Bagaimana caranya?
Tak ada cara paling aman selain ini. Tubuh Archae mulai berasap. Darah yang semakin menetes deras ke dadanya perlahan membeku hingga seluruh bilah pedang musuh menjadi sebongkah es. Gigi Archae menggertak pun keluar asap. Permukaan salju di sekitarnya mencair bahkan menguap.
"Menyingkir dariku!" Sejenak ia tarik pedangnya sebelum mendorongnya dengan kuat dan cepat hingga mengenai hidungnya. Tak sampai di situ, ia menendang Achio sampai jatuh tersungkur. Api membara di baju Achio sebagai jejaknya.
"Kau pikir aku akan diam saja?" Archae langsung ciptakan kobaran api dan uap es di masing-masing tangannya. "Lihat Achio seperti itu malah mengancam kediamanku."
Ia takkan berikan celah sedikitpun pada Achio. Takkan pernah. Itu makna dari caranya layangkan tinju dan tendangan bertubi-tubi. Setiap kakinya menapak, salju akan mencair dan menguap. Setiap darahnya menetes, cairan merah itu berubah jadi tarian api yang dapat dilihat dalam hitungan detik. Setiap uap salju yang menguar di sekitarnya, tubuh Archae terasa semakin ringan untuk diajak bertarung.
"Sadar, Achio!" pekik Anky di sela Archae lecutkan pukulan jab meski ditangkis Achio. "Kau bisa menarik perhatian Tyran! Kendalikan tubuhmu, Achio!"
Begitu, ya? Kalau ia simpulkan, cahaya merah yang Archae lihat asalnya dari Tyran. Bila sampai dia datang, terus terang Archae akan tewas di tempat. Salju di sini semakin menipis. Sebuah peringatan untuknya yang mengandalkan salju berasap sebagai energi cadangan. Mau tak mau....
Kala Achio menghempaskan Archae gunakan perisai, ia sengaja jatuhkan diri dan lapisi permukaan tanah dengan es di salah satu tangannya. Di ujung lapisan es, ia langsung lompat dan berguling dengan kaki api siap tumbangkan salah satu anggota tubuh lawan. Bisa saja kepalanya agar terjerembap, atau pedangnya supaya serangannya berkurang. Namun, Archae mengincar perisai yang bercahaya.
TANG!
Perisai telah lepas dari cengkeraman Achio. Tentu sang lawan tak diam, hendak hunuskan pedang pada kepala Archae. Sayangnya Archae lebih dulu ciptakan es kristal yang ujungnya runcing melukai Achio ketika kakinya menapak lapisan es. Langsung saja ia rentangkan tangan ke atas dengan cepat dan ledakan api membuat lawannya terlempar tinggi.
"Cepat gunakan sihirmu, Anky!" pekiknya sedikit meringis kesakitan. "Buat senjata yang terbaik untuk kau pakai sebelum musuh lain datang!"
"Lalu, bagaimana dengan----"
"Jangan pedulikan aku dan cepat buat sebelum cahayanya hilang!" Begitu ia mendongak, betapa terkejutnya kalau Achio justru melayang bukannya jatuh. Tetapi, gadis itu tak sadarkan diri. Bagus, beban Archae mulai berkurang. Setidaknya ia masih harus waspada. Cahaya merah masih ada, jadi kemungkinan ada bahaya yang lagi besar.
Archae berniat ambil Achio sebelum ancaman datang. Waktu sayap api membentang di punggungnya, sekelebat bayang menarik perhatian. Bukan seekor burung yang cari makan, tapi robot besar berbentuk mirip harpy. Di bagian dadanya tertancap panah cahaya.
"Archae! Achio diserang!" Anky menjerit dan masih banyak robot sejenis berakhir rusak di hadapan Archae. Padahal baru sekian detik, tapi Achio sudah dikepung puluhan makhluk aneh. Maksud Archae, kenapa ada sebuah bola mata besar dengan sayap dan rumbai-rumbai merah yang menggeliat ke segala arah di muka bumi ini?
"Anky, jaga aku dari belakang!" Lantas dalam sekali hentak, Archae terbang menuju kerumunan bola mata bersayap. Ia bakar rumbai-rumbai itu dengan sayapnya ketika Archae melakukan putaran. Alih-alih berkurang, rumbai-rumbai menggelikan itu tumbuh kembali hingga saling mengikat membentuk jaring.
