Part 26

Trust issue menjadi penyakit kejiwaan terbesar Mawar selama ini. Dia tidak pernah memercayai siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Dia juga tidak pernah percaya seorang lelaki akan benar-benar mencintai dan menginginkannya. Itulah mengapa dia selalu memberikan pembatas dengan sekat super tebal pada pesona Kris selama ini.

Dia tidak ingin malu karena percaya pada bualan lelaki. Baginya cinta itu ada, tapi untuk wanita lain, bukan dirinya. Tidak pernah berhubungan serius dengan lelaki lain sebelumnya justru memperkuat asumsinya.

Susah payah dia memaksa diri untuk mulai menepis kecurigaan dan rasa malu. Susah payah dia mendorong dirinya sendiri memercayai ketulusan Kris padanya. Dan kini, rasa ragu itu menggunung kembali. Sosok jahat dalam diri Mawar sedang tertawa terbahak-bahak. Menertawai kebodohan Mawar yang bisa-bisanya percaya Kris sangat menginginkannya.

Mungkin benar, ambisi lelaki itu ada. Tetapi, semua itu momentum. Tidak akan selamanya. Akan berubah, tinggal hanya menunggu waktu. Dan mungkin, sekaranglah waktunya. Saat Mawar mulai berani mengaku cinta, mengucap rindu, dan menunggu kepastian, Kris sebaliknya. Seperti permainan tarik ulur, kini Kris yang malah ogah-ogahan padanya.

Mungkin dia sudah bosan atau menemukan gadis lain yang lebih unggul dariku, batin Mawar. Dia menatap pantulan dirinya di cermin dengan pandangan sayu. Merasa sedih pada dirinya sendiri.

Sebelumnya hidupnya baik-baik saja. Membosankan, tapi aman. Bodoh sekali dia mau terlibat skandal. Sekarang, semua jadi runyam. Keluarganya terhina, dirinya terbelenggu, hatinya sedang berada di ambang kehancuran.

Memalukan, tapi Mawar menangis di malam saat suasana sunyi dan dia berbaring di ranjang. Momen hening dan rileks itu membuat setiap senti tubuhnya merindukan Kris, begitu pula hatinya. Dia tidak berharap, tapi menunggu. Susah dijelaskan dengan kata-kata sehingga dia tidak pernah berani tegas meminta Kris mempercepat semuanya.

"Capek kan, menjalani hubungan nggak normal?" Mawar yang sedang merenung di teras samping sambil menikmati mentari pagi, menoleh ke arah sang ibu yang menghampiri dengan tangan memegang nampan berisi 2 gelas teh.

Mawar kemudian menundukkan kepalanya. Tidak bisa membantah karena ucapan sang ibu benar adanya. 

"Minum tehnya. Mukamu pucat."

Mawar tertawa pelan, lalu segera melakukan perintah sang ibu. "Makasih, Buk," jawabnya setelah kembali meletakkan gelas teh di atas meja.

"Ibu bukan menghakimi kamu. Ibu paham anak jaman sekarang nggak kayak gadis-gadis di jaman Ibu dulu. Tapi, sekarang kamu paham kan nggak enaknya selalu di sisi perempuan. Lihat, bagaimana ibu Kris menghakimi kamu padahal kalian melakukannya berdua. Lihat, bagaimana orang-orang nanti bereaksi. Pasti mereka menatap kamu seolah kamu murahan. Orang jaman sekarang kan katanya aja udah modern. Kalau urusan aib, mereka sama aja kayak orang jaman dulu. Nggak mau ketinggalan menghakimi, menggosipkan."

Air mata Mawar menetes begitu saja. Dihapusnya, tapi tumpah lagi. "Mawar minta maaf, Bu," ucapnya tersendat karena tenggorokannya tercekat. Napasnya pun sesak.

