Part 21

08xx-xxx : Tolong suruh Kris menemui Pak Danu sekarang. Jangan sibuk memikirkan kamu saja tapi kerjaannya dibaikan.

Pesan dari nomor baru. Tidak pakai memperkenalkan diri, tidak ada basa-basi. Demi memperjelas maksudnya dan menghindari kesalah-pahaman, Mawar menghubungi nomor baru itu. Ditolak.

Mawar: Kamu tau nomor ini nggak?

Dibaca, ceklis dua biru, tapi tidak dibalas.

Mawar: Dia bilang suruh kamu jumpain Pak Danu. Kamu ada janji sama Pak Danu?

Masih dibaca, tapi tidak dibalas. Mawar melirik tulisan di bawah nama kontak Kris dalam aplikasi pertukaran pesan itu, statusnya online. Aneh sekali. Tidak biasanya Kris mengabaikannya begini. Masalahnya ini dibaca. Kecuali lelaki itu online tapi tidak membaca pesannya, Mawar masih mengerti.

Demi menepis pikiran buruk yang menguasai dirinya, Mawar pun menekan tombol panggil.

"Kris?"

"Sayang."

"Hah?"

"Kamu nggak ada sebut 'sayang' dari tadi."

Bibir Mawar mengeriput, ingin mengumpat rasanya. "Demi Tuhan, ini lagi serius loh sikonnya."

"Ya aku serius, Sayang. Kalau nggak serius, aku nggak akan maksa kamu bertahan."

"Apa sih? Kamu mabuk ya?"

Mawar menekan tombol kamera, melakukan peralihan dari panggilan suara ke panggilan video. Hal yang langsung disesalinya karena pemandangan di mana Kris sedang bertelanjang dada dengan tubuh yang terlihat segar pun tertera di layar ponsel Mawar. Imajinasinya langsung ke mana-mana.

"Kamu habis mandi?" Mawar menerka.

"Tumben nggak takut suaranya kedengeran orang lain. Rumah lagi sepi, ya?"

Kepala Mawar mengangguk. "Ayah lagi ada urusan, Ibu lagi ke pasar."

"Kamu kok nggak bilang?" tanya Kris sambil merebahkan tubuhny di ranjang. Sebelah tangannya terlipat, ditindih oleh kepala Kris. Membuat posenya semakin menggoda. Atau mungkin iman Mawar yang terus menipis.

"Emang kenapa kalau aku bilang?"

"Ya aku bisa ke sana. Kan kangen."

Gombal sekaliii, teriak Mawar dalam hati. Tapi, dia sedang tidak ingin meladeni Kris. Dia harus fokus pada tujuannya menelepon tadi.

"Kamu kenapa baca pesan tapi nggak dibalas? Kamu kenal sama Danu itu? Sama nomer yang wa aku tadi?"

"Jawabannya ..." jawab Kris lamban, seakan sengaja memberi penekanan agar Mawar paham. "karena kamu wa nggak pakai sayang. Udah kayak wa sama orang baru dikenal aja. Jelas-jelas kamu lagi wa belahan jiwa."

Najis, batin Mawar lagi. Agak geli dengan gombalan Kris yang makin menjadi. Geli-geli suka karena sikap Kris yang kadang lebay beginilah yang membuat Mawar suka senyum-senyum sendiri.

"Serius cuma karena aku nggak pake bilang sayang?"

Kris mengangguk. "Semalam kamu udah bisa panggil aku 'sayang'. Harus dibiasakanlah, biar bukan cuma panggilan, tapi perasaan kamu juga selalu sayangnya ke aku."

"Jadi, intinya, kamu tau nomer baru itu?"

"Sayang."

"Iya-iyaaaa, astaga," geram Mawar. "Jadi kamu tau nomer baru yang wa aku tadi, Sayang."

Kris diam sejenak, lalu tersenyum masam. "Itu nomer Ibuk. Di-save aja."

