajah Ronto yang ia lihat di dimensi surga buatannya.
"Aku akan berlatih pedang andai kamu tidak menarik tanganku dan main kejar-kejaran sampai kemari," jawab Tyran sesekali mencolek hidung mungil atau pipi tembam Ronto.
"Berarti Kak Tyran mau bermain denganku?" Senyum Ronto masih manis, setidaknya begitulah yang Achio tengok. Tyran tampak menimang-nimang jawaban yang tepat untuk sang adik sebelum ia tersenyum geli.
"Sebentar saja, ya." Balasan Tyran berbuah jerit gembira dari mulut Ronto. Achio akui mereka ... cukup akur? Ia tak melihat adanya permusuhan di antara Ronto dan Tyran. Ia juga baru mengetahui mereka adalah kakak-beradik. Atau mungkinkah mereka bukan kakak-beradik? Bila Ronto dan Tyran bukan saudara sedarah, tentu kedekatannya tak sedekat itu. Sebenarnya apa yang mau ia tunjukkan untuk Achio? Apa yang harus Achio temukan dari pemandangan ini?
Bukankah seharusnya mereka bermusuhan? Tetapi, Ronto dan Tyran nyatanya sangat akrab ketika main kejar-kejaran atau petak umpet dengan Ronto kecil bersembunyi di balik tingginya bunga yang berdiri anggun. Jangan lupakan betapa lebarnya senyuman mereka. Achio jadi ingin tahu, apa yang menyebabkan mereka bermusuhan hingga terjadi perang?
Achio mencoba dekati dua perempuan itu, tapi ruang yang ia pijaki berubah menjadi tempat makan keluarga bangsawan. Ada banyak jenis makanan di meja panjang dan banyak orang-orang berpakaian mewah duduk untuk menyantap hidangan, termasuk Ronto dan Tyran. Walau mereka saling berbagi kisah, tak ada yang mau bercakap dengan Tyran. Perempuan berambut merah itu hanya mau meladeni Ronto dan semua pertanyaan tak penting dari mulut mungilnya.
Ah, Achio lihat mata Tyran berbinar-binar kala tatap sepiring daging kalkun panggang yang tengah ibunya potong. Dia pasti menginginkan rasa gurih dari daging hewan.
"Hore! Daging! Aku mau daging, Ibu!" teriak Ronto menatap ibunya tak sabar.
Sang ibu tak menjawab. Beliau hanya tatap Tyran sesaat sebelum berkata, "Kau tak apa mengalah untuknya?"
Alih-alih mengiyakan, raut wajah Tyran sempat murung. Entah apa yang Achio rasakan, tapi ia pikir Tyran agak tak terima. Namun pada akhirnya, wajahnya kembali cerah dan ramah kemudian mengizinkan.
Apapun untuk adikku.
Achio mengerjap tak percaya. Apa ia bisa dengar idi hati orang? Belum juga ia yakini dugaannya benar, pemandangan berubah menjadi daerah penuh tumbuhan dan bangunan sederhana. Di sini banyak rumput liar menyelimuti tanah dan pepohonan. Satu hal yang membuatnya merasa bernostalgia ialah gereja dan letak bangunannya dekat lautan.
Itu gereja tempat Ste berdiam diri. Berarti Ste akan muncul di sini.
"Aku tak sabar mau santap kue buatanmu, Cera." Suara Ste! Achio lekas tengok dan alangkah terkejutnya ia. Bukan Ste dengan pakaian biarawati atau Cera yang mengenakan gaun bangsawan, melainkan dua gadis itu pakai gaun katun selutut beserta celemek putih menutupi rok depannya.
"Tentu," jawab Cera tersenyum manis. Manik matanya bukan merah, tapi oranye bak cahaya senja. "Biar kutebak. Kau suka pai blueberry, kan?"
Terlihat Ste membeliak kagum. "Sebab itulah kau cari ke pelosok hutan yang jauh? Hanya untuk mencari blueberry?"
