Chapter 12 - Bertahan Hidup adalah Pelajaran Terbaik
"Seberapa jauh lagi kita bisa sampai ke sana?" Kuda bergerak lebih cepat menerjang salju tebal usai Ste pecut talinya. Aquilla memeluk erat di belakang.
"Harusnya tak jauh lagi...." Aquilla berhenti bicara. Pelukannya mengendur sedikit. "Makhluk apa itu?"
"Di mana?" Tanpa Aquilla jawab pun, Ste mendongak begitu lihat bayangan aneh di permukaan salju. Ada puluhan bola mata bersayap tengah terbang menuju tempat tujuan mereka untuk selamatkan Achio. "Kenapa ada makhluk seperti itu di sini?"
"Ste, lihat jalannya!"
Seketika Ste menarik tali kekangnya. Kuda meringkik sambil berdiri sebentar. Apa yang mereka lihat sungguh mengerikan. Puluhan manusia beserta kuda tewas membeku. Sebagian besar tertimbun salju, tapi ada yang mati membeku dalam posisi berdiri. Tak hanya itu, banyak luka bakar yang membuat para korban terlihat macam mayat dimakan waktu bertahun-tahun.
"Apa ini ulah Archae?" Ste lekas memukul badan kuda menggunakan kaki dan hewan tersebut melangkah pelan.
"Sepertinya iya----tunggu, apa kita bisa lewati celah sempit itu?" Nada bicara Aquilla menjadi bergetar. "Maksudku, apa tak ada jalan lain untuk ke sana?"
"Bukannya kita sudah berkeliling untuk cari jalan aman? Semua tertutup salju, bisa saja jauh lebih tebal. Hanya ini satu-satunya jalan." Persetan ketakutan Aquilla, Ste tetap memasuki celah sempit penuh mayat beku. Ste harus mengikis dinding salju berisi jasad dengan cakram raksasa obsidian. Ia tambah kecepatan kuda berlari. Namun, dua perempuan itu lebih terkejut oleh cahaya emas yang jaraknya tak jauh dari sini.
"Cahaya apa itu?" Ste menggumam kagum. Cahaya itu ... sama persis dengan kepunyaan Ronto. Apa jangan-jangan.... Iris mata Ste langsung mengecil. "Tidak mungkin! Aquilla!"
"Ada apa?"
"Kumpulkan energimu sekarang juga," pintanya kembali memacu kecepatan kuda. "Aku paham kenapa makhluk itu berkerumun ke gunung ini."
"Baiklah, tapi kenapa?"
"TURUTI SAJA PERKATAANKU!" Ste sangat yakin dengan instingnya. Cahaya itu pasti mengundang perhatian Tyran. Pasti Tyran yang perintahkan musuh sebanyak ini untuk membawa paksa Achio. Ia takkan membiarkan hal itu terjadi. Namun, kalau makhluk itu berniat menculik Achio, berarti----
"STE, DI DINDING SALJU SEBELAH KIRI!"
Sudah ia duga! Ste ikuti arahan Aquilla. Bahkan sebuah entitas tak dikenal pun memburunya? Apa sejenis robot harpy? Entahlah, tapi jumlahnya puluhan. Beruntung, Aquilla dengan cepat tumbangkan mereka dengan belati kecil yang terbuat dari darah. Cairan merah itu bersifat cair bila mengenai permukaan datar dan itu kelemahan sebuah besi yang mudah berkarat.
Yang lebih penting dari kegesitan Aquilla dalam melindungi jalannya, Ste kebingungan dengan salju yang perlahan berkurang. Apa yang terjadi sebenarnya? Ia harus cari jawabannya selagi mengikuti bola mata bersayap pergi.
"MENYINGKIR DARI ANKY, DASAR MAKHLUK ANEH!"
Itu suara Archae. Maknanya tak lama lagi mereka akan tiba di lokasi tujuan. Tiada badai salju membuat Ste mampu temukan Archae dengan mudah. Perempuan itu terbang mengusir makhluk aneh yang mengepung Achio----apa, Achio dengan wujud Ronto sedang tak sadarkan diri dalam kondisi melayang? Archae semakin lambat dan kewalahan dalam menangani musuh sebanyak itu. Sampai pada detik sekumpulan bola mata bersayap berbaris membentuk sebuah jarum di hadapan Archae, Ste kehabisan sabar.
"Aquilla, lemparkan belati darahmu sebanyak mungkin!" Tepat ia berkata demikian, Ste rentangkan kedua tangan. Ribuan jarum obsidian tercipta dan melayang di udara, lantas Ste ulurkan ke depan dengan cepat. Ribuan jarum tajam itu melesat secepat angin bahkan membiarkannya dibaluri darah suci Aquilla sebelum mengenai musuh.
