Chapter 14 - Darah untuk Daratan Misterius
Efek cahaya merah ciptaan Tyran memang datangkan bencana yang hebat. Angin puting beliung. Gemuruh petir di mana-mana. Bencana seakan hadir untuk menyingkirkan tempat perlindungan bagi makhluk hidup. Namun, Tuhan memberi sebuah kelebihan. Mereka mampu bertahan hidup dalam kurungan kiamat kecil ini. Buktinya, warga-warga yang mencari tempat perlindungan mendadak berhenti amati sesuatu di seberang.
Di sekitar cahaya merah yang kian meluas itu, sebuah daratan muncul dari kedalaman laut. Daratan tersebut semakin tinggi menutupi area berbahaya dan seiring berjalannya waktu, sekumpulan manusia itu tak diterpa badai lagi. Sontak mereka terperangah tak percaya, khususnya seorang pria paruh baya dengan topi baret yang memeluk anak-anak.
"Ini tidak mungkin...," katanya menggeleng tak percaya. "Apakah itu penampakan batas kerajaan Herbiopheia?"
Mereka takkan tahu bahwa ada kehidupan di balik cahaya merah itu. Di sana, Aquilla berhasil menahan Achio dengan memeluknya dari belakang. Ia tak peduli tangan Achio meronta-ronta ke depan dan terus memanggil sang ibu atau serangan terbuka Deino yang menusuk punggungnya.
"Achio!" Sang Ibu mulai memandang Aquilla sengit. "Lepaskan dia. Dia anakku!"
"Benarkah kau ibunya?" tanya Aquilla melepas pisau kecil di punggungnya yang kemudian melumurinya dengan darah. Bilah tajam itu menunjuk leher Achio. "Meski aku akan berlaku jahat dan membunuh anakmu ini?"
Kali ini, mata wanita itu membola sewot. "Kau...."
"Bercanda." Dengan lincah, mata pisau pindah menunjuk 'ibu' Achio dan melesat bagai melempar kartu pada celah ramping. Dalam benak Aquilla, harusnya dia menangkis dan rupanya benar! Wanita itu melakukan sesuai dugaannya!
Tanpa berpikir panjang, Aquilla melakukan tornado kick supaya pisau bergagang penuh darah itu balik menyerang lawan bahkan ia keluarkan pedang jarum di balik punggungnya untuk menghujam dada si wanita dari bawah. Alangkah terkejutnya tangan perempuan itu terbakar dan berubah mengerikan bak tangan monster, mampu hempaskan pisau berlumur darah tersebut begitu mudah. Tak sampai situ, ia meninju pedang Aquilla hingga pecah tak bersisa.
"Kau benar-benar pengganggu!" Ia langsung cekik leher Aquilla sampai kakinya melayang. Perempuan itu perlihatkan wajah aslinya. Gaun sutra hitam beserta bunga mawar. Mata merahnya menyala murka dengan mangsa yang didapat.
"Ty-tyran----akh!" Tekanan kuat Tyran membuat Aquilla menjerit kesakitan. Ya, teruslah memekik. Dengungkan suara menyakitkan itu. Tyran semakin bergairah untuk remukkan tulang lehernya.
"JANGAN SAKITI DIA!" Achio lekas berlari padanya. Sejenak Tyran meliriknya. Apa yang Achio bawa supaya bisa melawannya? Dia hanya berlari bersama puluhan kupu-kupu biru. Apa jangan-jangan....
"Perlu Anda ketahui, kekuatan Aquilla tidak boleh dipandang remeh."
Benar. Kekuatan perempuan dalam genggamannya ini tak boleh ia remehkan, tapi Achio juga adalah salah satu yang musti diwaspadai.
"Deino."
Sosok itu muncul usai Tyran melempar Aquilla untuk Achio. Entah apa yang tuannya perintahkan, Deino keluarkan seluruh jenis machine gun dari punggungnya. Mereka muntahkan banyak sekali bilah pisau belati pada semua lawan, yang kemudian memanjang bak menodong tawanan dalam sekali bentangan kipas. Mereka tak dapat bergerak sekarang. Sedikit saja akan torehkan luka tusuk.
"Kalian benar-benar menyusahkan," kata Tyran sempat merasakan nyeri pada tangan bekas mencekik Aquilla. Itu pasti darah suci yang masuk dalam pori-pori kulitnya. Ia dekati Achio dengan tatapan gairah. Namun, mata biru safir itu malah berkaca-kaca ketakutan.
