Bab 7
Selamat membaca
Sayang kaliannn
***
Napas Mawar mendadak sesak saat melihat kedua orang yang baru masuk area cafe&resto itu pun menoleh ke arahnya. Siska yang mengarahkan Ibu Kris--lebih tepatnya. Wanita itu juga menuntun Ibu Kris saat mereka berdua berjalan ke arah meja tempat Mawar, Izzy, dan Dino berada.
"Hai," sapa Mawar gugup.
"Kebetulan banget kalian semua ada di sini." Siska menoleh ke arah Ibu Kris. "Bu, kenalin ini teman-teman saya." Dia menyebutkan nama satu per satu lalu setelahnya mereka bertiga bergiliran menyalami Ibu Kris setelah namanya disebut.
Entah perasaan Mawar saja atau memang benar, Ibu Kris lebih lama melihat dirinya, seperti memindai. Jangan-jangan ... batin Mawar ... wanita berusia senja ini tahu kalau Mawar ada hubungan lebih dengan anaknya. Jangan-jangan dalam hati, Ibu Kris merasa enggan berbincang dengannya, hanya saja terpaksa karena diajak Siska.
Eh tunggu ... bukannya dulu Ibu Kris membenci Siska?
Mawar mengerutkan kening.
"Nggak sengaja ketemu di rumah sakit," Siska yang seakan mengerti akan keheranan para temannya pun berucap tanpa suara, berusaha menjelaskan.
Mawar mengangguk. Kembali merasa bersalah, teringat penolakannya untuk menemani wanita itu saat ditawari oleh Kris.
"Eum ... Ibu udah makan?" tanyanya, berusaha basa-basi. Tidak lupa senyum tulus ia tampilkan.
Dino berdeham, membuat Mawar menoleh ke arah lelaki itu sambil membesarkan matanya dengan arti pandangan 'kenapa sih?'.
"Belum, Nak. Tadi nungguin anak Ibu di rumah sakit, tapi dia nggak datang-datang. Katanya mendadak ada masalah di kerjaannya. Ibu dikirim makanan, tapi nggak enak. Udah basi."
"Kris ada masalah?" Spontan, Mawar bertanya.
Ibu Kris terdiam, terlihat bingung.
Kembali, Dino berdeham. Mawar memejamkan matanya sejenak mengusir perasaan malu karena sudah lepas kontrol, berusaha kembali mengendalikan dirinya. Dia tertawa sumbang. "Saya ... kenal sama anak Ibu ... dari Siska ... dulu," ucapnya.
"Benar, Bu," ucap Siska yang kemudian menyampirkan tangannya di belakang tubuh Ibu Kris, seakan memeluk. "Mawar itu sahabat Siska, jadi semua tentang Siska dia tau. Termasuk 'Kris'."
Mawar menoleh ke Izzy dan Dino saat dia menangkap ada nada khusus saat Siska menyebut nama Kris. Sumpah, dia merasa ada yang berbeda saat nama itu teralunkan dari bibir Siska yang dipoles lipstik ombre ala korea itu.
Hanya saja, saat dia menoleh ke kedua orang tadi, mereka malah terlihat heran. Seakan tidak mengerti kenapa Mawar melihat mereka.
"Kita rencananya mau makan di sini. Pindah ke meja lain yuk, biar bisa berlima," ajak Siska.
"Meja lain kan penuh, Sist. Adanya malah meja untuk dua orang," timpal Izzy.
"Nggak papa, gue--eh saya aja yang duduknya pake kursi tambahan. Mbak Siska sama Ibu duduk aja di sini." Dino beranjak dari kursi berbentuk sofa yang hanya dua sisi dan berhadapan itu. Lelaki yang Mawar yakini agak gemulai itu pun mengambil satu kursi dan memindahkannya ke sisi ujung meja yang sebenarnya memakan sisi jalan. Namun, karena tempat duduk mereka paling sudut, jadi harusnya tidak masalah.
Tadinya, Mawar dan Dino duduk bersebelahan, berseberangan dengan Izzy. Kini, sisi kosong di sebelah Izzy diisi oleh Siska sedangkan di sebelah Mawar duduklah Ibu Kris. Mawar
"Ibu mau makan apa?" tanya Siska.
"Adanya apa aja? Yang lain nggak makan?" Ibu Kris bertanya sambil menatapi semua penghuni meja itu satu per satu.
Sekali lagi, Mawar merasa wanita itu memerhatikannya lebih lama dibanding yang lain. Membuat dia merasa gerah. Tenggorokannya kering. Alhasil, dia menyeruput kapucinonya dengan agak rakus.