"Yep."
"Cera, kau baik sekali...." Mata Ste berkaca-kaca, dalam arti ia mengagumi Cera. Sedangkan yang Ste kagumi hanya tertawa kecil.
"Sebagai gantinya, aku mau kita berdoa bersama."
"Apa aku boleh ikut berdoa bersama kalian?"
Sontak dua gadis itu melirik ke sumber suara, begitu pula Achio. Ronto kecil dengan gaun biru sebetis muncul dalam kondisi kacau. Rambut pirangnya yang semula berhiaskan mahkota kini bertambah oleh dedaunan. Oh, jangan lupa sepatu model mary jane warna senada telah kotor oleh lumpur. Lalu, apa-apaan senyum manis itu? Ronto seakan tampak baik-baik saja walau penampilannya sebagai putri mahkota sangat kacau.
"Boleh, kan?" Namun, dua gadis yang Ronto tanyakan malah saling pandang. Ada tatapan pasrah di antara mereka. Pada akhirnya, Cera tersenyum geli pada Ronto kemudian berkata:
"Tentu. Sebelum itu, kau mau menungguku membuat kue? Barangkali aku bisa buatkan kue kesukaanmu."
"Benarkah?" Matanya melebar dan berkilauan, lantas berlari mendapatkan posisi di antara Cera dan Ste. Ia gaet tangan mereka supaya lebih dekat. "Apa kau bisa buatkan kukis cokelat? Panekuk dengan madu? Atau roti isi krim dan buah-buahan?"
Cera tergelak renyah dengar celotehan Ronto. "Aku berniat memanggang pai blueberry, tapi aku sekalian buat kukis cokelat."
"Karena ada aku?"
"Ya, karena ada kamu."
"Lalu, pai blueberry untuk siapa?"
"Itu untukku." Kali ini, Ste yang menjawab. Senyum manis di bibir mungil Ronto takkan sirna oleh jawaban jujur seorang anak kecil.
"Kau suka pai blueberry? Aku jadi pingin cicipi kue kesukaanmu."
"Boleh, kita bisa saling tukar kue."
"Asyiiik!"
Mereka ... tampak akrab. Achio akui itu. Melihat betapa antusiasnya Ronto kecil dalam menyaksikan Cera buat kue, atau khusyuknya tiga anak kecil itu ketika berdoa. Tentu yang membuat hati Achio menghangat adalah waktu mereka bermain hingga lupa waktu. Lihatlah senyumnya. Lihatlah betapa energiknya mereka saat main permainan sesederhana petak umpet. Lihatlah mereka yang lupa badan dan pakaiannya semakin kotor.
Achio mendadak tersadar. Ada rasa kenyamanan dari gelitik dalam diri. Hawa hangat yang menyebar ke seluruh tubuh membuat pipinya semakin merah dan tak sadar menyunggingkan senyum manis. Ia jadi berpikir: apakah seperti ini perasaan seorang manusia normal macam mereka? Bila iya, Achio benar-benar ingin seperti mereka. Ia berharap demikian sambil pejamkan mata.
"Kau itu akan menjadi ratu, sudah seharusnya kau mengurus wilayah kuasa milik keluargamu, Nona Tyran."
Tyran? Menjadi calon ratu? Spontan Achio membuka mata. Tiba-tiba saja ia ada di kamar dengan ranjang besar penuh tirai sutra putih. Seorang wanita kenakan gaun katun hitam dengan bawahan hampir menyentuh kakinya. Rambutnya hitam disanggul, seperti ibunya waktu Achio terkurung di kamar sempit. Apa lagi tatapan tajam dan wajah masam bahkan tangannya memegang cambuk lidi. Dia berjalan mengitari gadis remaja berpakaian gaun linen putih penuh renda yang menjuntai menyentuh lantai.
