Chapter 13 - Pasukan dibalas Pasukan

"Bagus.... Gunakan terus wadahmu, Ronto. Tunjukkan batang hidungmu walau harus manfaatkan tubuh gadis itu." Tyran tertawa licik cukup keras. Di sekitarnya banyak penampakan Achio dalam berbagai sudut pandang. "Tak sia-sia aku ciptakan bola mata bersayap itu. Sekarang bawalah dia padaku----hah?"

Satu per satu hasil penglihatan anak buahnya mulai menghilang. Penampakan terakhir yang Tyran lihat adalah kubah obsidian yang hancur, menampakkan lima perempuan sedang pergi dekati cahaya merah----tempat Tyran berdiri. Bola mata bersayap itu tewas oleh kobaran api.

"Mereka mengacaukan rencanaku!" Teriakan Tyran ciptakan embusan angin yang mampu usir bebatuan besar.

"Bukan mereka yang mengacaukan rencana Anda, Yang Mulia." Sepasang sepatu bot bondages melangkah penuh anggun dekati Tyran. Jubah hitamnya berkibar tertiup angin buatan sang tuan.

"Lalu siapa menurutmu, Spino?" Tyran melirik sosok wanita bertanduk rusa sudah berdiri di sampingnya. Rambutnya yang berwarna merah darah melambai lembut meski disanggul.

"Para prajurit andalan Ronto," jawabnya tak menoleh pada lawan bicara. Sorot matanya sangat tajam menusuk. Tak ada secercah keramahan di sana. "Harusnya Anda tahu hal itu, apalagi tadi Anda berhadapan dengan Aquilla yang dulu Anda ubah karena memilih berpihak pada kita. Perlu Anda ketahui, kekuatan Aquilla tidak boleh dipandang remeh."

"Aku tak menganggap remeh pada perempuan itu." Tyran coba edarkan pandangan ke sekitar. Semua merah. Jangan harap ada bangunan dan flora yang kokoh nan utuh. Ia hanya terlampau malas tengok muka Spino. Dia terlalu angkuh. "Tapi aku tak menyangka mereka akan melindungi wadah Ronto begitu ketat. Padahal mereka sudah terluka parah, tiba-tiba saja ada bantuan dan kondisi mereka kembali prima dan siap lindungi A...."

"Achio, Yang Mulia."

"Iya, itu namanya!" Tyran mendesis kesal. "Aku tak peduli namanya siapa. Aku hanya ingin mereka tumbang bersamanya. Spino, panggilkan Velo dan suruh dia bunuh cecunguk-cecunguk itu!"

"Sayang sekali Velo tidak bisa dipanggil, Yang Mulia."

"Apa? Apa maksudmu?"

Namun, yang ditanya malah bergeming. Spino seakan enggan memberitahu alasannya. Ketimbang mendesak agar wanita itu menjawab, Tyran pun berkata dengan mata merah menyala: "Bangkitlah, para prajuritku! Aku jadikan kalian abadi! Maka bunuh mereka semua! Siksa mereka sampai aku merasa puas!"

Reruntuhan yang rata dengan tanah itu perlahan berubah jadi genangan darah. Kemudian, muncul banyak makhluk berwujud besi dari sana. Mereka bukan makhluk hidup sungguhan melainkan murni sebuah robot yang hanya bisa dikendalikan oleh Tyran.

"Sialan, buat aku kesal saja...." Inginnya perbaiki suasana hatinya kembali dengan melihat sekitar, tapi kehadiran Spino sangat mengganggu.

"Beritahu aku alasan Velo tidak bisa dipanggil," kata Tyran pada akhirnya meski tak keberatan raut mukanya kusut.

"Aku tak akan beritahu." Spino lekas berbalik tinggalkan Tyran. Suaranya tetap menggelegar walau jarak di antara mereka cukup jauh. "Tapi jika kau butuh Velo untuk melindungimu, aku akan melakukannya."

"Aku tak butuh itu." Begitu ia tengok, sosoknya telah hilang. Padahal belum ada semenit Tyran berpaling dari Spino. Sorot matanya mulai tajam. Apa yang Spino rencanakan? Apa susahnya bilang?

"Terkadang pikiranmu susah ditebak, Spino." Ia segera berdiri pejamkan mata dan rentangkan badan seperti hendak keluarkan sayap. Tyran ingin rasakan sosok Achio. Auranya. Napasnya. Gerak-geriknya. Khususnya hawa yang menguar dari tubuhnya yang bertransformasi menjadi sosok Ronto.

Ah, Tyran tak sabar menunggu kedatangannya bila Achio selamat dari ancamannya.