Kekuatannya bukan main. Lebih mengejutkannya lagi, sekumpulan bola mata bersayap yang terbang liar tengah mendekat padanya. Tali-tali merah berdenyut itu menciptakan kilat voltra.
"Jangan bercanda." Archae menangkup kedua tangan depan mulut kemudian meniupnya sebentar. Kecepatannya rentangkan tangan memunculkan ribuan keping bunga es. "TERIMA INI, DASAR MAKHLUK MENJIJIKAN!"
Bunga es yang melayang di udara ia semaikan hanya dengan satu tepukan keras ke depan. Sayap api-es ikut meniup bibit es itu untuk musuh. Makhluk aneh tersebut lekas membeku di tempat dan hancur berkeping-keping akibat jatuh dari ketinggian. Sebuah keuntungan melihat sihir Archae berdampak pada jaring yang mengurung Achio. Jaring buatan bola mata bersayap langsung hancur oleh kilat cahaya.
Cahaya apa itu? Kilat itu saking cepatnya terlihat seperti bintang jatuh. Cahayanya membuat es berkilauan kala jatuh. Archae lekas lirik. Ternyata Anky pelakunya.
"Cepat selamatkan Achio!" pekiknya membidik target lagi. "Kita kerahkan seluruh tenaga untuk dia!"
"Anky...." Archae tertegun. Wanita itu ... benar-benar kuat. Di saat energi tak dapat menopang tubuhnya, Anky masih bisa lemparkan serangan jarak jauh. Ah, wanita itu memang lahir dengan tubuh kuat. "Baiklah, kita kerahkan seluruh tenaga."
Dengan sekali lecutan, anak panah itu membelah diri hingga ratusan bintang yang dapat menumpas musuh. Archae pun sama. Ia melesat raih tubuh Achio, sekalipun harus menyerang makhluk menjijikan itu dengan tinju api dan es serta kibasan sayap yang mampu usir mereka dari jangkauan Achio.
Mereka harus berjuang dan takkan peduli bakal kehabisan energi. Alih-alih berkurang, musuh datang semakin banyak dan tak ada habisnya. Baik bola mata bersayap atau robot wujud harpy. Cahaya pada perisai Achio kian redup. Anky tak bisa melindungi dirinya dan Archae. Archae pun perlahan bergerak lambat.
Kita tak bisa berbuat apa-apa. Mereka serempak membatin putus asa. Anky yang tak bisa berbuat apa-apa hanya bisa andalkan daya tahan tubuh agar tak tumbang dari serangan musuh, tentu itu menambah beban Archae. Amarahnya meledak.
"MENYINGKIR DARI ANKY, DASAR MAKHLUK ANEH!" Archae mengepakkan sayapnya dengan kuat. Ia tahu konsekuensinya: Archae sepenuhnya kehilangan energi untuk terbang dan bangkitkan elemennya.
Untuk kali terakhir sebelum ambruk, Archae tengok Achio. Bukan gadis itu yang terlukis di iris matanya, tapi sekumpulan bola mata bersayap yang membentuk jarum raksasa dan beberapa robot harpy yang tunjukkan cakar setajam pisau. Apa ini akhirnya?
Apa ini akhir dari semua perjuanganku?
Segala terasa lebih lambat sekarang. Untuk menghindar pun rasanya mustahil. Archae akan tetap terbunuh. Bagaima----
PRANG!
Waktu kembali berjalan normal, tapi Archae bergeming. Makhluk itu tak lagi mengancamnya, tapi berjatuhan dengan sebuah kepingan batu hitam keunguan. Kepingan tersebut juga menorehkan luka pada anggota tubuh Archae. Lalu rumbai-rumbai itu ... sungguh terpotong dan tak tumbuh lagi.
Apa bola mata itu adalah tubuh utamanya? Ia paham sekarang, tapi terlambat untuk mengetahui celah menuju kemenangan. Secara berangsur, sayap di punggung Archae menghilang beserta kesadarannya. Pandangan Archae kian kabur, hanya melihat semburat cahaya kuning yang masih menyelimuti raga Achio. Ia benar-benar jatuh dan menutup mata.
Achio, kumohon sadar. Aku harap kau mendengarku.
BRUK!