"Dengar. Meski aku terlihat kejam, tapi aku selalu berbaik hati memberi pilihan." Suara pelan Tyran mampu terbitkan senyum miring di bibir merah Aquilla.
"Munafik!" Aquilla mendesis sinis. "Aku tak yakin Achio akan menurutimu."
"Aku tak bicara denganmu!" Tyran menyembur kemarahan pada gadis di samping Achio. Sesaat mata merah berlatar belakang hitam itu melotot murka, tapi lain hal bila memandang Achio. Ada secercah kelicikan di balik irisnya.
"Nah, Achio. Selagi aku berbaik hati padamu, aku beri kau dua pilihan." Perlahan seringai lebar muncul menghiasi wajahnya yang mengerikan. Ia ulurkan tangan monsternya ke depan muka Achio yang kian takut.
"Serahkan jiwa Ronto padaku, atau bertarung denganku."
Tidak. Bagi Achio, ini pilihan sulit. Entah kenapa batinnya berkata bahwa dua pilihan itu hanya akan membunuhnya. Tyran pasti dapat untung telak dari dua opsi tersebut.
"Bertarunglah dengan dia."
Suara itu lagi. Achio mengerang kuat. Ia ingin bergerak leluasa, berharap suara tadi menghilang. Namun, Achio tak bisa. Pisau-pisau itu sungguh menghapus kebebasan bergerak.
"Apa lagi yang kau tunggu, Achio?"
"Jangan.... Jangan." Saking tak tahannya, Achio tak peduli dengan rasa sakit ketika mata pisaunya menyayat kulit dan pakaiannya. Ia hanya butuh menutup telinga rapat-rapat. Achio hanya ingin menjauh sejenak dari keributan ini.
"Kumohon, sekali ini saja...."
"TIDAK AKAN!" Mata biru Achio membesar dengan sapuan kilau putih yang entah dari mana asalnya. Kedua tangannya kini menggenggam pisau di sekitar, mencabutnya sebagai senjata untuk hadapi wanita bertanduk kambing itu. Sosoknya terlukis di iris mata Achio, dia sedang menatap tajam. "Achio ... takkan menuruti siapapun."
"Tak menuruti siapapun?" Alis tebal Tyran saling bertautan. Persetan dia pikirkan maksudnya. Toh, selama memorinya menayangkan orang-orang yang ditemui ketika tersenyum ramah, Achio takkan ikuti arahan itu lagi. Arahan dari Ronto.... Ia akan mengabaikannya.
"Itu berarti ... kau ingin bertarung denganku?" Senyum miring terukir di bibir Tyran. "Tidak masalah, aku malah menyambut pilihan itu."
"Begitu pula dengan kami semua." Suara Anky menarik perhatian Achio. Kini di kepalanya melayang mahkota cahaya. Satu tarikan napas dan matanya terpejam, muncul sebilah pedang yang mampu hancurkan semua penjara pisau kepunyaan Deino dalam kedipan mata, tanpa harus ia gerakkan tubuhnya. Pedang tersebut tinggal di genggamannya, tegak lurus di depan wajahnya hingga tampilkan pantulan di hadapannya.
"Kami akan kerahkan semua tenaga...." Kemudian Anky membuka mata yang terpancar semangat membara. "Untuk mengalahkanmu."
"Dari tadi pun aku ingin menusuk dadanya," kata Aquilla mengambil cakram darah suci dari punggungnya yang terluka. "Tapi sepertinya belum bisa."
"Achio." Lantas sang pemilik nama menoleh. Archae benar-benar berkobar dengan anting api. Perempuan itu menyerahkan sebuah tombak. "Kau berhak lawan Tyran."
Walau ia terima, Achio hanya memandang senjatanya.
"Kami percaya padamu." Begitu Achio tengok lagi, Archae tersenyum tulus sebelum lenyap oleh topeng api berbentuk wajah burung elang. Mereka bertiga lekas menyerang Tyran.
"Mode pembunuh diaktifkan." Dan Deino lah yang mereka targetkan, bukan Tyran. Anky dan Archae menghajar Deino dengan panah cahaya dan katana api, sedang lawannya siap tangkis dengan kedua tangan yang berubah jadi pedang dan perisai. Mereka sama-sama tak beri celah untuk bernapas. Persetan keringat dan darah mengucur di sekujur tubuh. Selama Achio atau Tyran belum kalah, kedua pihak akan saling tumpahkan darah.
