Bab 8

Selamat hari Senin.

Selamat membaca.

Love yeaahhh

♡♡♡

"Hallo?" Mawar menjawab panggilan Kris dengan cepat.

"Lagi ngapain?"

"Siap-siap mau tidur."

"Ganggu?"

"Nggaklah. Nggak kok. Kamu lagi apa?" Mawar belajar untuk memberi respon. Karena tadi, dia merasakan tidak enaknya tidak didengarkan dengan baik, serta kurang dianggap ada. Meski mungkin itu cuma perasaannya, tetap saja rasanya tidak nyaman.

"Mau tidur, tapi nggak bisa."

"Sama Ibu?"

"Iya. Kalau enggak kan aku udah ajak kamu."

"Emang Ibu nggak keganggu kamu nelepon?"

"Aku di balkonnya. Sekalian ngerokok sama cari udara segar."

"Dikurangin, Kris. Kasihan paru-paru."

"Nggak kok. Nggak banyak."

"Oh ...." Mawar bingung harus menjawab apa lagi. Dia yang sedang melamun di depan cermin pun akhirnya meraih toner-nya. Menyambi panggilan Kris dengan melaksanakan rutinitas skincare sebelum tidur. Terjadi saling diam yang cukup lama. Mawar menarik napas panjang, berusaha melawan keinginan untuk menyerah dan menutup panggilan. 

Tidak bisa selamanya seperti ini. Dia harus mencoba memperjuangkan, meski tidak getol-getolan.

"Aku tadi ketemu Ibu, sebenarnya."

"Oh ya? Di mana?"

"Waktu makan malam sama teman-teman."

"Oh ...."

"Sama Siska." Mawar memberanikan diri membahasnya.

Hening. Mawar bisa mendengar suara tarikan napas Kris yang panjang.

"Kebetulan aja itu. Harusnya kan sama kamu."

"Kok nggak langsung pulang? Kerjaan kamu emang banyak banget, ya? Emang kerjaannya apa sih? Kalau boleh tau aja tapi ya ...."

"Kan aku masukin hasil tani orang-orang di daerahku ke sini. Jadi, semalam itu ada barang hilang dari gudang. Lumayan jumlahnya. Biasalah, pemuda setempat."

"Aku baru tau kamu ada usaha itu. Aku pikir kamu lanjutin usaha ayah kamu aja."

"Banyak. Banyak tentang aku yang belum kamu tau. Banyak juga tentang kamu yang nggak aku tau."

"Kalau ... kalau aku suka nyesal sehabis sinis sama kamu, atau bersikap keras ke kamu, kamu pasti nggak tau juga," ucap Mawar sambil tersenyum miris. 

"Masak sih?" Terdengar gelak tawa pelan.

"Iyaaaa .... Aku tuh merasa kayak penjahat jadinya. Apalagi tadi. Udah nolak-nolak ketemu ibu kamu eh malah makan satu meja. Aku jadi ngerasa nggak enak. Eh kok kamu malah ngajuin video call?"

"Mau lihat muka nyesalnya kamu."

"Krisssss!!!" Tidak sadar, Mawar berteriak kesal. Yang akhirnya membuat dia menutup mulutnya cepat karena sadar itu sudah sangat malam, kedua orang tuanya pasti telah tidur.

"Aku lagi skinkeran," sungut Mawar sambil menekan ikon panggilan video. "Ganggu aja!"

"Ya udah, aku matiin ya."

"Eh jangan! Itu tuh bercanda tau. Kamu gimana sih?!" Mawar memasang wajah masam sambil meletakkan ponselnya di pinggiran cermin, ditegakkan dengan posisi yang membuat tampilan wajahnya di layar lumayan jelas.

Kembali, Kris tertawa. "Besok pagi kamu kerja?" tanyanya.

"Kerja. Emang kenapa? Kamu mau ngajak sarapan?"

"Aku justru mau jadiin kamu sarapan."

"Kris! Ada Ibu!!!" Kali ini, Mawar berkata dengan kesal, tapi berhasil menjaga intonasinya. Matanya membelalak ke arah kamera, berusaha terlihat galak. Karena panggilan video otomatis membuat loudspeaker otomatis aktif, Mawar pun menoleh ke arah pintu. Khawatir orang tuanya pun ikut mendengarkan percakapan mereka.

Lagi dan lagi, Kris hanya tertawa. "Kamu lucu banget kalau lagi marah begitu. Jadi makin lapar."

"Ah kamu nggak seru. Aku matiin nih!"

"Ya jangan .... Lagi pula lapar apa memangnya? Masak aku nggak boleh lapar tengah malam? Aku tadi makan malamnya sedikit."

"Bisa aja ngeles. Dasar!"

Percakapan itu pun terus berlanjut sampai rutinitas pemakaian skinker Mawar selesai dan berganti dengan posisi rebahan. Terus berlanjut entah sampai kapan, karena Mawar akhirnya jatuh terlelap sebelum mengakhiri panggilan. Yang dia tahu, saat bangun di pagi harinya, panggilan telah terputus.

Wanita itu merasa sedikit kecewa karena tidak ada ucapan selamat tidur yang diberikan via pesan singkat. Tadinya dia antusias membuka jejak percakapan mereka via wa, siapa tahu Kris mengirimkan sesuatu, dan membuang napas malas saat ternyata tidak ada pesan baru di sana.

***

"Jadi, kata dokter gimana Bu?" 