****
Achio mendengarnya. Ia dengar suara hati Archae dengan jelas. Namun, gadis berambut ikal hitam itu sedang berdiri di tengah permadani dengan ribuan jenis bunga. Beberapa kelopak bunga beterbangan menyemai semerbak harum. Achio sendirian di sini. Ia celingak-celinguk berharap temukan seseorang, tapi nihil. Hanya hamparan bunga dan langit putih tak berujung. Insting berkata: cobalah berjalan beberapa langkah. Achio mengikuti. Sepuluh langkah, dua puluh langkah, gadis bermata sejernih safir itu tak menemukan ujungnya.
"Kau tak bisa temukan ujung surga, Achio."
Begitu Achio berbalik, ia kedapatan cermin dengan tinggi lima senti lebih tinggi darinya. Cermin itu memantulkan sosok lain dengan pose sama macam dirinya. Dia berkulit putih seperti warna gaun sutra dan berambut ikal pirang seperti warna iris matanya. Ada banyak bunga hinggap di sekitar rambutnya. Achio mendekat, dia pun sama.
"Siapa?" tanya Achio menelengkan kepala dengan bingung. Wanita itu masih meniru gerakannya.
"Aku?" Dia tersenyum manis, entah kenapa Achio ikut menarik kedua sudut bibirnya. "Apa kau pernah dengar tentang Ronto?"
Achio hanya menggumam polos. Gerakan wanita bergaun putih itu memaksanya agar tangan mereka saling bersentuhan pada cermin.
"Aku orang yang mereka maksud." Lalu matanya berubah penuh misteri. "Dan akulah yang mengendalikan tubuhmu."
Seketika Achio mendelik dan menggebrak cermin tersebut. Ia menjerit. Ia memohon hingga cairan bening meleleh di pipi Achio.
"Kembalikan aku pada Anky! Kembalikan aku pada Archae!" Gebrakan bertubi-tubi antara kedua belah pihak memicu retakan pada cermin. "Kembalikan aku! KEMBALIKAN AKU!"
PRANG!
Achio pun terduduk lemas. Pecahan kaca itu masih memantulkan sosok Ronto yang ikut ambruk. Ia masih sesenggukan sambil menggumam dua kata tersebut: kembalikan aku.
"Achio." Ronto mulai buka mulut. "Yang harusnya kau tanya padaku adalah: Kenapa aku merampas tubuhmu?"
Namun, Achio bergeming. Ia tetap tunduk menumpahkan seluruh emosi. Gadis itu bahkan tak peduli sejak kapan bisa merasakan emosi. Tetes demi tetes air mata jatuh membasahi tangannya yang mengepal di atas gaun.
"Katakan hal itu padaku, Achio," kata Ronto dengan nada lembut. "Dan aku akan menjawab pertanyaan tersebut."
"Kenapa...." Pernapasan Achio tersendat sesaat karena emosi sedih yang meledak dalam diri. "Kenapa Ronto merampas tubuh Achio?"
"Karena demi kebaikan seluruh sahabatku." Ronto mendongak dan memaksa Achio untuk hapus air mata. "Tyran sudah bertindak sejauh ini. Dia tahu kalau kau memiliki separuh kekuatan milikku, maka dari itu dia ciptakan cahaya merah. Cahaya merah tercipta untuk mengundang para pasukan dan jenderal andalannya. Sedangkan meladeni musuh kecil Tyran saja, Anky dan Archae harus kerahkan seluruh tenaga. Sebab itu, aku kendalikan ragamu. Tenang saja, aku takkan melukai tubuh cantikmu, Achio. Dan aku menggunakan kekuatanku untuk membunuh mereka.
"Namun, itu kembali pada keputusanmu, Achio. Aku sama sekali tak punya hak untuk ambil alih tubuhmu dalam waktu lama. Lagi pula, aku jadi tak sadarkan diri di sana saat mencoba bunuh musuh ketika tahu kau sadar di sini."
Achio benar-benar tak berkutik. Pikirannya bercabang liar. Matanya sama sekali tak berkedip.
"Biarkan aku yang melenyapkan mereka sampai Tyran berhasil aku taklukan ... atau kau hadapi mereka dengan murni kekuatanmu?" Ronto sungguh memberi pilihan.
Ini pilihan sulit bagi Achio. Namun, mengingat perjuangan Anky dan Rosa bahkan Archae....
Anky, apa yang harus Achio pilih? []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top