Usaha Ste dan Aquilla membuahkan hasil. Makhluk menjijikan itu banyak yang tumbang. Namun, mereka harus cepat. Archae juga ikut ambruk. Meski begitu, jumlah musuh yang Archae hadapi jauh lebih banyak bahkan sebagian kecil mulai targetkan Aquilla dan Ste untuk dilenyapkan.
Betuah sangat dua perempuan itu punya banyak energi usai Rosa mengobatinya. Maka, ratusan bola mata bersayap dan robot harpy dapat mereka kalahkan dengan mudah dan tiba di lokasi tujuan tanpa ada hambatan.
"Aquilla, cepat obati Anky dan jangan pedulikan aku!" Tanpa tunggu jawaban, Ste langsung turun dan rentangkan tangan ke depan guna ambil ancang-ancang menangkap Archae. Ia tak bisa gunakan sihir untuk selamatkan Archae, terlalu bahaya. Apalagi pakai kemampuan Aquilla. Persetan Ste bakal patah tulang tertimpa badan Archae. Selagi Achio masih melayang dan Anky sedang dipulihkan, Ste akan mengandalkan sihir Anky nan----
"Apa?" Namun, realita tak berpihak padanya. Wujud Ronto menghilang beserta cahaya yang menyelimuti tubuhnya. Kini Ste melihat sosok sebenar Achio yang terjun dari ketinggian. Raut muka Ste lekas tegang. Ia tengok Aquilla di belakangnya. "Apa Anky sudah pulih?"
"Belum! Butuh beberapa menit karena kondisi Anky terluka parah!"
"Oh Tuhan...." Sedetik Ste melirik ke atas, Aechae sudah menimpanya. Tentu Ste mengerang kesakitan pada kaki-tangannya bahkan menyingkirkan tubuh Aechae pun tak kuasa. Ia hanya sanggup perhatikan Achio yang melesat terjun ke permukaan bumi.
"Kita tak sempat selamatkan Achio." Ste berkata lirih, benar-benar pasrah.
"Apa maksudmu? Achio masih dikepung makhluk aneh itu, kan?" Dan soalan tersebut terjawab lewat suara gemerisik pohon serta bunyi benda menghantam tanah. Kala tengok sumber suara tersebut, Aquilla makin panik. Rasa ingin menyelamatkan orang-orang tanpa sadar membawa Aquilla menghadap Achio. Tapi sebelum itu, Aquilla ayunkan sebelah tangannya. Seketika muncul ribuan butir darah melayang di udara dan tepat membunuh sekumpulan bola mata bersayap. Satu jiwa mampu perbesar ukuran bulir darah suci milik Aquilla.
"Biar aku bantu." Ste lekas lawan rasa sakit pada tangannya untuk tepuk tanah. Batu obisidan dengan ujung runcing muncul amat brutal hingga menyisakan celah-celah kecil supaya cahaya masuk menerangi kubah ini. "Kau bisa fokus obati kami."
Aquilla pun menurut. Usai pulihkan Achio, gadis berambut putih itu mulai hilangkan nyeri pada raga Ste. Terkadang, ada hawa dingin menyembur dalam dada Ste bila amati betapa seriusnya Aquilla obati orang. Segaris lengkungan tipis mengukir bibirnya.
"Tak sia-sia Rosa mengampunimu, Aquilla." Dirasa tak nyeri lagi, ia bangkit singkirkan Archae kemudian belai kepala Aquilla teramat lembut. "Kau sudah bekerja keras."
Entah apa yang dia pikirkan, tapi mata Aquilla berkaca-kaca dan tersenyum tipis lepas Ste usap kepalanya. Tak apa, gadis itu berhak tersenyum dan merasakan kehangatan.
"Aku tak tahu kalian datang kemari." Suara nyaring menyita perhatian Ste dan Aquilla. Gadis bermata merah itu bahkan kaget akan kehadiran Anky di sisinya sambil dekap Achio erat-erat. "Di mana Rosa, Aquilla? Bukannya kau bersama dia?"
"Rosa masih di sana," jawab Aquilla pudarkan senyum. Matanya sangat sayu sekarang. "Harusnya dia ada di sini sejak tadi."
"Iya." Ste berpindah untuk serahkan benda-benda ajaib pada Anky. Aksesoris berisi sihir. Rosa pasti membuatnya khusus untuk Anky. "Andai Rosa biarkan Aquilla mengobatinya sampai pulih."