Transformasi Anky makin menjadi dengan mata sepenuhnya memutih hingga cairan putih mengalir di pipi. Lidah api di badan Archae terus membara liar sampai banyak titik luka bakar. Dan tubuh Deino kian retak parah, memperlihatkan isinya yang serba besi dan kabel dengan secercah cahaya merah. Kala Archae dan Deino saling adu pedang, ada separuh menit untuk mereka berbincang dengan tatapan sengit.
"Anda sungguh akan mati, Nona," kata Deino mengangkat perisai untuk menghantam kepala Archae. Tentu ia tangkis menggunakan pukulan es.
"Aku tak peduli apakah aku akan mati atas nama pengorbanan bagi mereka," balas Archae tersenyum miring. "Malah harusnya kau sayangi dirimu sendiri. Kau sangat kacau."
"Saya tak diciptakan untuk menyayangi diri saya sendiri." Deino lah yang mengakhiri adu pedang dengan menariknya ke bawah. Ia targetkan keseimbangan Archae supaya dapat menarik perisai yang menempel bersama tangan es. Wanita itu melayang, siap ditembak ratusan belati tajam.
Biar begitu, Archae masih memiliki kesadaran untuk lekas lelehkan es yang menyelimuti tangannya. Ketika lengan Archae berhasil lolos, saat itu pula sepasang sayap api membentang lebar dan meliuk ikuti tubuhnya yang berputar di udara. Sayap tersebut percikan banyak bulir api yang jatuh melelehkan kulit porselen Deino.
Usai Archae mendarat dengan keren, terbentuklah sebilah pedang es membalut kedua tangannya dari pergelangan hingga siku. Lalu, secepat kilat mereka saling lempar serangan jarak dekat.
Bagaimana dengan Anky? Tyran telah ciptakan banyak makhluk mengerikan serupa goblin untuk mempersempit peluang kemenangan pihak Achio. Perempuan centaurus itu tidak bisa menyokong siapapun, baik Archae atau Achio bersama Aquilla.
Sementara itu, Achio menyerang Tyran mati-matian menggunakan tombak pemberian Archae. Aquilla berusaha persempit jarak serang untuk Tyran. Namun, wanita itu seakan baik-baik saja walau dikepung sesempit mungkin. Tyran sama sekali tak terluka, malahan Achio yang banyak menerima tebasan sang lawan.
Jelas beda sekali perbandingan kekuatanmu dengan Tyran....
Jangan lagi! Suara Ronto membuyarkan fokusnya untuk menusuk dada Tyran. Alih-alih kena, justru Achio lah yang terima luka fatal di perut oleh Tyran. Dia menahan tombaknya dan menghujam perutnya dengan kekuatan di luar kemampuan manusia sepertinya. Begitu pula Aquilla. Gadis berambut putih itu dengan mudahnya terpental jauh dalam sekali tampar dan masih menekan ujung tombak ke perut Achio.
"Ada apa, hm?" Tyran tersenyum miring. Semakin dekat jarak mereka, ujung tombaknya semakin dalam menusuk. Bisa saja tembus. "Padahal kau mati-matian menyerangku. Giliran aku balas, kau jadi tak berkutik. Kau biarkan aku merenggut nyawamu."
Bukan. Achio hanya terganggu oleh suara Ronto.
"Aku tak suka permainan ini." Ucapan Tyran tepat depan muka Achio bahkan ujung tombak sang empunya sungguh menembus ke punggungnya. Tangan monster Tyran mendorong kepala Achio agar saling menempel dengannya.
"Hentikan sekarang juga, Ronto."
DAR!
****
Achio tak melihat atau mendengar suasana medan perang lagi. Kali ini sungguh sunyi dan beraroma segar, hawanya sejuk pula. Tempat macam apa ini? Ia harus buka mata sekarang juga. Awalnya buram, tapi iris biru Achio mulai berkilauan dan cerah warnanya.
Bukan tempat yang gersang dan punya awan mengerikan. Tempat ini ... penuh bunga dengan berbagai macam jenis, salah satunya bunga matahari berwarna emas.
Itu bunga Herbiopheia.
Namun, tempat apa yang ia pijak sekarang? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top