"Mulai sekarang, kau akan fokus belajar semua hal," kata wanita itu dengan angkuhnya. "Berlatih pedang. Perbanyak membaca buku. Menghadiri pesta kerajaan. Termasuk belajar memegang wilayah kuasa seperti memantau tingkat keamanan dan kesejahteraan rakyat."
Kemudian, dia berhenti tepat di hadapan Tyran yang memasang raut wajah dingin. "Mau tak mau, suka tak suka, kau harus melakukannya."
Alih-alih menjawab, Tyran justru berbalik mendekati jendela kamar. Ia menyaksikan wilayah kuasa yang asri dan padat akan bangunan sederhana. Orang-orang tampak semringah menyapa satu sama lain.
"Dengan melakukan semua yang kau sebutkan, kau tidak akan memberiku jam istirahat?" tanya Tyran tanpa menoleh.
"Kau hanya boleh istirahat jika kau tak bisa gerakan tubuh lagi."
Tyran hanya menggumam dan tak ada pembicaraan penting saat itu juga. Sesaat Achio merasa iba. Hatinya sakit sekali ketika membayangkan menjadi Tyran. Di umur belia, Tyran pasti menderita.
Dia bahagia hanya jika bersamaku, Achio.
Sampai sekarang pun, Achio masih tak tahu suara siapa yang senantiasa menjawab isi hatinya. Namun, pemandangan tadi menghilang. Kini, ia melihat empat kilas balik.
Di depan, tampak Tyran kewalahan menangani Ronto kecil ketika berlari menemui Cera dan Ste.
Di samping kiri, Tyran sedang membaca buku bersama sang adik di tempat kerja rahasia milik ayahanda.
Di samping kanan, Tyran takjub kala berjumpa dengan Anky dan Aquilla. Ronto bersama Rosa terlihat antusias menyentuh kulit Aquilla yang licin dan badan kuda Anky yang lembut.
Lalu di belakang, Tyran mendapatkan sebuah pedang dari ayahnya. Gadis itu menerima dengan rasa hormat. Achio akui dia sangat anggun.
"Aku akan gunakan pedang ini dengan baik, Ayah."
"TIDAK!"
Jeritnya sungguh datangkan nyeri kala jantung berdegup. Jeritannya memekakkan telinga, pasti milik Ronto. Begitu berbalik, ia disuguhkan pemandangan kelabu. Banyak orang mengerumuni Tyran dan Ronto. Kebanyakan dari mereka menangis histeris selagi banyak peti yang berdatangan. Tangisan Ronto makin menjadi usai para prajurit meletakkan dua peti mati berukuran besar. Begitu peti terbuka, Ronto lekas berlari dan ambruk memeluk jasad sang ibu. Jasad beliau tiba dalam keadaan tak utuh. Beliau kehilangan kepala dan sebelah tangan.
Di antara mereka semua, hanya Tyran yang bergeming tanpa ekspresi. Achio bertanya-tanya, apakah ini awal mula hati Tyran menjadi mati rasa?
Tyran mengenakan gaun hitam sederhana berbahan sutra dengan panjang menyentuh punggung kaki. Dia baru berjalan sambil menggenggam pedang peninggalan ayahnya erat-erat. Persetan prajurit melapor kondisi pasukannya. Tyran berdiri membelakangi peti mati berisi jasad ibu-ayahnya. Angin duka berembus meniupkan rambut dan pakaiannya.
"Apa mereka mati di medan perang?" Entah untuk siapa pertanyaan itu ia lontarkan. Tyran hanya butuh kepastian.
"Yang Mulia raja tewas di medan perang," jawab salah seorang prajurit dengan salah satu tangan buntung berbalut kain katun sebagai perban. "Sedangkan Yang Mulia ratu...."
Ucapannya menggantung, tapi Achio melihat satu kejanggalan dari Tyran.
"Dia tewas karena eksekusi mati, kan?" Walau wajahnya tiada ekspresi, tapi kegelapan menutupi warna iris matanya. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top