Mulut Mawar terbuka tanpa suara. Kaget, tapi paham. Ternyata sekarang ibu Kris mulai menjalin komunikasi dengannya, meski jenis komunikasinya malah menyudutkan seperti itu.

"Ya udah, jangan kamu jumpainlah Danu-Danu itu. Soalnya Ibu nanti kebiasaan kalau mau sesuatu dari kamu malah wa aku dulu. Masalahnya loh bahasa Ibu itu. Bukannya minta tolong, malah kayak nyindir terus merintah."

"Kirain kamu bakalan maksa aku nurutin maunya Ibu demi carmuk." Kris tertawa pelan.

"Kamu lagi di mana jam segini baru mandi?" Mawar ikut merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Posisinya telungkup. Satu tangannya dilipat untuk menjadi alas dagu, satu lagi masih memegang ponsel agar tegak berdiri di depan wajahnya.

"Di rumah teman. Makanya Ibu wa kamu."

"Teman kamu cewek atau cowok? Kok kamu baru mandi jam segini? Emang habis ngapain? Itu kamu telanjang atau cuma nggak pake baju doang sih? Tadi malam kamu tidur di sana sama siapa aja?" Rentetan pertanyan itu keluar begitu saja dan kalau Mawar tidak menghentikannya karena mendadak sadar, mungkin akan lebih panjang lagi.

Dia terdiam, lalu menarik napas panjang. "Kris, kayaknya aku rindu kamu deh."

***

Beberapa bulan lalu Kris terlibat kerja sama dengan pengusaha dari kota untuk penyediaan daging segar. Jadi, Kris bertanggung jawab mengumpulkan daging sebanyak mungkin dari peternak di sekitarnya dan melakukan pemotongan serta pengelompokan jenis daging lalu mengantarkannya ke kota. Kerja sama itu berjalan lancar sampai kemudian pembayaran yang dilakukan Danu macet. Kris berusaha menolerir, tapi selain macet, Danu jadi lebih rewel. Ada saja keluhan lelaki beranak dua itu tentang daging yang Kris kirimkan. Bahkan yang paling membuat Kris kesal adalah tudingan Danu kalau Kris mencampurkan daging sapi dengan daging celeng. Tidak masuk di akal.

Sebagai upaya menyelamatkan harga diri dan mencegah kerugian lebih banyak, Kris pun menghentikan pengiriman daging. Dia tidak peduli Danu akan menuntutnya. Perjanjian hitam di atas putih mereka tidak ada. Hanya melalui percakapan biasa. Jadi, tidak ada ikatan resmi untuk kerja sama mereka selama ini.

Itulah mengapa Kris enggan menemui Danu. Dia ingin membuat lelaki itu mengerti kalau meski Kris tinggal di daerah dan saat sekolah dia malah sibuk bermain-main, tapi akalnya masih berfungsi dengan baik. Tidak akan mau diakal-akali oleh pengusaha culas seperti Danu.

"Beneran nggak mau ketemu sama Danu, Bro?" tanya Elyas, teman Kris yang berprofesi sebagai tangan kanan Pak Musa, tokeh besar di daerah mereka. Usia mereka terpaut beberapa tahun. Dan sama seperti Kris, hidup Elyas selama ini dihiasi dengan bersenang-senang.

"Nggak deh. Tadi Ibu Negara juga ngelarang." Kris mencomot kentang goreng yang baru saja Elyas letakkan di atas meja. Elyas ketering untuk makan tiga kali sehari. Namun, jatah makan siang belum sampai karena memang masih jam sebelas. Jadi, lelaki itu tadi menggorengkan kentang goreng instan untuk pengganjal perut Kris.

"Yang ada nanti Ibu Suri makin ngamuk." Elyas bergidik dibuat-buat sambik tertawa pelan. "Kalau ibumu udah ngamuk, ampun deh, Bro. Mulai nanti dramanya. Yang sakit lah, yang nangis darah lah. Mamak-mamak sekali, modusnya."