****

Cahaya merah itu datangkan banyak bencana. Beliung. Hujan deras. Dan berbagai macam puing bangunan memporak-porandakan bumi. Semua hadir menghambat perjalanan para perempuan bersenjata untuk taklukan dalang di balik kekacauan ini. Tak hanya itu, musuh-musuh kecil kepunyaan Tyran kembali muncul. Beruntung, mereka masih sempat menyerang tanpa hilangkan kecepatan kuda berlari dan sayap Archae berkepak. Anky dengan aksesoris peledak mampu mengikis jarak pandang musuh, kemudian Ste menyusul lewat ribuan keping rajam batu permata hitam. Aquilla cukup bertugas kendalikan kuda supaya tak diserang.

"Hati-hati, semua! Masih banyak robot aneh di depan sana!" pekik Archae lekas melesat maju selangkah dari kawanannya.

"Demi Tuhan...." Sesaat semangat Ste yang padam kembali membara kala dengar suara ledakan. Bunyi tersebut berasal dari seberang. Tampak ada dua kilat saling bentur dari titik ke titik di udara, seperti ada pertarungan sengit di sana.

Apa itu Rosa? Jika memang dia, siapa yang Rosa lawan? Persetan siapa orangnya, Ste harus hentikan kilat tersebut. Ia beringsut menjauh sedikit dari Aquilla. Sementara satu tangannya menumpu pundak penunggang kuda, sebelahnya mulai membidik kilat yang melesat sangat liar itu. Tumbuhlah sebilah anak panah dari jari Ste sebelum melesat melerai kilat misterius. Namun, senjata tersebut pecah berkeping-keping dalam jarak beberapa meter darinya. Alangkah terkejutnya Ste sampai kuda yang mereka tunggangi sempat hilang kendali. Ada serpihan batu obsidian di badannya. Beruntung mereka tak jatuh.

"Apa yang kau lakukan, Ste?" Aquilla memekik kesal. Belum sempat Ste jawab, tangan biarawati itu serasa ditarik dari belakang. Seutas tali cambuk dari tulang melilit pergelangan tangannya.

Hanya butuh sekian detik, Ste bisa mengenali benda ini. Ia langsung tarik lengan hingga tali cambuk terputus dan jatuh nyaris terjerembab. Nasib baik telapak tangan menyentuh tanah lebih dulu. Ste rapalkan mantra dalam hati dan batu hitam mencuat tajam menembus batang pohon.

"Tak kusangka kau bisa sepeka itu." Dalam sekejap, seuntai tali cambuk tulang tersebut mampu hancurkan batu hitam runcing dalam sekali ayun. Kemudian, seseorang melompat dari sana dan mendarat penuh anggun. Bahkan caranya berjalan jauh lebih anggun.

"Spino...." Ste lekas bangkit sambil ciptakan sulir duri yang melilit tangannya hingga menjuntai mirip cambuk. Sejenak ia lihat Aquilla berhenti memandangnya dengan cemas.

"Pergi dan lindungi Achio bersama mereka!" teriak Ste tanpa menoleh. Ia bisa dengar suara ketukan kuda yang berlari menjauh.

"Dan aku takkan membiarkan mereka menemui tuanku." Spino melepas jubah yang membaluti tubuhnya. Barulah jelas penampakannya yang hanya kenakan korset dan memperlihatkan sepuluh tulang sedang membentang ingin terkam seseorang. Tulang-belulang itu melesat begitu cepatnya, tapi Ste bisa menangkis semua dengan sebuah tembok obsidian hingga mereka tak dapat keluar. Ste juga sempatkan diri menyerang Spino menggunakan tangannya yang menyatu bersama pedang obsidian.

"Kau lupa dengan kekuatanku, Ste."

Alih-alih lanjutkan menyerang, badan Ste lekas pecah karena salah satu tulang yang berhasil lepas dan menusuk dada Ste. Tentu Spino mendelik tak percaya.

"Begitu kah?" Suaranya dari belakang, spontan Spino melirik sambil siap ayunkan lasso. Di atas sana, Ste hendak ayunkan sulur duri. Namun, bukan itu yang Spino takutkan untuk sesaat, melainkan ratusan jarum obsidian berukuran besar di belakangnya. Seringai lebar terbit menghiasi wajah mengerikan Ste, di mana sebagian kulit seperti retak dan mengelupas.

"Aku suka auramu, Spino...."

