Bab 27

"Jadi gitu," ucap Siska saat mereka selesai berkeliling dan kembali duduk untuk berbincang serius. Kali ini, mereka memilih tempat makan yang menyajikan berbagai jenis steak.

Mawar termenung sejenak, mencerna penjelasan Siska barusan. Sahabatnya itu bercerita kalau Kris tipe menggebu di awal, lalu mulai terkesan tidak serius setelahnya. Siska merasa bersyukur ibu Kris dulu berusaha memisahkan mereka. Kalau tidak, mungkin Siska tidak akan hidup sebahagia sekarang ini.

"Jadi, aku kemarin mau dampingi ibu Kris itu ya ... karena aku tau, aku cuma bisa mencegah ibunya berbuat nekat kalau aku pura-pura jadi temannya. Sekubulah sama dia."

"Emang hal terkejam apa yang pernah dia lakuin ke kamu?"

Siska menarik napas, lalu memotong steak-nya. Wajahnya jadi sinis. "Kamu nggak akan percaya," katanya. "Intinya dia itu muka dua. Di depan orang, dia baik. Bicaranya juga udah disetting supaya nggak pernah salah ngomong. Ibaratnya kalau direkam, nggak akan bisa dijadikan bukti kalau dia itu jahat." Dia menyuap potongan daging ke mulutnya. "Aku sampe hancur ... yang kamu tau sendiri hancurnya aku gimana."

Bibir Siska sesekali tersenyum getir, tapi dia tidak berani menatap Mawar. Jemarinya terus bergerak memotong daging, tidak berhenti, sampai akhirnya 1 potong steak besar itu menjadi potongan kecil-kecil. Air mata Siska menetes lalu dihapusnya sambil menoleh ke samping. Bibirnya terbuka sejenak, lalu ditutup dengan bibir yang dilipat ke dalam.

Mawar penasaran, tapi tidak berani bersuara. Dia tidak mungkin menuruti egonya sekarang ini. Siska terlihat masih begitu terpengaruh akan kenangan masa lalu itu. Akhirnya, dia pun memaksa dirinya mengunyah makanan padahal sedang tidak berselera.

"Kamu selama ini berpikir aku segalau dan sehancur dulu itu, karena Kris kan ....?" Siska bertanya sambil menatap Mawar dengan matanya yang masih basah. "Itu karena ibunya. Karena tekanan-tekanan yang dikasih ibunya ke aku." Jari telunjuk Siska menunjuk dadanya. "Bahkan aku sampai mikir mendingan aku mati aja."

Rasanya dulu tidak seberlebihan itu. Mawar mendampingi proses di mana Siska dan Kris sedang memperjuangkan hidup mereka. Setahu Mawar, Siska hanya galau biasa. Dia jadi sering mabuk-mabukan, jadi labil dan emosional. Tidak ada dalam rekaman ingatan Mawar kejadian yang janggal. Bahkan sampai saat ini, Mawar merasa kejahatan ibu Kris hanya mulutnya yang tidak memiliki filter dan hatinya yang sekeras batu.

"Ibunya itu kayak iblis. Nggak punya hati. Dan asal kamu tau, Mawar, bukannya menghasut ya. Tapi, Kris juga kalau lagi emosi, gila banget. Sama kayak ibunya yang sinting. Jadi," Bibir Siska mengerucut ke bawah, "selagi sempat, mendingan kamu menjauh aja dari dia. Aku tahu, sikap Kris yang kadang seolah-olah sabar dan cinta banget sama kita tuh buat kita jadi terbuai. Kita jadi nggak kepikiran gimana nanti kalau kita berakhir sama cowok lain. Pokoknya, kita jadi maunya sama Kris aja. Padahal, sikap Kris itu bukan karena dia cinta sama kita. Emang karakternya aja yang begitu. Dan ... itu cuma di awal-awal aja. Lama kelamaan dia jadi cuek dan nggak segigih di awal."

Ada benarnya. Sikap Kris sekarang lebih cuek. Perjuangannya terkesan lamban dan tidak segigih di awal. Ucapan-ucapan Siska berhasil membuat Mawar meragu.

"Untuk apa coba, kita nikah sama orang yang cinta cuma di mulut aja? Lagi pula nggak enak punya mertua dajjal. Anggaplah suami super cinta sama kita. Tapi, sekuat apa sih cintanya? Kalau seriap hari mertua merongrong dan mencampuri urusan rumah tangga, apa nggak lama-lama kita jadi jengah? Dan ... kamu tau sendiri kan, Kris itu terbiasa sama kehidupan bebas, Mawar. Aku aja nggak bisa ngimbangin dia. Apalagi ... kamu."

"Kenapa kamu nggak kasih tau dari kemarin?" sahut Mawar lemah.

"Karena kamu juga nggak jujur sama aku. Kupikir kalian cuma main-main. Toh, Kris emang laki-laki yang suka main perempuan kan."

"Awalnya? Maksudnya ... kamu tau kami deket ... sebelum aku jujur?"

Siska tampak gelagapan. "Maksudnya ... pas aku tau kamu ada hubungan sama Kris baru-baru ini loh."

Meragukan, tapi Mawar hanya mengangguk. "Aku juga mikirnya Kris main-main sih. Nggak paham kenapa dia mendadak serius."

"Itu nggak seserius yang kelihatannya. Udah kubilang, awalnya doang. Nanti lama-lama dia pasti jadi malas berjuang dan ninggalin kamu gitu aja."

"Tapi ... maaf, ya, Siska. Bukannya dulu dia ninggalin kamu karena kamu selingkuh? Maaf loh. Cuma flashback aja." Mawar berucap dengan pelan.