"Itulah, Bro. Kalau untuk urusan lain nggak papalah aku ngalah. Kalau untuk urusan ini, nggak bisa. Aku cinta sama Mawar. Aku bahkan siap ninggalin rumah asal aku bisa nikahin perempuan itu. Aku aja heran Ibu nggak suka sama dia. Aslinya Mawar baik. Semua orang pasti bilang dia baik. Bahkan ya, Bro, aku itu laki-laki pertama yang tidur sama dia. Perawannya dia itu lepas sama aku. Jadi, tuduhan-tuduhan Ibu sama kebenciannya itu nggak masuk akal. Malahan harusnya dia bersyukur karena masih ada perempuan baik-baik yang mau sama aku."

Elyas meminum kopi lalu tersenyum simpul. "Ya sebenarnya pasti masih banyak yang mau sama kamu lah. Kamu ganteng, mapan, terpelajar. Perempuan sekarang itu kayak memaklumi kalau laki-laki nakal kok. Jadi, mereka kadang nggak begitu peduli masa lalu laki-laki yang dekat sama mereka, dengan pemikiran yang penting setelah sama-sama, si laki-laki mau berubah."

"Tapi, Mawar beda. Sejak pertama kali kami bertemu ... setelah aku pisah sama Siska ya, dia membuat aku penasaran. Sulit kujelaskan. Tapi, dia selalu ada untukku selama ini. Dan aku mau begitu selamanya."

"Jadi, masih belum dapat keterangan dari Siska?"

Kris menyenderkan punggungnya ke punggung kursi sambil menggelengkan kepalanya. "Sulit menjumpai dia dan dia masih nggak mau ngomong apa-apa. Terakhir kali, dia malah bilang ibuku monster. Aku nggak tau maksudnya apa. Mau nanya Ibu, pasti nanti jawabannya malah ke mana-mana."

"Kamu tau nggak, kalau ibumu anti sama perempuan yang menggugurkan kandungan?"

Informasi baru. Kris tidak pernah mengetahui itu. "Kamu tau dari mana?" tanyanya.

"Dari Bidan Susi. Dia pernah berkelahi dengan ibumu waktu Bidan Susi dituduh membantu seseorang yang kukenal menggugurkan kandungan. Padahal orang itu nggak ada hubungannya dengan ibumu, tapi dia berani memaki-maki bahkan mengancam Bidan Susi akan mencabut praktiknya. Padahal kata Bidan Susi dia nggak membantu menggugurkan. Waktu orang itu datang, dia sudah pendarahan. Dan orang itu juga nggak tau dia lagi hamil makanya masih kerja berat dan nggak jaga makanan."

Siska dulu juga menggugurkan kandungan dan ibunya jadi benci sekali dengan mantan Kris itu. Sangat benci. Semua perbuatan Siska awalnya ditolerir. Lalu, perlahan-lahan Ibu Kris jadi lebih cerewet dan akhirnya malah menentang. Dia terus menerus memengaruhi Kris bahwa Siska bukan orang baik dan hal itu terbukti benar. Siska selingkuh darinya. Namun, di antara hasutan-hasutan ibunya dulu, rasanya masalah tentang menggugurkan kandungan tidak terlalu diungkit. Dengan Mawar pun sama, baru diungkit sekali dan itu pun di saat ibunya dicecar habis-habisan oleh banyak orang. Seolah-olah diucapkan hanya karena terdesak.

Apa benar ibunya membenci Mawar karena dianggap menggugurkan kandungan dengan sengaja? Kenapa sampai begitunya? Kris tau menggugurkan kandungan itu salah. Bahkan dia pun akan marah dan kecewa jika anaknya dibunuh. Namun, Kris sekarang merasa ada hal lebih besar daripada sekadar aturan moral yang membuat ibunya benci pada perbuatan menggugurkan kandungan itu, seandainya semua yang dikatakan oleh Elyas benar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top