"Aku jadi khawatir pada Rosa."
Lalu dalam hati, Ste menimpali ucapan Aquilla seraya memandang celah-celah kubah batu obsidian.
****
Ternyata butuh banyak waktu supaya lukanya sembuh. Rosa baru bisa bangun ketika cahaya merah itu mulai mengecil. Baik luka luar dan dalam telah menghilang. Cara Rosa menatap sinar tersebut sangat tajam nan dingin. Sudah waktunya, lantas ia tutup mata seolah ingin nikmati alam.
Alam ciptaan Tuhan begitu mewah. Udara segar meski sempat tercium bau busuk bekas pertarungan tadi. Sinar matahari yang berusaha hangatkan bumi. Lalu ... hawa panas dan perasaan ingin melayang. Ini yang Rosa butuhkan.
"Sendirian saja, Nona?" Suara gadis cempreng. Suara yang Rosa benci, makanya ia langsung melirik murka. Seorang perempuan mungil duduk ayunkan kedua kakinya di atas pohon gundul mendadak tertawa cekikikan.
Menyebalkan. Padahal Rosa sudah siap terbang dengan jubah hanfu berkibar mirip sayap. Di sekitarnya muncul butiran bara api yang dapat terbangkan ujung hanfu. Hah, persetan gadis itu. Cukup abaikan kehadiran dia dan ubah wujud menjadi seekor burung Phoenix.
"Jangan abaikan aku!" Perempuan di atas pohon itu turun dan seketika muncul tepat di hadapan Rosa bahkan siap mencakar dengan kedua tangan berkuku runcing. Entah apa yang membuatnya bisa pindah secepat angin, tapi Rosa tak sempat mengelak. Alhasil, sebelah matanya kena cakar.
Rosa spontan mundur sambil tutup lukanya. Butiran bara api pun lenyap. Ia hanya sanggup andalkan sebelah matanya lagi untuk amati penampilan sang musuh.
Dia membungkuk macam orang kelaparan. Napasnya terengah-engah dengan lambat, tapi berderu kuat bak sang raja hutan. Rambut yang menutup mukanya berwarna hitam keunguan, mungkin sebahu. Rosa tak tahu. Namun yang membuat Rosa merasa jijik ialah pakaiannya. Tubuhnya hanya ditutupi gaun compang-camping yang nyaris perlihatkan buah dada dan bagian bawahnya. Selebihnya ... berupa akar berduri yang melilit beberapa anggota badannya? Dia tak waras.
"Rosa dengan teknik darah suci." Dia menggumam walau beriringan dengan tawa licik. "Aku dengar darahmu cukup berbahaya, jadi aku ingin tahu seberapa kuatnya engkau."
"Sayang sekali aku tak berminat, Velo." Cukup sekali kibasan pada jubah, Rosa melayang menggunakan sihir butiran bara api. "Tapi aku akan coba meladenimu jika kau bisa hentikan aku menuju wilayah tuanmu. Karena hang kudengar, kau cukup cepat dalam menangkap mangsa."
"Wah...." Velo tertawa renyah, kemudian ia mendongak pamerkan salah satu mata ungunya yang terang. "Kau tahu banyak tentangku ternyata."
Tanpa aba-aba, Rosa langsung ubah dirinya menjadi burung Phoenix usai rentangkan tangan membentuk sayap. Andai kau ada di sini, yang kau lihat hanyalah kilat dua warna sedang bergerak abstrak menuju asal cahaya merah di depan sana. Warna oranye sering bertabrakan dengan sinar ungu.
Di bawah langit mendung, burung Phoenix tak pernah layangkan serangan pada kilat ungu. Meski begitu, mengubah wujud artinya harus buang banyak tenaga. Demi keselamatan terjun dari ketinggian, ia sengaja benturkan diri pada pepohonan dan biarkan kilat tersebut melukainya. Berkat itu, Rosa tak mengalami luka cukup serius. Mereka kembali ke wujud aslinya sebagai manusia.
Tidak, Velo lebih mirip mayat hidup tanpa kewarasan. Ia menyeringai lebar menatap Rosa penuh obsesi.
"Aku tak menyangka kau secepat itu," kata Velo ambil kuda-kuda untuk menyerang Rosa dengan kedua tangan berhiaskan borgol rantai. "Dan kita sama-sama tak tahu sejauh mana kemampuan mengalahkan seseorang."
"Kau benar." Lantas Rosa pasangkan aksesoris kuku yang nantinya akan dilumuri darah dari telapak tangan waktu mengepal kuat di depan muka. "Kita puaskan diri bersama-sama." []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top