"Kalau misalkan Ibu makan, ya kami makan juga. Kebetulan Mawar lagi mau nraktir kita-kita, Buk."
Langsung, Mawar terbatuk mendengar ucapan Dino yang tidak tahu diri itu.
"Benar, Bu. Kita tadi masih bingung aja mau mesan apa makanya pesan minuman dulu." Izzy malah menambahkan.
"Wah ... dalam rangka apa nih? Kok tadi aku nggak diajak?" Siska protes.
"Dalam rangka ...." Mawar menggantung kalimat, lalu menoleh ke arah Dino, memberi perintah kepada lelaki itu untuk meneruskan.
"Dalam rangka syukuran, Bu."
"Oh ... syukuran apa?"
Gantian, malah Dino yang menatap Mawar dengan kode agar Mawarlah yang menjawab.
"Syukuran ...." Mawar mencari-cari jawaban yang masuk akal. "Eum ... ini sepele sih, Buk, tapi menurut saya perlu dirayakan. Akhirnya ... kebun ibu saya laku."
Setelah menatap Mawar dengan pandangan tak percaya, Dino pun menimpali. "Biasa, Bu, Mawar dan keluarganya kan masih orang yang hidup dalam kesehajaan. Masih membawa budaya-budaya orang daerah dulu. Bukan norak atau kampungan, tapi emang begitu. Dulu di kampung saja orang masuk rumah baru juga buat acara. Sampai pakai panggung dan undang biduan gitu."
"Bukan ... bukan begitu," ralat Mawar. "Kebun itu ... bagi kami sumber masalah. Dulu dibeli saat orang tua saya baru merantau ke sini. Pakai uang yang ditabung-tabung per bulannya. Masih belum SHM. Ayah saya bahkan beberapa kali ikut demo pembebasan lahan. Kebetulan memang rejeki, akhirnya pemerintah mengalah. Cuma masalahnya itu orang yang di sebelah lahan kami. Itu orangnya ... ya begitulah. Ada aja konflik setiap hari. Saya kasihan lihat Ayah yang kurang suka bermasalah kadang harus pasang badan melawan orang itu. Kemarin bahkan pernah kepergok dia itu menaruh obat ke sawit yang jadi batas lahan, supaya sawitnya mati. Paling parah pernah Ayah sama orang itu terlibat baku hantam karena dia memang agak kasar, suka nantangin. Saya tau Ayah nggak nyaman, tapi dia ingin memperjuangkan apa yang dia miliki. Tanah itu perjuangannya panjang. Jadi ...."
Mawar sadar, dia terlalu banyak bicara. Semua orang kini menatapnya, dan Mawar meyakini semua orang itu bosan mendengarnya. Dia berdeham mengusir perasaan malu, lalu berusaha tersenyum lebar. "Eum ... jadi pada mau makan apa? Bu?" tanyanya.
Perasaan itu masih begitu kuat. Perasaan membatasi hal-hal yang bisa dan tidak bisa diungkapkan pada orang lain. Ada keyakinan yang begitu kuat dalam diri Mawar bahwa seringkali dia menjadi sosok membosankan. Terlalu serius. Jadi, dia lebih suka membahas hal-hal umum. Temannya memang sedikit, dan tidak semuanya dia bahas dengan teman-temannya itu. Karena kadang, saat dia butuh cerita, teman-temannya itu malah menimpali dengan cerita mereka atau malah salah paham atas cerita Mawar. Maksud Mawar B mereka malah menangkap C. Entah temannya yang tidak fokus mendengarkan atau Mawar yang kurang pandai menjabarkan.
Termasuk dengan Kris, dia memang jarang sekali membahas hal pribadi. Dia takut. Takut Kris juga menganggapnya sebagai sosok wanita membosankan yang berpikiran terlalu kaku. Tidak seluwes perempuan yang pernah bersama Kris. Siska contohnya. Dia mudah sekali berbaur dengan orang baru dan ceritanya seringkali jadi pembahasan utama saat mereka berkumpul. Semua antusias mendengarkan dan memberi tanggapan.
"Mau apa, Bu? Ayam goreng mau nggak? Atau bebek goreng?" Siska mengulang pertanyaan kepada Ibu Kris. Lebih detail. Dengan suara lebih lembut.
Berkali lipat, Mawar merasa rendah diri dibanding eksistensi sahabatnya itu dalam bersosialisasi dengan orang lain. Sialnya, orang yang sedang mereka hadapi sekarang ini adalah ibu dari lelaki yang--meski dia berusaha pungkiri--dalam benaknya akan menjadi pria masa depannya.
NB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top