Akal sehatnya suka tumpul saat bersama Kris, tapi di saat mereka terpisah begini, dia bisa berpikir dengan jernih dan sependapat dengan semua ucapan ibunya. Dia tahu keluarganya sangat menyayangi dirinya dan ini menjadi pukulan berat bagi mereka. Anak pertama dan yang seharusnya menjadi contoh bagi sang adik, malah mencoreng wajah mereka. Bukan tidak mungkin, masalah ini sudah sampai ke para tetangga.

"Kami yang minta maaf, lalai memastikan kamu selalu di jalan yang benar." Jemari sang ibu melingkari pergelangan tangan Mawar. Menggenggamnya. "Kamu masih tanggung jawab bapakmu, sampai kamu menikah nanti."

"Tapi, Mawar udah dewasa, Buk. Kesalahan yang Mawar buat ya salahnya Mawar. Bukan salah Bapak dan Ibuk."

Jemari ibu Mawar bergerak lembut, mengelus. "Mau sedewasa apa pun anak, tetaplah anak. Tetap menjadi tanggung jawab orang tuanya. Ibu juga nggak pernah membenci Kris seburuk apa pun masa lalunya, bagaimana pun kisah kalian. Yang menjadi pikiran Ibu itu kamu. Sebagai manusia, kamu punya harga diri. Dan itu sudah diinjak-injak oleh keluarga Kris padahal kamu sama Kris masih pacaran. Apalagi kalau misalnya, seumpamanya, kalian menikah dan kamu dibawa ke rumahnya. Mungkin dia meradang dan semakin kasar kepada kamu."

Lagi, ada benarnya. Membuat Mawar semakin tidak bisa membendung tangisnya. Beberapa hari setelah dipergoki bersama Kris di ruko, ibunya lebih banyak diam. Mawar pikir sang ibu marah sehingga dia ikut diam, sengaja memberi ruang dan waktu untuk wanita yang melahirkannya itu. Memutuskan untuk mengajak bicara secara serius setelah emosi sang ibu lebih reda.

"Sejak melahirkan kamu, Ibu tahu suatu saat kamu akan dibawa pergi. Menjadi milik orang lain, keluarga lain. Tapi, Ibu tidak ikhlas kalau orangnya seperti keluarga Kris. Tidak rela lahir batin. Ibu bertaruh nyawa saat melahirkan kamu, bukan untuk membiarkan kamu disakiti seperti ini."

"Mawar juga nggak mau, Buk, semua jadi begini. Mawar ... Mawar menyesal." Sambil tergugu, Mawar merentangkan tangan hendak memeluk sang ibu, yang memang langsung memeluknya juga.

"Maafkan Mawar, Bu." Dia mengucapkan 'maaf' berulang kali, terutama karena meski paham dirinya salah, tapi tidak bisa mengubah keadaan serta memperbaiki semuanya. Dia sudah terikat janji dan terlanjur berharap semua bisa jadi lebih baik. Sudah kepalang basah, sudah terlanjur malu, sudah tidak bisa mundur. 

Pelukan itu terlepas, tapi tangan Ibu Mawar masih menggenggam hangat tangan Mawar. "Ibu tahu kamu tidak suka dengan Ardi. Tapi, jangan karena nggak mau sama dia, kamu merasa harus terus bersama Kris. Tinggalkan Kris, tidak perlu menikah dengan Ardi. Jodoh nggak ke mana. Mau bagaimanapun kamu," Ibu Mawar menyisir rambut depan Mawar yang terurai dengan jari telunjuk dan jari tengahnya, "pasti ada lelaki di luar sana yang menerima kamu apa adanya. Jangan karena malu, kamu memaksakan diri harus bersama dengan orang yang akan membuat kamu sakit seumur hidup."

"Mawar ...." Bibir Mawar berhenti bergerak. Dia merasa bersalah kalau harus berterus terang tentang harapannya untuk bisa terus bersama Kris. Seakan-akan, dia menjadi wanita super menyedihkan yang tidak memiliki harapan sama sekali dan sedang mengejar-ngejar pria yang tidak layak untuknya. Bagaimanapun dia memuji Kris, pasti akan tetap salah di mata orang tuanya. "Mawar butuh waktu untuk bisa berpikir jernih, Bu. Sekarang pikiran Mawar kusut sekali."