Ibu Kris yang sedang menyantap bubur ayam menatap sang anak lalu kembali menekuni sarapannya. "Ya begitu. Ibu disarankan urus BPJS biar nanti-nanti terapinya gratis. Soalnya kata Pak Dokter nanti terapinya berulang kali. Lama. Jadi kalau pakai uang pribadi pasti mahal. Belum lagi ongkos Ibu bolak-balik dari rumah ke sini."

"Kalau masalah ongkos kan nggak perlu dipikirkan. Kan bisa sama kami." (Kami=aku, mengutip kebiasaan beberapa kalangan di daerah saat mengucapkan aku kepada yang lebih tua agar terdengar lebih sopan).

"Iya. Tapi kan Ibu nggak ada jelasin itu sama dokter. Tapi ada benarnya sih. Kalau bisa gratis kenapa harus bayar."

"Tapi, pelayanan BPJS sama umum kan beda, Buk. Emang berapa sih biayanya? Ratusan ribu paling."

"Kamu itu mentang-mentang sekarang udah bisa menghasilkan uang sendiri jadi sombong. Bilang-bilang 'emang berapa sih'? Laki-laki memang begini. Bapakmu juga dulu gitu. Apa-apa digampangkan. Padahal cari uangnya juga mati-matian. Kamu jangan mentang-mentang cari uangnya lebih gampang dibanding kami dulu, jadi lebih boros, ya. Cukup waktu sama Siska kamu habis diporotin. Kerja lebih serius. Hasilnya digunakan dengan baik. Untuk hal-hal bermanfaat. Sisanya, simpan. Kita nggak tau kedepannya gimana."

"Iya-iya ...." Kris malas kalau sudah kembali membahas sesuatu seserius ini. Siska ada di setiap percakapan. Tidak hanya percakapannya dengan Mawar, tapi juga dengan sang ibu.

Kris dengan Siska berpacaran saat mereka kuliah dulu. Kris sungguh-sungguh. Dia tidak mengerti apa itu cinta. Yang jelas, dia merasa nyaman dan hanya mencurahkan semua perhatiannya pada wanita itu saja. Layaknya lelaki lain, dia juga merasa terpanggil untuk memfasilitasi sang kekasih yang memang melayaninya dengan baik.

Kris tidak munafik. Pergaulannya memang bebas. Dia amat sangat menikmati masa mudanya, bahkan cenderung sangat menikmati. Siska dulu terbiasa dia bawa ke rumah kontrakan. Semua temannya tahu sejauh apa hubungan mereka. Saat itu, tidak terasa tabu. Malah beberapa teman Siska sering menggodanya karena menganggap dia keren. 

Siska tidak pernah tahu itu. Kalau dia tahu, Kris yakin akan terjadi drama perebutan kekasih seperti yang sering viral di sosial media. Sebenarnya, dia cinta kedamaian. Toh dia memang tidak tertarik untuk bermain api. Dia menganggap Siska saja cukup. Itulah mengapa dia berpikiran untuk memperkenalkan Siska dengan kedua orang tuanya.

Hal yang sama Siska lakukan. Sayangnya, keluarga Siska menganggapnya sampah. Karena Kris berasal dari daerah dan orang tuanya sederhana, keluarga Siska meremehkannya terang-terangan. Saat itu, mereka melarang Siska dan Kris berhubungan dengan berbagai alasan. Bahkan kakak Siska sampai mengorek semua aib Kris sedalam mungkin.

Dari sana, Kris merasa kecewa. Orang tuanya direndahkan. Orang tuanya pun merasa kecewa karena anaknya diperlakukan seperti itu. Terjadilah permusuhan keluarga. Ibunya bahkan sangat membenci Siska. Dan yang membuat Kris semakin terpukul saat itu adalah Siska tidak membelanya. WAnita itu bertingkah seolah dia paling tersakiti dan tidak mampu berbuat apa-apa. Awalnya Kris percaya. Dia berjuang untuk menyelesaikan semua--yang dia anggap saat itu merupakan kesalahpahaman--agar hubungannya bisa berhasil. Bahkan dia bercita-cita menikahi Siska setamatnya mereka kuliah.

Namun, ternyata, Siska tidak selugu itu. Saat Kris sibuk berjuang memulihkan nama baik di keluarga Siska, wanita itu malah rajin berkirim pesan romantis bahkan mesum dengan lelaki lain. Tidak hanya satu. Beberapa. Bahkan termasuk dengan teman Kris sendiri. 

Di mata Mawar, nama Kris amat sangat buruk. Karena gadis itu mengetahui dirinya versi yang keluarga Siska koarkan. Namun, Mawar tetap menerimanya. Maksudnya, mau berhubungan dengannya. Meski pembatas yang gadis itu tetapkan atas hubungan mereka terlalu tinggi dan kuat. Kris percaya, hubungan Mawar dengan dirinya lebih dari apa yang dia miliki dengan Siska dulu.

Kali ini semua lebih dalam. Lebih matang. Mereka pun lebih dewasa. 

Meski tidak dapat dia pungkiri, Kris masih merasa ragu untuk melibatkan keluarga kedua belah pihak. Meski berusaha menepis, tapi dia menyadari rasa trauma akan masa lalu itu masih ada. Dia tidak siap wanita tua di hadapannya, yang telah memiliki garis-garis halus di wajahnya cerminan dari telah lamanya dia hidup di dunia, kembali merasakan sakit karena direndahkan.

Meski ucapan Mawar tidak pernah merendahkan orang secara gamblang, tapi sikapnya terkadang mampu membuat orang merasa terasingkan. 

♡♡♡

NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top