****

Aquilla berhasil bergabung dengan Anky dan Achio. Sejauh mereka pergi dekati cahaya merah, asap mulai menebal dan warna merahnya makin pekat. Entah sudah berapa banyak musuh yang mereka basmi hingga tak sedikit luka tercipta pada tubuh eloknya.

"Aquilla, di mana Ste?" tanya Archae setengah berteriak. Selama beberapa saat, Aquilla hanya bergeming. Kesan intimidasi kian tampak kala Anky ikut menengoknya.

"Ada seseorang yang ingin mencelakai kita." Mengatakannya saja Aquilla tak kuat. Membayangkan Ste harus berhadapan dengan Spino, bertarung hingga titik darah penghabisan dan mengerahkan seluruh kuasanya. "Dia sedang menyelamatkan kita demi taklukan Tyran. Aku ingin membantu, tapi larangan Ste membuatku sadar. Dia terlalu kuat. Apa mungkin ... kalau kita bisa kalahkan Tyran?"

"Kita pasti bisa----awas!" Archae langsung ciptakan dua kipas dari es kemudian ia kibaskan bersama embusan dari kepakan sayapnya. Mereka takkan bisa melihat serangan tersebut, tapi Archae bisa. Ketahuilah ada banyak belati kecil berjatuhan karena menyentuh kristal es ciptaan Archae.

"Hampir saja...." Anky mengembuskan napas lega, lantas menepuk pipi Achio yang mendekap ketakutan di belakang. "Apa-apaan serangannya? Padahal sekitar sini cukup gelap."

"Karena minim penerangan lah serangan saya tidak terlihat." Suara lembut itu membuat pandangan mereka waspada. Anky lekas buat tombak cahaya untuk senjatanya kala berjaga-jaga.

"Lama tak bertemu Anda semua."

Serempak mereka menjauh, khususnya Anky yang bisa merasakan kehadirannya dengan jelas. Ada perempuan dengan pakaian sedikit mirip Rosa, tapi dia perlihatkan pundak serta kakinya yang mulus bak porselen. Salah satu tangannya pegang kipas yang membentang tutupi mulutnya.

"Aku tak perlu memperkenalkan diriku, kan?" Lantas Archae menarik katana dan sekejap api melahap bilang tajamnya. Ia sambung ucapan dengan nada rendah, "Deino...."

"Tentu, Nona Archae." Kecepatan Deino dalam melipat kipas buat Aquilla terperangah. Pikirnya, sekelas Rosa saja yang seorang bangsawan tak secepat itu. Namun yang paling penting, Deino menatap Archae dengan tatapan dan senyum misteri. "Karena saya adalah humanoid, jadi saya mampu mengingat nama Anda semua dengan baik."

"Oh ya?" Archae tersenyum miring. "Termasuk bagaimana Tyran mencoba membunuh Ronto demi menguasai kerajaan beliau?"

"Be----" Tiba-tiba mimik wajah Deino berubah. Terkejut, bukan senyum penuh misteri lagi. "Peringatan. Ada identitas tak dikenal. Jarak 100 meter dari arah depan."

"Identitas tak dikenal?" Aquilla mengernyit bingung. "Tak mungkin ada orang yang masih hidup sedang berkeliaran di sini."

"Achio? Kaukah itu?"

Achio lekas tengok sosok yang memanggil namanya. Suaranya sangat familier. Dugaan pertama yang terlintas di benaknya adalah ibu. Tanpa seizin Anky, Achio turun dan mengikuti suara tersebut.

"Ibu?" Mata biru Achio semakin sayu. Raut wajahnya kian gelisah, pun langkah kakinya bertambah cepat begitu terlihat siluet ibu.

"Achio, kemarilah! Ibu merindukanmu!" Siluet itu merentangkan tangan. Dia ingin memeluknya. Achio rindu pelukan seorang ibu. Maka, gadis dengan gaun putih panjang selutut itu berlari cepat sambil menitikkan air mata.

Sedangkan Aquilla memperhatikan Achio dari jauh sambil turun dari tunggangannya. Tentu otaknya berdebat tentang seberapa bahayanya area buatan Tyran. Cahaya merah mampu memporak-porandakan segalanya termasuk manusia. Itu berarti....

"Arahan diterima. Mode pembunuh aktif."

"SEMUANYA MENJAUH!" Alih-alih dengarkan perintah Archae, Aquilla malah berlari dekati Achio.

"ACHIO! JANGAN!" []

Halo-halo.
Gimana sama ceritanya? Jangan lupa vote, komen, dan share ke teman-teman jika suka. Pantau akun fb aku (Reirin Mitsu) untuk dapat spoiler tentang proses aku menulis cerita untuk kalian semua!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top