"Ibu paham. Terutama karena kamu terkurung di rumah terus. Ibu sudah berbicara dengan Siska dan dia bersedia menemani kamu besok. Biar kamu nggak suntuk. Sekalian, siapa tau dia bisa membuka pikiran kamu. Biar bagaimanapun, dia sudah memiliki pengalaman untuk masalah yang sama dan sekarang sudah bahagia."

Mawar enggan, tapi kepalanya mengangguk. Dia tidak ingi membantah sang ibu yang baik sekali. 

***

"Aku udah pesan minuman, Sist." Siska tersenyum ramah pada Mawar yang baru tiba di cafe tempat mereka janjian. Sebenarnya mereka berjanji akan keliling mall, tapi Siska berkata lebih baik mereka singgah di tempat nongkrong dulu, berbincang sebentar sebelum meletihkan diri untuk mencuci mata di sekeliling mall.

"Wah, makasih ya. Tau aja aku udah haus." Mawar duduk di seberang Siska lalu mengambil gelas itu. Dia tidak sedang bermulut manis. Dia ke mall itu naik motor di hari yang mulai siang dengan mentari yang sangat terik diantarkan Ardi dan mereka berpisah di pintu masuk. Karena sudah terlambat, Mawar berjalan tergesa. Jadi dia memang sedang butuh minum yang menyejukkan dahaganya.

Namun, karena tergesa meneguk, dia pun terbatuk. Tangannya mencengkeram gelas kurang erat membuat gelas itu meluncur ke lantai diiringi suara keras. Untungnya gelas itu tidak pecah berkeping-keping, hanya terbelah menjadi beberapa bagian. Mawar yang panik pun segera memungut serpihan ke satu titik dan meminta maaf saat pelayan menghampiri mereka untuk membersihkan tumpahan minuman.

"Astaga, maaf-maaf," ucapnya pada Siska setelah lantai bersih dari pecahan kaca dan tumpahan minuman. Pelayan sudah meninggalkan mereka. Mawar pun sudah memesan minuman yang baru.

Wajah Siska tegang. Biasanya wanita itu pemaaf, tapi kali ini moodnya mungkin sedang buruk sehingga bibirnya justru kaku. Dia bahkan diam saja saat Mawar mengucapkan maaf.

"Aku yang bayar nanti. Nggak papa." Mawar merasa sikap Siska yang dingin itu karena harus membayar denda atas pecahnya gelas. Jadi, dia merasa harus mengucapkan hal tersebut. Jika hanya gelas, dia masih sanggup membayar. Uang yang Kris berikan padanya juga belum banyak dia gunakan.

"Eum ... ya udahlah nggak papa." Siska tersenyum, tapi dipaksakan. "Perasaanku jadi nggak enak." Dia menoleh ke kiri dan kanan. "Atau kita cari tempat lain untuk duduk? Atau kita keliling ajalah yuk? Beli minumnya di hypermart aja."

Mawar yang merasa heran hanya bisa mengikuti kemauan Siska. Padahal dia sudah memesan minuman baru dan belum tiba. Tapi, karena malas mendebat dia pun ikut berdiri dan mengikuti langkah sang sahabat.

Mawar membantin, menasehati dirinya sendiri untuk tidak berpikir macam-macam. Semua hanya kebetulan dan perasaan tidak enaknya itu hanyalah buah dari pemikirannya sendiri. Hanya karena Siska mantan kekasih Kris dan sekarang akrab dengan ibu Kris, juga begitu bersemangat menyuruh Mawar move on, bukan berarti sahabatnya itu berubah jadi jahat. Dia harus menekan perasaan tidak nyamannya dan menjalani sisa hari dengan riang, agar keinginan ibunya terpenuhi. Agar saat pulang nanti, wajahnya lebih cerah dan pikirannya lebih segar.


NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top