"Ya ampun ... ketemuan sama cowok itu nggak selingkuh deh. Dulu kamu percaya aku selingkuh karena pikiran kamu polos. Belum paham kalau orang jaman sekarang ini lebih terbuka, pergaulan bebas. Dia aja sering keluar masuk club malam kok. Aku cuma ketemuan, dia bisa jadi nidurin perempuan lain. Lebih parah dia lah. Dan kamu jangan sepolos itu deh, sampe percaya aja kalau dia itu setia. Kamu udah pernah ml sama dia kan, udah pahamlah nafsu dia itu sebesar apa. Mainnya aja lama banget."

"Tapi ... masa sih dia begitu?"

"Dia aja ... mau sama kamu." Mendengar itu, Mawar membatu sejenak. Merasa direndahkan. Tapi, bibirnya tetap tersenyum. "Dia tuh emang nggak pilih-pilih lah, yang penting puas. Aku kan sempat masih kepoin dia awal-awal kami putus permanen dulu. Dia dekatnya sama siapa coba? Sama model seksi yang nggak cantik itu kan? Kamu kan tau, karna aku kasih lihat."

Semakin lama berbincang dengan Siska, semakin otak Mawar tercuci. Keraguannya akan kesungguhan Kris yang selama ini berusaha dia kubur karena sudah berjanji akan memberi kesempatan kepada Kris, kini menyeruak dan lebih besar dibanding sebelumnya.

Ucapan Siska telak. Sangat benar. Dari Siska ke dirinya, terdapat perbedaan yang sangat jauh. Secara fisik dan penampilan, Siska jauh di atas Mawar. Memang agak tidak masuk akal kalau Kris tergila-gila padanya. Mungkin jika benar Kris tergila-gila, itu karena otaknya eror akibat terlalu banyak minum dan mengonsumsi obat terlarang di masa lalu.

"Kamu pasti lebih bahagia kalau tanpa Kris. Percaya deh, kamu berhak dapat laki-laki yang lebih baik." Siska berucap sambil memegang tangan Mawar dengan senyum yang terlihat tulus, seakan benar-benar menginginkan yang terbaik untuk Mawar selaku sahabat.

Mawar merasa, mungkin sudah saatnya dia lebih berpikir jernih dan memikirkan semuanya. Dia tidak boleh dibutakan cinta. Tidak bisa dipungkiri, dia belum mengenal Kris dan keluarga lelaki itu dengan baik.

***

"Aku kangen ...."

Ucapan yang didengarkan Mawar dengan bantuan headset itu, membuatnya jengah. Mawar merasa Kris berniat menggodanya. Tapi, bukannya tergoda, Mawar malah jijik karena sisa pengaruh ucapan Siska tadi masih begitu besar. Dia ingat kata-kata Siska mengenai Kris yang bernafsu besar dan cenderung menuruti nafsunya itu.

"Pantes nelepon, ternyata kangen," sindir Mawar dengan bisikan ketus.

"Kok ngomongnya begitu, Sayang?" Kris menjawab dengan lembut.

Mawar merasa terbujuk, tapi langsung ditepisnya. Dia tidak boleh lemah. Bisa jadi ini memang strategi Kris, selalu bersikap manis agar semua perempuan yang didekatinya percaya kalau lelaki itu benar-benar cinta dan setia.

"Tadi siang aku wa, nggak dibalas. Sampe malam nggak dibalas."

"Aku sibuk, Sayang. Kan udah aku ceritain semalam, aku lagi dikejar-kejar target. Demi masa depan kita kan. Ck! Begini kalau LDR. Kamu pasti mulai overthinking lagi, mikir yang enggak-enggak."

Telak! Tapi, bukan karena LDR. Melainkan karena pencerahan-pencerahan yang baru-baru ini, Mawar terima.

Tidak tahu harus menjawab apa dan memang sedang malas berbincang dengan Kris yang sedang bergairah di ujung sana, Mawar mengakhiri panggilan.

"Aku ngantuk." Dia mengirim pesan kepada Kris agar tidak ditelepon lagi.

Setelah itu, Mawar berbaring dengan mata terbuka lebar. Pikirannya sedang kusut, membuat kantuk enggan mampir.

Sudah dikirimi pesan, ternyata Kris masih menelepon Mawar. Tindakan yang Mawar artikan sebagai upaya Kris agar Mawar luluh dan mau menemani Kris yang sedang bergairah dan memuaskan dirinya sendiri di ujung sana. Suaranya tadi berat sekali dan sedikit serak. Membuat Mawar yakin Kris memang sedang sangat bergairah.

"Kamu harus tau, aku cinta kamu. Jangan pernah ragu, Sayang. Aku mohon, jangan pernah ragukan aku."

"Aku nggak mau kehilangan kamu, Mawar. Angkat telp aku. Kita butuh bicara."

"Sayang, aku tau kamu kesal karena aku nggak balas pesan kamu. Sumpah tadi aku lagi sibuk."

"Mawar ... aku cinta kamu, Sayang. Cinta banget sama kamu."

"Kamu tidur. Besok pagi, kita bicara ya Sayang. Aku telp pagi. Kita harus bicara. Aku takut kalau dibiarin, kamu makin mikir aneh-aneh dan ninggalin aku. Kamu nggak boleh pergi ke mana-mana, Mawar. Kamu cuma punya aku. Aku juga cuma punya kamu. Pokoknya, besok kita harus bicara. Selamat malam dan selamat tidur, Sayang"

Mawar membaca pesan terakhir sambil menangis. Berhubungan dengan Kris jadi begitu sulit. Selain mereka ditentang ibu Kris yang super menyebalkan, sekarang Mawar harus berperang dengan dirinya sendiri yang di satu sisi masih berharap, tetapi di sisi lain dia mulai tidak percaya dirinya dan Kris memiliki masa depan.


NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top